BAB I PENDAHULUAN. A. Konteks Problematik. Dewasa ini problematika lumpur belum juga menemui titik temu

dokumen-dokumen yang mirip
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Perencanaan Partisipatif Kelompok 7

Percepatan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Dampak Sosial Ekonomi Lumpur Lapindo

BAB III METODE PENELITIAN AKSI PARTISIPATIF. Participatory Action Research (PAR). Metodologi tersebut dilakukan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Tanggal 29 Mei 2006 di Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur menjadi sejarah

BAB I PENDAHULUAN. pertanyaan penelitian; (3) tujuan penelitian; (4) manfaat penelitian; (5) batasan

BAB III METODE RISET DAN PENDAMPINGAN A. PENDEKATAN DAN JENIS PENELITIAN UNTUK PENDAMPINGAN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB VI MENUJU DESA TANGGUH BENCANA MELALUI PEMBENTUKAN KOMUNITAS TARUNA SIAGA BENCANA

MATRIK 2.3 RENCANA TINDAK PEMBANGUNAN KEMENTERIAN/ LEMBAGA TAHUN 2011

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. modal sosial menempati posisi penting dalam upaya-upaya. pemberdayaan dan modal sosial, namun bagaimanapun unsur-unsur

BAB III MENGGALI PROBLEM DI BALIK TANGGUL LUMPUR

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU)

BAB II METODOLOGI PENDAMPINGAN A. PENGERTIAN PARTICIPATORY ACTION RESEARCH. Participatory Action Research (PAR). Dalam buku Jalan Lain, Dr.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakatnya. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya industri-industri kecil dan

LUPSI PERUBAHAN ANTAR WAKTU, BEDAH BUKU DR. BASUKI HADIMULJONO 127

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

PERATURAN BUPATI LANDAK NOMOR 16 TAHUN 2012 TENTANG

Tahapan Pemetaan Swadaya

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB IV RENCANA AKSI DAERAH PENGURANGAN RESIKO BENCANA KABUPATEN PIDIE JAYA TAHUN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

PROPOSAL. Peringatan Lima Tahun Semburan Lumpur Lapindo Di Porong Sidoarjo. Minggu,29 Mei 2011 Di Tanggul Lumpur

BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 6 TAHUN 2011

KAJIAN KONSEP RESILIENT CITY DI INDONESIA

BAB V RISET AKSI PARTISIPATIF DALAM KONTEKS BENCANA LUMPUR LAPINDO. (Analisa Reflektif) membedakan manusia dengan makhluk lainnya.

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 104 TAHUN 2016 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Geografi merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alamiah yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

Kajian dampak sosial adalah suatu kegiatan pengkajian mengenai dampak-dampak sosial negatif maupun positif yang diprediksikan akan terjadi di saat

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1604, 2014 BNPB. Penanggulangan. Bencana. Gender. Pengarusutamaan.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Karangwungulor ini penulis menggunakan metode Participatory Action research

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BNPB. Masyarakat. Penanggulangan Bencana. Peran Serta.

BAB I PENDAHULUAN. Tepat tanggal 29 Mei 2006 pukul WIB lumpur panas. menyembur dari sumur eksplorasi Banjar Panji-1 yang dikelola oleh Lapindo

BAB I PENDAHULUAN. Bencana lahar di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah telah

METODOLOGI PENELITIAN AKSI PARTISIPATIF

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Judul "Permukiman Tumbuh di atas Lahan Bencana Lumpur Lapindo Dengan Prinsip Metabolisme"

INDIKATOR KINERJA INDIVIDU

BAB I PENDAHULUAN. strategis secara geografis dimana letaknya berada diantara Australia dan benua Asia

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

( studi tentang penanganan Ganti Rugi Warga Desa Renokenongo )

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN RISET AKSI PARTISIPATIF. Dompyong ini penulis menggunakan metode Participatory Action research

PERATURAN BUPATI GUNUNGKIDUL NOMOR 77 TAHUN 2011 TENTANG URAIAN TUGAS BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. berpotensi rawan terhadap bencana longsoranlahan. Bencana longsorlahan akan

Participatory Rural Appraisal (PRA) SP 6102 Maret 2007 Wiwik D Pratiwi

BAB I PENDAHULUAN. Program Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK)

GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR : 10 TAHUN 2012 TENTANG

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

KKPP Perumahan & PENERAPAN TEKNOLOGI UNTUK REHABILITASI PERMUKIMAN PASKA-BENCANA DENGAN PENDEKATAN BERTUMPU MASYARAKAT

2018, No Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS

BAB I PENDAHULUAN. terletak sekitar 30 km dari pusat Kabupaten Tuban. Dusun ini jauh dari keramaian karena

BAB III DESKRIPSI PENGGANTIAN HARTA BENDA WAKAF

BAB I PENDAHULUAN. mengelola tanah hingga menanam bibit sampai menjadi padi semuanya dilakukan

-2- saling melengkapi dan saling mendukung, sedangkan peran KLHS pada perencanaan perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup bersifat menguatkan. K

Bencana Baru di Kali Porong

POKOK-POKOK PIKIRAN KERJASAMA PENANGGULANGAN KEBAKARAN ANTAR DAERAH, DITINJAU DARI ASPEK KEAMANAN DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT PADA DAERAH PERBATASAN

KERENTANAN (VULNERABILITY)

KEBERLANJUTAN LIVELIHOOD ASSET PADA KAWASAN TERDAMPAK BENCANA LUMPUR SIDOARJO ABSTRAK

KERANGKA ACUAN KERJA (KAK) PEMBENTUKAN DESA TANGGUH BENCANA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN BOYOLALI TAHUN ANGGARAN 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Brief Note. Edisi 19, Mobilisasi Sosial Sebagai Mekanisme Mengatasi Kemiskinan

WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA PASURUAN NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA

PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENJABARAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK

BAB 2 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. 2.1 Geografi dan Demografi Kabupaten Sidoarjo

BAB I PENDAHULUAN. penduduknya. Peningkatan pendapatan di negara ini ditunjukkan dengan

PENDAHULUAN BAB Latar Belakang Masalah

KETERKAITAN KEMAMPUAN MASYARAKAT DAN BENTUK MITIGASI BANJIR DI KAWASAN PEMUKIMAN KUMUH

Baca artikel ini,diskusikan kemudian buat rangkuman.

Ikhtisar Eksekutif TUJUAN PEMBANGUNAN LINGKUNGAN HIDUP

xvii Damage, Loss and Preliminary Needs Assessment Ringkasan Eksekutif

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS

BAB II METODE PENELITIAN. dikenal dengan nama PAR atau Participatory Action Risearch. Adapun

MENINJAU KEMBALI WACANA COMMUNITY DEVELOPMENT

BAB III METODE DAN STRATEGI PENDAMPINGAN. PAR (Participatory Action Research). Metode PAR (Participatory Action

PENAFSIRAN DAN ANALISIS CEPAT (Quick Interpretation and Analysis) Citra Satelit CRISP

Anggaran dari negara juga diperbolehkan untuk mengontrak rumah bagi korban, bantuan. Negara Ganti Rugi Korban Lumpur Lapindo RP 1.

I. PENDAHULUAN. keterbelakangan ekonomi, yang lebih dikenal dengan istilah kemiskinan, maka

BUPATI TULUNGAGUNG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TULUNGAGUNG NOMOR 81 TAHUN 2014 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 10 TAHUN 2010

Pekerjaan Sosial PB :

ARAH DAN KEBIJAKAN UMUM PENANGGULANGAN KEMISKINAN

Undang-Undang Penanggulangan Bencana No 24/2007 Lembaran Negara No 66, 2007

BAB II METODOLOGI PENDAMPINGAN. Menurut Yoland Wadworth sebagaimana di kutip Agus Afandi, PAR

BAB I PENDAHULUAN. Artinya, bagaimana partisipasi/keterlibatan masyarakat dalam penanggulangan bencana

BAB III LANDASAN TEORI

BUPATI PURBALINGGA PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR 26 TAHUN 2011 TENTANG PENJABARAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia berada di tiga lempeng tektonik dunia, yaitu: Lempeng Indo-

BAB I PENDAHULUAN. dalam menyiapkan kehidupan bangsa di masa depan. diberati oleh nilai-nilai. Hal ini terutama disebabkan karena pemuda bukanlah

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. memiliki wilayah yang sangat luas dan terdiri dari pulau pulau besar

BAB III LANDASAN TEORI

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB II METODOLOGI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. dan berada di jalur cincin api (ring of fire). Indonesia berada di kawasan dengan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Konteks Problematik Dewasa ini problematika lumpur belum juga menemui titik temu perubahan. Wilayah terdampak lumpur dalam radius beberapa kilometer pun harus menyingkir karena volume yang semakin banyak, dan diberikan ganti rugi atas pembangunan. Penyingkiran-penyingkiran pun dilakukan di Desa Gedang Porong, Desa Siring, Desa Ketapang dan beberapa desa lain di sekitarnya. Gejolak masyarakat semakin muncul ke permukaan seolah hanyut dalam siklus survival of the fittest. Mereka yang tidak siap dengan perubahan ini mengalami guncangan yang begitu hebat. Beberapa dari mereka mencoba bangkit dengan menjadi pedagang asongan di kerumunan kendaraan di Jalan Raya Surabaya-Malang yang kerap kali padat, atau menjadi tukang ojek dan pemandu wisata di tanggul lumpur lapindo, dan sebuah kenyataan pahit ketika perempuan-perempuan mereka menjajakan dirinya dengan alasan memenuhi kebutuhan hidup. Beberapa diantara anak-anak mereka harus menghadapi jauhnya akses pendidikannya. Atau bagaimana gangguan kesehatan harus mereka hadapi. Pemandangan pilu itu memang tidak tampak "sementara" memenuhi rongga kehidupan baru masyarakat Porong semenjak diturunkannya ganti rugi untuk merekonstruksi kehidupan mereka. Akan tetapi kenyataan bahwa lumpur itu

tidak akan berhenti hingga 10 tahun kedepan akan membangun peradaban baru penuh kepanikan. Sebuah implementasi buruk ketika pemerintah dan masyarakat membangun persepsi bahwa "tidak ada api jika tidak ada asap" bukan "bagaimana bersikap dengan api". Luapan lumpur lapindo juga berdampak secara langsung terhadap aktifitas masyarakat di sekitar semburan lumpur. Debit luapan lumpur yang cenderung mengalami peningkatan berakibat pada terendamnya beberapa desa atau kelurahan di sekitar semburan. Beberapa wilayah yang terendam, yaitu Desa Renokenongo, Desa Jatirejo, Desa Siring Kecamatan Porong, dan Desa Kedungbendo. Kemudian secara bertahap luapan lumpur terus menerjang ke wilayah Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera (perumtas) 1, Desa Mindi Kecamatan Porong, Desa Besuki, Desa Kedungcangkring dan Desa Pajarakan Kecamatan Jabon, serta pada akhirnya diperkirakan akan mengancam seluruh wilayah Kabupaten Sidoarjo dan daerah di sekitarnya. Mengarah pada fakta tersebutlah, dapat disimpulkan bahwa wilayahwilayah di sekitar Sidoarjo ini merupakan wilayah-wilayah yang rawan bencana. Jika tidak dilakukan upaya pencegahan atau bagaimana bersikap ketika mengalami guncangan bencana selanjutnya, maka korban fisik maupun psikis akan semakin banyak. Bencana lumpur lapindo memang sudah berlangsung sejak delapan tahun yang lalu. Namun puing-puing yang tersisa menjadi cerita panjang yang tidak berujung. Persoalan gangguan alam, dampak fisik dan sosialpun saling ambil bagian memenuhi ruang kehidupan masyarakat yang pelik dan dilematis.

Bagaimana tidak setiap harinya, lumpur masih terus menyembur hingga mencapai 150.000 liter kubik 1. Akibatnya tanah di sekitarnya dapat dimungkinkan untuk ambles dan memunculkan semburan baru di daerah-daerah sekitar lumpur. Selain itu tanggul penahan lumpur semakin meninggi dan akan berakibat fatal jika hujan terus menerus turun. Persoalan kesehatan pun menjadi masalah yang rentan dimana ditemukan bahwa dalam kandungan asap lumpur mengandung senyawa zat Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAH), senyawa organik yang berbahaya dan karsinogenik yang disinyalir sebagai penyebab kanker. Belum lagi lumpur yang dibuang ke Kali Porong, biota yang ada di sana juga akan tercemar dan mati. Itu memperparah kerusakan ekologi. Sampai saat ini belum dipastikan kapan semburan lumpur Lapindo ini akan berhenti atau bisa dihentikan. Bisa jadi semburan lumpur Lapindo ini akan berlangsung puluhan tahun. Maka selama itu pula logam berat dan PAH yang sangat berbahaya bagi manusia yang berasal dari perut bumi akan terus dikeluarkan. Gejolak yang terjadi yang meliputi kehidupan korban lumpur lapindo salah satunya adalah munculnya rentenirisasi sebagai bagian penyelamatan ekonomi pasca tenggelamnya mata pencaharian mereka, hal ini disinyalir karena kurangnya pengetahuan dan keterampilan mereka dalam mengelola ganti rugi dimana mayoritas dari korban lumpur itu memilih untuk membeli kebutuhan konsumtif ketimbang harus mempersiapkan diri untuk menghadapi lingkungan baru. Di samping itu munculnya persoalan yang melibatkan anak-anak di Desa Ketapang Tanggulangin menjadi fokus kajian utama peneliti karena dinilai sangat rentan, 1 Sumber data WALHI 2006

yakni munculnya pekerja anak, kenakalan remaja, perdagangan anak hingga pada persoalan pendidikan di masa-masa transisi sekolah yang harus dipindahkan. Kegiatan pengurangan risiko bencana yang dimandatkan oleh Undangundang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana harus terintegrasi ke dalam program pembangunan, termasuk dalam sektor pendidikan. Ditegaskan pula dalam undang-undang tersebut bahwa pendidikan menjadi salah satu faktor penentu dalam kegiatan pengurangan risiko bencana. Pendidikan ini dinilai penting karena memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat, terutama masyarakat korban lumpur lapindo. Pendidikan dapat dijadikan langkah strategis dalam menyelesaikan akar masalah dalam bencana. Pendidikan tanggap bencana merupakan sebuah gagasan yang kini menjadi model pemberdayaan bagi masyarakat yang berada di wilayah terdampak bencana. Pendidikan nonformal ini dapat diwujudkan dengan menghimpun masyarakat dengan asset-asetnya kemudian dikerucutkan dalam langkah strategis yang tujuannya adalah meminimalisir gejolak yang terjadi pasca bencana, mengingat penyelesaian bencana lumpur lapindo ini belum menemui titik ujung, bahkan masih memunculkan problem-problem baru di masyarakat yang jauh lebih kritis. Hal ini dapat diimplementasikan dengan menciptakan sebuah komunitas yang mampu dalam mengenali ancaman di wilayahnya, mengorganisir sumber daya masyarakat untuk mengurangi kerentanan dan sekaligus meningkatkan kapasitas dalam mengurangi risiko bencana.

B. Fokus Masalah Pendampingan Dalam berbagai kasus, korban bencana memang menjadi organ paling vital dan sensitif dalam merespon kondisi yang "berbeda" pasca terjadinya bencana. Seringkali mereka beranggapan bahwa ia sedang melayang di alam mimpi, ketika rumah-rumah, sekolah, kuburan kakek-neneknya tergenangi lautan pekat. Tidak jarang anak-anak menghadapi tekanan psikis, entah traumatik dalam mendengar atau melihat hal-hal tertentu atau merasakan ketakutan berlebih ketika menghadapi hal yang hampir mirip dengan yang terjadi. Penanganan sosial lumpur lapindo memang tidak sesederhana pemberian ganti rugi belaka. Tidak sedikit justru dengan itu muncullah problematika baru di kalangan masyarakat korban lumpur lapindo yang lebih besar lagi pengaruhnya. Akan tetapi, membangun peradaban baru yang sesuai hendaknya menjadi hal yang harus dipikirkan. Bagaimana bersikap ketika sewaktu-waktu kondisi yang awalnya tenang seketika berubah drastis. Ada kenyataan yang sangat miris, ketika kondisi yang "berbeda" ini mengakibatkan beberapa anak dijual untuk dipekerjakan sebagai PSK di tretes Pasuruan. Umumnya mereka disuruh orang tua mereka untuk menambal uang penghidupan yang tidak semasyhur dahulu. Pendidikan tanggap bencana, terutama melibatkan kelompok rentan dalam mengembangkan kemampuan "penyelamatan diri" sekaligus "pemulihan" pasca bencana bukanlah perkara yang mudah atau hal yang cukup dilakukan beberapa kali saja, melainkan perlu adanya tindakan continuing sehingga diharapkan bahwa masyarakat akan bergerak tanggap atas keadaannya yang darurat.

Kehadiran Yayasan Tanggul Bencana Indonesia di beberapa sekolah di wilayah terdampak lumpur lapindo beberapa waktu yang lalu merupakan sebuah gebrakan yang inspiratif bagi pengembang masyarakat dalam mengembangkan model pemberdayaan bagi masyarakat terdampak bencana. Pemulihan psikologis, pelatihan-pelatihan pada anak-anak terutama hingga penguatan kapasitas building melalui ORARI (Organisasi Radio Amatir Republik Indonesia) sebagai alat komunikasi antar local leader menciptakan semangat baru meskipun hanya sementara dinikmati. Namun kegiatan tersebut kini mandek tanpa diketahui penyebabnya. Mengingat masyarakat terutama anak-anak masih membutuhkan model pemberdayaan semacam ini, terutama memberikan penyadaran bahwa bencana dan perubahan adalah siklus dari kehidupan manusia sehingga gejolak akan mudah sekali diminimalisir. Adapun fokus pendampingan yang dilakukan fasilitator dalam merespon problematika pasca bencana dapat di sistematiskan sebagaimana berikut: 1. Bagaimana dampak luapan lumpur lapindo terhadap masyarakat Desa Ketapang terutama pasca relokasi sehingga memunculkan kerentanan? 2. Bagaimana strategi pendampingan tanggap bencana berbasis komunitas di desa Ketapang menggunakan pendekatan Participatory Rural Apprasial? 3. Bagaimana solusi dalam mengembangkan pendampingan tanggap bencana berbasis masyarakat di desa Ketapang?

C. Tujuan Pendampingan 1. Menganalisis problematika di balik bencana lumpur lapindo pasca semburan dan pasca relokasi di Desa Ketapang. 2. Menganalisa langkah-langkah strategis dalam mengembangkan pengetahuan kebencanaan berbasis masyarakat melalui komunitas strategis. 3. Mengembangkan pendidikan tanggap bencana bersama masyarakat. D. Pendekatan Pendampingan Pendampingan dan penelitian ini menggunakan pendekatan Participatory Rural Apraisal (PRA). Orientasi PRA adalah untuk memfasilitasi atau meningkatkan kesadaran masyarakat dan kemampuan mereka untuk menangkap isu atau persoalan. Perhatian khusus dilakukan agar masyarakat lokal dapat melakkan analisi secara mandiri serta menyampaikan pengamatannya. Peran peneliti menjadi katalis, bukan sebagai ahli. Peningkatan kesadaran dan pengetahuan masyarakat lokal ditujukan untuk memberdayakan masyarakat sehingga PRA sejalan dengan konsepsi dasar tentang pembanunan berkelanjutan (pemberdayaan masyarakat lokal, persamaan, dan keadilan sosial). Pada intinya Participatory Rural Appraisal (PRA) adalah sekelompok pendekatan atau metode yang memungkinkan masyarakat desa untuk saling berbagi, meningkatkan, dan menganalisis pengetahuan mereka tentang kondisi dan kehidupan desa, serta membuat rencana dan tindakan nyata. Metode tersebut dipandang telah memiliki teknis-teknis yang dijabarkan cukup operasional dengan konsep bahwa keterlibatan masyarakat sangat diperlukan dalam seluruh kegiatan. Pendekatan Participatory Rural Appraisal

(PRA) memang bercita-cita menjadikan masyarakat menjadi peneliti, perencana, dan pelaksana pembangunan dan bukan sekedar obyek pembangunan. Tekanan aspek penelitian bukan pada validitas data yang diperoleh, namun pada nilai praktis untuk pengembangan program itu sendiri. Penerapan pendekatan dan teknik PRA dapat memberi peluang yang lebih besar dan lebih terarah untuk melibatkan masyarakat. Selain itu melalui pendekatan PRA akan dapat dicapai kesesuaian dan ketepatgunaan program dengan kebutuhan masyarakat sehingga keberlanjutan (sustainability) program dapat terjamin. 2 Konsep dasar pengurangn resiko bencana yang menjadi ikhtiar untuk mengurangi resiko bencana (risk) dengan memperkuat kapasitas masyarakat (capacity) sehingga bisa mengurangi kerentanan (vulnerability) yang dimiliki dalam menghadapi bahaya (hazard) digambarkan dengan konsep kerentanan menjadi perhatian dan pendekatan penghidupan berkelanjutan. Kerentanan mencakup beberapa aspek yaitu shock (guncangan), musiman (seasonality), kecenderungan (trends), dan perubahan (changes). Dalam konteks lapangan, kajian atas resiko, bahaya, kerentanan dan kapasitas yang bertolak dari persamaan bencana relevan untuk secara spesifik untuk bidang penghidupan. Secara umum, teknik yang digunakan bertumpu pada teknik kajian pedesaan partisipatif (PRA) yang dikembangkan dengan perspektif kebencanaan menjadi kajian risiko bencana partisipatif. 2 http://www.ar.itb.ac.id/wdp/wp-content/uploads/2007/04/1-pra-indonesia.pdf (Akses upload : 23 Agustus 2014)

Untuk mendapatkan kinerja yang baik di dalam evaluasi pembangunan dengan menggunakan metode Participatory Rural Appraisal (PRA), para praktisi dan fasilitator perlu mengikuti prinsip-prinsip dasar. Ada beberapa prinsip yang ditekankan dalam Participatory Rural Appraisal (PRA), antara lain: 1. Saling belajar dari kesalahan dan berbagi pengalaman dengan masyarakat. 2. Keterlibatan semua anggota kelompok, menghargai perbedaan, dan informal. 3. Orang luar sebagai fasilitator dan masyarakat sebagai pelaku. 4. Konsep triangulasi 5. Optimalisasi hasil 6. Berorientasi praktis 7. Keberlanjutan program 8. Mengutamakan yang terabaikan 9. Pemberdayaan (Penguatan) masyarakat 10. Santai dan informal 11. Keterbukaan Karena tujuan penerapan metode PRA adalah pengembangan program bersama masyarakat, penerapannya perlu senantiasa mengacu pada siklus pengembangan program. Gambaran umum siklus tersebut secara ringkas adalah sebagai berikut 3 : 3 http://id.shvoong.com/humanities/1947728-participatory-rural-appraisal-pra/ (Akses Upload: 23 Agustus 2014)

a. Pengenalan masalah/kebutuhan dan potensi, dengan maksud untuk menggali informasi tentang keberadaan lingkungan dan masyarakat secara umum. b. Perumusan masalah dan penetapan prioritas guna memperoleh rumusan atas dasar masalah dan potensi setempat. c. Identifikasi alternatif pemecahan masalah atau pengembangan gagasan guna membahas berbagai kemungkinan pemecahan masalah melalui urun rembug masyarakat. d. Pemilihan alternatif pemecahan yang paling tepat sesuai dengan kemampuan masyarakat dan sumber daya yang tersedia dalam kaitannya dengan swadaya. e. Perencanaan penerapan gagasan dengan pemecahan masalah tersebut secara konkrit agar implementasinya dapat secara mudah dipantau. f. Penyajian rencana kegiatan guna mendapatkan masukan untuk penyempurnaannya di tingkat yang lebih besar. g. Pelaksanaan dan pengorganisasian masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan tingkat perkembangan masyarakat. h. Pemantauan dan pengarahan kegiatan untuk melihat kesesuaiannya dengan rencana yang telah disusun. i. Evaluasi dan rencana tindak lanjut untuk melihat hasil sesuai yang diharapkan, masalah yang telah terpecahkan, munculnya massalah lanjutan, dll.

E. Sistematika Pelaporan BAB I Pendahuluan Pada bad ini merupakan bab yang mengawali tentang judul proposal skripsi yang diangkat oleh penulis: konteks problematik, fokus masalah pendampingan, tujuan pendampingan dan pendekatan pendampingan. BAB II Deskripsi Lokal Desa Ketapang Pada bab ini penulis memaparkan kondisi umum Desa Ketapang pra dan pasca semburan lumpur Lapindo. Sehingga diharapkan dalam menganalisa problem yang ada akan semakin mendalam dan terarah. BAB III Analisa Problematik Desa Ketapang Pada bab ini penulis memaparkan hasil Focus Group Discussion maupun hasil pengamatan secara subyektif dalam memahami persoalan yang dihadapi masyarakat Desa Ketapang pasca semburan lumpur Lapindo dan pasca relokasi. BAB IV Perencanaan Program Dan Aksi Dalam bab ini berisi tentang menyadurkan konsep kebencanaan dalam konsep Participatory Rural Apraisal (PRA) dalam menyusun langkah-langkah perencanaan hingga terimplementasikan dalam aksi bersama masyarakat BAB V Analisa Reflektif Di bab ini berisi tentang hasil perubahan yang muncul setelah pemberdayaan dilakukan. Analisa reflektif juga berisi tentang kajian hasil pendampingan dalam konsep kebencanaan, islam dan dakwah bil hal.

BAB VI Kesimpulan dan Penutup Pada bab ini penulis memaparkan tentang pelajaran yang dapat dipetik dari proses pendampingan dan rekomendasi-rekomendasi yang dapat diajukan sebagai kajian keilmuan di kemudian hari.