APLIKASI PENGINDERAAN JAUH UNTUK BENCANA GEOLOGI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Ringkasan Materi Seminar Mitigasi Bencana 2014

ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Jenis Bahaya Geologi

Dukungan Teknologi Penginderaan Jauh dalam Penilaian Sumberdaya Hutan Tingkat Nasional: Akses Citra Satelit, Penggunaan dan Kepentingannya

PEMANFAATAN CITRA IKONOS UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERUSAKAN BANGUNAN AKIBAT GEMPA BUMI. Oleh : Lili Somantri

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

Definisi dan Jenis Bencana

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Contents BAB I... 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pokok Permasalahan Lingkup Pembahasan Maksud Dan Tujuan...

LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 15 TAHUN 2011 TANGGAL : 9 SEPTEMBER 2011 PEDOMAN MITIGASI BENCANA GUNUNGAPI

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Kemampuan Tampungan Sungai Code Terhadap Material Lahar Dingin Pascaerupsi Gunungapi Merapi Tahun 2010

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 7. MENGANALISIS MITIGASI DAN ADAPTASI BENCANA ALAMLATIHAN SOAL 7.2

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Pemodelan Aliran Lahar Menggunakan Perangkat Lunak LAHARZ Di Gunung Semeru, Jawa Timur

Beda antara lava dan lahar

BAB I PENDAHULUAN. letusan dan leleran ( Eko Teguh Paripurno, 2008 ). Erupsi lelehan menghasilkan

BAB I PENDAHULUAN. tindakan dalam mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat suatu bencana.

BAB I PENDAHULUAN. sehingga masyarakat yang terkena harus menanggapinya dengan tindakan. aktivitas bila meningkat menjadi bencana.

BAB II DISASTER MAP. 2.1 Pengertian bencana

6.padang lava Merupakan wilayah endapan lava hasil aktivitas erupsi gunungapi. Biasanya terdapat pada lereng atas gunungapi.

BAB I PENDAHULUAN. samudra Hindia, dan Samudra Pasifik. Pada bagian selatan dan timur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis Indonesia terletak di daerah khatulistiwa dan melalui

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

STANDAR KOMPETENSI. kehidupan manusia. 1.Mendeskripsikan keragaman bentuk muka bumi, proses pembentukan dan dampaknya terhadap kehidupan.

BAB I PENDAHULUAN. termasuk wilayah pacific ring of fire (deretan Gunung berapi Pasifik), juga

BAB I PENDAHULUAN. tinggi. Secara historis, Indonesia merupakan Negara dengan tingkat

BAB I PENDAHULUAN. pada radius 4 kilometer dari bibir kawah. (

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

DAFTAR ISI. Sambutan Rektor Institut Teknologi Bandung i. Prakata- Majelis Guru Besar Institut Teknologi Bandung iii. Sambutan-Dewan Editorial v

Penyebab Tsunami BAB I PENDAHULUAN

BAB III LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

2015, No Indonesia Tahun 1997 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3676); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2012 tentang Keselamatan da

penginderaan jauh remote sensing penginderaan jauh penginderaan jauh (passive remote sensing) (active remote sensing).

BAB VII PENATAAN RUANG KAWASAN RAWAN LETUSAN GUNUNG BERAPI DAN KAWASAN RAWAN GEMPA BUMI [14]

BAB I PENGANTAR. menjadi dua yaitu bahaya primer dan bahaya sekunder. Bahaya primer

Oleh : Imron Bashori*, Prakosa Rachwibowo*, Dian Agus Widiarso (corresponding

Definisi dan Jenis Bencana

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang rawan terkena bencana geologi,

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG EVALUASI TAPAK INSTALASI NUKLIR UNTUK ASPEK KEGUNUNGAPIAN

Gambar 1.1 Jalur tektonik di Indonesia (Sumber: Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, 2015)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kondisi geografis Indonesia terletak pada busur vulkanik Circum Pacific and

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

I. PENDAHULUAN. dan berada di jalur cincin api (ring of fire). Indonesia berada di kawasan dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari 30 gunung api aktif terdapat di Indonesia dengan lereng-lerengnya dipadati

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

BAB I PENDAHULUAN. Permukaan Bumi mempunyai beberapa bentuk yaitu datar, berbukit. atau bergelombang sampai bergunung. Proses pembentukan bumi melalui

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL

Oleh: Bidang Lingkungan dan Mitigasi Bencana Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN

BAB II JENIS-JENIS BENCANA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara secara geografis terletak pada 1ºLintang Utara - 4º Lintang Utara dan 98 Bujur Timur Bujur

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

DAFTAR ISI. BAB III. DASAR TEORI 3.1. Seismisitas Gelombang Seismik Gelombang Badan... 16

TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa

Oleh: Dr. Darsiharjo, M.S.

I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dan dikepung oleh tiga lempeng utama (Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik),

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

IDENTIFIKASI LOKASI RAWAN BENCANA BANJIR LAHAR DI DAERAH ALIRAN SUNGAI PABELAN, MAGELANG, JAWA TENGAH

7.4. G. KIE BESI, Maluku Utara

BAB I PENDAHULUAN I.1. Judul Penelitian I.2. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN I-1

BAB I PENDAHULUAN. sampai Maluku (Wimpy S. Tjetjep, 1996: iv). Berdasarkan letak. astronomis, Indonesia terletak di antara 6 LU - 11 LS dan 95 BT -

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan letak astronomis, Indonesia terletak diantara 6 LU - 11 LS

BAB III LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. terbanyak di dunia dengan 400 gunung berapi, terdapat sekitar 192 buah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ISTILAH DI NEGARA LAIN

POTENSI KERUSAKAN GEMPA BUMI AKIBAT PERGERAKAN PATAHAN SUMATERA DI SUMATERA BARAT DAN SEKITARNYA. Oleh : Hendro Murtianto*)

BAB I PENDAHULUAN. terjangkau oleh daya beli masyarakat (Pasal 3, Undang-undang No. 14 Tahun 1992

Imam A. Sadisun Pusat Mitigasi Bencana - Institut Teknologi Bandung (PMB ITB) KK Geologi Terapan - Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian - ITB

Studi Pengaruh Lahar Dingin Pada Pemanfaatan Sumber Air Baku Di Kawasan Rawan Bencana Gunungapi (Studi Kasus: Gunung Semeru)

BAB I PENDAHULUAN I - 1

Penentuan Daerah Potensi Rawan Bencana Letusan Gunung Kelud Menggunakan Citra Satelit

BAB I PENDAHULUAN. (Undang-undang nomor 24 tahun 2007). Australia yang bergerak relative ke Utara dengan lempeng Euro-Asia yang

Bencana dan Pergeseran Paradigma Penanggulangan Bencana

Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai.

MITIGASI BENCANA ALAM TSUNAMI BAGI KOMUNITAS SDN 1 LENDAH KULON PROGO. Oleh: Yusman Wiyatmo ABSTRAK

BAB1 PENDAHULUAN. Krakatau diperkirakan memiliki kekuatan setara 200 megaton TNT, kira-kira

BAB I PENDAHULUAN. Sabuk Gempa Pasifik, atau dikenal juga dengan Cincin Api (Ring

BENTUKLAHAN ASAL VULKANIK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bersumber dari ledakan besar gunung berapi atau gempa vulkanik, tanah longsor, atau

Transkripsi:

APLIKASI PENGINDERAAN JAUH UNTUK BENCANA GEOLOGI M. Rokhis Khomarudin, Parwati, dan Suwarsono Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pendahuluan Indonesia adalah suatu negara yang terletak di ring of fire, kawasan yang sering terjadi bencana, dan sering juga disebut sebagai supermarket bencana. Suatu bencana jika dilihat dari sisi negatif, maka persepsi yang kita lihat adalah sebagai sesuatu yang merugikan, merusak, dan mengakibatkan korban jiwa yang sangat besar. Namun, jika kita lihat sebagai sumberdaya, maka bencana adalah sumberdaya riset yang tidak dimiliki oleh negara lain. Bencana akan menjadi suatu bagian yang menjadikan Indonesia unggul dalam bidang penelitian dan pengembangan kebencanaan. Tentunya, penelitian dan pengembangan ini ditujukan untuk mengurangi dampak dan resiko bencana yang ditimbulkan. Hal ini akan menjadikan Indonesia lebih kuat dan masyarakatnya sudah akrab dengan bencana. Resiko bencana akan menurun seriring dengan meningkatnya kapasitas masyarakat dalam menanggulangi bencana. Bencana alam merupakan suatu peristiwa alami yang menimbulkan dampak serius bagi manusia, seperti luka-luka atau hilangnya nyawa manusia, rusaknya properti (seperti rumah dan bangunan), rusaknya infrastruktur (seperti jalan, jembatan dan saluran irigasi), musnahnya lahan budidaya (seperti lahan pertanian). Bencana alam dikelompokkan menjadi bencana alam meteorologi, bencana alam geologi, dan bencana alam dari ruang angkasa. Bencana alam meteorologi berhubungan dengan cuaca dan iklim. Bencana geologi berhubungan dengan proses geologi, yaitu proses-proses yang berasal dari permukaan bumi (eksogen) atau di bawah permukaan bumi (endogen) yang melibatkan material batuan penyusunnya. Proses geologi bekerja membangun dan membentuk permukaan bumi. Bencana dari ruang angkasa (ekstra teritorial) adalah bencana akibat jatuhan benda dari langit (asteroid) yang sampai ke permukaan bumi atau bencana akibat gangguan badai matahari. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2014), tercatat bahwa bencana yang sering terjadi adalah bencana meteorologi seperti banjir dan kekeringan, karena hampir setiap tahun di beberapa wilayah Indonesia dilanda bencana ini. Namun, dari catatan yang ada, bencana yang paling mematikan dan menimbulkan korban Jiwa adalah bencana geologi. BNPB mencatat bahwa dampak bencana geologi terbesar yang menyebabkan lebih dari 200.000 jiwa meninggal adalah akibat bencana gempa dan tsunami di Aceh tahun 2004. Selain itu, bencana tsunami Pangandaran tahun 2006, letusan Gunung Merapi 2010, dan tsunami Mentawai 2010 juga merupakan akibat bencana geologi yang menyebabkan korban jiwa yang besar. Tidak seperti bencana meteorologi, bencana geologi lebih sulit untuk diprediksikan. Namun penentuan daerah bahaya dan beresiko dapat dilakukan dengan baik jika data spasialnya memadai. Demikian juga kerusakan dan dampak akibat kejadian bencana geologi dapat dipetakan dengan baik. Data yang dapat digunakan baik untuk penentuan daerah bahaya dan beresiko, dan juga kerusakan akibat bencana adalah penginderaan jauh. Tulisan ini akan menampilkan contoh-contoh

pemanfaatan penginderaan jauh untuk deteksi daerah bahaya, beresiko dan kerusakan akibat bencana geologi. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1979). Terdapat empat komponen dasar dari sistem penginderaan jauh, yaitu target, sumber energi, alur transmisi, dan sensor. Komponen dalam sistem ini bekerja bersama untuk mengukur dan mencatat informasi mengenai target tanpa menyentuh obyek tersebut. Sumber energi yang menyinari atau memancarkan energi elektromagnetik pada target mutlak diperlukan. Energi berinteraksi dengan target dan sekaligus berfungsi sebagai media untuk meneruskan informasi dari target kepada sensor. Sensor merupakan sebuah alat yang mengumpulkan dan mencatat radiasi elektromagnetik. Data yang terekam oleh sensor kemudian dikirimkan ke stasiun penerima dan diproses menjadi format yang siap pakai, diantaranya berupa citra. Citra ini kemudian diinterpretasi untuk menyarikan informasi mengenai target. Proses interpretasi dapat dilakukan secara visual maupun dijital /automatic dengan bantuan komputer dan perangkat lunak pengolah citra. Menurut Sutanto (1992), dengan bantuan citra penginderaan jauh, obyek suatu daerah dan gejala di permukaan bumi dapat digambarkan dengan wujud dan letak obyek yang mirip dengan wujud dan letaknya di permukaan bumi, relatif lengkap, meliputi daerah yang luas, dan permanen. Satelit penginderaan jauh memiliki beberapa karakteristik, yang meliputi sistem sensor, resolusi, lebar sapuan, dan sistem orbit. Terdapat dua sistem sensor dalam penginderaan yaitu sensor optis dan sensor radar. Hal yang membedakan kedua sensor adalah pada sistem energi yang direkam oleh sensor satelit. Jikalau sensor optis (pasif) merekam hasil pemantulan objek oleh sinar matahari, sensor radar (aktif) menerima hamburan balik (backscatter) dari obyek yang asal energinya berasal dari satelit radar. Terdapat empat resolusi yang sering digunakan dalam menerangkan data penginderaan jauh. Resolusi spasial, temporal, radiometrik, dan spektral. Resolusi spatial adalah ukuran permukaan bumi yang digambarkan dalam satu pixel citra satelit, resolusi temporal adalah frekuensi satelit untuk memotret suatu wilayah yang sama, dan resolusi radiometrik menentukan seberapa bagus suatu sistem untuk dapat membedakan intensity-nya. Biasanya ditunjukkan dengan satuan bit, seperti 8 bit, 10 bit, dan lain-lain. Resolusi spektral menunjukkan jumlah kanal atau saluran yang dimiliki oleh satelit, yang menunjukkan kisaran spektral tertentu pada setiap kanalnya. Lebar permukaan bumi yang dapat direkam oleh satelit, biasanya tergantung dari ketinggian orbit satelit dari permukaan bumi, semakin tinggi letak satelit, semakin lebar permukaan bumi yang dapat direkam. Terdapat beberapa sistem orbit yang dikenal di penginderaan jauh, yaitu orbit polar, orbit ekuatorial, dan orbit tetap (geostationer). Orbit polar adalah suatu lintasan satelit dari kutub ke kutub yang ada di bumi dan orbit ekuatorial adalah suatu lintasan satelit yang sejajar dengan garis equator. Orbit geostationer adalah berorbit tetap, biasanya memiliki ketinggian 35.800 km.

Seiring dengan perkembangan teknologi, citra satelit berkembang dengan sangat pesat dari resolusi spasial yang sangat rendah sampai dengan sangat tinggi. Aplikasinya juga berkembang dari aplikasi cuaca, pemetaan sumberdaya alam, hingga perencanaan tata ruang perkotaan. Teknik/metode-pun berkembang dengan cepat dari teknik klasifikasi berbasiskan pixel, subpixel hingga berbasiskan objek. Perkembangan ini juga ditunjang dengan perkembangan teknologi pengolah data yang semakin memudahkan pengguna untuk menganalisa citra satelit yang diperoleh. Sampai saat ini, terdapat citra yang mampu merekam dengan resolusi spasial hingga mencapai 0.3 meter (citra World View 3). Dengan menggunakan citra ini, obyek manusia yang sedang berjalan kaki dapat diamati dengan mudah. Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh untuk Deteksi Bencana Alam Secara prinsip, setiap obyek dan fenomena alam yang berada di ruang permukaan bumi dapat dideteksi dari citra satelit. Jadi, bencana alam, baik obyek yang dikenainya dan fenomena yang menyertainya dapat terekam oleh satelit yang melintas di atasnya. Kemampuan citra satelit dalam mendeteksinya sangat tergantung dari resolusinya, baik spasial, spektral, radiometrik, dan temporal. Seperti telah dijelaskan di depan, bencana geologi berhubungan dengan proses geologi, yaitu prosesproses yang berasal dari permukaan bumi (eksogen) atau di bawah permukaan bumi (endogen) yang melibatkan material batuan penyusunnya. Letak Indonesia yang berada pada pertemuan antar lempeng tektonik menjadi penyebab utama Indonesia rawan terjadi bencana geologi. Bencana geologi yang sering melanda wilayah Indonesia meliputi erupsi gunungapi, gerakan tanah (tanah longsor), gempa bumi dan tsunami. a) Erupsi Gunungapi Gunungapi merupakan suatu entitas di permukaan bumi yang terbentuk secara alami, menempati suatu wilayah dan menunjukkan gejala-gejala yang unik & spesifik (vulkanisme). Erupsi adalah peristiwa keluarnya magma dari dalam bumi. Erupsi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu Erupsi Letusan (Explosive Eruption) dan Erupsi Non-letusan (Non-explosive Eruption). Jenis erupsi yang terjadi dipengaruhi oleh banyak faktor seperti kekentalan magma, kandungan gas di dalam magma, pengaruh air tanah serta kedalaman dapur magma (magma chamber). Produk-produk ekstrusif akibat erupsi vulkanik, yang seringkali menimbulkan bencana, akan terekam oleh sensor satelit, baik optis maupun radar. Terkait dengan erupsi gunungapi, citra penginderaan jauh dapat dimanfaatkan untuk mendeteksi: Sebaran asap letusan yang menyebar di atmosfer, Endapan piroklastik, Sebaran lava pijar, Sebaran lahar dingin, Deformasi kepundan.

Informasi tersebut di atas sangat diperlukan khususnya pada fase tanggap darurat bencana. Selain itu, dari citra penginderaan jauh dapat diperoleh juga informasi kondisi penutup lahan, bentuklahan, pola aliran, jenis batuan penyusun (litologi) dan struktur geologi. Informasi ini merupakan data masukan untuk analisis daerah rawan bahaya, kerentanan bencana dan untuk analisis resiko bencana. Gambar 1. Kejadian erupsi G.Sangeangapi di Nusa Tenggara Timur pada tanggal 31 Mei 2014 yang terekam oleh satelit Terra dan Aqua MODIS. (Gambar diambil dari website: www.lapan.go.id) Kejadian erupsi G.Sangeangapi di Nusa Tenggara Timur pada tanggal 31 Mei 2014 yang terekam oleh satelit Terra dan Aqua MODIS diperlihatkan pada Gambar 1. Dari citra tersebut, dapat dideteksi arah dan sebaran asap yang dihasilkan (tampak berwarna kecoklatan). Bencana ini telah menganggu transportasi udara (pesawat) yang menuju dan berasal dari Bima, Kupang serta Darwin. Gambar 2 memperlihatkan peristiwa erupsi yang sama yang direkam secara lebih detil dari citra Landsat-8.

Gambar 2. Kejadian erupsi G.Sangeangapi di Nusa Tenggara Timur yang terekam oleh satelit Landsat-8 tanggal 1 Juni 2014. (Gambar diambil dari website: www.lapan.go.id) Pada fase kesiapsiagaan, sangat diperlukan informasi daerah rawan bahaya, kerentanan bencana dan analisis resiko bencana. Dalam untuk memenuhi kebutuhan informasi ini, data citra penginderaan jauh memainkan peranan penting. Gambar 3 memperlihatkan citra Landsat-7 ETM+ dan DEM - SRTM (Digital Elevation Model Shuttle Radar Topography Mission) yang dapat dipergunakan untuk mengetahui sebelum erupsi seperti penutup lahan, morfologi, serta daerah rawan bencana. Memahami karakter letusan G. Sangeangapi yang bersifat eksplosif, morfologi stratovolcanic yang menempati satu kesatuan pulau, serta bekas-bekas erupsi sebelumnya, maka dapat diperoleh pemahaman bahwa apabila terjadi erupsi, proses evakuasi penduduk keluar dari pulau perlu dilakukan apabila terjadi tanda-tanda peningkatan aktivitas vulkanisme.

Gambar 3. Citra Landsat-7 ETM+ dan DEM - SRTM (Digital Elevation Model Shuttle Radar Topography Mission) menggambarkan kondisi wilayah sebelum kejadian erupsi. (Gambar diambil dari website: www.lapan.go.id). Informasi deformasi kubah lava dan kawah sangat penting diketahui untuk mengetahui perubahan bentuk kubah serta kawah akibat erupsi. Pemahaman tersebut diperlukan untuk mengetahui pola dan karakter erupsi serta penting untuk memprediksi erupsi berikutnya. Citra SAR (Synthetic Aperture Radar) sangat handal diperlukan untuk analisis ini. Gambar 4 memperlihatkan citra TerraSAR-X Gunungapi Kelud yang menunjukkan hancurnya kubah lava akibat letusan yang eksplosif. b) Tanah Longsor Gambar 4. Hancurnya kubah lava G. Kelud akibat letusan eksplosif yang teramati dari citra Terra- SAR-X.. (Gambar diambil dari website: www.lapan.go.id). Tanah longsor merupakan salahsatu jenis gerakan massa tanah atau batuan, atau percampuran keduanya, menuruni atau keluar lereng akibat dari terganggunya kestabilan tanah atau batuan penyusun lereng tersebut (BAKORNAS PB, 2007). Pada dasarnya, penyebab terjadinya longsor adalah adanya gaya gravitasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya longsor adalah geologi, tata guna lahan, topografi dan kegempaan. Terdapat enam tipe tanah longsor, yaitu: longsoran transisi, longsoran rotasi, pergerakan blok, runtuhan batuan, rayapan tanah, dan aliran bahan rombakan. Tipe tanah longsor aliran bahan rombakan identik dengan istilah banjir bandang, yaitu banjir yang disertai dengan longsoran. Analisis daerah rawan longsor, kajian kerentanan longsor serta analisis resiko bencana tanah longsor dapat dilakukan dengan dukungan data penginderaan jauh. Dalam hal ini, informasi masukan dapat diperoleh dari analisis citra. Informasi tersebut meliputi: penutup lahan, morfologi, tanah, geologi, serta curah hujan. Pada proses tanggap darurat bencana, pada banyak kasus, endapan hasil longsoran dan dampak kerusakan yang ditimbulkannya dapat diamati dengan jelas dari citra satelit. Gambar 5 memperlihatkan hasil pengamatan tanah longsor di Desa Cikangkareng Kecamatan Cibinong Kabupaten Cianjur. Citra yang dipergunakan adalah IKONOS yang memiliki resolusi spasial hingga 1 meter. Pada gambar diperlihatkan kondisi sebelum longsor dan setelah longsor. Pada resolusi tersebut dapat diketahui luas wilayah terkena longsoran, berapa jumlah rumah yang hancur tertimpa material longsoran, berapa panjang jalan yang terputus, serta luas lahan tanaman yang hancur. Dari informasi ini dapat juga diperkirakan jumlah korban manusia yang mungkin tertimpa longsoran, yaitu diprediksi dari jumlah rumah yang hancur. Satu informasi penting lainnya adalah dapat diketahui potensi longsoran yang akan terjadi, yaitu diindikasikan oleh adanya bukaan calon

longsoran (pada gambar disimbolkan dengan arah panah). Jadi, informasi dari citra ini sangat bermanfaat selain untuk mendukung upaya mitigasi bencana, juga untuk penyusunan program rehabilitasi rekonstruksi serta untuk kesiapsiagaan terhadap potensi bencana berikutnya. Gambar 5. Tanah longsor di Ds. Cikangkareng Cianjur yang teramati dari citra IKONOS. c) Gempa Bumi dan Tsunami Gempa bumi adalah berguncangnya bumi yang disebabkan oleh tumbukan antar lempeng bumi, patahan aktif, aktivitas gunungapi atau runtuhan batuan. Gempa bumi merupakan peristiwa pelepasan energi yang menyebabkan dislokasi (pergeseran) pada bagian dalam bumi secara tiba-tiba Penyebab gempa bumi dapat berasal dari proses tektonik-pergerakan kulit/lempeng bumi, aktivitas sesar di permukaan bumi, pergerakan geomorfologi secara lokal, aktivitas gunungapi, atau ledakan nuklir. Tsunami diartikan sebagai gelombang laut dengan periode panjang yang ditimbulkan oleh gangguan impulsif dari dasar laut. Gangguan impulsif tersebut bisa berupa gempabumi tektonik, erupsi vulkanik atau longsoran (BAKORNAS PB, 2007). Peristiwa gempa bumi dan tsunami ini mulai menghebohkan sejak peristiwa di Aceh, 26 Desember 2004 yang menimbulkan bencana maha dahsyat. Sampai ini, data penginderaan jauh belum mampu dipergunakan untuk mendeteksi parameter gempa bumi maupun tsunami seperti waktu kejadian, lokasi pusat gempa bumi di permukaan (episentrum), kedalaman sumber gempa, kekuatan/magnitudo gempa bumi, serta intensitas gempa bumi. Namun, citra penginderaan jauh sangat bermanfaat untuk mengetahui dampak dari gempa bumi dan tsunami, yaitu kerusakan yang ditimbulkannya. Selain itu, data penginderaan jauh sangat mendukung analisis bahaya, kerentanan dan resiko tsunami.

Gambar 6. Dampak gempa bumi dan tsunami di Aceh, 26 Desember 2004 diamati dari citra IKONOS. Gambar kiri adalah kondisi sebelum bencana dan kanan adalah setelah bencana. Gambar 7. Dampak gempa bumi dan tsunami di Aceh, 26 Desember 2004 diamati dari citra Quickbird. Gambar kiri adalah kondisi sebelum bencana (perekaman 3 Juni 2004) dan kanan adalah setelah bencana (perekaman 28 Desember 2004). Penentuan Daerah Bahaya dan Resiko Bencana Bahaya gunung api di Indonesia umumnya berupa bahaya primer (misalnya: aliran lava, piroklastik) dan bahaya sekunder (aliran lahar dingin). Lava adalah materi erupsi gunung api yang berupa zat cair yang umumnya keluar secara meleleh (effusif). Aliran piroklastik yang dikenal ilmiah sebagai kepadatan arus piroklastik (PDC) adalah aliran yang bergerak sangat cepat berupa gas panas (yang dapat mencapai suhu sekitar 1000 C (1830 F)) dan batuan (secara kolektif dikenal sebagai tephra), dengan kecepatan umumnya mencapai 700 km / h (450 mph). Lahar dingin dihasilkan dari interaksi antara penumpukan material letusan dengan curah hujan yang jatuh. Lahar dingin merupakan aliran sedimen pekat yang terdiri atas batu, kerikil, pasir serta abu vulkanik yang tercampur air. Bahaya gunungapi ini memiliki resiko yang sangat tinggi, jika terjadi di wilayah yang padat penduduk dan banyak infrastruktur yang penting di daerah tersebut. Oleh karena itu, dipandang sangat penting untuk dapat memetakan zona bahaya akibat letusan gunung api tersebut. Setelah itu, pada daerah bahaya dapat dilihat berapa jumlah penduduk sebagai objek yang rentan terhadap bahaya, dan juga infrastuktur apa sajakah yang ada di zona bahaya. Hingga akhirnya peta dan analisa resiko dapat dilakukan dengan mengintegrasikan zona bahaya dan kerentanan gunung api. Salah satu metode pendekatan untuk zonasi bahaya gunung api berdasarkan data penginderaan jauh adalah metode probabilistik yang dikembangkan oleh Felpeto et al (2007) melalui framework Sistem

Informasi Geografis (SIG) yang dinamakan Volcano Risk Information System (VORIS). Melalui VORIS dapat dilakukan skenario pemetaan zona bahaya gunung api berdasarkan model probabilistic simulasi numerik aliran lava, Pyroclastic Density Current (PDC), dan sebaran debu volkanik..pada prinsipnya model probabilistik aliran material erupsi mengasumsikan topografi sebagai faktor utama yang menentukan jalannya aliran (Felpeto et al 2007). Model probabilistik yang digunakan adalah algoritma Monte Carlo dimana aliran hanya dapat menyebar dari sel satu ke sel lain pada 8 sel tetangga, jika selisih tinggi topografinya positif. Peluang untuk aliran berpindah dari satu sel ke sel tetangga yang lain sebanding dengan selisih topografi tersebut. Selain itu, ada model simulasi aliran pyroclastic yaitu model Energy Cone yang merupakan model simulasi potensi maksimum suatu wilayah terpengaruh oleh PDC. Model Energy Cone menggunakan konsep 'energi garis/energy line' yang menghubungkan lokasi sumber fenomena tersebut dengan jarak batas deposit aliran. Model ini sangat praktis untuk digunakan dalam memberikan peringatan zonasi bahaya secara cepat dalam kondisi darurat Malin and Sheridan (1982). Gambar 1a merupakan citra satelit SPOT-4 di sekitar wilayah Gunung Merapi tanggal 26 Juni 2009 sebelum kejadian letusan besar yaitu tahun 2010. Berdasarkan analisis geomorfologi dan interpretasi citra dari rona, tekstur, pola, dan topografi yang terbentuk dari visualisasi citra, maka dapat diidentifikasi daerah yang berpotensi sebagai aliran lava serta penutup lahan berupa vegetasi, lahan pertanian, dan permukiman. Aplikasi metode probabilistik dengan data penginderaan jauh dalam penentuan wilayah yang berpotensi terkena aliran erupsi ditunjukkan oleh Gambar 1b dan 1c. Gambar 1b merupakan hasil simulasi peluang aliran material erupsi dari data DEM-SRTM, sedangkan Gambar 1c dari data DEM PALSAR. Aplikasi model Energy Cone dapat ditunjukkan oleh Gambar 1d yang dibandingkan dengan peta referensi, dimana akurasinya mencapai sekitar 77 % (Yulianto et al, 2014) Gambar 1a. Peta Citra satelit SPOT-4 Gunung Merapi tahun 2009 dan interpretasinya. Gambar 1b. Tingkat peluang aliran material erupsi Gunung Merapi dari data DEM-SRTM (Parwati et al, 2012)

Gambar 1c. Tingkat peluang aliran material erupsi Gunung Merapi dari data DEM-PALSAR (Yulianto et al, 2014) Gambar 1d. Tingkat peluang aliran material erupsi (lava dan pyroklastik) Gunung Merapi data DEM-PALSAR dibandingkan dengan data referensi (Yulianto et al, 2014) Selain kegiatan penelitian dan pengembangan, LAPAN juga menghasilkan informasi yang berkaitan dengan aktifitas erupsi gunung api sebagai suatu informasi tanggap darurat bencana yang diberikan ke Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) dalam upaya penanganan bencana alam. Beberapa produk informasi tanggap darurat bencana erupsi gunung api diantaranya adalah pemantauan sebaran abu vulkanik, dan daerah terdampak erupsi. Referensi Malin MC, and Sheridan MF. 1982. Computer-Assisted mapping of pyroclastic surges. Science. 217:637 640 Felpeto, A., Matri, J., Ortiz, R., 2007. Automatic GIS-based system for volcanic hazard assessment. Journal of Volcanology and Geothermal Research 166 : 106 116. Yulianto, F, B. Tjahjono, S. Anwar, 2014. The applications of Monte Carlo algorithm and energy cone model to produce the probability of block-and-ash flows of the 2010 eruption of Merapi volcano in Central Java, Indonesia. Arabian Journal of Geosciences. DOI 10.1007/s12517-014-1525-5.

Parwati, F. Yulianto, M.R. Khomarudin, 2012. Aplikasi Model Probabilistik Dan Energy Cone Dalam Simulasi Zona Bahaya Gunung Api. Jurnal Geologi Indonesia. Vol VI no.1. Badan Geologi. ESDM. BAKORNAS PB. 2007. Pengenalan Karakteristik Bencana dan Upaya Mitigasinya di Indonesia Edisi II. Jakarta. Lillesand, T.M., and Kiefer, R.W. 1979. Remote Sensing and Image Interpretation. John. Wiley and Sons, Inc. New York Khomarudin, Munawar, Parwati, Priyatna M (ed). 2013. Pemanfaatan Penginderaan Jauh untuk Pemantauan Lingkungan dan Mitigasi Bencana. Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. Jakarta Sutanto. 1992. Penginderaan Jauh Jilid 1. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Trisakti B., Budhiman S., Parwati, Winanto, Noersyamsu, Khomarudin M (ed). 2014. Sistem Pemantauan Bumi Nasional, Wahana Untuk Memantau Kondisi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Menggunakan Data Penginderaan Jauh. Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. Jakarta