BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. yang semula hanya berfokus kepada pengelolaan obat (drug oriented)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

OTC (OVER THE COUNTER DRUGS)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesehatan merupakan suatu indikator yang menggambarkan tingkat

PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT SOSIALISASI MENGENAL OBAT AGAR TAK SALAH OBAT PADA IBU-IBU PENGAJIAN AISYIYAH PATUKAN AMBARKETAWANG GAMPING

Perpustakaan Unika LAMPIRAN- LAMPIRAN

BAB I PENDAHULUAN. suksesnya sistem kesehatan adalah pelaksanaan pelayanan kefarmasian (Hermawati, kepada pasien yang membutuhkan (Menkes RI, 2014).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LEBIH DEKAT DENGAN OBAT

PERAN APOTEKER DALAM PELAYANAN SWAMEDIKASI. Dra. Liza Pristianty,MSi,MM,Apt Fakultas Farmasi Universitas Airlangga PC IAI Surabaya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. diserahkan oleh apoteker di apotek (Asti dan Indah, 2004). The International

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kefarmasian oleh apoteker (Menkes RI, 2016). Apotek merupakan salah satu. mencegah dan menyembuhkan penyakit pada masyarakat.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Farmakoterapi I Diar dan konstipasi. Ebta Narasukma A, M.Sc., Apt

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit diare adalah salah satu penyebab utama kesakitan dan kematian pada

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

POLA PEMILIHAN OBAT SAKIT MAAG PADA KONSUMEN YANG DATANG DI APOTEK DI KECAMATAN DELANGGU SKRIPSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. atau dapat pula bercampur lendir dan darah/lendir saja (Ngastiyah, 2005). Pada

Pola buang air besar pada anak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Apotek merupakan suatu jenis bisnis retail (eceran) yang komoditasnya

BAB 1 PENDAHULUAN. anak di negara sedang berkembang. Menurut WHO (2009) diare adalah suatu keadaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan,

BAB 1 PENDAHULUAN. hijau atau dapat pula bercampur lendir dan darah (Ngastiyah, 1997). Hal ini

2. Bagi Apotek Kabupaten Cilacap Dapat dijadikan sebagai bahan masukan sehingga meningkatkan kualitas dalam melakukan pelayanan kefarmasian di Apotek

SMP JENJANG KELAS MATA PELAJARAN TOPIK BAHASAN VIII (DELAPAN) ILMU PENGETAHUAN ALAM (IPA) SISTEM PENCERNAAN MANUSIA

SISTEM PAKAR DIAGNOSA PENYAKIT DIARE (GASTROENTRITIS) DENGAN MENGGUNAKAN FORWARD CHAINING

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. masa pertumbuhan dan perkembangan yang dimulai dari bayi (0-1 tahun),

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DIARE Oleh: Astrie Rezky Defri Yulianti Intan Farah Diba Angela Juliana Nur Aira Juwita Risna Sri Mayani Syarifa Andiana Tri wardhana Yuvi Zulfiatni

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kesehatan anak merupakan salah satu masalah utama

BAB I PENDAHULUAN. disertai perubahan bentuk dan konsistensi tinja (Manalu, Marsaulina,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Swamedikasi atau pengobatan sendiri merupakan kegiatan pemilihan dan

BAB I PENDAHULUAN. tinggi. Survei morbiditas yang dilakukan oleh (Sub Direktorat) Subdit Diare,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

Resep. Penggunaan obat berlabel dan tidak berlabel Aspek legal. Pengertian Unsur resep Macam-macam resep obat

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Setiap tahun, diperkirakan terdapat 2 miliar kasus diare di seluruh dunia. Pada tahun 2004, diare menjadi penyebab kematian tertinggi ketiga di

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS IKLAN OBAT BEBAS DAN OBAT BEBAS TERBATAS PADA ENAM MEDIA CETAK YANG BEREDAR DI KOTA SURAKARTA PERIODE BULAN FEBRUARI-APRIL 2009

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Izin Apotek Pasal 1 ayat (a): Apotek adalah tempat tertentu, tempat dilakukan

BAB 1 PENDAHULUAN. buang air besar (Dewi, 2011). Penatalaksaan diare sebenarnya dapat. dilakukan di rumah tangga bertujuan untuk mencegah dehidrasi.

MAKALAH PERHITUNGAN DOSIS OBAT DISUSUN OLEH : VERTI AGSUTIN

BAB III METODE PENELITIAN. yang dilakukan terhadap sekumpulan objek yang bertujuan untuk melihat

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2. Bentuk setengah Padat contohnya salep,krim,pasta,cerata,gel,salep mata. 3. Bentuk cair/larutan contohnya potio,sirop,eliksir,obat tetes,dan lotio.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAGIAN 1: MENGAPA PERLU DETOKS?

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Lampiran 1 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2011

BAB I KONSEP DASAR. Gastroenteritis adalah peradangan dari lambung dan usus yang

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Seringkali, buang air besar yang berbentuk cair bukanlah diare. Hanya bayi yang

BAB 1 PENDAHULUAN. sehari (Navaneethan et al., 2011). Secara global, terdapat 1,7 miliar kasus diare

Pokok Bahasan: GASTROENTEROLOGI dan HEPATOLOGI Sakit perut berulang M. Juffrie

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Diare didefinisikan sebagai pengeluaran tinja yang cair dengan frekuensi

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif yaitu penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Self Medication menjadi alternatif yang diambil masyarakat untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. oleh infeksi saluran napas disusul oleh infeksi saluran cerna. 1. Menurut World Health Organization (WHO) 2014, demam tifoid

DIARE AKUT. Berdasarkan Riskesdas 2007 : diare merupakan penyebab kematian pada 42% bayi dan 25,2% pada anak usia 1-4 tahun.

BAB I Pendahuluan. I.1. Latar Belakang. Salah satu dari tujuan Millenium Development. Goal(MDGs) adalah menurunkan angka kematian balita

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Diare didefinisikan sebagai pengeluaran tinja yang cair dengan frekuensi

PEMILIHAN OBAT SECARA AMAN PADA KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT DALAM MENINGKATKAN KESEHATAN MASYARAKAT Oleh : Astri Widiarti

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melakukan pengindraan terhadap suatu obyek tertentu. Pengindraan terjadi

Gerakan Nasional Peduli Obat dan Pangan Aman (GNPOPA) Edukasi terkait OBAT pada Remaja dan Dewasa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Tips Mengatasi Susah Buang Air Besar

juga mendapat terapi salisilat. Pasien harus diberi pengertian bahwa selama terapi bismuth subsalisilat ini dapat mengakibatkan tinja berwarna hitam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Swamedikasi atau self medication adalah penggunaan obat-obatan tanpa

2 Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkot

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Apa Penyebab Diare? Penyebab diare pada bayi/anak dan dewasa ada yang berbeda. Penulis akan menjelaskan penyebab bayi/anak dan dewasa tersebut.

Penggolongan sederhana dapat diketahui dari definisi yang lengkap di atas yaitu obat untuk manusia dan obat untuk hewan. Selain itu ada beberapa

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. pekerjaan. Dari hasil penelitian yang dilakukan maka diperoleh hasil sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN. Sakit (illness) berbeda dengan penyakit (disease). Sakit berkaitan dengan

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anak merupakan individu yang berada dalam suatu rentang

BAB I PENDAHULUAN. makanan dicerna untuk diserap sebagai zat gizi, oleh sebab itu kesehatan. penyakit dalam dan kehidupan sehari-hari (Hirlan, 2009).

BAB II LANDASAN TEORI A. TINJAUAN PUSTAKA. Gejala penyerta dapat berupa mual, muntah, nyeri abdominal, mulas, demam,

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Apotek Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh apoteker (Depkes RI, 2014). Apotek merupakan tempat pengabdian dan praktek profesi apoteker dalam melakukan pekerjaan kefarmasian untuk membantu mewujudkan tercapainya derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Untuk menunjang fungsi tersebut apotek dituntut menyelenggarakan pelayanan farmasi yang berkualitas (Hartini dan Sulasmono, 2006). Dalam menjalani pekerjaan kefarmasian, apoteker dibantu oleh tenaga teknis kefarmasian yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker (Menkes RI, 2009). Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien (Depkes RI, 2014). Berdasarkan kewenangan pada peraturan perundang-undangan, pelayanan kefarmasian telah mengalami perubahan yang semula hanya berfokus kepada pengelolaan obat (drug oriented) berkembang menjadi pelayanan komprehensif meliputi pelayanan obat dan pelayanan farmasi klinik yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasin (Depkes RI, 2014). Pelayanan kefarmasian yang dapat dijumpai di apotek adalah pelayanan dengan resep dan tanpa resep atau dikenal sebagai swamedikasi. 8

2.2 Pelayanan Swamedikasi Pelayanan swamedikasi merupakan pelayanan terhadap pasien atau klien yang datang dengan keluhan gejala yang timbul atau dengan meminta suatu produk obat tertentu tanpa resep dari dokter. Swamedikasi berarti mengobati segala keluhan pada diri sendiri dengan obat-obatan yang dibeli bebas di apotek atau toko obat atas inisiatif sendiri tanpa nasehat dokter (Indriyanti, 2009). Pelayanan swamedikasi memiliki persentase yang lebih tinggi dibandingkan pelayanan resep, yaitu antara 20 70%. Sekarang ini, masyarakat akan berusaha mengatasi sendiri masalah kesehatannya yang sifatnya sederhana dan umum diderita. Hal itu dilakukan karena pengobatan sendiri (swamedikasi) dianggap lebih murah dan praktis. Kondisi seperti ini merupakan tantangan dan kesempatan bagi pemerintah, para tenaga kesehatan dan institusi yang menyediakan produk-produk untuk swamedikasi sehingga dapat mendukung tindakan swamedikasi secara tepat, aman dan rasional (BPOM, 2004; Depkes RI, 2006; Rinukti, 2005). Pada pelayanan swamedikasi terdapat beberapa profil pelayanan yang diberikan oleh petugas apotek kepada pasien swamedikasi yang terdiri dari patient assessment, rekomendasi, informasi obat dan informasi non farmakologi. 2.2.1 Patient assessment Patient assessment merupakan suatu penilaian terhadap keadaan pasien yang penting dilakukan untuk pertimbangan apoteker dalam penentuan identifikasi pasien sebelum membuat sebuah rekomendasi. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam pengambilan tindakan oleh apoteker sebelum konseling yang dijadikan referensi untuk rekomendasi adalah sejarah pengobatan, obat untuk siapa, umur pasien, penyebab sakit, durasi sakit, lokasi sakit, gejala sakit, 9

pengobatan lain yang sedang digunakan, obat sejenis lainnya yang digunakan, alergi obat, apakah pernah terjadi sakit seperti sebelumnya, gejala lain, dan apakah sudah ke dokter (Chua, dkk., 2006). Kemungkinan pertanyaan yang bisa ditanyakan oleh apoteker diidentifikasi berdasarkan pada WWHAM (Who the patient?, What are the symptoms?, How long have the symptoms been presents?, Action taken?, Medication being taken?), ASMETHOD (Age/appearance, Self/someone else, Medication, Extra medication, Time symptoms, History, Other accompanying symptoms, Danger symptoms), SITDOWNSIR (Site/location, Intensity/severity, Tipe/nature, Duration, Onset, With other symptoms, Annoyed by, Spread/radiation, Incidence, Relieved by), ENCORE (Explore, No medication option, Care, Observe, Refer, Explain) (Blenkinsopp dan Paxton, 2002). 2.2.2 Rekomendasi Rekomendasi merupakan saran menganjurkan yang diberikan oleh petugas apotek kepada pasien swamedikasi yaitu dapat berupa rujukan ke dokter ataupun rekomendasi obat. Petugas apotek harus dapat membedakan tingkat keseriusan gejala penyakit yang timbul dan tindakan yang harus diambil sehingga dapat memberikan saran berupa pemberian obat atau rujukan ke dokter. Rekomendasi yang tepat dapat diberikan sesuai dengan patient assessment yang telah ditanyakan oleh petugas apotek. Apoteker dapat memberi rekomendasi rujukan ke dokter jika gejala penyakitnya berat atau parah (Blenkinsopp dan Paxton, 2002; Chua, dkk., 2006). Pada kasus diare, rujukan ke dokter diperlukan jika (Spruill dan William, 2008): a. Nyeri perut yang hebat dan kram. b. Feses berdarah. 10

c. Dehidrasi (haus, mulut kering, lemas, urin berwarna pekat, jarang buang air kecil, penurunan jumlah urin, kulit kering, nadi yang cepat, napas cepat, kram otot, otot lemah). d. Demam tinggi (lebih dari 38ºC). e. Penurunan berat badan lebih dari 5% total berat badan. f. Diare berlangsung lebih dari 48 jam. 2.2.3 Informasi obat Pelayanan informasi obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh apoteker dalam pemberian informasi mengenai obat yang tidak memihak, dievaluasi secara kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek penggunaan obat kepada profesi kesehatan lain, pasien atau masyarakat (Depkes RI, 2014). Informasi obat yang diberikan pada pasien sekurang-kurangnya meliputi: cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi. Adapun informasi yang perlu disampaikan terkait penggunaan obat bebas atau obat bebas terbatas antara lain (Menkes RI, 2004; Depkes RI, 2006): a. Khasiat obat: Apoteker perlu menerangkan dengan jelas apa khasiat obat yang bersangkutan, sesuai atau tidak dengan indikasi atau gangguan kesehatan yang dialami pasien. b. Kontraidikasi: pasien juga perlu diberi tahu dengan jelas kontraindikasi dari obat yang diberikan, agar tidak menggunakannya jika memiliki kontra indikasi dimaksud. c. Efek samping dan cara mengatasinya (jika ada): pasien juga perlu diberi informasi tentang efek samping yang mungkin muncul, serta apa yang harus dilakukan untuk menghindari atau mengatasinya. 11

d. Cara pemakaian: cara pemakaian harus disampaikan secara jelas kepada pasien untuk menghindari salah pemakaian, apakah ditelan, dihirup, dioleskan, dimasukkan melalui anus, atau cara lain. e. Dosis: sesuai dengan kondisi kesehatan pasien, Apoteker dapat menyarankan dosis sesuai dengan yang disarankan oleh produsen (sebagaimana petunjuk pemakaian yang tertera di etiket) atau dapat menyarankan dosis lain sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. f. Waktu pemakaian: waktu pemakaian juga harus diinformasikan dengan jelas kepada pasien, misalnya sebelum atau sesudah makan atau saat akan tidur. g. Lama penggunaan: lama penggunaan obat juga harus diinformasikan kepada pasien, agar pasien tidak menggunakan obat secara berkepanjangan karena penyakitnya belum hilang, padahal sudah memerlukan pertolongan dokter. h. Hal yang harus diperhatikan sewaktu minum obat tersebut, misalnya pantangan makanan atau tidak boleh minum obat tertentu dalam waktu bersamaan. i. Hal apa yang harus dilakukan jika lupa memakai obat. j. Cara penyimpanan obat yang baik. k. Cara memperlakukan obat yang masih tersisa. l. Cara membedakan obat yang masih baik dan sudah rusak. 2.2.4 Informasi non farmakologi Dalam pengobatan diare selain informasi mengenai obat, informasi non farmakologi juga penting untuk diberikan oleh petugas apotek karena dapat 12

menunjang keberhasilan terapi. Beberapa informasi non farmakologi terhadap kasus diare yang dapat diberikan antara lain (Depkes RI, 2006): a. Minum banyak cairan (air, sari buah, sup bening). Hindari alkohol, kopi/teh, susu. b. Hindari makanan padat atau makanlah makanan yang tidak berasa (bubur, roti, pisang) selama 1 2 hari. c. Minum cairan rehidrasi oral-oralit/larutan gula garam. d. Cucilah tangan dengan baik setiap habis buang air besar dan sebelum menyiapkan makanan. e. Tutuplah makanan untuk mencegah kontaminasi dari lalat, kecoa dan tikus. f. Simpanlah secara terpisah makanan mentah dan yang matang, simpanlah sisa makanan di dalam kulkas. g. Gunakan air bersih untuk memasak. h. Air minum harus direbus terlebih dahulu. i. Jaga kebersihan lingkungan. 2.3 Obat 2.3.1 Definisi obat Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelediki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia (Depkes RI, 2014). 13

2.3.2 Penggolongan obat Obat dapat dibagi menjadi 6 golongan yaitu (Menkes RI, 1990; Menkes RI, 1993; Menkes RI, 1999; Depkes RI, 2006) : a. Obat Bebas Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas adalah lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh: parasetamol, vitamin. b. Obat Bebas Terbatas Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat keras tetapi masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter, dan disertai dengan tanda peringatan. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas terbatas adalah lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam. Selain tanda khusus obat bebas terbatas, terdapat pula tanda peringatan. Tanda peringatan ini diberikan karena hanya dengan takaran dan kemasan tertentu obat ini aman dipakai untuk pengobatan sendiri. Tanda peringatan berupa empat persegi panjang dengan huruf putih pada dasar hitam yang terdiri dari enam macam, yaitu: 14

Contoh: CTM, antimo c. Obat Keras Obat keras adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotek dengan resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket adalah huruf K dalam lingkaran merah dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh: asam mefenamat, tetrasiklin, sefalosporin, dsb. d. Obat Wajib Apotek (OWA) 15

Obat wajib apotek adalah obat keras yang dapat diserahkan oleh Apoteker kepada pasien di apotek tanpa resep dokter. Sampai saat ini terdapat tiga daftar obat yang diperbolehkan diserahkan tanpa resep dokter. Peraturan mengenai Daftar Obat Wajib Apotek tercantum dalam : 1) Keputusan Menteri Kesehatan nomor 347/MenKes/SK/VII/1990 tentang Obat Wajib Apotek, berisi Daftar Obat Wajib Apotek No. 1 2) Peraturan Menteri Kesehatan nomor 924/Menkes/Per/X/1993 tentang Daftar Obat Wajib Apotek No. 2 3) Keputusan Menteri Kesehatan nomor 1176/Menkes/SK/X/1999 tentang Daftar Obat Wajib Apotek No. 3 Contoh: Asam mefenamat, salep hidrokortison, salep kloramfenikol. e. Obat Psikotropika Obat psikotropika adalah obat keras alamiah maupun sintetis bukan narkotik, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Contoh: diazepam, fenobarbital. f. Obat Narkotika Obat narkotika adalah obat keras yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan menimbulkan ketergantungan. 16

Contoh: morfin dan petidin. 2.3.2 Penggunaaan obat swamedikasi Dalam penatalaksanaan swamedikasi, masyarakat memerlukan pedoman yang terpadu agar tidak terjadi kesalahan pengobatan (medication error). Apoteker sebagai salah satu profesi kesehatan sudah seharusnya berperan sebagai pemberi informasi (drug informer) khususnya untuk obat-obat yang digunakan dalam swamedikasi. Obat-obat yang dapat digunakan dalam swamedikasi adalah obat-obat yang termasuk dalam golongan Obat Bebas, Obat Bebas Terbatas dan obat-obat dalam Daftar Obat Wajib Apotek (DOWA) (Depkes RI, 1990; Depkes RI, 2006). Sebelum menggunakan obat, termasuk obat bebas dan bebas terbatas harus diketahui sifat dan cara pemakaiannya agar penggunaannya tepat dan aman. Informasi tersebut dapat diperoleh dari brosur dan etiket yang tertera pada kemasan obat. Dalam menentukan jenis obat yang akan diberikan kepada pasien swamedikasi ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu (Depkes RI, 2006): a. Gejala atau keluhan penyakit. b. Kondisi khusus misalnya hamil, menyusui, bayi, lanjut usia, diabetes mellitus, dan lain-lain. c. Riwayat alergi atau reaksi yang tidak diinginkan terhadap obat tertentu. d. Pilihlah obat yang sesuai dengan gejala penyakit dan tidak ada interaksinya dengan obat yang sedang diminum. Pada pasien swamedikasi terdapat cara penggunaan obat yang harus diperhatikan antara lain sebagai berikut (Depkes RI, 2006): a. Penggunaan obat tidak untuk pemakaian secara terus menerus. 17

b. Gunakan obat sesuai dengan anjuran yang tertera pada etiket atau brosur. c. Bila obat yang digunakan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan, hentikan penggunaan dan tanyakan kepada apoteker dan dokter. d. Hindarkan menggunakan obat orang lain walaupun gejala penyakit sama. e. Untuk mendapatkan informasi penggunaan obat yang lebih lengkap, tanyakan kepada apoteker. 2.4 Diare 2.4.1 Definisi diare Diare (diarrheal disease) berasal dari kata diarroia (bahasa Yunani) yang berarti mengalir terus. Diare adalah suatu keadaan kehilangan banyak cairan dan elektrolit melalui tinja, sehingga terjadi perubahan konsistensi tinja (lembek atau cair). Diare juga dapat didefinisikan sebagai kondisi meningkatnya frekuensi buang air besar (BAB) dan menurunnya konsistensi feses dibandingkan pada individu dengan kondisi saluran pencernaan yang normal. Diare yang hanya sekali-sekali tidak berbahaya dan biasanya sembuh sendiri, tetapi diare yang berat bisa menyebabkan dehidrasi dan bisa membahayakan jiwa (Depkes RI, 2006; Gishan, 2003; Spruill dan William, 2008). Diare akut adalah diare yang terjadi secara mendadak yang terjadi pada bayi dan anak yang sebelumnya sehat dan berlangsung kurang dari 14 hari, sedangkan diare kronis adalah diare yang berlangsung terus menerus selama lebih dari 2 minggu. Diare secara umum terbagi atas tiga karakteristik yaitu: akut cair, persisten dan disentri. Diare cair akut adalah diare yang berlangsung secara tibatiba selama kurang dari 14 hari. Persisten diare apabila terjadi lebih dari 14 hari, yang secara umum diikuti kehilangan berat badan secara signifikan dan masalah 18

nutrisi, sedangkan disentri adalah diare disertai darah pada feses (Partawihardja, 1990; WHO, 2005). 2.4.2 Manifestasi klinis Pada bayi atau anak terlihat tanda dan gejala berupa gelisah, mudah menangis, suhu badan mungkin meningkat, nafsu makan berkurang atau tidak ada, kemudian timbul diare. Feses berbentuk cair, mungkin disertai lendir dan darah. Warna feses dapat berubah kehijauan karena bercampur dengan empedu. Gejala muntah dapat terjadi sebelum atau sesudah diare. Bila penderita telah banyak kehilangan cairan dan elektrolit maka terjadi gejala dehidrasi. Berat badan penderita pun cenderung menurun, serta selaput lendir mulut dan bibir terlihat kering (Ngastiyah, 2005). 2.4.3 Penyebab diare Penyebab diare berupa infeksi masih merupakan masalah yang cukup serius di negara berkembang, dan dapat berupa infeksi parenteral (infeksi jalur napas, saluran kencing dan infeksi sistemik) maupun infeksi enteral (bakteri, virus, dan parasit). Infeksi parenteral yaitu infeksi di bagian tubuh lain di luar saluran pencernaan yang dapat menyebabkan diare seperti otitis media akut (OMA), tonsilofaringitis, bronkopneumonia, dsb. Bakteri merupakan penyebab terbesar pada diare akut. Jenis bakteri yang umumnya menjadi penyebab diare antara lain Shigella, Salmonella, Campylobacter, Staphylococcus, dan Escherichia coli. Virus penyebab diare antara lain virus Norwalk dan rotavirus, sedangkan infeksi parasit yang menyebabkan diare antara lain ascaris, giardia lamblia, candida albicans, dll. (Hassan, 2005; Spruill dan William, 2008). Malabsorpsi juga merupakan salah satu faktor penyebab diare, yaitu malabsorpsi karbohidrat (intoleransi laktosa, maltosa dan sukrosa), malabsorpsi 19

protein, dan malabsorpsi lemak. Makanan basi, beracun atau mempunyai alergi terhadap makanan tertentu juga dapat menjadi penyebab diare. Faktor psikologis seperti rasa takut dan cemas walaupun jarang, dapat menimbulkan diare terutama pada anak yang lebih besar. Penggunaan obat-obatan dapat menjadi penyebab diare seperti obat anti inflamasi non steroid (AINS) yang memiliki efek samping berupa diare (Goodman dan Gilman, 2001; Hassan, 2005). 2.4.4 Klasifikasi diare Klasifikasi diare berdasarkan mekanisme patofisiologinya, yaitu (Sukandar, dkk., 2009): a. Secretory diarrhea, terjadi ketika senyawa yang strukturnya mirip (contoh: Vasocative Intestinal Peptide (VIP) atau toksin bakteri) meningkatkan sekresi atau menurunkan absorpsi air dan elektrolit dalam jumlah besar. b. Osmotic diarrhea, disebabkan oleh absorpsi zat-zat yang mempertahankan cairan intestinal. c. Exudative diarrhea, disebabkan oleh penyakit infeksi saluran pencernaann yang mengeluarkan mukus, protein atau darah ke dalam saluran pencernaan. d. Motilitas usus dapat berubah dengan mengurangi waktu kontak di usus halus, pengosongan usus besar yang prematur dan pertumbuhan bakteri yang berlebihan. 2.4.5 Terapi farmakologi Menurut Spruill dan William (2008), terapi farmakologi pada diare terdiri dari antimotilitas, adsorben, antisekresi, antibiotik, enzim, dan probiotik. 2.4.5.1 Opiat dan turunannya 20

Opiat dan turunannya berfungsi sebagai (a) menunda transit isi intraluminal atau (b) meningkatkan kapasitas saluran cerna, memperpanjang waktu kontak dan absorpsi. Keterbatasan penggunaan opiat adalah potensi terjadinya adiksi dan memperburuk penyakit pada diare yang disebabkan oleh infeksi (Spruill dan William, 2008). Contoh produk: Lopamid, Imodium, Lodia, Diasec, dan lain-lain (MIMS, 2013). 2.4.5.2 Adsorben Adsorben bekerja secara tidak spesifik dengan menyerap nutrisi, toksin, maupun obat. Pemberian bersama dengan obat lain akan mengurangi bioavailibilitasnya (Spruill dan William, 2008). Contoh produk: Biodiar, New Diatabs, Entrostop, dan lain-lain (MIMS, 2013). 2.4.5.3 Antisekresi Bismut subsalisilat sering digunakan untuk pengobatan atau pencegahan diare dan memliki efek antisekresi, antiinflamasi, dan antibakteri. Bismut subsalisilat dapat meringankan keram perut dan mengontrol diare. Oktreotid adalah antisekresi yang digunakan selama diare berat disebabkan kemoterapi kanker, HIV, diabetes, gangguan lambung, dan tumor gastrointestinal (Spruill dan William, 2008). Contoh produk: Stobiol (MIMS, 2013). 2.4.5.4 Produk lain Sediaan lactobacillus seperti Lactinex adalah probiotik yang mengandung bakteri atau khamir (yeast) yang digunakan untuk menormalkan fungsi pencernaan dan menekan pertumbuhan mikroorganisme patogen pada saluran pencernaan. Selain itu atropin juga dapat membantu memperpanjang transit usus (Spruill dan William, 2008). Contoh produk: L-Bio, Lacto-B, Probiokid, dan lain-lain (MIMS, 2013). 21

2.4.6 Terapi non farmakologi Selain terapi farmakologi terdapat pula terapi non farmakolgi yang penting dianjurkan oleh petugas apotek terhadap pasien swamedikasi sehingga hasil terapi yang optimal dapat diperoleh. Menurut Spruill dan William (2008), terapi non farmakologi pada diare terdiri dari perubahan pola makan dan pemberian cairan dan elektrolit. 2.4.6.1 Perubahan pola makan Kebanyakan klinisi menganjurkan untuk tidak mengonsumsi makanan padat dan produk yang mengandung susu selama 24 jam. Bagi pasien diare yang mengalami mual dan muntah dianjurkan mengonsumsi makanan yang bertekstur lembut dan mudah dicerna selama 24 jam. Pemberian makanan harus tetap diberikan kepada pasien anak dengan diare akut (Spruill dan William, 2008). 2.4.6.2 Cairan dan elektrolit Pada pasien diare, rehidrasi dan penyeimbangan cairan dan elektrolit merupakan tujuan terapi paling utama yang dilakukan hingga diare berhenti. Rute parenteral dan enteral dapat digunakan untuk memberikan cairan dan elektrolit. Cairan rehidrasi oral sangat direkomendasikan untuk mengatasi dehidrasi berat. Pada negara berkembang, World Health Organization Oral Rehydration Solution (WHO-ORS) berhasil menyelamatkan jutaan anak akibat diare setiap tahunnya (Spruill dan William, 2008). 22