Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
Dry Socket Elsie Stephanie DRY SOCKET. Patogenesis Trauma dan infeksi adalah penyebab utama dari timbulnya dry soket.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB V HASIL PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terakhir dalam perawatan gigi dan mulut karena berbagai alasan, antara lain untuk

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

BAB 2 EKSTRAKSI GIGI. Ekstraksi gigi adalah proses pencabutan gigi dari dalam soket dari tulang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

Perdarahan Pasca Ekstraksi Gigi, Pencegahan dan Penatalaksanaannya

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Komplikasi Diabetes Mellitus Pada Kesehatan Gigi

Diagnosis Penyakit Pulpa dan Kelainan Periapikal

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan pencabutan gigi merupakan salah satu jenis perawatan gigi yang

Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab lokal dan sistemik.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PANDUAN SKILL LAB BLOK MEDICAL EMERGENCY DISLOKASI TMJ DAN AVULSI JURUSAN KEDOKTERAN GIGI FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

PENATALAKSANAAN PENCABUTAN GIGI PADA PASIEN HIPERTENSI, DIABETES MELLITUS DAN POST STROKE. Oleh : Rozario N. Ramandey

Sumber: dimodifikasi dari Wagner et al.

BAB I PENDAHULUAN. Pencabutan gigi adalah proses pembedahan yang memberikan tantangan

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tindakan perawatan dalam bidang kedokteran gigi yang paling sering

Dry Socket. 1. Pendahuluan

BAB 2 OSTEOMIELITIS KRONIS PADA RAHANG. infeksi yang terjadi dapat disebabkan oleh infeksi odontogenik. Osteomielitis dibagi

BAB I PENDAHULUAN. karies parah, nekrosis pulpa, impaksi gigi, untuk tujuan perawatan ortodontik, 3

BAB II KEADAAN JARINGAN GIGI SETELAH PERAWATAN ENDODONTIK. endodontik. Pengetahuan tentang anatomi gigi sangat diperlukan untuk mencapai

Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan pendekatan transalveolar (pembedahan). Sebelum dilakukan pengangkatan

: Ikhsanuddin Ahmad Hrp, S.Kp., MNS. NIP : : Kep. Medikal Bedah & Kep. Dasar

BAB I PENDAHULUAN. pengobatan, gigi impaksi dan untuk keperluan prosedur ortodontik. 1, 2

memfasilitasi sampel dari bagian tengah telinga, sebuah otoscope, jarum tulang belakang, dan jarum suntik yang sama-sama membantu. 4.

Kanker Usus Besar. Bowel Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Pendahuluan. Bab Pengertian

Odontektomi. Evaluasi data radiografi dan klinis dari kondisi pasien

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. gigi yang ideal yaitu penghilangan seluruh gigi atau akar gigi dengan. setelahnya yang seminimal mungkin.

BAB I PENDAHULUAN. Komplikasi yang sering terjadi pasca prosedur dental adalah infeksi yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Gigi impaksi adalah gigi yang gagal untuk erupsi secara utuh pada posisi

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan ekstraksi adalah prosedur yang menerapkan prinsip bedah, fisika, dan

BAB 2 IMPLAN. Dental implan telah mengubah struktur prostetik di abad ke-21 dan telah

BAB I PENDAHULUAN. trauma, penyakit periodontal, impaksi dan kebutuhan perawatan. dipisahkan dari jaringan lunak yang mengelilinginya menggunakan

Gambar. Klasifikasi ukuran tonsil

BAB 1 PENDAHULUAN. maupun luka kronis. Sebuah penelitian terbaru di Amerika menunjukkan

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan penelitian ini meliputi Ilmu Penyakit Gigi dan

Diabetes merupakan faktor resiko periodontitis yang berkembang dua kali lebih sering pada penderita diabetes daripada penderita tanpa diabetes.

PANDUAN SKILL LAB BLOK MEDICAL EMERGENCY (SKILL LAB 4) PENANGANAN ABSES DAN PERIKORONITIS

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. (Pedersen, 1966). Selama melakukan prosedur pencabutan gigi sering ditemukan

BAB I KONSEP DASAR. Selulitis adalah infeksi streptokokus, stapilokokus akut dari kulit dan

BAB I PENDAHULUAN. secara keseluruhan karena dapat mempengaruhi kualitas kehidupan termasuk

REINFORECEMENT BLOK 11 Pemicu 2. DR.Harum Sasanti, drg, SpPM KaDep. Ilmu Penyakit Mulut FKGUI

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. insisif, premolar kedua dan molar pada daerah cervico buccal.2

Sakit Gigi Akibatkan Penyakit Jantung dan Stroke

PMR WIRA UNIT SMA NEGERI 1 BONDOWOSO Materi 3 Penilaian Penderita

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

BAB IV METODE PENELITIAN

Kanker Serviks. Cervical Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Leukemia. Leukemia / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

PERAWATAN PERIODONTAL

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Eksodonsi merupakan salah satu prosedur yang ada pada ilmu spesialis

Tips Mengatasi Susah Buang Air Besar

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Jumlah perokok di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya.

BAB 1 PENDAHULUAN. kehidupan sosialnya (Monica, 2007). Perawatan ortodontik merupakan salah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kanker adalah penyakit keganasan yang ditandai dengan pembelahan sel

PERAWATAN INISIAL. Perawatan Fase I Perawatan fase higienik

BAB 1 PENDAHULUAN. dari dalam soket gigi dan menanggulangi komplikasi yang mungkin terjadi. 1 Di

Kanker Payudara. Breast Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

BAB I PENDAHULUAN. mulut, yang dapat disebabkan oleh trauma maupun tindakan bedah. Proses

PERIODONTITIS Definisi Periodontitis merupakan penyakit inflamasi pada jaringan pendukung gigi yang

BAB 2 IMPLAN GIGI. perlindungan gigi tetangga serta pengembangan rasa percaya diri (9).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dilakukan dengan lokal anastesi jika gigi terlihat jelas tampak mudah dicabut. Definisi

PENDAHULUAN ETIOLOGI EPIDEMIOLOGI

Kenali Penyakit Periodontal Pada Anjing

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. imunitas gingiva yang salah satu penyebabnya adalah infeksi. Infeksi disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. semua orang tidak mengenal usia, golongan dan jenis kelamin. Orang yang sehat

Glaukoma. 1. Apa itu Glaukoma?

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Kanker Paru-Paru. (Terima kasih kepada Dr SH LO, Konsultan, Departemen Onkologi Klinis, Rumah Sakit Tuen Mun, Cluster Barat New Territories) 26/9

BAB 2 KANINUS IMPAKSI. individu gigi permanen dapat gagal erupsi dan menjadi impaksi di dalam alveolus.

Grafik 1. Distribusi TDI berdasarkan gigi permanen yang terlibat 8

Awal Kanker Rongga Mulut; Jangan Sepelekan Sariawan

KEHILANGAN TULANG DAN POLA PERUSAKAN TULANG Kehilangan tulang dan cacat tulang yang diakibatkan penyakit periodontal membahayakan bagi gigi, bahkan

LAMPIRAN 1 DAFTAR RIWAYAT HIDUP. Tempat/Tanggal Lahir : Medan/17 April 1992

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. gigi, mulut, kesehatan umum, fungsi pengunyahan, dan estetik wajah.1 Tujuan

Efektivitas Pengobatan Obat Herbal Untuk Diabetes Kering Pada Luka Kaki Penggunaan Obat Herbal Untuk Diabetes Kering

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Masalah. Streptococcus sanguis merupakan bakteri kokus gram positif dan ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN. laesa. 5 Pada kasus perawatan pulpa vital yang memerlukan medikamen intrakanal,

BAB 2 PENGERTIAN, ETIOLOGI, TANDA DAN GEJALA OSTEOSARKOMA. Osteosarkoma adalah suatu lesi ganas pada sel mesenkim yang mempunyai

Pelayanan Kesehatan bagi Anak. Bab 7 Gizi Buruk

mendiagnosis penyakit meramalkan prognosis merencanakan perawatan Klasifikasi mengalami perubahan sejalan dgn bertambahnya pemahaman ttg etiologi dan

GARIS-GARIS BESAR PROGRAM PENGAJARAN (Rencana Kegiatan Belajar Mengajar)

BAB I PENDAHULUAN. tentang Pedoman Manajerial Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan Fasilitas

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG

Hipertensi (Tekanan Darah Tinggi)

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

II. KEADAAN ANATOMIS SEBAGAI FAKTOR PREDISPOSISI PENYAKIT PERIODONTAL

EKSTRAKSI GIGI PADA PASIEN PENYAKIT JANTUNG KORONER DAN GAGAL GINJAL KRONIK VITA NIRMALA ARDANARI,DR, SP.PROS, SP.KG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

MENGATASI KERACUNAN PARASETAMOL

MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT MODUL - 2 PENILAIAN DAN KLASIFIKASI ANAK SAKIT UMUR 2 BULAN SAMPAI 5 TAHUN

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Definisi Menurut Pedlar dan Frame (2001) pencabutan gigi merupakan suatu prosedur bedah yang dapat dilakukan dengan tang, elevator, atau penekanan trans alveolar. 1 Pencabutan gigi yang ideal adalah pencabutan sebuah gigi atau akar gigi yang utuh, tanpa menimbulkan rasa sakit, dengan trauma yang sekecil mungkin pada jaringan penyangganya, sehingga luka bekas pencabutan akan sembuh secara normal dan tidak menimbulkan permasalahan pasca ekstraksi. 4 II.2 Indikasi dan Kontraindikasi Indikasi Menurut Kruger (1974), gigi yang diindikasikan untuk ekstraksi adalah gigi yang sudah tidak berfungsi pada mekanisme gigi geligi secara keseluruhan, seperti: 2 Gigi dengan penyakit pulpa, baik akut ataupun kronis, dimana gigi sudah tidak dapat dilakukan perawatan saluran akar. Gigi dengan penyakit periodontal, akut atau kronis, dimana tidak memungkinkan lagi dilakukan perawatan periodonsium. Gigi yang mengalami trauma. Gigi yang terdapat pada garis trauma terkadang perlu dilakukan pencabutan dengan tujuan perawatan fraktur. Gigi impaksi atau gigi supernumerary terkadang tidak memiliki tempat pada garis oklusi. Pertimbangan orthodonsi. Gigi nonvital yang berpotensi menjadi fokal infeksi. Pertimbangan prostetik dimana bertujuan untuk desain dan stabilitas protesa. Gigi dengan keaadaan patologis pada tulang sekitarnya. 3

4 Gigi dengan keadaan patologis pada jaringan sekitarnya dan akan dilakukan perawatan karenanya, seperti kista, osteomyelitis, tumor, dan nekrosis tulang. Gigi yang berada dekat dengan area yang akan dilakukan terapi radiasi, agar tulang yang terkena osteoradionekrosis tidak akan diperparah dengan keadaan-keadaan seperti karies-akibat radiasi atau nekrosisnya pulpa yang mungkin terjadi apabila gigi tidak diekstraksi. 2 Kontraindikasi Menurut Kruger (1974), kontraindikasi untuk pencabutan gigi dibagi menjadi dua bagian, yakni: 2 1. Kontraindikasi lokal, yakni kondisi yang tidak diindikasikan untuk ekstraksi karena berhubungan dengan infeksi dan penyakit malignant, seperti: Infeksi akut dengan cellulitis yang tidak tekontrol. Perikoronitis akut Stomatitis akut Penyakit malignant Rahang yang dilakukan terapi radiasi Apabila didapatkan keadaan-keaadan seperti diatas pada pasien yang hendak dilakukan ekstraksi, dokter gigi perlu menunda melakukan tindakan pencabutan, sampai keadaan-keadaan tersebut sudah terkontrol dan sudah dilakukan tata laksana. Jika tidak, tindakan pencabutan hanya akan memperparah keadaan-keadaan tersebut, bahkan dapat berdampak fatal bagi pasien. 2. Kontraindikasi Sistemik. Penyakit sistemik atau suatu malfungsi dapat mempersulit atau dapat dipersulit oleh tindakan ekstraksi. Oleh karena itu, kondisi-kondisi tersebut tidak diindikasikan untuk tindakan ekstraksi. Kondisi yang termasuk kontraindikasi sistemik untuk dilakukan pencabutan antara lain:

5 Diabetes Mellitus yang tak terkontrol, kondisi seperti ini dikarakteristikkan dengan mudahnya terkena infeksi pada luka dan dapat terjadinya proses penyembuhan yang tidak normal. Penyakit jantung; seperti hipertensi, coronary artery disease, dan cardiac decompensation, dapat mempersulit tindakan ekstraksi. Blood dyscrasias meliputi anemia, penyakit-penyakit hemoragik seperti hemofilia, dan leukemia. Penyakit Addison atau defisiensi steroid. Meskipun pasien pernah melakukan terapi steroid hingga batas waktu satu tahun lalu, pasien tidak diindikasikan untuk dilakukan ekstraksi karena pasien tidak mempunyai sekresi korteks adrenal yang cukup untuk menahan tekanan dari ekstraksi. Kecuali oleh pasien dilakukan terapi steroid tambahan. Demam yang asal mula-nya tidak jelas. Keadaan seperti ini biasanya jarang menjadi sembuh dan hanya akan menjadi parah apabila dilakukan tindakan ekstraksi. Nephritis yang membutuhkan perawatan dapat membuat permasalahan yang berat dalam mempersiapkan pasien untuk tindakan pencabutan. Kehamilan dengan komplikasi. Keadaan fisik lemah. Dimana kondisi ini merupakan kontraindikasi relatif, yang membutuhkan perhatian dan perawatan yang lebih untuk mengatasi respon fisiologis yang buruk mengenai operasi dan memperpanjang keseimbangan nitrogen negatif. Psychoses dan Neuroses. Kondisi ini menunjukkan ketidakstabilan saraf yang nantinya akan mempersulit pencabutan. 2 II.3 Komplikasi Pasca Ekstraksi Berbagai macam komplikasi seringkali terjadi setelah dilakukan pencabutan gigi. Rentang terjadinya komplikasi pasca ekstraksi cukup luas. 1 Maksudnya adalah berdasarkan lokasinya, komplikasi dapat terjadi secara lokal, dekat, atau pada tempat yang jauh; berdasarkan waktunya, komplikasi dapat

menit. 1 Perdarahan dikatakan eksternal apabila perdarahan terlihat pada 6 terjadi langsung setelah operasi, beberapa saat setelah operasi, atau bisa juga lama setelahnya. Komplikasi juga terkadang tidak jelas, namun bisa menjadi sangat serius dan terkadang fatal bagi pasien. 5 Terdapat derajat variasi yang perlu dipertimbangkan dan diketahui oleh operator mengenai apakah komplikasi dapat diprediksi ataupun dapat dicegah. 1 Untuk itu sangat penting bagi operator untuk mengetahui tindakan apa yang seharusnya dilakukan, sehingga suatu komplikasi tidak akan membuat kondisi pasien menjadi buruk ataupun lebih buruk. Operator harus mengetahui secara dini suatu kondisi-kondisi tertentu yang menunjukkan suatu komplikasi, dan kemudian melakukan perawatan yang tepat. 5 Komplikasi-komplikasi pasca ekstraksi yang mungkin terjadi antara lain adalah edema, perdarahan, rasa nyeri, dan dry socket. Pada kesempatan kali ini, penulis hanya akan membahas mengenai perdarahan dan dry socket. II.3.1 Perdarahan II.3.1.i Definisi Perdarahan Menurut Woodruff (1974), perdarahan adalah keluarnya darah dari sistem vaskular. 6 Perdarahan mungkin merupakan komplikasi yang paling ditakuti, karena oleh dokter maupun pasiennya, perdarahan dianggap mengancam kehidupan. 3 Perdarahan dapat dikatakan normal apabila terjadi selama 5 hingga 20 menit setelah pencabutan, meskipun dalam beberapa jam setelahnya masih terjadi sedikit perdarahan. 7 Sedangkan Pedlar dan Frame (2001) menyatakan bahwa perdarahan normal pasca ekstraksi akan berhenti setelah tidak lebih dari 10 permukaan atau pada salah satu lubang pada tubuh. Sedangkan perdarahan internal merupakan perdarahan yang terjadi kemudian masuk ke dalam jaringan. 6 Perdarahan dibagi menjadi tiga macam, yakni perdarahan primer, reaksioner dan perdarahan sekunder. 6,8,9 Perdarahan primer terjadi ketika terjadi injuri pada suatu jaringan sebagai akibat langsung dari rusaknya pembuluh darah. 6 Perdarahan reaksioner terjadi dalam 48 jam setelah operasi. Menurut Starshak (1980), perdarahan reaksioner ini terjadi ketika tekanan darah mengalami

7 peningkatan lokal, yang membuka dengan paksa pembuluh darah yang dilapisi oleh sesuatu yang natural ataupun artifisial. 8 Sedangkan menurut Woodruff (1974), perdarahan reaksioner terjadi pada 24 jam setelah injuri. 6 Perdarahan ini dapat terjadi akibat tergesernya benang jahit atau pergeseran bekuan darah dan mengakibatkan meningkatnya tekanan darah yang menyebabkan terjadinya perdarahan. Perdarahan sekunder terjadi setelah 7 10 hari setelah luka atau operasi. 6,8,9 Perdarahan sekunder ini terjadi akibat infeksi yang menghancurkan bekuan darah atau mengulserasi dinding pembuluh darah. Karena perdarahan ini disebabkan oleh infeksi, maka agen-agen antibakteri perlu diberikan kepada pasien. 5,6,8 Woodruff (1974) juga mengemukakan bahwa perdarahan dapat diklasifikasikan menjadi perdarahan pada arteri, vena, ataupun pada pembuluh kapiler. 6 Perdarahan arteri dapat dikenali dari warna darah yang keluar berwarna merah cerah dan semburan darahnya bersamaan dengan detak jantung. Perdarahan vena darahnya berwarna merah gelap, alirannya kontinu, dan ritmenya sesuai pernafasan, bukan detak jantung. Pada perdarahan kapiler darah keluar secara perlahan dari permukaan yang kasar. 6 II.3.1.ii Etiologi Perdarahan Perdarahan pasca ekstraksi dapat terjadi karena faktor lokal maupun karena faktor sistemik. Sekitar 90% kasus perdarahan pasca ekstraksi diakibatkan oleh faktor lokal. 10 Faktor lokal dapat berupa kesalahan dari operator ataupun juga kesalahan yang dilakukan oleh pasien ekstraksi sendiri. Faktor lokal akibat kesalahan operator dapat berupa trauma yang berlebihan (pada jaringan lunak khususnya) akibat tindakan ekstraksi yang dilakukan secara tidak hati-hati atau traumatik. 6,10 Sedangkan faktor lokal yang diakibatkan oleh kesalahan pasien dapat berupa tidak dipatuhinya instruksi pasca ekstraksi oleh pasien, tindakan pasien seperti penekanan socket dengan menggunakan lidah atau kebiasaan pasien menghisap-hisap area socket gigi, serta kumur-kumur yang berlebihan oleh pasien pasca ekstraksi. 6,10 Selain faktor lokal, perdarahan pasca ekstraksi juga dipengaruhi faktor sistemik. Faktor sistemik ini merupakan keadaan pasien dengan kelainan-kelainan

8 sistemik tertentu, yang dapat meningkatkan risiko terjadinya perdarahan, seperti pasien dengan kelainan hemoragik, seperti: hemofilia atau terjadi gangguan pembekuan darah; pasien Diabetes Mellitus, pasien dengan hipertensi, pasien dengan kelainan kardiovaskular; pasien dengan penyakit hati dan menderita sirosis; pasien yang sedang menkonsumsi obat-obatan anti-koagulan; atau pasien yang sedang mengkonsumsi agen-agen nonsteroid. 3,6,10 II.3.1.iii Tata Laksana Perdarahan Apabila terjadi perdarahan ringan dalam kurun waktu 12 24 jam setelah pencabutan gigi, dapat dilakukan penekanan oklusal dengan menggunakan kasa. Dengan demikian perdarahan dapat dikontrol dan juga dapat merangsang pembentukan bekuan darah yang stabil. 3 Pasien tidak diperkenankan untuk berkumur-kumur selama 6 jam setelah operasi, karena berkumur akan menghancurkan bekuan darah, terutama bekuan darah yang belum sempurna terbentuk dan akan mengakibatkan perdarahan. 8 Namun, apabila perdarahan cukup banyak, lebih dari 1 unit (450 ml) pada 24 jam pertama pada pasien dewasa, harus dilakukan pemeriksaan sesegera mungkin. Tenangkan pasien, periksa tanda-tanda vital yang meliputi denyut nadi, pernapasan, dan tekanan darah. 3,5 Setelah dilakukan observasi pada pasien, apabila pasien dinilai stabil, perhatikan bagian yang mengalami perdarahan. Apabila bagian yang mengalami perdarahan telah ditemukan, lakukan anastesi lokal agar perawatan tidak terasa sakit. Vasokonstriktor yang digunakan pada obat anastesi hanya boleh sedikit saja (1:100,000 epinefrin). 5,11 Setelah itu, bekuan darah yang ada dibersihkan dan bagian tersebut diperiksa apakah perdarahan berasal dari gingiva (jaringan lunak), dinding tulang, atau keduanya. Perdarahan dari gingiva dapat dikontrol dengan menjahit tepi atau margin luka. Apabila perdarahan bersumber dari tulang maka soket diisi dengan spons gelatin atau oxidized cellulose gauze, material yang dapat diabsorbsi, seperti gelfoam dan kemudian dijahit. Kemudian kasa yang besar ditempatkan diatas soket kemudian dilakukan tekanan selama 15 hingga 30 menit. Apabila perdarahan telah berhenti, kasa dipindahkan kemudian lakukan observasi

9 pada pasien selama 10-15 menit untuk melihat apakah terjadi perdarahan kembali. 3,5,12 Jika pasien syok, yang ditandai dengan kehilangan kesadaran, berkeringat dengan denyut yang lemah dan cepat serta pernapasan yang dangkal dan cepat, disertai dengan turunnya tekanan darah, pasien harus sesegera mungkin dimobilisasikan ke rumah sakit terdekat. 3 Apabila dari riwayat kesehatan pasien dicurigai terdapat penyakit tertentu, sebaiknya menghubungi dokter yang sebelumnya melakukan perawatan sebelum pasien dilakukan operasi. Selain itu juga dapat dilakukan berbagai macam tes laboratorium untuk mengetahui bagaimana mekanisme pembekuan darah pada pasien. Tes tersebut dapat berupa tes waktu perdarahan, hitung platelet, waktu, protrombin, atau waktu paruh tromboplastin. Jika diketahui terdapat gangguan dalam mekanisme pembekuan darah pada pasien, maka dokter gigi perlu mengkonsultasikan hal tersebut dengan dokter spesialis. 3 Komplikasi lain yang juga seringkali terjadi dan cukup menakutkan adalah dry socket / alveolitis. II.3.2. Dry Socket / Alveolitis II.3.2.i Definisi Dry Socket Komplikasi yang paling menakutkan dan paling sakit sesudah pencabutan gigi adalah dry socket atau alveolitis. 3 Dry socket terjadi pada 3% kasus ekstraksi. 5 Menurut Laskin (1985), alveolar osteitis (dry socket) merupakan suatu kondisi dimana terjadi hilangnya bekuan darah dari soket. 5 Awalnya, bekuan tersebut mempunyai tampilan berwarna abu-abu kotor, kemudian hancur dan pada akhirnya meninggalkan soket tulang berwarna keabu-abuan atau kuning keabuabuan yang tidak berjaringan granulasi. Ketika dilihat pertama kali, soket tidak benar-benar kosong, melainkan masih terdapat bekuan darah yang nekrotik sebagian. 5 Cara untuk mendiagnosisnya adalah dengan menggunakan probe kecil yang dilewati secara perlahan ke dalam luka bekas ekstraksi. Dry socket biasanya dimulai pada hari ke 3 5 setelah operasi. 3

10 Karakteristik dari dry socket adalah rasa nyeri yang sedang hingga parah, terdiri dari sensasi tumpul, biasanya menusuk dan menyebar ke daerah telinga. Bau mulut tak sedap serta peradangan gingiva juga merupakan ciri khas dari dry socket. Regio yang sering terkena adalah regio molar bawah. 1,3,5 Rasa sakitnya digambarkan sebagai sakit yang menusuk dan disebabkan oleh iritasi kimia dan termal dari ujung saraf yang terpapar dalam ligament periodontal dan tulang alveolar. Gejalanya mulai pada 3-5 hari setelah ekstraksi gigi dan bila tidak dirawat dapat berlangsung hingga 7 14 hari. 5 II.3.2.ii Etiologi dan Patogenesis Dry Socket Penyebab alveolitis adalah hilangnya bekuan akibat lisis, mengelupas atau keduanya. Alveolitis ini biasanya disebabkan oleh streptococcus, tetapi lisis mungkin bisa juga terjadi tanpa keterlibatan bakteri. 3 Beberapa pendapat juga mengatakan bahwa dry socket terjadi akibat dari infeksi yang memang sudah ada pada pasien, trauma pada tulang ketika ekstraksi, penurunan perdarahan karena efek hemostatik dari epinefrin atau vasokonstriktor lainnya yang diinjeksikan bersamaan dengan obat anastesi, infeksi yang terjadi setelah gigi dicabut, adanya tulang yang padat, hal-hal umum yang melemahkan keadaan, lepasnya bekuan darah akibat kumur-kumur atau karena penghisapan area luka. Namun, tidak satupun dari pernyataan diatas yang dianggap benar. 5 Trauma dan infeksi mengakibatkan inflamasi pada sum-sum tulang dan mengakibatkan terlepasnya aktivator-aktivator jaringan yang mengubah plasminogen pada bekuan menjadi plasmin. Agen fibrinolitik ini kemudian melarutkan bekuan darah dan dalam waktu bersamaan melepaskan kinin-kinin dari kininogen, yang mana membuat rasa sakit menjadi lebih parah. 5 Pada pemeriksaan bakteriologi pada kultur dari alveolar osteitis, secara umum menunjukkan infeksi yang bermacam-macam (Alling, 1959), namun keberadaan fusiform bacilli dan Vincent s Spirochete dalam jumlah yang banyak menunjukkan proses pembusukan tingat rendah. 5 Seperti dikatakan di atas, trauma diduga berperan dalam terjadinya dry socket, karena mengurangi vaskularisasi, yaitu pada tulang yang mengalami mineralisasi yang tinggi pada pasien lanjut usia. Didasarkan hal tersebut, pada

11 waktu melakukan pencabutan pada pasien lanjut usia atau pasien dengan gangguan kesehatan, perlu dilakukan packing profilaksis dengan pembalut obatobatan pada alveolus mandibula. Suatu bentuk dry socket atau alveolitis bisa timbul 2-3 bulan sesudah pencabutan gigi molar ketiga bawah yang impaksi di dalam. Kondisi ini dimanisfestasikan sebagai sepsis dan kegagalan pembentukan bekuan darah yang terjadi bersama proses penyembuhan mukosa. Secara klinis, dry socket yang tertunda termanifestasi berupa pembengkakan dari daerah operasi yang sedang mengalami penyembuhan. Rasa sakit bervariasi mulai dari ringan sampai berat, dan biasanya agak berkurang bila pus sudah keluar. Gambar 2.1. Etiologi dan Patogenesis dari Fibrinolitik alveolitis (Laskin, 1985) II.3.2.iii Tatalaksana Dry Socket Perawatan dry socket yang utama adalah pengurangan rasa sakit dan dapat dilakukan dengan dua cara, yakni terapi lokal terdiri dari irigasi soket dengan larutan saline isotonic steril yang hangat atau larutan hydrogen peroksida yang dicairkan untuk membuang material nekrotik dan debri lainnya yang diikuti oleh aplikasi obtudent (eugenol) atau anestesi topical (butakain [benzokain]). Sebagai tambahan terapi lokal, analgesic antipiretik atau narkotik seperti kodein sulfat (1/2

12 gram) atau meperidin (50 mg) setiap 3-4 jam harus di berikan kepada pasien. Pemilihan obat bergantung keparahan dari rasa nyeri. 5 Pasien diperiksa dalam 24 jam, jika nyeri telah berhenti, medikasi dalam soket tidak diperlukan lagi. Jika rasa nyeri masih bertahan, irigasi dan dressing soket harus diulangi jika perlu. 5 Kuretase seharusnya tidak dilakukan dalam perawatan alveolar osteitis. Prosedur ini tidak hanya predisposisi pasien untuk penyebaran infeksi, tapi hanya menghancurkan usaha penyembuhan normal. 5 Penggunaan rutin antibiotik dalam perawatan alveolar osteitis tidak direkomendasikan karena masalah utama adalah kontrol rasa nyeri daripada infeksi yang tidak terbatas. Pada kasus yang jarang dimana tidak terdapat supurasi, antibiotik diberikan secara sistemik daripada topical di dalam soket. Jangan memasukkan obat-obatan terlalu padat kedalam soket karena akan mengeras dan sulit sekali dikeluarkan. Berikan tablet analgesik, dan diinstruksikan pasien untuk kumur-kumur dengan larutan garam hangat, dan buatlah janji agar pasien kembali dalam waktu 3 hari.