Dalam memberikan masukan penataan frekuensi pada band 3,3-3,5 GHz dalam dokumen ini, dijiwai dengan pandangan-pandangan berikut :

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN - 1 -

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

LOGO. NATIONAL BROADBAND ECONOMY Strategi: Teknologi, Regulasi dan Pendanaan

BAB V ANALISIS POTENSI PEMANFAATAN TEKNOLOGI BROADBAND WIRELESS ACCESS PADA PITA FREKUENSI 2,3 GHz DI DAERAH USO

MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA

MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA

Management Bisnis ICT

MASUKAN PUSAT KEBIJAKAN INDUSTRI DAN REGULASI TELEKOMUNIKASI ITB ATAS RPM LELANG 2100 MHZ DAN 2300 MHZ

Sharing Alokasi Frekuensi BWA 3.5 GHz dan Satellite Ext-C (down link GHz) FSS

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Alokasi frekuensi 2300 MHz di Indonesia [4]

STUDI TENTANG ALOKASI PITA FREKUENSI BWA UNTUK TEKNOLOGI WIMAX TESIS

4.1 ALOKASI PITA FREKUENSI BWA UNTUK TEKNOLOGI WIMAX

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PEMBANGUNAN FASTEL USO WHITE PAPER PELUANG USAHA DI BIDANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI

TEKNOLOGI WiMAX untuk Komunikasi Digital Nirkabel Bidang

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : 07/PER/M.KOMINFO/2/2006 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

Peluang dan Hambatan Bisnis Industri Telekomunikasi di Era Konvergensi

TANTANGAN INDONESIA PADA ERA BROADBAND ICT

ANALISIS IMPLEMENTASI WiMAX DALAM PERKEMBANGAN TELEKOMUNIKASI DI INDONESIA

BAB III PITA FREKUENSI BWA DI BEBERAPA NEGARA YANG TELAH MENGIMPLEMENTASIKAN TEKNOLOGI WIMAX

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : 01/PER/M.KOMINFO/1/2006 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Analisa kelayakan..., Deris Riyansyah, FT UI, Universitas Indonesia

PEMANFAATAN SPEKTRUM FREKUENSI RADIO DAN ORBIT SATELIT DALAM MENDORONG PEMBANGUNAN BROADBAND

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Pengertian Judul

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN UNIVERSITAS INDONESIA

MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR: 02/PER/M.KOMINFO/1/2006 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. mungkin untuk menciptakan segala sarana yang dapat digunakan untuk. Telekomunikasi di dalam era globalisasi sekarang ini, dimana

BERITA NEGARA. No.1013, 2012 KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA. Penggunaan Pita Frekuensi Radio 2.3GHz. Layanan Wireless Broadband. Prosedur.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Perancangan dan Analisis Desain Jaringan Mobile WiMax e di daerah Sub urban (Studi Kasus di Kota Kediri)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA,

2011, No c. bahwa untuk dapat mendorong persaingan industri telekomunikasi yang sehat, mengembangkan inovasi teknologi informasi dan membuka pel

TUGAS BESAR SISTEM KOMUNIKASI 1 WIMAX DI INDONESIA. Disusun Oleh : Ahya Amalina ( )

I. PENDAHULUAN. tidak pasti dan turbulen baik dari sisi teknologi, regulasi, pasar maupun


KEPUTUSAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : 29 /KEP/M.KOMINFO/03/2006 TENTANG

Pendahuluan. Gambar I.1 Standar-standar yang dipakai didunia untuk komunikasi wireless

BAB II UNIVERSAL SERVICE OBLIGATION dan BROADBAND WIRELWSS ACCESS.

PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : 04 /PER/M.KOMINFO/01/2006 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA NOMOR : 181/KEP/M.KOMINFO/12/ 2006 T E N T A N G

Gambar 1 1 Alokasi Penataan Ulang Frekuensi 1800 MHz[1]

Mensolusikan Permasalahan Keterbatasan Spektrum dan Meningkatkan Quality of Experience Melalui Teknologi LTE Unlicensed

BAB I PENDAHULUAN Kondisi Umum Industri Telekomunikasi di Indonesia. baik untuk mendukung kegiatan pemerintahan, pendidikan, bisnis, kesehatan,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III PERANCANGAN SFN

Multiple Access. Downlink. Handoff. Uplink. Mobile Station Distributed transceivers Cells Different Frequencies or Codes

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR TELEKOMUNIKASI DAN INFORMATIKA YANG BERDAYA SAING TINGGI

BAB I PENDAHULUAN. disebut dengan LTE (Long Term Evolution). LTE merupakan teknologi yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. (browsing, downloading, video streaming dll) dan semakin pesatnya kebutuhan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Antena mikrostrip..., Slamet Purwo Santosa, FT UI., 2008.

DRAFT KEBIJAKAN PENATAAN SPEKTRUM FREKUENSI RADIO LAYANAN AKSES PITA LEBAR BERBASIS NIRKABEL (BROADBAND WIRELESS ACCESS/BWA)

ANALISA DAN PEMBAHASAN MANAJEMEN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB II TEORI PENDUKUNG

Teknologi Komunikasi. INFRASTRUKTUR KOMUNIKASI Broadband & Telecommunication USO. Yani Pratomo, S.S, M.Si. Advertising & Marketing Communication

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Perencanaan Kebutuhan Base Station Jaringan Fixed WiMAX Berdasarkan Demand Site

BAB III JARINGAN BWA WIMAX

FLEXI DAN MIGRASI FREKUENSI

Perencanaan Wireless Metropolitan Area Network (WMAN) Dengan Menggunakan Worldwide Interoperability For Microwave Access (WIMAX)

BAB I PENDAHULUAN. Selama jangka waktu empat tahun terhitung sejak tahun 2006 hingga tahun

Aplikasi WiMAX. Oleh: Yenniwarti Rafsyam, Milda Yuliza, Lifwarda. Staf Pengajar Teknik Elektro Politeknik Negeri Padang ABSTRACT

1.2 Tujuan dan Manfaat Tujuan tugas akhir ini adalah: 1. Melakukan upgrading jaringan 2G/3G menuju jaringan Long Term Evolution (LTE) dengan terlebih

Prakiraan Kebutuhan Akses Broadband dan Perencanaan Jaringan Mobile WiMAX untuk Kota Bandung

BAB 1 PENDAHULUAN. Gambar 1.1. Alokasi frekuensi 3G Telkoms el

Masa Depan Jaringan Teknologi

Layanan Broadband dapat dipenuhi dengan berbagai teknologi, seperti :

EXECUTIVE SUMMARY TEKNOLOGI YANG ANDAL UNTUK MENGATASI RENDAHNYA PENETRASI PENGGUNAAN JASA TELEKOMUNIKASI DI INDONESIA

RENCANA STRATEGIS DITJEN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. bisa mempercepat informasi yang perlu disampaikan baik yang sifatnya broadcast

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. kebutuhan informasi suara, data (multimedia), dan video. Pada layanan

IEEE g Sarah Setya Andini, TE Teguh Budi Rahardjo TE Eko Nugraha TE Jurusan Teknik Elektro FT UGM, Yogyakarta

BAB II TEKNOLOGI DVB-H

PEMBANGUNAN INDUSTRI MANUFAKTUR ICT DALAM NEGERI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II LANDASAN TEORI

Lampiran 1. Pembobotan dan Peratingan Faktor-Faktor Strategis Internal

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN. Sumber: Laporan Postel Sem.I/2014

BAB I. 1.1 Latar Belakang PENDAHULUAN

Agus Setiadi BAB II DASAR TEORI

4.2. Memonitor Sinyal Receive CPE/SU Full Scanning BAB V. PENUTUP Kesimpulan Saran...

TEKNOLOGI & FREKUENSI PENYIARAN MUHAMMAD IRAWAN SAPUTRA, S.I.KOM., M.I.KOM

: ANALIS PENERAPAN TEKNOLOGI JARINGAN LTE 4G DI INDONESIA PENULIS : FADHLI FAUZI, GEVIN SEPRIA HERLI, HANRIAS HS

ANALISIS MANAJEMEN INTERFERENSI JARINGAN UPLINK 4G-LTE DENGAN METODE INNERLOOP POWER CONTROL DI PT TELKOMSEL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

IP based Infrastruktur Indonesia Duniapun Belajar Pada Kita, Bangsa Indonesia. Onno W. Purbo Rakyat Indonesia Biasa

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Transkripsi:

Masukan untuk Penataan Frekuensi BWA II (3,3 GHz - 3,5 GHz) Rev. 1.0, 25 Mei 2008 Oleh : Yohan Suryanto (yohan@rambinet.com) Pendahuluan Alokasi Frekuensi BWA di band 3,3-3,5 GHz, sesuai dengan penjelasan dalam dokumen Masukan untuk Alokasi Frekuensi BWA di Indonesia revisi 1.3 oleh Yohan Suryanto tanggal 1 April 2008, merupakan bagian dari kebutuhan alokasi pita frekuensi BWA yang ideal selain band 2,3-2,5 GHz. Penataan frekuensi BWA di band tersebut, perlu memperhatikan penyelenggara eksisting dan sekaligus juga harus memperhatikan kepentingan jangka panjang untuk tercapainya optimalisasi penggunaan frekuensi dalam rangka memberikan akses broadband network atau internet yang merata dan terjangkau bagi masyarakat Indonesia setidaknya untuk masa 20 tahun kedepan. Sesuai dengan hasil pencocokan data antara Postel sebagai regulator dan penyelenggara BWA eksisting pada tanggal 22-25 April 2008 di Ancol dan dokumentasi rapat Penyelesaian Perizinan BWA Penggunaan Frekuensi 3,3 GHz dan 3,5 GHz tanggal 22 Mei 2008 di Postel, terdapat 9 operator existing yang beroperasi di band tersebut, 4 Operator di band 3,3 GHz dan 5 Operator di band 3,5 GHz. Kondisi eksisting dan kebutuhan pengembangan kedepan merupakan dua hal yang saling terkait dan harus diperhatikan secara bersamaan sebagai masukan kebijakan penataan frekuensi dengan semangat kajian yang komprehensive, memperhatikan masukan Menkominfo M Nuh yang menyatakan penataan frekuensi BWA harus memperhatikan kondisi eksisting (T-1), penataan saat ini (T0) dan rencana kedepan (T+1). Pandangan yang mendasari Dalam memberikan masukan penataan frekuensi pada band 3,3-3,5 GHz dalam dokumen ini, dijiwai dengan pandangan-pandangan berikut : 1. Kebutuhan band frekuensi harus mempertimbangkan aspek kecukupan untuk memberikan layanan akses broadband, sesuai dengan usulan definisi broadband yang disampaikan saat seminar Menyongsong Implementasi BWA di Indonesia tanggal 14 Mei 2008 di Saripan Pacific, sebesar 1,5 Mbps per user. Kecukupan ini harus memperhatikan juga efisiensi jumlah BTS yang akan dibangun untuk memenuhi kebutuhan tersebut. 2. Jumlah operator BWA di Band 3,3-3,5 GHz dibatasi sejumlah 3-5 operator per region dengan alokasi masing-masing 30-60 MHz dengan suatu mekanisme seleksi yang elegan. Penyelenggara eksisting di band 3,3-3,5 GHz perlu mendapatkan prioritas karena ijin alokasi yang sudah diberikan masih berlaku dan terbukti mereka melakukan pengembangan BWA dalam 5 tahun terakhir. Mengingat banyaknya peminat di band ini dan untuk tujuan khusus, perlu dialokasikan 20 MHz untuk kepentingan sharing antar pengguna tujuan khusus dan ISP. 3. Adopsi standard Broadband Wireless Akses yang seragam untuk operator di band 3,3-3,5 GHz sehingga memungkinkan adanya sinkronisasi, interoperability dan roaming antar operator dan standard yang memungkinkan berkembangnya industry dalam negeri. Standard yang digunakan harus efisien dalam penggunaan frekuensi dengan jaminan QoS dan keamanan yang memadai. Adopsi standard ini mengarah pada Wimax 802.16-2005 (802.16e) yang merupakan addendum dari standard Wimax sebelumnya (802.16-2004 yang dikenal dengan 802.16d). 4. Penerimaan PNBP yang tercermin dari BHP, upfront fee alokasi frekuensi, dan biaya penyelenggaraan operator yang mengimplementasikan BWA besarannya harus mencerminkan

GDP Indonesia, target jumlah pelanggan yang diperkirakan dan menjadi pendorong untuk peningkatan penetrasi akses broadband internet di Indonesia. Kebutuhan Frekuensi di Band 3,3-3,5 GHz Pita 3,3-3,5 GHz lebih cocok untuk aplikasi fixed dan nomadic Broadband Wireless Internet Akses dengan potensi lebar kanal 200 MHz dengan melakukan penataan di 3,3 (3,3-3,4 GHz) dan perubahan prioritas pengalokasian antara extended-c dan BWA di 3,5 GHz (3,4-3,5 GHz). Pertanyaan mendasarnya kenapa kita membutuhkan pita dengan lebar 200 MHz yang berurutan di band tersebut? Efisiensi frekuensi menggunakan Wimax dengan modulasi 64 QAM (atau lebih tinggi) dan implementasi MIMO B (Atau yang lebih andvanced) akan didapat efisiensi frekuensi sebesar : 2 (MIMO B) x 6 (bit modulasi/hz) x (3/4 FEC) x 0,75 (Header effisiensi) = 6,75 bit/hz. (1) Dan untuk kondisi rata-rata yang kadang hanya memungkinkan modulasi 16 QAM akan didapat efisiensi sebesar : 2 (MIMO B) x 4 (bit modulasi/hz) x (3/4 FEC) x 0,75 (Header effisiensi) = 4,5 bit/hz. (2) Untuk mempermudah pemahaman mengenai total throughput untuk alokasi yang dibutuhkan, kita menggunakan istilah kapasitas paralel BTS, yang maksudnya adalah total throughput yang bisa dicapai oleh seluruh BTS dari seluruh operator pada lebar pita tertentu. Total throughput yang realistis dengan lebar pita 200 MHz yang bisa tercapai dengan Wimax menggunakan modulasi 16 QAM dan 64 QAM adalah antara 900 Mbps dan maksimum 1.350 Mbps per paralel BTS, seperti terlihat dalam tabel 1 berikut. Tabel 1 : Total troughput paralel BTS untuk lebar pita 200 MHz! " #$% $ & # ' Dengan fokus layanan untuk fixed dan nomadic, BWA dengan frekuensi 3,3-3,5 GHz akan lebih cocok digunakan untuk akses internet rumah, perkantoran, apartemen, backhaul WiFi, dan layanan lainnya yang tidak perlu mobile. Untuk itu kita perlu melihat kaitan antara kapasitas, coverage dan homepass yang akan dilayani. Kerapatan unit pengguna perkantoran dan unit pengguna apartemen per satuan luas kemungkinan besar akan lebih tinggi dibanding dengan kerapatan perumahan untuk luasan yang sama. Dengan pertimbangan tersebut, untuk menghitung kaitan antara homepass dan kapasitas BWA yang perlu dibangun, kita gunakan rumah sebagai jumlah minimum, karena untuk kondisi kebutuhan perkantoran maupun apartemen kapasitas yang harus dibangun akan lebih besar. Perumahan dengan fasum sebagai acuan diambil 1000 m 2. Dengan radius layanan BTS 1,32 km dan 2 km, ketersediaan kapasitas BWA dengan alokasi 200 MHz terhadap kebutuhan layanan broadband akses, bisa dilihat dalam tabel 2 berikut :

Tabel 2 : Jumlah ketersediaan kapasitas dan home pass dalam coverage tertentu : ()#$*+#$, -, - %#.##$ %# / 0 0 0 0 (#$ -, &, -, &, $ & /$1*$,, 2* & & 3 4$/$+5$,,,, - 6$+ #,,,&&,&& $ ) &7 7 7 37 Hal ini memberikan gambaran bahwa dengan dengan total alokasi 200 MHz untuk layanan fixed dan nomadic, agar memenuhi definisi broadband dengan rasio 1:0, masih diperlukan radius jangkauan BTS yang relative pendek antara 1,32 km - 2 km. Jika kita perluas untuk keseluruhan rumah di Indonesia dengan asumsi kapasitas per BTS parallel dengan alokasi 200 MHz adalah 9.000 user maka untuk memenuhi kebutuhan 44 juta homepass diperlukan 4.889 paralel BTS. Ini berarti jika ada 5 operator, maka akan terdapat 24.444 BTS seperti terlihat dalam tabel 3 berikut. Tabel 3 : Perbandingan Total Investasi dengan alokasi 100 MHz dan 200 MHz:!"!" #$$ 6$+#$$,,,, * ( #,,,, $ )#8(. -,, + ($8(.,33- -,3 $ 2#(.## 9 & (#:; ' # ((.#, 3,3333- $ %$& '( (' )$ Dengan investasi sekitar Rp 1,5 Milyar per BTS, akan dibutuhkan dana total Rp 36,67 Trilyun untuk memenuhi kebutuhan broadband internet akses dengan layanan fixed dan nomadic tersebut. Angka ini

tentu akan membengkak menjadi Rp 73,33 Trilyun jika hanya dialokasikan sebesar 100 MHz untuk semua operator BWA di 3,3-3,5 GHz. Ini berarti akan terjadi pemborosan investasi sebesar 36,67 Trilyun, sebuah angka yang mencukupi untuk meluncurkan 20 satellite yang membawa muatan extended C dan C- band sekaligus. Yang tentu saja tidak dimungkinkan pada kurun waktu yang sama (dalam durasi 15 tahun) karena slot satellite Indonesia hanya 7 slot saja. Padahal pemborosan ini, sebenarnya bisa dicegah dengan dukungan kebijakan pemerintah dengan alokasi 200 MHz di band 3,3-3,5 Mhz yang berarti mulai mengalihkan sebagian prioritas untuk extended-c band ke penggunaan untuk BWA, yang pada gilirannya akan membuat broadband internet lebih terjangkau dan sebagian alokasi dananya bisa digunakan untuk pembayaran PNBP dari sektor ICT dalam jangka panjang. Jumlah Operator BWA di Band 3,3-3,5 Ghz Jumlah operator BWA di band 3,3-3,5 GHz harus dibatasi antara 3 sampai 5 operator dengan alokasi 30 MHz dan 60 Mhz yang menghabiskan total alokasi 180 MHz. 20 MHz alokasi sisanya bisa digunakan untuk kebutuhan telekomunikasi khusus seperti untuk pemerintahan, lingkungan sekolah, pertahanan, polri, dan sharing ISP. Apa dasar pertimbangan pembatasan 3-5 operator utama di band ini? Alokasi bandwidth 200 MHz sesuai dengan pertimbangan diatas, akan didistribusikan kepada sejumlah operator BWA, yang memungkinkan terselenggaranya penyediaan jaringan broadband wireless akses yang efisien. Jumlah operator yang mendapatkan alokasi frekuensi dipilih agar dimungkinkan tumbuhnya operator yang kuat dimasa-masa yang akan datang dengan mempertimbangkan target harga jual broadband internet akses yang terjangkau bagi masyarakat luas dan total investasi nasional untuk mencapainya. Tabel 4 : Perbandingan harga jual pokok per BTS terhadap harga jual Broadband Internet Akses *!" " " #$$ (< ' )##(. -, -, -, + <## & ' 6$+# & # 2#(.##,,, 9 & )#(.##,, & #.$%% 7 7 7 3 *1$# 3 3 /%$$#+ - (*+*9 /%$$#+ (.+#+*9 7 7 37 $ $&$ )$ Dengan asumsi kapasitas paralel BTS yang menggunakan alokasi 200 MHz mencapai kapasitas maksimum 9000 user dengan rasio 1:10 masing-masing mendapatkan agregat throughput 1,5 Mbps,

diperkirakan dalam jangka panjang untuk masing-masing lebar blok alokasi secara nasional total investasi akan meningkat jika alokasi per blok semakin kecil, hal ini bisa dilihat dalam tabel 4. Pengalokasian blok frekuensi 15 Mhz per operator dalam jangka panjang secara nasional bisa menyebabkan perbedaan investasi yang signifikan, lebih dari Rp 51 Trilyun dibandingkan jika pengalokasian blok frekuensi 30 MHz atau 60 Mhz per operator untuk mencapai tujuan pemerataan internet akses dengan harga yang terjangkau. Perdasarkan tabel 4 tersebut, secara nasional pembagian blok alokasi menjadi 30 atau 60 MHz, lebih mampu menciptakan tercapainya harga layanan broadband internet akses yang terjangkau (Rp 100 ribu per pelanggan). Dengan jumlah operator dibawah 6 operator dengan alokasi masing-masing 30 atau 60 MHz masih lebih menguntungkan jika alokasi dibagi rata kepada 13 operator masing-masing 15 MHz. Hal ini karena dengan 13 operator, harga pokok BTS bisa mencapai 82% dari harga target layanan. Dengan kondisi tersebut, akan lebih baik jika 7 operator lainnya melakukan kerjasama VNO (Virtual Network Operator) untuk memberikan harga jual yang sama ke pelanggan dengan brand yang mereka miliki, dengan cara membeli kapasitas lebih kepada operator BWA dengan harga setidaknya 75 % dari harga jual komersial. Dengan harga jual 75% dari harga normal, operator utama masih tetap memiliki margin karena harga pokoknya lebih kecil dari 41%. Yang perlu diperhatikan dalam melakukan seleksi 3-5 operator utama BWA di band 3,3-3,5 GHz adalah prioritas pada operator eksisting, mekanisme upfront fee, komitmen pengembangan, dan diutamakan bagi operator dengan penyertaan modal dalam negeri yang lebih besar. Adopsi Standard Wimax 802.16e Mengapa kita perlu mengadopsi standard Wimax 802.16-2005 (802.16e) tanpa ragu untuk band 3,3-3,5 GHz? Salah satu alasannya karena tumbuhnya industri dalam negeri yang juga disuarakan oleh Dirjen Postel, akan lebih mudah berkembang dengan mengadopsi standard terbuka yang tidak eklusive seperti Wimax. Sementara obsolete atau tidaknya teknologi komunikasi sangat ditentukan oleh tingkat adopsi operator berdasarkan masukan vendor dan regulasi oleh pemerintah untuk memberikan alokasi frekuensi. Hal ini nampak dalam adopsi teknologi GSM, selama kebutuhannya untuk komunikasi suara, teknologi ini masih akan tetap relevan. Padahal kita ketahui teknologi ini digunakan oleh operator GSM sejak 15 tahun yang lalu, tetapi jika targetnya adalah komunikasi suara, operator yang baru mengimplementasi layanan komunikasi suara di tahun 2008, juga bisa tetap menggunakannya sekalipun ada teknologi 3G atau 3,5G. Begitu juga dengan Wimax yang datang dengan solusi untuk jaringan broadband internet atau network akses, dengan mengadopsi OFDM/OFDMA. Selama target layanannya adalah layanan akses broadband internet, teknologi pendatang lainnya seperti LTE dan 802.20 yang tidak memiliki kelebihan unik dibanding Wimax bukanlah pilihan yang tepat. Karena disamping teknologi ini eklusive, teknologi ini juga mengadopsi teknik utama Wimax yaitu konsep OFDM/OFDMA yang cocok untuk bandwidth lebar (diatas 5 Mhz) dalam mengatasi masalah fading. Disamping itu Wimax sejak kelahirannya sudah mengadopsi IP based network dengan tetap menjaga adanya QoS dan sistem keamanan yang memadai.

Adopsi standard Wimax 802.16e yang seragam untuk operator di band 3,3-3,5 GHz akan memungkinkan adanya sinkronisasi, interoperability dan roaming antar operator dan juga lebih memungkinkan berkembangnya industri dalam negeri. BHP dan Upfront Fee Perhitungan BHP dan Upfront Fee sebagai pemasukan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) harus mencerminkan GDP Indonesia secara keseluruhan. Total maksimum PNBP dari sektor ICT, paling banyak disumbang oleh sektor Telekomunikasi, Broadcasting dan Penyiaran dengan jumlah yang bisa meningkat seiring dengan tumbuhnya GDP Indonesia. Angka PNBP yang bercermin pada GDP diharapkan bisa menjadi katalis untuk peningkatan infrastruktur telekomunikasi nasional, bukan untuk sebaliknya yaitu menghambat pengembangan infrastruktur telekomunikasi itu sendiri. Dengan kondisi GDP Indonesia saat ini yang mencapai Rp 4.400 Trilyun, yang berarti rata-rata tiap orang berpenghasilan Rp 1,67 juta per bulan. Dengan kondisi penghasilan ini, seseorang fokus utamanya masih untuk sandang, pangan, papan, transportasi dan pendidikan, baru kemudian komunikasi. Kondisi ini diperkuat dari laporan PT Telkom yang mencatat revenue 36 Trilyun sepanjang tahun 2007 dengan total pelanggan sekitar 60 juta yang berarti ARPU 50 ribu perbulan. Angka ini mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa belanja ICT orang Indonesia dengan tingkat penghasilan rata-rata 1,67 juta rupiah perbulan adalah rata-rata maksimum Rp 100 ribu per bulan atau bahkan kurang. Dengan angka 100 ribu rupiah per orang berarti porsi untuk ICT adalah 6% dari GDP yang berarti total Rp 264 Trilyun. PNBP yang wajar maksimum sekitar 3 persen, karena masyarakat sudah dikenai berbagai macam pajak termasuk PPN 10% atas penggunaan layanan ICT, dan operator juga dikenai pajak perusahaan. Jika sektor Telekomunikasi menghasilkan maksimum 80% dari sektor ICT maka total maksimum PNBP dari sektor telekomunikasi adalah: 80%x3%x264 rilyun = 6,34 Trilyun. Dengan demikian jika pencapaian PNBP Postel tahun 2007 sekitar Rp 5,5 trilyun berarti untuk sektor tambahan baru tahun 2008 yang salah satunya diharapkan dari pengaturan alokasi Wimax adalah maksimum 840 Milyar rupiah. Maksimum dana dibagi dalam bentuk upfront fee dan BHP dan kewajiban USO. Disamping itu, sebelum menerapkan angka maksimum, yang perlu dipertimbangkan dalam hal alokasi Wimax adalah upfront fee sebaiknya mencerminkan juga target pengembangan bisnis Wimax dalam jangka waktu 10 tahun kedepan sesuai dengan masa berlaku alokasi frekuensi Wimax, dan BHP pita mencerminkan jumlah target pelanggan yang realistis terkait dengan dukungan kebijakan pemerintah akan alokasi frekuensi yang memadai. Dengan lebar pita yang dialokasikan untuk Wimax 400 MHz, 200 MHz untuk mobile dengan nilai 70% dan 200 MHz dengan nilai 30%, maka untuk alokasi Wimax fixed dan nomadic di band 3,3-3,5 GHz porsinya adalah maksimum Rp 250 Milyar. Mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi 10% pertahun selama 10 tahun, total pemasukan PNBP dari band ini bisa dilihat dalam tabel 5 berikut.

Tabel 5 : Perkiraan maksimum PNBP dan usulan BHP pita untuk band 3,3-3,5 GHz $ +$,-,. )/ $$ -)$$./ &$*. )/ 0$-!,. )/,3 & &,33 3, 3 &,3 -&3 & &, -,- -&- &, && - & 33, --&&3 -& - 3,& - - - -, - &- ''( '(,& &- & 3, &3& - 3 3&,3 3 & &3 -, -,& 3 & &, 3 -- - &,&& &3-&3 &- 3 -, &3-&3 &- -,3 &3-&3 &- &3,& &3-&3 &- Upfront fee didasarkan pada nilai alokasi frekuensi yang tercermin dari GDP Nasional sebesar 10 % dari nilai selama 10 tahun, yaitu 10% dari total 4,65 Trilyun yang berarti setara dengan Rp 460 Milyar. Dengan alokasi 200 MHz, berarti nilai upfront fee per MHz nasional adalah Rp 2,32 Milyar dan per regional dibagi prorata berdasarkan nilai APBD terhadap total APBN. Nilai BHP pita mencerminkan target pertumbuhan pelanggan yang realistis agar tidak memberatkan strategi makro penyediaan infrastruktur akses broadband internet secara keseluruhan. Nilai BHP ini nilainya naik tiap tahun sesuai dengan target pelanggan dan persentasenya terhadap revenue menurun terhadap fungsi waktu. Misalnya untuk alokasi 200 MHz ditahun pertama, nilainya Rp 6 Milyar dan ditahun ke-20 nilainya mencapai sekitar 2 Trilyun rupiah. Usulan Masukan Penataan band 3,3-3,5 GHz: Penataan frekuensi dengan esensi pentahapan seperti pada rapat Penyelesaian Perijinan BWA Penggunaan Pita Frekuensi 3,3 GHz dan 3,5 GHz dengan beberapa usulan berikut :

Tahap 1 : Merupakan jaringan eksisting yang mengakomodasi teknologi PreWimax, dengan pengkanalan 2 MHz, 3,5 MHz dan 5 MHz baik FDD maupun TDD. Jumlah dan cakupan area yang diakui adalah berdasarkan hasil Coklit antara operator BWA pengguna frekuensi 3,3-3,5 GHz tanggal 22-25 April 2008. Pada band 3,5 GHz berlaku sharing frekuensi antara BWA dan Extended-C. Secara garis besar eksisting penataan frekuensi di band 3,3-3,5 Ghz bisa dilihat dalam gambar 1 berikut. ; %0(+#=* * Tahap 2 : Adalah tahap migrasi dan konsolidasi untuk persiapan ke tahap 3. Pada tahap migrasi dan konsolidasi ini, semua operator sepakat menerapkan metode akses TDD. Dilakukan upaya sinkronisasi dan adopsi Wimax 802.16e. Pengurangan alokasi sharing untuk BWA menjadi 3,4-3,5 GHz, dan upaya menjadikan BWA sebagai alokasi primer pada pita 3,4-3,5 GHz dengan mengurangi alokasi untuk satellite extended-c. Pengkanalan yang diusulkan mengakomodasi kebutuhan pengembangan kedepan yaitu 5 Mhz dan 10 Mhz, seperti terlihat dalam gambar 1 diatas. Tahap 3 : Pada tahap 3 dilakukan seleksi berdasarkan keputusan Menteri untuk menentukan 4 operator infrastruktur jaringan akses yang menggunakan Wimax dengan alokasi 30 MHz atau 60 MHz. Hasil seleksi ini berdasarkan juga pada hasil migrasi dan konsolidasi penyelenggara existing pada tahap 2. Dalam tahap ini disediakan alokasi 20 MHz untuk kebutuhan khusus, seperti untuk wilayah pemerintahan, pertahanan, polri, pendidikan, dan sharing ISP yang melayani daerah terbatas dan eklusive. Perkiraan hasil seleksi dapat dilihat dalam gambar 2 berikut.

; %0(+#.#> <:; ' Demikian pokok-pokok usulan penataan frekuensi BWA band 3,3-3,5 GHz, semoga menjadi salah satu pertimbangan demi terwujudnya kebijakan penataan frekuensi BWA yang memungkinkan tercapainya layanan broadband wireless internet akses yang merata dan terjangkau bagi masyarakat Indonesia. Salam, -yohan-