BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di bumi terdapat kira-kira 1,3 1,4 milyar km³ air : 97,5% adalah air laut, 1,75% berbentuk es dan 0,73% berada di daratan sebagai air sungai, air danau, air tanah, dan sebagainya. Hanya 0,001% berbentuk uap di udara melalui siklus hidrologi. Air di bumi ini mengalami sirkulasi penguapan, presipitasi dan pengaliran keluar (outflow). Air menguap ke udara dari permukaan tanah dan laut, berubah menjadi awan sesudah melalui beberapa proses dan kemudian jatuh sebagai hujan atau salju ke permukaan laut atau daratan. Sebelum tiba ke permukaan bumi sebagian langsung menguap ke udara dan sebagian tiba ke permukaan bumi. Tidak semua bagian hujan yang jatuh ke permukaan bumi mencapai permukaan tanah (Sosrodarsono, 1977). Sebagian air hujan yang jatuh ke permukaan tanah akan masuk ke dalam tanah (infiltrasi). Bagian lain yang merupakan kelebihan akan mengisi lekuk-lekuk permukaan tanah, kemudian mengalir ke daerah-daerah yang rendah, masuk ke sungai-sungai dan akhirnya ke laut. Tidak semua air hujan yang mengalir akan menuju ke laut. Dalam perjalanan ke laut sebagian akan menguap dan kembali ke udara. Sebagian air yang masuk ke dalam tanah keluar kembali ke sungai-sungai (disebut aliran intra = interflow). Tetapi sebagian besar akan tersimpan sebagai air tanah (groundwater) yang akan keluar sedikit demi sedikit dalam jangka waktu yang lama ke permukaan tanah di daerah-daerah yang rendah (disebut groundwater runoff = limpasan air tanah). Aliran sungai terdiri dari 3 (tiga) sumber, yakni limpasan permukaan (surface runoff), aliran intra (interflow) dan limpasan air tanah (groundwater runoff) yang akhirnya akan mengalir ke laut. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, sirkulasi yang kontinu antara air laut dan air daratan berlangsung terus menerus. Sirkulasi air ini disebut siklus hidrologi 1
(hydrological cycle). Tetapi sirkulasi air ini tidak merata, karena terdapat perbedaan besar presipitasi dari tahun ke tahun, dari musim ke musim yang berikut dan juga dari wilayah ke wilayah yang lain. Air permukaan dan air tanah yang dibutuhkan untuk kehidupan dan produksi adalah air yang terdapat dalam proses sirkulasi ini. Jadi jika sirkulasi ini tidak merata, maka akan terjadi bermacam-macam kesulitan. Jika terjadi sirkulasi yang lebih maka akan terjadi banjir, sedangkan jika terjadi sirkulasi yang kurang akan menyebabkan kekurangan air (Sosrodarsono, 1977). Banjir merupakan peristiwa yang hampir tiap tahun menjadi topik pemberitaan. Pada musim hujan, hampir semua kota di Indonesia mengalami bencana banjir. Telah banyak usaha dilakukan pemerintah antara lain membuat bendungan, pembuatan kanal, dan reboisasi namun belum ada yang menyelesaikan masalah bahkan kelihatannya makin lama semakin luas cakupannya, baik frekuensinya, luasannya, kedalamannya, maupun durasinya (Suripin, 2004). Banjir disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor alamiah dan faktor yang disebabkan oleh aktivitas manusia. Faktor alamiah pada umumnya meliputi topografi dan bentuklahan. Penyebab ini tidak dapat dihindari akan tetapi dapat dikontrol. Faktor yang lainnya disebabkan oleh aktivitas manusia, meliputi jumlah dan kepadatan penduduk yang seiring dengan bertambahnya penduduk maka bertambah pula kebutuhan penduduk akan tempat tinggal dan industri, sehingga banyak terjadi perubahan pemanfaatan lahan. Tata kota dapat mengurangi banjir sejauh ia memberi ruang untuk suatu sistem menyerap dan mengalirkan air sedemikian rupa sehingga tidak terjadi aliran permukaan yang liar yang menyebabkan banjir. Hal yang perlu diperhatikan adalah kondisi daya tampung sistem drainase/saluran air apakah mampu menampung air atau tidak pada debit tertentu di perkotaan (Suripin, 2004). Untuk menanggulangi masalah banjir yang bersifat menyeluruh, diperlukan keterpaduan beberapa bidang, antara lain diperlukannya informasi secara keruangan tentang fenomena banjir yang di tangani. 2
Melalui informasi keruangan dapat diketahui daerah-daerah rentan banjir, sehingga di daerah tersebut dapat dilakukan tindakan-tindakan pencegahan maupun perbaikan situasi dan menghindari pembangunan prasarana fisik, gedung dan penggunaan lahan lainnya di mintakat bahaya (Verstappen, 1983 dalam Yusuf, 2005). Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah atau gejala yang dikaji (Lillesand & Kieffer, 1999). Teknik penginderaan jauh sangat bermanfaat untuk perolehan data fenomena permukaan bumi, terutama pada daerah yang sulit dijangkau secara terestris. Perkembangan dari teknologi penginderaan jauh itu sendiri cukup pesat seiring dengan tersedianya data yang semakin baik resolusinya. Pada tahun 2002 telah diluncurkan satelit komersial beresolusi spasial 0,6 meter untuk sensor pankromatik dan 2,4 meter untuk sensor multispektralnya. Satelit ini dinamakan Quickbird-2 atau lebih dikenal dengan satelit Quickbird. Citra quickbird ini dapat menunjang akan kebutuhan data penginderaan jauh yang beresolusi tinggi. Sistem Informasi Geografis (selanjutnya disebut SIG) adalah sistem yang berbasis komputer yang memberikan 4 kemampuan dalam menangani data bereferensi geografis, yaitu : pemasukan data, pengelolaan data, manipulasi dan analisis data, serta keluaran data (Aronoff, 1989 dalam Prahasta, 2002). Perpaduan teknik penginderaan jauh dengan SIG sangat memungkinkan adanya perolehan dan penanganan data secara cepat dan efisien baik secara waktu, tenaga, serta biaya bila dibandingkan secara terestris. Dengan demikian pengaplikasian teknik penginderaan jauh dan SIG akan memudahkan perolehan data untuk mempelajari proses-proses yang terjadi pada suatu DAS. Dengan melakukan integrasi antara dua teknologi, yaitu Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis maka pembuatan peta yang meliputi input data, klasifikasi data, tumpang susun peta (overlay), manipulasi dan 3
analisis data serta presentasi data dapat dilakukan dengan mudah dan cepat apabila ada kekurangan dan kesalahan dapat ditambah dan diperbaiki dengan cepat, sehingga dapat menghemat waktu dan tenaga serta biaya. Kota Malang yang terletak di dataran tinggi bila dilihat dari topografinya yang bergelombang seharusnya tidak mungkin terjadi banjir. Beberapa tahun belakangan ini, kota Malang menjadi langganan banjir di setiap musim penghujan. Banjir yang terjadi di kota Malang merupakan banjir sesaat yang rutin terjadi di beberapa tempat di kota Malang. Fenomena banjir hampir pernah terjadi di banyak daerah di Indonesia khususnya daerah daerah yang berelief datar yang terletak di dataran rendah. Tetapi fenomena banjir yang terjadi di Kota Malang merupakan fenomena banjir yang kurang lazim. Meskipun Kota Malang dilewati beberapa sungai besar seperti sungai Brantas, Sungai Metro, Sungai Amprong dan Sungai Bango, tetapi topografi kota Malang yang bergelombang seharusnya tidak memungkinkan terjadinya banjir. Kota Malang merupakan salah satu daerah yang perkembangan areal permukimannya sangat cepat, hal ini dikarenakan kemajemukan kehidupan di daerah perkotaan. Di Kota Malang juga terdapat beberapa perguruan tinggi antara lain Universitas Brawijaya, Universitas Negeri Malang, Universitas Merdeka, Universitas Islam Malang, Universitas Muhamadiyah Malang, Politeknik Negeri Malang, dan Institut Teknologi Nasional serta beberapa sekolah tinggi setingkat universitas, sehingga dengan adanya perguruan tinggi tersebut maka akan memicu pertumbuhan areal permukiman yang tinggi disekitar universitas tersebut. Beberapa tahun belakangan, kota Malang menjadi langganan banjir tiap tahunnya. Dengan berkembangnya areal permukiman pada Kota Malang, maka banyak terjadi alih fungsi lahan dari daerah resapan menjadi lahan terbangun. Selain perkembangan areal permukiman yang sangat cepat, di kota Malang juga banyak terjadi pembangunan fasilitas umum seperti Mall, Ruko, dan Arena Olahraga sehingga banyak daerah resapan yang hilang sehingga menambah resiko terjadi limpasan. 4
1.2. Perumusan Masalah Di berbagai kota didunia ini telah banyak dibuat saluran-saluran drainase, sebagai bentuk perlindungan manusia terhadap banjir, baik yang di atas permukaan maupun di bawah permukaan. Pada kenyataannya, banyak saluran drainase yang tidak berfungsi semestinya entah akibat sampah dan sedimen, atau pembuatan drainase yang kurang memperhitungkan daya tampungnya, sehingga apabila terdapat curah hujan yang tinggi, beberapa sungai besar dan saluran-saluran akan meluap dan air bah menggenangi halaman-halaman di daerah-daerah sekitarnya. Pengendalian terhadap banjir di daerah perkotaan tersebut sangatlah dibutuhkan, untuk itu pemetaan daerah-daerah rawan banjir genangan di perkotaan sangat diperlukan sebagai sumber data awal. Kota Malang salah satunya adalah kota yang dalam beberapa tahun terakhir ini telah mengalami banjir lokal. Banjir lokal terjadi disebabkan oleh tingginya intensitas hujan dan belum tersedianya sarana drainase yang memadai. Banjir lokal ini lebih bersifat setempat, sesuai dengan atau seluas kawasan sebaran hujan lokal. Banjir ini semakin parah, karena saluran drainase yang ada tidak berfungsi optimal yang di sana-sini tersumbat sampah, sehingga mengurangi kapasitas penyalurannya (Ridwan, 1980:2 dalam Yusuf, 2005). Penelitian ini menekankan pada pemetaan kerawanan banjir di Kota Malang dengan memperhatikan aspek parameter fisik lahan yaitu saluran drainase, penutup lahan, kemiringan lereng, curah hujan, serta jenis tanah. Hal tersebut memerlukan bantuan dari berbagai bidang secara menyeluruh, baik itu Penginderaan Jauh, Sistem Informasi Geografis maupun bidangbidang lainnya. Dalam penelitian ini digunakan Citra Satelit Quickbird yang merupakan citra resolusi tinggi. Melalui citra satelit itu dapat dipetakan penggunaan lahan aktual kota sehingga dapat diperkirakan besarnya limpasan permukaan akibat perubahan penggunaan lahan dari area resapan 5
menjadi lahan terbangun. Untuk citra satelit Quickbird yang sudah terkoreksi, pemrosesannya memungkinkan seperti foto udara umumnya untuk perolehan data dengan kualitas foto orto dan proses fotogrametri lainnya. Citra satelit ini memiliki resolusi spasial yang tinggi yaitu 2,4 meter (multispektral) dan 61 centimeter (pankromatik), sehingga mempunyai gambaran piktorial yang baik dan menyerupai hasil foto udara. Objek kajian di daerah perkotaan yang umumnya berukuran kecil dan pengunaan lahan yang heterogen dapat dikenali dengan mudah pada citra satelit Quickbird. Permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini dapat diwujudkan dalam dua poin pertanyaan sebagai berikut : 1. Bagaimana kemampuan teknik penginderaan jauh dengan menggunakan citra Quickbird untuk menyadap parameter fisik lahan yang mempengaruhi tingkat kerawanan banjir limpasan? 2. Bagaimana peta sebaran genangan banjir di daerah penelitian jika dikaitkan dengan limpasannya? Berdasarkan kenyataan-kenyataan yang ada tentang banjir di Kota Malang dan dampak merugikan yang diakibatkan banjir tersebut serta diperlukannya informasi keruangan tentang fenomena banjir yang ditangani, maka penulis melakukan penelitian dengan judul APLIKASI PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK PEMETAAN DAERAH RAWAN BANJIR DI KOTA MALANG, sehingga diharapkan hasil penelitian ini mampu memberikan sumbangan yang berarti bagi penekanan bahaya dan dampak banjir serta perencanaan pengendalian banjir kota. 1.3. Tujuan Penelitian Atas dasar latar belakang dan permasalahan yang dikemukakan diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengkaji kemampuan citra Quickbird untuk menyadap parameter fisik lahan yang mempengaruhi tingkat kerawanan banjir 6
2. Mengkaji hubungan antara genangan banjir dengan limpasan permukaan. 3. Memetakan daerah rawan banjir di Kota Malang. 1.4. Kegunaan Penelitian 1. Pengembangan ilmu dan teknologi Penginderaan jauh, khususnya citra Quickbird untuk studi banjir. 2. Peta genangan banjir yang dihasilkan dapat memberikan gambaran tingkat kerawanan banjir dan persebarannya, sehingga dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam strategi penanggulangan, perencanaan, dan pembangunan daerah rawan banjir baik di Kota Malang. 7