1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pengelolaan DAS di Indonesia telah dimulai sejak tahun 70-an yang diimplementasikan dalam bentuk proyek reboisasi - penghijauan dan rehabilitasi hutan - lahan kritis. Proyek pengelolaan DAS pertama kali dimulai tahun 1973 berupa Proyek Solo Upper Watershed Management and Upland Development di DAS Bengawan Solo bantuan FAO/UNDP. Proyek pengelolaan DAS yang sedang gencar dilaksanakan akhir-akhir ini oleh pemerintah yang dimulai pada tahun 2003 di bawah Departemen Kehutanan adalah Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN RHL/GERHAN). Kegiatan pengelolaan DAS tersebut telah berupaya memelihara dan meningkatkan kualitas DAS di Indonesia agar DAS-DAS tersebut dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kondisi DAS di Indonesia semakin memburuk dan permasalahannya semakin komplek (Murtilaksono, 2004; Wibowo, 2004). Gambaran kondisi DAS di Indonesia yang semakin rusak dapat diamati berdasarkan jumlah DAS proritas yang semakin bertambah dari tahun ke tahun. Menurut Arsyad (2006), tahun 1984 berdasarkan Surat Keputusan bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan dan Menteri Pekerjaan Umum No : 19 tahun 1984 No: 059/Kpts-II/1984 No : 124/Kpts/1984 tanggal 4 April 1984 tentang penanganan konservasi tanah dalam rangka pengamanan DAS prioritas, dari 458 DAS yang ada di Indonesia terdapat 20 DAS super prioritas (prioritas I) dan menjadi 37 tahun 1992. Pada tahun 1999, berdasarkan SK Menhut No. 284/Kpts-II/99 tanggal 7 Mei 1999 tentang penetapan urutan prioritas DAS, jumlah DAS prioritas I meningkat menjadi 60 DAS (Arsyad, 2006; Wibowo, 2004). Beberapa indikator kerusakan DAS yang dapat diamati adalah hilangnya kemampuan DAS menyimpan air sehingga musim kemarau mengalami kekeringan, tidak menentunya frekwensi dan besaran banjir dan tingginya sedimentasi di sungai. Hal tersebut menunjukkan bahwa sistem lingkungan DAS yang mendukung proses hidro-orologis DAS sedang mengalami kerusakan.
2 Secara umum persoalan yang ditemukan dalam optimalisasi pengelolaan DAS, khususnya pengelolaan sumberdaya alam (faktor biofisik) dalam DAS adalah belum terpadunya penanganan DAS mulai dari hulu sampai hilir, baik antara daerah maupun antar stakeholder yang ada dan belum diimplementasikan kebijakan-kebijakan di tingkat nasional maupun daerah secara konsisten (Sunarti, 2007). Pada tahap pelaksanaan, pengelolaan DAS dapat diwujudkan melalui beberapa fase, yaitu : fase identifikasi masalah, fase perencanaan, fase implementasi dan fase evaluasi. Keempat fase tersebut saling berkaitan membentuk suatu siklus. Kenyataannya pelaksanaan keempat fase tersebut saling tidak berkaitan satu dengan lainnya. Instansi yang berwenang menangani kegiatan masing-masing fase kurang berkoordinasi. Pada fase identifikasi masalah dan fase perencanaan yang merupakan bagian dari keempat fase pengelolaan DAS, salah satu instansi yang berwenang melaksanakan kegiatan adalah Departemen Kehutanan melalui Dirjen RLPS (Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial) dalam bentuk penyusunan pola RLKT (Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah) dan rencana teknik lapang (RTL) RLKT, yang pembuatannya dilaksanakaan sejak tahun 1984. Pada kegiatan RLKT, perencanaan pengelolaan DAS didasarkan pada tingkat erosi dan sedimentasi, tingkat kekritisan lahan dan tingkat kekritisan peresapan air hujan ke dalam tanah (Ditjen RRL, 1998). Pendugaan ketiga tingkat parameter tersebut menggunakan parameter dan variabel masukan dan keluaran yang kurang memperhatikan variabilitas keruangan (spasial), Pendugaan ketiga parameter tersebut tidak memperhatikan kondisi DAS secara menyeluruh terutama kondisi hidrologi DAS. Dalam pendekatan hidrologis, DAS merupakan wilayah yang dibatasi punggung bukit (pemisahan topografi) dimana air hujan yang jatuh pada daerah tersebut akan ditampung dan kelebihannya dialirkan melalui sungai kecil ke sungai utama. Menurut Black (1996) dalam Pawitan (2004), DAS sebagai satuan hidrologi lahan memiliki 3 fungsi dasar, yaitu : (1) mengumpulkan curah hujan, (2) menyimpan air hujan yang terkumpul dalam sistem-sistem simpanan air DAS dan (3) mengalirkan air sebagai limpasan. Ketiga fungsi hidrologi DAS tersebut
3 berinteraksi dalam suatu sistem DAS yang merupakan sistem simpanan massa air, serta hubungan masukan hujan dan keluaran limpasan DAS. Sistem DAS dicirikan oleh kondisi biofisik lahan membentuk suatu sistem yang komplek dan sebagai filter terhadap masukan curah hujan yang komplek pula. Curah hujan sebagai masukan mengandung variabilitas ruang dan waktu yang sangat tinggi dan tidak dapat diperkirakan untuk beberapa waktu kedepan yang merupakan kondisi lingkungan atmosfer, sedangkan limpasan sungai merupakan gambaran kondisi biofisik lingkungan DAS juga mengandung variabilitas yang tinggi dalam menerima, manampung dan meluluskan air (Pawitan, 2004; Sri Harto, 2000). Memperhatikan persoalan tersebut, tidak mungkin analisis sitem hidrologi dilakukan untuk melacak keberadaan setiap bagian curah hujan dalam proses transformasi hidrologi dalam DAS. Analisis yang dapat dilakukan adalah dengan mengandaikan proses transformasi yang terjadi mengikuti suatu aturan tertentu dimana harus dapat menggambarkan kondisi biofisik DAS dalam proses transformasi tersebut yang disusun dalam sebuah model (Sri Harto, 2000). Model tersebut sering disebut sebagai model hidrologi. Pemilihan jenis model diperlukan untuk menentukan model yang paling sesuai dengan keadaan DAS. Pemilihan model yang akan digunakan dalam analisis hendaknya dilakukan dengan pemahaman mendalam tentang struktur model, kemampuan operasional, kekuatan dan kelemahannya, kepekaan dan keterbatasannya. Sehingga dapat diketahui tingkat akurasi dari model yang digunakan. Tujuan aplikasi model hidrologi akan menentukan katagori model yang akan digunakan. Penggunaan model hidrologi dalam perencanaan pengelolaan DAS bertujuan untuk mengidentifikasi, menilai, mengevaluasi tingkat permasalahan DAS dan sabagai alat untuk memilih tindakan pengelolaan dalam mengendalikan permasalahan tersebut. Sehingga diharapkan dengan penggunaan model hidrologi dapat dikembangkan skenario tindakan pengelolaan secara sistematis untuk menentukan kondisi perencanaan pengelolaan DAS terbaik. Sehingga model hidrologi merupakan metode alternatif untuk menentukan perencanaan pengelolaan DAS.
4 SWAT (Soil and Water Assessment Tool) merupakan model terdistribusi yang telah terinterfasing dengan GIS dan telah mengintegrasikan Spatial DSS (Decision Support System). Model SWAT dioperasikan pada interval waktu harian dan dirancang untuk memprediksi dampak jangka panjang dari praktek pengelolaan lahan terhadap sumberdaya air, sedimen dan hasil agro-chemical pada DAS besar dan komplek dengan berbagai skenario tanah, penggunaan lahan dan pengelolaan berbeda (Pawitan, 2004). SWAT memungkinkan sejumlah proses fisik yang berbeda untuk disimulasikan pada suatu DAS. Penggunaan model SWAT dapat mengidentifikasi, menilai, mengevaluasi tingkat permasalahan suatu DAS dan sabagai alat untuk memilih tindakan pengelolaan dalam mengendalikan permasalahan tersebut. Sehingga diharapkan dengan penggunaan model SWAT dapat dikembangkan beberapa skenario guna menentukan kondisi perencanaan pengelolaan DAS terbaik. Perumusan Masalah DAS Cisadane merupakan salah satu DAS yang masuk DAS prioritas II dengan katagori erosi tinggi dan rawan banjir. DAS Cisadane merupakan salah satu tiga DAS besar (Ciliwung dan Kali Bekasi) yang memberikan kontribusi terbesar terhadap banjir di Jabotabek. DAS Cisadane yang berhulu di Timur Gunung Salak melewati Kabupaten Bogor Barat, Kodya Bogor bagian Barat dan Kabupaten Tangerang berpengaruh terhadap bahaya banjir di Jakarta Barat. Pada wilayah DAS Cisadane potensi lahan kritis menunjukkan areal yang cukup luas yaitu mencapai luas + 12.732,2 ha yang diakibatkan oleh pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan fungsinya. Keadaan fluktuasi debit menunjukkan angka yang menyolok dengan kisaran Q maks dan Q min berkisar rata-rata 415,66 78,19 m 3 /dtk sehingga sering terjadi bencana tanah longsor dan banjir serta kekeringan pada musim kemarau (BP DAS Ciliwung Cisadane, 2002). Pada proses perencanaan pengelolaan DAS Cisadane, yang diimplementasikan pada kegiatan RLKT, menurut Ditjen RRL (1998) penetapan kegiatan pengelolaan didasarkan pada tingkat erosi dan sedimentasi, tingkat kekritisan lahan dan tingkat kekritisan peresapan air hujan ke dalam tanah.
5 Pendugaan ketiga tingkat parameter tersebut menggunakan parameter dan variabel masukan dan keluaran yang mempunyai variabilitas keruangan (spasial). Kegiatan RLKT DAS Cisadane disusun untuk mengatasi erosi dan sedimentasi, di mana kondisi pengelolaan DAS yang baik hanya didasarkan pada tingkat erosi onsite dan tingkat erosi offsite untuk penentuan laju sedimentasi. Sedangkan hasil limpasan belum diperhatikan. Penggunaan model hidrologi merupakan tool untuk melakukan pengelolaan DAS. Penggunaan model hidrologi dapat mengidentifikasi, menilai, mengevaluasi tingkat permasalahan DAS dan sabagai alat untuk memilih tindakan pengelolaan dalam mengendalikan permasalahan DAS. Sehingga diharapkan dengan penggunaan model hidrologi dapat dikembangkan skenario tindakan pengelolaan secara sistematis untuk menentukan kondisi perencanaan pengelolaan DAS Cisadane terbaik. Tujuan dan Kegunaan Tujuan Sesuai dengan latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah 1. Aplikasi model SWAT untuk identifikasi sub DAS dan unit lahan yang bermasalah pada DAS Cisadane. 2. Evaluasi perencanaan pengelolaan DAS Cisadane dan penentuan perencanaan pengelolaan DAS Cisadane terbaik dengan melihat dampaknya terhadap indikator hidrologi DAS Cisadane. Kegunaan Luaran dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk menyusun perencanaan pengelolaan DAS Cisadane. Sehingga model hidrologi dapat digunakan bagi pengambil keputusan untuk alternatif perencanaan pengelolaan DAS.