Heterosis Persilangan Itik Tegal dan Mojosari pada Kondisi Sub-Optimal

dokumen-dokumen yang mirip
INTERAKSI ANTARA BANGSA ITIK DAN KUALITAS RANSUM PADA PRODUKSI DAN KUALITAS TELUR ITIK LOKAL

PERSILANGAN TIMBAL BALIK ANTARA ITIK ALABIO DAN MOJOSARI : PERIODE AWAL BERTELUR

PERSILANGAN TIMBAL BALIK ANTARA ITIK TEGAL DAN MOJOSARI : I. AWAL PERTUMBUHAN DAN AWAL BERTELUR

Pengaruh Genotipa dan Kadar Aflatoksin dalam Ransum pada Karakteristik Awal Bertelur Itik Lokal

PERTUMBUHAN STARTER DAN GROWER ITIK HASIL PERSILANGAN RESIPROKAL ALABIO DAN PEKING

PRODUKSI TELUR PERSILANGAN ITIK MOJOSARI DAN ALABIO SEBAGAI BIBIT NIAGA UNGGULAN ITIK PETELUR

(PRODUCTIVITY OF Two LOCAL DUCK BREEDS: ALABIO AND MOJOSARI RAISED ON CAGE AND LITTER HOUSING SYSTEM) ABSTRACT ABSTAAK PENDAHULUAN

PROGRAM PEMBIBITAN ITIK MA DI BPTU PELAIHARI KALIMANTAN SELATAN: SELEKSI PADA POPULASI BIBIT INDUK ITIK ALABIO

Performans Pertumbuhan Itik Talang Benih Jantan dan Betina yang Dipelihara secara Intensif

PRODUKSI TELUR ITIK MA DI BPTU PELAIHARI KALIMANTAN SELATAN

Pengaruh Pemberian Pakan Terbatas terhadap Produktivitas Itik Silang Mojosari X Alabio (MA): Masa Pertumbuhan sampai Bertelur Pertama

Bibit niaga (final stock) itik Alabio dara

PENDUGAAN PARAMETER GENETIK SIFAT-SIFAT PRODUKSI TELUR ITIK ALABIO

Bibit niaga (final stock) itik Mojosari dara

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004

Bibit niaga (final stock) itik Alabio meri umur sehari

CIRI - CIRI FISIK TELUR TETAS ITIK MANDALUNG DAN RASIO JANTAN DENGAN BETINA YANG DIHASILKAN ABSTRACT ABSTAAK

Bibit induk (parent stock) itik Mojosari muda

Bibit niaga (final stock) itik Mojosari meri umur sehari

Bibit induk (parent stock) itik Alabio muda

Pengaruh Pemberian Pakan Terbatas Terhadap Produktivitas Itik Silang Mojosari x Alabio (MA): 2. Masa Bertelur Fase Kedua Umur Minggu

Seminar Nasional Peternakan dan Yeteriner 1998 ABSTRAK

KUALITAS TELUR ITIK ALABIO DAN MOJOSARI PADA GENERASI PERTAMA POPULASI SELEKSI

FERTILITAS DAN DAYA TETAS TELUR HASIL PERSILANGAN ANTARA PUYUH ASAL BENGKULU, PADANG DAN YOGYAKARTA

PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG DAUN KATUK (Sauropus androgynus (L.) Merr.) DALAM RANSUM TERHADAP KUALITAS TELUR ITIK LOKAL SKRIPSI LILI SURYANINGSIH

Bibit induk (parent stock) itik Alabio meri

Bibit induk (parent stock) itik Mojosari meri

Performa, Persentase Karkas dan Nilai Heterosis Itik Alabio, Cihateup dan Hasil Persilangannya pada Umur Delapan Minggu

Model Regresi Pertumbuhan Dua Generasi Populasi Terseleksi Itik Alabio

KARAKTERISTIK UKURAN ORGAN DALAM KARKAS ITIK GENOTIPE PEKING x ALABIO DAN PEKING x MOJOSARI

PRODUKTIVITAS ITIK ALABIO DAN MOJOSARI SELAMA 40 MINGGU DARI UMUR MINGGU

PERSILANGAN AYAM PELUNG JANTAN X KAMPUNG BETINA HASIL SELEKSI GENERASI KEDUA (G2)

Performa Pertumbuhan Puyuh Petelur Betina Silangan... Henry Geofrin Lase

Performans Produksi Telur Itik Talang Benih pada Fase Produksi Kedua Melalui Force Moulting

SELEKSI AWAL BIBIT INDUK ITIK LOKAL

Kususiyah, Urip Santoso, dan Debi Irawan. Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu

Gambar 1. Itik Alabio

KARAKTERISTIK PERTUMBUHAN ITIK BALI SEBAGAI SUMBER PLASMA NUTFAH TERNAK (GROWTH CHARACTERISTICS OF BALI DUCK AS A SOURCE OF GERMPLASM) ABSTRACT

TINGKAT KEPADATAN GIZI RANSUM TERHADAP KERAGAAN ITIK PETELUR LOKAL

Pengaruh Pemberian Pakan Terbatas terhadap Produktivitas Itik Silang Mojosari X Alabio (Ma): 1. Masa Bertelur Fase Pertama Umur Minggu

SELEKSI YANG TEPAT MEMBERIKAN HASIL YANG HEBAT

FERTILITAS DAN DAYA TETAS TELUR ITIK PERSILANGAN PEKING X ALABIO (PA) DAN PEKING X MOJOSARI (PM) YANG DIINSEMINASI ENTOK JANTAN

Roesdiyanto, Rosidi dan Imam Suswoyo Fakultas Peternakan, Unsoed

Beberapa Kriteria Analisis Penduga Bobot Tetas dan Bobot Hidup Umur 12 Minggu dalam Seleksi Ayam Kampung

PENGGUNAAN POLLARD DENGAN ASAM AMINO SINTESIS DALAM PAKAN AYAM PETELUR TERHADAP UPAYA PENINGKATAN KUALITAS FISIK TELUR

PENAMPILAN ANAK ITIK YANG DIPELIHARA BERDASARKAN KELOMPOK BOBOT TETAS KECIL, BESAR DAN CAMPURAN SKRIPSI KOMARUDIN

Pendugaan Parameter Genetik Bobot Hidup Itik Alabio dan Mojosari pada Periode Starter

HUBUNGAN UMUR SIMPAN DENGAN PENYUSUTAN BOBOT, NILAI HAUGH UNIT, DAYA DAN KESTABILAN BUIH PUTIH TELUR ITIK TEGAL PADA SUHU RUANG SKRIPSI ROSIDAH

ANALISIS FEASIBILITAS USAHA TERNAK ITIK MOJOSARI ALABIO

Performan Puyuh Local Asal Payakumbuh, Bengkulu dan Hasil Persilangannya

Karakteristik Eksterior Telur Tetas Itik... Sajidan Abdur R

Yunilas* *) Staf Pengajar Prog. Studi Peternakan, FP USU.

Peking. Gambar 6 Skema persilangan resiprokal itik alabio dengan itik peking untuk evaluasi pewarisan sifat rontok bulu terkait produksi telur.

PENGARUH BANGSA ITIK ALABIO DAN MOJOSARI TERHADAP PERFORMAN REPRODUKSI (REPRODUCTIVE PERFORMANCE OF ALABIO AND MOJOSARI DUCKS) ABSTRACT ABSTAAK

L. HARDI PRASETYO : Siralegi dan Peluang Pengembangan Pembibitan Ternak ilik usahanya dengan orientasi skala komersial. HARDJOSWORO et al. (2002) meny

OPTIMALISASI TEKNOLOGI BUDIDAYA TERNAK AYAM LOKAL PENGHASIL DAGING DAN TELUR

EVALUASI POTENSI GENETIK GALUR MURNI BOER

THE INFLUENCES OF CAGE DENSITY ON THE PERFORMANCE OF HYBRID AND MOJOSARI DUCK IN STARTER PERIOD

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang

THE INFLUENCES OF CAGE DENSITY ON PERFORMANCE OF HYBRID AND MOJOSARI DUCK IN FINISHER PERIOD

SISTEM BREEDING DAN PERFORMANS HASIL PERSILANGAN SAPI MADURA DI MADURA

PENAMPILAN PRODUKSI AYAM BROILER YANG DIBERI TEPUNG GAMBIR (Uncaria Gambir Roxb) SEBAGAI FEED ADDITIVE DALAM PAKAN.

PERFORMA PRODUKSI ITIK BERDASARKAN KELOMPOK BOBOT TETAS KECIL, BESAR DAN CAMPURAN

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan September - Desember 2015 di

PERBANDINGAN PRODUKTIVITAS ITIK MOJOSARI DAN ITIK LOKAL PADA PEMELIHARAAN SECARA INTENSIF DI DKI JAKARTA

PENGARUH PEMBERIAN PAKAN TERBATAS TERHADAP PENAMPILAN ITIK SILANG MOJOSARI X ALABIO (MA) UMUR 8 MINGGU

Pendugaan heritabilitas rill (realized heritability) dan kemajuan genetik produksi telur itik mojosari

Daging itik lokal memiliki tekstur yang agak alot dan terutama bau amis (off-flavor) yang merupakan penyebab kurang disukai oleh konsumen, terutama

Performa Produksi Telur Turunan Pertama (F1) Persilangan Ayam Arab dan Ayam Kampung yang Diberi Ransum dengan Level Protein Berbeda

Performan Pertumbuhan dan Produksi Karkas Itik CA [Itik Cihateup x Itik Alabio] sebagai Itik Pedaging

Kususiyah, Urip Santoso, dan Rian Etrias

Performa Produksi Puyuh Petelur (Coturnix-coturnix Japonica) Hasil Persilangan..Wulan Azhar

KELENTURAN FENOTIPIK SIFAT-SIFAT REPRODUKSI ITIK MOJOSARI, TEGAL, DAN PERSILANGAN TEGAL-MOJOSARI SEBAGAI RESPON TERHADAP AFLATOKSIN DALAM RANSUM

RESPON PENGGANTIAN PAKAN STARTER KE FINISHER TERHADAP KINERJA PRODUKSI DAN PERSENTASE KARKAS PADA TIKTOK. Muharlien

EFEKTIVITAS PENYERAPAN Ca DAN P, KADAR AIR DAN KANDUNGAN AMONIA MANUR AYAM PETELUR DENGAN RANSUM BERZEOLIT DAN RENDAH Ca SKRIPSI SUSILAWATI

LINGKUNGAN BISNIS USAHA TERNAK ITIK. : Wahid Muhammad N. Nim : SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER STMIK AMIKOM YOGYAKARTA

PENAMBAHAN GRIT KERANG DAN PEMBATASAN PEMBERIAN PAKAN TERHADAP KUALITAS KERABANG TELUR AYAM ARAB (Silver brakel Kriel)

PENGARUH PENAMBAHAN ECENG GONDOK (Eichornia crassipes) FERMENTASI DALAM RANSUM TERHADAP PRODUKSI TELUR ITIK TEGAL

Pengaruh Lanjutan Substitusi Ampas Tahu pada Pakan Basal (BR-2) Terhadap Penampilan Ayam Broiler Umur 4-6 Minggu (Fase Finisher)

PENINGKATAN PERFORMA DAN PRODUKSI KARKAS ITIK MELALUI PERSILANGAN ITIK ALABIO DENGAN CIHATEUP

Ekspresi Gen Homosigot Resesif (c/c) pada Performans Telur Pertama Itik Mojosari

PROGRAM VILLAGEBREEDING PADA ITIK TEGAL UNTUK PENINGKATAN PRODUKSI TELUR: SELEKSI ITIK TEGAL GENERASI PERTAMA DAN KEDUA ABTRACT ABTRAK

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi ransum merupakan jumlah ransum yang dikonsumsi dalam

PENDAHULUAN. Indonesia pada tahun 2014 telah mencapai 12,692,213 ekor atau meningkat. sebesar 1,11 persen dibandingkan dengan tahun 2012.

DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL LUAR HALAMAN SAMPUL DALAM LEMBAR PENGESAHAN

BAB III METODE PENELITIAN. Alat yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Alat yang Digunakan dalam Penelitian.

PENGARUH KUALITAS PAKAN TERHADAP KEEMPUKAN DAGING PADA KAMBING KACANG JANTAN. (The Effect of Diet Quality on Meat Tenderness in Kacang Goats)

Karakteristik Telur Tetas Puyuh Petelur Silangan... M Billi Sugiyanto.

Pengaruh Imbangan Energi dan Protein Ransum terhadap Energi Metabolis dan Retensi Nitrogen Ayam Broiler

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 360/Kpts/PK.040/6/2015 TENTANG PELEPASAN GALUR ITIK ALABIMASTER-1 AGRINAK

BIRTH WEIGHT, WEANING WEIGHT AND LINEAR BODY MEASUREMENT OF ONGOLE CROSSED CATTLE AT TWO GROUP PARITIES ABSTRACT

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilakukan di Pusat Pembibitan Puyuh Fakultas Peternakan

KARAKTERISTIK UKURAN KARKAS ITIK GENOTIPE PEKING x ALABIO DAN PEKING x MOJOSARI

ITIK MOJOMASTER-1 AGRINAK

PERSILANGAN PADA AYAM LOKAL (KUB, SENTUL, GAOK) UNTUK MENINGKATKAN PRODUKSI DAGING UNGGAS NASIONAL

PENGARUH UMUR DAN BOBOT TELUR ITIK LOKAL TERHADAP MORTALITAS, DAYA TETAS, KUALITAS TETAS DAN BOBOT TETAS

PRODUKTIVITAS AYAM LOKAL YANG DIPELIHARA SECARA INTENSIF

PENGARUH PERSILANGAN IKAN NILA (Oreochromis niloticus) STRAIN GIFT DENGAN STRAIN NIFI TERHADAP NILAI HETEROSIS PANJANG, LEBAR, DAN BERAT BADAN

Identifikasi Bobot Badan dan Ukuran-ukuran Tubuh Itik Bali...Herbert Jumli Tarigan

Transkripsi:

Heterosis Persilangan Itik Tegal dan Mojosari pada Kondisi Sub-Optimal L. HARDI PRASETYO Balai Penelitian Ternak, PO. Box 221, Bogor 16002 (Diterima dewan redaksi 18 Desember 2006) ABSTRACT PRASETYO, L.H. 2007. Heterosis of the crossbred between Tegal and Mojosari ducks under sub-optimal condition. JITV 12(1): 22-26. Crossbreeding between two different strains or breeds is often done in a livestock production system to take advantage of the heterosis (hybrid vigour) which may resulted from the crossing. The level of heterosis largely depend on the genetic distance betweeen the two parental groups, and is also affected by the environmental condition in which the heterosis would be more significant under less optimal condition. The aim was to evaluate the heterosis level of the crosses between Tegal and Mojosari ducks under stressful environment of low nutritional content (14% protein) in the diet. The experiment was conducted in the animal facilities of the Indonesian Research Institute for Animal production, using 40 Tegal (TT) ducks, 44 Mojosari ducks (MM), 46 crossbreds between Tegal drakes and Mojosari ducks (TM), and 42 crossbreds between Mojosari drakes and Tegal ducks (MT). Results showed that heterosis was not significant for the average age at first laying (AFL) and weight of first egg (WFE), in which AFL of TT (171.8 d) was not significantly different from that of MT (163.4 d) and both were shorter than the AFL of MM (182.3 d) or that of TM (182.8 d). Heterosis also did not exist on egg production to 68 weeks old (EP-68), in which the EP-68 of TT was 141.3 eggs and that of MT was 122.6 eggs, and both were lower than EP-68 of MM (156.8 eggs) or of TM (154.0 eggs). For egg qualities, heterosis also did not show any significant level and difference between genotypes only existed for the Haugh Unit values. It seems that even under stressful environment heterosis did not exist among crosses between Tegal and Mojosari ducks, and therefore it can be concluded that the crosses between these two breeds will not produce any beneficial effects in a production system under any condition. Key Words: Heterosis, Ducks, Low Protein Diet ABSTRAK PRASETYO, L.H. 2007. Hetetosis persilangan itik Tegal dan Mojosari pada kondisi sub optimal. JITV 12(1): 22-26. Persilangan antar dua galur atau bangsa ternak yang berbeda sering digunakan dalam suatu sistem produksi untuk memanfaatkan keunggulan hibrida (heterosis) dari hasil persilangan dalam upaya meningkatkan produktivitas ternak yang bersangkutan. Tingkat heterosis yang terjadi tergantung pada jarak genetik dari kedua kelompok genotipa yang disilangkan, dan juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang ada, di mana diduga heterosis akan makin nyata pada kondisi sub-optimal. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari tingkat heterosis pada persilangan itik Tegal dan Mojosari pada pemeliharaan dengan kondisi cekaman yaitu pada pemberian ransum berkadar protein rendah (14%). Penelitian dilakukan di kandang percobaan Balai Penelitian Ternak dengan menggunakan 40 ekor itik Tegal betina (TT), 46 ekor itik persilangan Tegal jantan dan Mojosari betina (TM), 42 ekor itik persilangan Mojosari jantan dengan Tegal betina (MT), dan 44 ekor itik Mojosari betina (MM). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada umur pertama bertelur (UPB) dan bobot telur pertama (BTP) tidak terlihat adanya heterosis, di mana UPB itik TT (171,8 hari) tidak berbeda nyata dengan MT (163,4) dan keduanya lebih pendek dari MM (182,3) ataupun TM (182,8). Heterosis juga tidak nyata pada produksi telur sampai umur 68 minggu, di mana itik TT (141,3 butir) dan MT (122,6) nyata lebih rendah dari itik MM (156,8) atau TM (154,0). Sementara itu, untuk sifat-sifat kualitas telur, heterosis juga tidak nyata dan perbedaan antar genotipa hanya terlihat pada nilai Haugh Unit telur. Dari hasil dapat disimpulkan bahwa pada kondisi sub-optimal pun heterosis dari persilangan itik Tegal dan Mojosari masih belum terlihat, sehingga dapat dikatakan bahwa persilangan antara kedua jenis itik tersebut tidak akan memberikan keuntungan pada kondisi apapun. Kata Kunci: Heterosis, Itik, Ransum Rendah Protein PENDAHULUAN Perkawinan silang pada ternak adalah perkawinan antar individu yang tidak berkerabat, baik dalam kelompok genotipa yang sama maupun antar kelompok genotipa yang berbeda. Perkawinan antar kelompok genotipa yang berbeda dapat dilakukan antar galur, rumpun maupun antar bangsa, dan biasanya dilakukan sebagai strategi produksi untuk memanfaatkan keunggulan hibrida, yang disebut heterosis, dalam meningkatkan produktivitas ternak yang bersangkutan. Menurut FALCONER (1981), heterosis bisa terjadi 22

JITV Vol. 12 No. 1 Th. 2007 karena tiga kemungkinan yaitu perbedaan frekuensi gen di antara tetuanya, adanya peran gen over-dominan yaitu aksi gen non-aditif, dan adanya epistasis atau interaksi dari pasangan gen yang tidak berada pada alel yang sama. Selanjutnya WARWICK et al. (1990) menyebutkan bahwa kondisi cekaman lebih dapat memunculkan fenomena heterosis. Berbagai perkawinan silang antar bangsa pada ayam telah berhasil menunjukkan adanya tingkat heterosis yang nyata untuk beberapa sifat produksi telur maupun kualitas telur. AL-RAWI dan AMER (1972) menunjukkan bahwa persilangan antara ayam Leghorn atau New Hampshire dengan ayam asli Irak dapat menghasilkan derajat heterosis berkisar antara 5,39 10,48% untuk bobot telur. Sementara itu, pada itik, hasil persilangan antara itik Tegal dan Alabio telah dievaluasi oleh HETZEL (1983) dan terbukti adanya heterosis sebesar 5,0 12,5% untuk produksi telur sampai umur 72 minggu, dan heterosis sebesar 7,8 12,5% untuk konversi pakan. PRASETYO dan SUSANTI (2000) juga menunjukkan bahwa persilangan antara itik Mojosari dan Alabio mampu menunjukkan keunggulan yang dinyatakan dalam nilai heterosis pada produksi telur sampai 3 bulan sebesar 11,7% dan untuk umur pertama bertelur sebesar 10,36%. Namun, sejauh ini belum ada evaluasi yang dilakukan terhadap kemungkinan adanya heterosis pada persilangan antara itik Tegal dan Mojosari walaupun diperkirakan bahwa kedua kelompok genotipa itik dengan pola warna bulu yang agak mirip tersebut memiliki jarak genetik yang sedang. Menurut BARLOW (1981) yang disitasi oleh PRASETYO dan EISEN (1989) bahwa heterosis dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan. Interaksi antara heterosis dan lingkungan banyak terjadi pada berbagai sifat dengan nilai ekonomis penting, dan ini diduga karena individu heterosigot mampu bertahan pada lingkungan yang berubah-ubah sehingga dapat mengekspresikan heterosis yang lebih besar pada lingkungan dengan cekaman dibandingkan dengan pada lingkungan tanpa cekaman. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kemungkinan timbulnya heterosis pada persilangan antara itik Tegal dan Mojosari untuk beberapa sifat produksi telur dan kualitas telur. MATERI DAN METODE Penelitian dilakukan di kandang itik Balai Penelitian Ternak, Ciawi-Bogor, dengan menggunakan 40 ekor itik Tegal betina (TT), 44 ekor itik Mojosari betina (MM), 46 ekor itik persilangan Tegal jantan dan Mojosari betina (TM), 42 ekor itik persilangan Mojosari jantan dan Tegal betina (MT), masing-masing dengan umur 20 minggu. Ternak itik dipelihara dalam kandang batere secara individu dan memperoleh ransum yang mengandung 14% protein dan 2100 Kkal/kg energi metabolis. Susunan dan komposisi ransum yang digunakan seperti tercantum dalam Tabel 1, beserta kadar nutrisi terhitung. Pengamatan dilakukan terhadap umur pertama bertelur dan bobot telur pertama dari masing-masing ternak, produksi telur diamati berdasarkan produksi duck-day dari awal bertelur yaitu sekitar umur 20 sampai umur 68 minggu. Kualitas telur diamati pada sampel telur yang diambil secara acak sejumlah 25 30 butir per kelompok perlakuan, selama periode produksi 35 39 minggu yang dianggap sudah stabil, yaitu pada bobot telur, bobot kuning telur, bobot putih telur, bobot dan tebal kerabang telur, warna kuning telur, dan nilai Haugh Unit. Semua peubah dianalisis menggunakan Sidik Ragam berdasarkan Rancangan Acak Lengkap dan kemudian diikuti dengan Uji Beda Nyata Terkecil. Tabel 1. Komposisi ransum dan kadar nutrisi masing-masing ransum perlakuan Bahan pakan Ransum (%) Dedak padi 40,00 Menir 25,00 Pollard 17,00 Tepung ikan 2,00 Tepung kapur 6,00 Bungkil kedele 8,00 Dikalsium fosfat 1,00 Premix 0,25 Garam 0,20 L-lisina 0,30 DL-metionina 0,25 Protein kasar (%) 14,00 Energi Metabolis (Kkal/kg) 2100 Menurut SHERIDAN (1981), istilah heterosis digunakan untuk menggambarkan keunggulan keturunan kawin silang terhadap tetuanya, tanpa memperhatikan penyebabnya. Oleh karena itu, heterosis hendaknya diukur relatif terhadap rataan tetuanya, dengan rumus sebagai berikut: H= ½ (Y TM + Y MT ) ½ (Y TT + Y MM ) ½ (Y TT + Y MM ) Keterangan: Y IJ = rataan itik IJ x100% 23

Produksi telur HASIL DAN PEMBAHASAN Komponen produksi telur yang penting pada itik petelur dan perlu mendapat perhatian adalah umur pertama bertelur (UPB), bobot telur pertama (BTP), dan produksi telur (duck-day) pada umur-umur tertentu yaitu 32 minggu (PT-32), 48 minggu (PT-48) dan 68 minggu (PT-68). Perbandingan berbagai komponen produksi telur tersebut pada keempat kelompok genotipa yaitu itik Tegal murni (TT), itik Mojosari murni (MM), itik persilangan Tegal jantan dan Mojosari betina (TM), dan itik persilangan Mojosari jantan dan Tegal betina (MT) dapat dilihat pada Tabel 2. Dari Tabel 2 terlihat bahwa pada kondisi pemberian ransum rendah protein terdapat perbedaan yang nyata pada UPB di mana itik TT dan MT menunjukkan UPB lebih pendek dari pada MM ataupun TM. Untuk sifat produksi ini terlihat kecenderungan adanya pengaruh maternal yang kuat. Akan tetapi hal ini tidak terlihat pada bobot telur pertama (BTP) di mana tidak ada perbedaan yang nyata di antara keempat kelompok genotipa, sehingga dapat dikatakan bahwa dalam hal ini perbedaan dalam UPB tidak menyebabkan adanya perbedaan pada BTP. Hal ini berbeda dari teori yang menyatakan bahwa UPB berkaitan erat dengan BTP (NORTH, 1984), yaitu bahwa UPB yang lebih pendek akan menghasilkan jumlah telur yang lebih banyak tapi cenderung lebih kecil. Hal ini mungkin disebabkan adanya pengaruh cekaman dari kualitas ransum rendah protein yang diberikan pada itik-itik tersebut. Jika dilihat dari jumlah telur yang dihasilkan, tampak pada Tabel 2 bahwa dengan pemberian ransum rendah protein pada umur 32 dan 48 minggu tidak ada perbedaan di antara keempat genotipa. Namun demikian masih terlihat adanya kecenderungan bahwa keturunan dari induk betina Mojosari memiliki produksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan keturunan dari induk betina Tegal. Sementara itu, untuk produksi telur pada umur 68 minggu terlihat dengan jelas adanya perbedaan yang nyata lebih tinggi dari itik keturunan induk betina Mojosari baik pada MM maupun pada TM, dibandingkan dengan itik-itik keturunan induk betina Tegal. Bahkan, itik MT berproduksi lebih rendah jika dibandingkan dengan tingkat produksi telur dari kedua jenis itik tetuanya. Walaupun tingkat produksi telur itik Tegal lebih rendah, menurut PRASETYO dan KETAREN (2005) bahwa itik Tegal lebih mampu berproduksi dengan lebih konsisten pada kondisi ransum rendah protein jika dibandingkan dengan itik Mojosari. Kualitas telur Pengukuran terhadap sifat-sifat kualitas telur diperlukan untuk mengevaluasi sifat-sifat yang dapat berpengaruh pada penerimaan konsumen terhadap telur itik. Pada kondisi cekaman dengan pemberian ransum berkadar protein rendah ternyata kualitas telur tidak menunjukkan perbedaan yang nyata di antara keempat genotipa itik. Pada Tabel 3 terlihat bahwa pada bobot telur, bobot kuning maupun putih telur, bobot dan tebal kerabang, maupun warna kuning telur tidak terlihat adanya perbedaan baik pada jenis itik murni atau itik hasil persilangan. Satu-satunya sifat yang menunjukkan perbedaan nyata adalah nilai Haugh Unit (HU), di mana itik keturunan betina Mojosari memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan dengan itik keturunan betina Tegal dan itik MT menunjukkan nilai terendah. Walaupun demikian, secara keseluruhan keempat kelompok genotipa menunjukkan nilai HU yang baik yaitu antara 90 100. Tabel 2. Perbandingan komponen produksi telur antara itik Tegal (TT), Tegal x Mojosari (TM), Mojosari x Tegal (MT) dan Mojosari (MM) Peubah Kelompok genotipa TT TM MT MM Umur pertama bertelur (UPB), hari 171,8 + 4,2 A 182,8 + 4,5 B 163,4 + 3,8 A 182,3 + 3,7 B Bobot telur pertama (BTP), g 56,3 + 1,1 A 57,3 + 0,4 A 55,3 + 1,0 A 56,8 + 1,0 A Produksi telur (PT), butir PT-32 minggu 22,9 + 2,2 A 25,8 + 2,5 A 19,7 + 2,2 A 26,1 + 2,5 A PT-48 minggu 72,4 + 5,9 A 75,6 + 3,7 A 63,3 + 5,1 A 80,9 + 4,7 A PT-68 minggu 141,3 + 8,8 AB 154,0 + 7,0 B 122,6 + 7,8 A 156,9 + 7,7 B Keterangan: Huruf superskrip yang beda pada baris yang sama menunjukkan beda nyata (P<0,05) 24

JITV Vol. 12 No. 1 Th. 2007 Tabel 3. Sifat-sifat kualitas telur itik Tegal (TT), Mojosari (MM), persilangan jantan Tegal dan betina Mojosari (TM) dan persilangan jantan Mojosari dan betina Tegal Peubah Kelompok genotipa TT TM MT MM Bobot telur, g 70,4 + 1,0 69,8 + 0,7 70,4 + 1,4 68,9 + 1,1 Bobot kuning telur, g 23,8 + 0,5 23,7 + 0,3 24,4 + 0,6 22,8 + 0,4 Bobot putih telur, g 39,3 + 0,6 39,0 + 0,5 38,7 + 0,8 39,0 + 0,8 Bobot kerabang, g 6,2 + 0,1 6,3 + 0,1 6,3 + 0,2 6,3 + 0,2 Tebal kerabang, mm 0,4 + 0,01 0,4 + 0,01 0,4 + 0,01 0,4 + 0,01 Warna kuning telur 5,5 + 1,1 5,6 + 0,2 5,2 + 0,2 5,2 + 0,2 Nilai Haugh Unit (HU) 97,3 + 1,3 bc 100,4 + 1,9 ac 94,3 + 2,0 b 100,4 + 1,1 ac Keterangan: Huruf superskrip yang beda pada baris yang sama menunjukkan beda nyata (P<0,05) Nilai heterosis Nilai heterosis dapat menggambarkan apakah keturunan hasil persilangan antara itik Tegal dan itik Mojosari, TM dan MT, menunjukkan keunggulan jika dibandingkan dengan itik-itik jenis tetuanya yaitu itik Tegal (TT) murni maupun itik Mojosari (MM) murni. Baik untuk sifat-sifat produksi telur maupun sifat-sifat kualitas telur, nilai-nilai heterosisnya disajikan pada Tabel 4. Secara umum dapat terlihat bahwa baik untuk sifat produksi telur maupun kualitas telur, itik-itik persilangan antara itik Tegal dan Mojosari belum mampu menunjukkan keunggulan jika dibandingkan dengan itik-itik jenis tetuanya. Untuk sifat-sifat produksi telur, nilai-nilai heterosis semuanya menunjukkan nilai negatif dan bahkan cukup besar untuk produksi telur pada umur 32, 48 ataupun 68 minggu. Hal ini menunjukkan bahwa itik persilangan mempunyai tingkat produksi telur yang lebih rendah dari pada itik tetuanya. Oleh karena itu, tampaknya bahwa perbedaan produksi telur khususnya antara itik Tegal dan itik Mojosari lebih disebabkan karena pengaruh aksi gen aditif. Hal ini berbeda dengan hasil yang diperoleh PRASETYO dan SUSANTI (2000) bahwa persilangan itik Alabio dan Mojosari menunjukkan tingkat heterosis yang sangat nyata untuk produksi telur 3 bulan (umur 32 minggu) pada kondisi pemberian ransum yang optimal. Untuk umur pertama bertelur nilai heterosis yang negatif ini malahan merupakan keunggulan karena itik-itik persilangan mampu bertelur lebih awal yang berarti efisiensi biaya produksi, namun tingkat heterosisnya rendah yaitu hanya 2,21%. Sementara itu, untuk sifat-sifat kualitas telur, semua sifat menunjukkan tingkat heterosis yang sangat rendah kecuali untuk bobot kuning telur yang menunjukkan nilai heterosis yang lebih tinggi dibandingkan sifat-sifat lainnya. Hal ini nyata terlihat dari nilai-nilai pengamatan pada keempat kelompok genotipa yang tidak menunjukkan perbedaan yang nyata kecuali pada nilai HU. Tabel 4. Nilai heterosis (dalam %) itik Tegal (TT), Mojosari (MM), persilangan jantan Tegal dan betina Mojosari (TM), dan persilangan jantan Mojosari dan betina Tegal (MT) Peubah Heterosis (%) Sifat-sifat produksi telur: Umur pertama bertelur (UPB) -2,21 Bobot telur pertama (BTP) -0,51 Produksi telur (PT) 32 minggu -7,09 Produksi telur (PT) 48 minggu -10,71 Produksi telur (PT) 68 minggu -7,23 Sifat-sifat kualitas telur: Bobot telur 0,68 Bobot kuning telur 3,25 Bobot putih telur -0,74 Bobot kerabang 0,09 Tebal kerabang -0,20 Warna kuning telur 0,82 Nilai Haugh Unit (HU) -1,56 KESIMPULAN Itik-itik Tegal dan Mojosari mempunyai tingkat produksi telur yang berbeda nyata, namun perbedaan tersebut lebih dikontrol oleh pengaruh gen aditif sehingga tidak menimbulkan adanya heterosis pada persilangan di antara keduanya. Bahkan pada kadar protein rendah (sub-optimal) pada ransum yang 25

diberikan dan diharapkan dapat memberikan cekaman, itik-itik persilangan Tegal dan Mojosari tidak berhasil menunjukkan adanya heterosis sehingga dapat disimpulkan bahwa persilangan antara kedua jenis itik tersebut tidak akan memberikan keuntungan atau keunggulan pada kondisi apapun. DAFTAR PUSTAKA AL-RAWI, B.A. and M.F. AMER. 1972. Egg quality of some purebreed chicken and their crosses in the subtropic. Poult. Sci. 51: 2069-2072. FALCONER, D.S. 1981. An Introduction to Quantitative Genetics, 2 nd Ed. Longman Inc. New York. HETZEL, D.J.S. 1983. The egg production of intensively managed Alabio and Tegal ducks and their reciprocal crosses. World Rev. of Anim. Prod. 19(4) : 41-46. NORTH, M.O. 1984. Commercial Chicken Production Manual. The Avi Publishing Inc. Wesport, Connecticut, USA. PRASETYO, L.H. dan E.J. EISEN. 1989. Effects of preweaning stress on heterosis and average genetic effects in mice. J. Anim. Breed. Genet. 106: 443-454. PRASETYO, L.H. dan T. SUSANTI. 2000. Persilangan timbal balik antara itik Alabio dan Mojosari: Periode awal pertumbuhan dan awal bertelur. JITV 2: 152-156. PRASETYO, L.H. dan P.P. KETAREN. 2005. Interaksi antara dua bangsa itik dan kualitas ransum pada produksi dan kualitas telur itik lokal. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner, Bogor 12-13 September 2005. Puslitbang Peternakan. Bogor. hlm. 811-816. SHERIDAN, A.K. 1981. Crossbreeding and heterosis. Anim. Breed. Abst. 49: 131-144. WARWICK, E.J., J.M. ASTUTI dan W. HARDJOSUBROTO. 1990. Pemuliaan Ternak. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. 26