FERTILITAS DAN DAYA TETAS TELUR HASIL PERSILANGAN ANTARA PUYUH ASAL BENGKULU, PADANG DAN YOGYAKARTA

dokumen-dokumen yang mirip
Performan Puyuh Local Asal Payakumbuh, Bengkulu dan Hasil Persilangannya

PENDAHULUAN. terutama telurnya. Telur puyuh sangat disukai karena selain bentuknya yang

Performa Produksi Puyuh Petelur (Coturnix-coturnix Japonica) Hasil Persilangan..Wulan Azhar

I PENDAHULUAN. tidak dapat terbang tinggi, ukuran relatif kecil berkaki pendek.

Hasil Tetas Puyuh Petelur Silangan Bulu Coklat dan Hitam...Sarah S.

KEMAJUAN GENETIK SAPI LOKAL BERDASARKAN SELEKSI DAN PERKAWINAN TERPILIH

Karakteristik Telur Tetas Puyuh Petelur Silangan... M Billi Sugiyanto.

IMBANGAN JANTAN- BETINA TERHADAP FERTILITAS, DAYA TETAS DAN KEMATIAN EMBRIO PADA BURUNG PUYUH

SISTEM BREEDING DAN PERFORMANS HASIL PERSILANGAN SAPI MADURA DI MADURA

PENGARUH SUPLEMENTASI ASAM AMINO METIONIN DAN LISIN DALAM RANSUM TERHADAP FERTILITAS, DAYA TETAS DAN MORTALITAS TELUR BURUNG PUYUH

SELEKSI YANG TEPAT MEMBERIKAN HASIL YANG HEBAT

PENDAHULUAN. Indonesia pada tahun 2014 telah mencapai 12,692,213 ekor atau meningkat. sebesar 1,11 persen dibandingkan dengan tahun 2012.

Heterosis Persilangan Itik Tegal dan Mojosari pada Kondisi Sub-Optimal

PENGARUH JUMLAH TELUR TERHADAP BOBOT TELUR, LAMA MENGERAM, FERTILITAS SERTA DAYA TETAS TELUR BURUNG KENARI

PENDAHULUAN. terbang tinggi, ukuran relatif kecil dan berkaki pendek. Puyuh merupakan burung liar

Performans Pertumbuhan Itik Talang Benih Jantan dan Betina yang Dipelihara secara Intensif

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS AYAM BALI DENGAN POLA SELEKSI PRODUKSI

PENGARUH UMUR DAN BOBOT TELUR ITIK LOKAL TERHADAP MORTALITAS, DAYA TETAS, KUALITAS TETAS DAN BOBOT TETAS

PENDUGAAN NILAI PEMULIAAN PUYUH PEJANTAN BERDASARKAN BOBOT BADAN KETURUNANNYA PADA PUYUH (Coturnix coturnix japonica)

I PENDAHULUAN. sebagai alternatif sumber protein hewanidi masyarakat baik sebagai penghasil telur

EVALUASI POTENSI GENETIK GALUR MURNI BOER

PENGARUH KETINGGIAN TEMPAT DAN SISTEM PEMELIHARAAN TERHADAP KORELASI GENETIK BOBOT LAHIR DENGAN BOBOT DEWASA SAPI BALI

KOMPARASI ESTIMASI PENINGKATAN MUTU GENETIK SAPI BALI BERDASARKAN SELEKSI DIMENSI TUBUHNYA WARMADEWI, D.A DAN IGN BIDURA

DASAR SELEKSI DAN SISTEM PERKAWINAN

ESTIMASI OUTPUT SAPI POTONG DI KABUPATEN SUKOHARJO JAWA TENGAH

PERTUMBUHAN STARTER DAN GROWER ITIK HASIL PERSILANGAN RESIPROKAL ALABIO DAN PEKING

CIRI - CIRI FISIK TELUR TETAS ITIK MANDALUNG DAN RASIO JANTAN DENGAN BETINA YANG DIHASILKAN ABSTRACT ABSTAAK

Performa Pertumbuhan Puyuh Petelur Betina Silangan... Henry Geofrin Lase

PENDUGAAN PARAMETER GENETIK SIFAT-SIFAT PRODUKSI TELUR ITIK ALABIO

PRODUKSI TELUR ITIK MA DI BPTU PELAIHARI KALIMANTAN SELATAN

EFEK PERSILANGAN RESIPROKAL TERHADAP PERTUMBUHAN AYAM KEDU (The Effect of Reciprocal Cross on the Growth of Kedu Chicken)

PERFORMA PRODUKSI TELUR PUYUH (Coturnix coturnix japonica) YANG DI PELIHARA PADA FLOCK SIZE YANG BERBEDA

PERBEDAAN FENOTIPE PANJANG BADAN DAN LINGKAR DADA SAPI F1 PERANAKAN ONGOLE (PO) DAN SAPI FI SIMPO DI KECAMATAN SUBAH KABUPATEN SAMBAS

PRODUKTIVITAS AYAM LOKAL YANG DIPELIHARA SECARA INTENSIF

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004

Peta Potensi Genetik Sapi Madura Murni di Empat Kabupaten di Madura. Nurgiartiningsih, V. M. A Bagian Produksi Ternak Fakultas Peternakan UB, Malang

Estimasi Parameter Genetik Induk Babi Landrace Berdasarkan Sifat Litter Size dan Bobot Lahir Keturunannya

Efektifitas Berbagai Probiotik Kemasan Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Burung Puyuh (Coturnix coturnix japonica)

PROGRAM PEMBIBITAN ITIK MA DI BPTU PELAIHARI KALIMANTAN SELATAN: SELEKSI PADA POPULASI BIBIT INDUK ITIK ALABIO

PENGARUH TINGKAT PROTEIN RANSUM TERHADAP BOBOT POTONG, PERSENTASE KARKAS DAN LEMAK ABDOMINAL PUYUH JANTAN

Performans Produksi Telur Itik Talang Benih pada Fase Produksi Kedua Melalui Force Moulting

LABORATORIUM PEMULIAAN DAN BIOMETRIKA FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS PADJADAJARAN JATINANGOR 2009

PENANGKARAN DAN PERBIBITAN AYAM MERAWANG DI BANGKA BELITUNG

Kususiyah, Urip Santoso, dan Debi Irawan. Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu

PERFORMA TELUR TETAS BURUNG PUYUH JEPANG (Coturnix coturnix japonica) BERDASARKAN PERBEDAAN BENTUK TELUR

Hamdan * Prof. Dr. A. Sofyan No. 3 Medan 20155

Gambar 1. Itik Alabio

PENDAHULUAN. Puyuh petelur Jepang (Coturnix coturnix japonica) merupakan penyedia telur

PENDUGAAN PARAMETER GENETIK DAN KORELASI SIFAT BOBOT LAHIR, BOBOT SAPIH DAN LITTER SIZE PADA KELINCI NEW ZEALAND WHITE, LOKAL DAN PERSILANGAN

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. berkembang hingga ke penjuru dunia, dikenal dengan nama Bob White Quail dan

PERSILANGAN AYAM PELUNG JANTAN X KAMPUNG BETINA HASIL SELEKSI GENERASI KEDUA (G2)

PENGARUH PERENDAMAN NaOH DAN PEREBUSAN BIJI SORGHUM TERHADAP KINERJA BROILER

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. dunia dengan hidup yang sangat beragam dari yang terkecil antara 9 sampai 13 kg

PENGARUH SUPLEMENTASI BETAIN DALAM RANSUM RENDAH METIONIN TERHADAP KUALITAS TELUR PUYUH (Coturnix coturnix japonica) Jurusan/Program Studi Peternakan

1. PENDAHULUAN. Salah satu produk peternakan yang memberikan sumbangan besar bagi. menghasilkan telur sepanjang tahun yaitu ayam arab.

THE EFFECT OF LIGHT COLOR ON FEED INTAKE, EGG PRODUCTION, AND FEED CONVERSION OF JAPANESE QUAIL (Coturnix-coturnix japonica) ABSTRACT

EVALUASI TELUR TETAS ITIK CRp (CIHATEUP X RAMBON) YANG DIPELIHARA PADA KONDISI MINIM AIR SELAMA PROSES PENETASAN

P = G + E Performans? Keragaman? Dr. Gatot Ciptadi PERFORMANS. Managemen. Breeding/ Repro. Nutrisi

BAB III METODE PENELITIAN

Respon Seleksi Domba Garut... Erwin Jatnika Priyadi RESPON SELEKSI BOBOT LAHIR DOMBA GARUT PADA INTENSITAS OPTIMUM DI UPTD BPPTD MARGAWATI GARUT

PRODUKSI TELUR PERSILANGAN ITIK MOJOSARI DAN ALABIO SEBAGAI BIBIT NIAGA UNGGULAN ITIK PETELUR

ACARA PENGAJARAN (SAP) IV A.

PENGARUH PERSILANGAN IKAN NILA (Oreochromis niloticus) STRAIN GIFT DENGAN STRAIN NIFI TERHADAP NILAI HETEROSIS PANJANG, LEBAR, DAN BERAT BADAN

PERSILANGAN TIMBAL BALIK ANTARA ITIK ALABIO DAN MOJOSARI : PERIODE AWAL BERTELUR

KAJIAN KEPUSTAKAAN. japanese quail (Coturnix-coturnix Japonica) mulai masuk ke Amerika. Namun,

THE EFFECT OF CROSSES HAMSTER CAMPBELL NORMAL WITH HAMSTER CAMPBELL PANDA AND PARENT AGE WHEN MATED TO THE APPEARANCE OF CHILDRENS PRODUCTION

THE INFLUENCES OF CAGE DENSITY ON THE PERFORMANCE OF HYBRID AND MOJOSARI DUCK IN STARTER PERIOD

SISTEM PEMULIAAN INTI TERBUKA UPAYA PENINGKATAN MUTU GENETIK SAPI POTONG. Rikhanah

Simulasi Uji Zuriat pada Sifat Pertumbuhan Sapi Aceh (Progeny Test Simulation for Growth Traits in Aceh Cattle)

DAYA TETAS, HASIL TETAS DAN LAMA MENETAS TELUR ITIK YANG DISIMPAN PADA SUHU DAN LAMA PENYIMPANAN YANG BERBEDA

Karakteristik Eksterior Telur Tetas Itik... Sajidan Abdur R

PENGARUH SEX RATIO AYAM ARAB TERHADAP FERTILITAS, DAYA TETAS, DAN BOBOT TETAS

ESTIMASI NILAI HERITABILITAS BERAT LAHIR, SAPIH, DAN UMUR SATU TAHUN PADA SAPI BALI DI BALAI PEMBIBITAN TERNAK UNGGUL SAPI BALI

NILAI HERITABILITAS DAN KORELASI GENETIK SIFAT PERTUMBUHAN DARI SILANGAN AYAM LOKAL DENGAN AYAM BANGKOK

KORELASI GENETIK DAN FENOTIPIK ANTARA BERAT LAHIR DENGAN BERAT SAPIH PADA SAPI MADURA Karnaen Fakultas peternakan Universitas padjadjaran, Bandung

PENGARUH TARAF PENAMBAHAN ZEOLIT DALAM RANSUM TERHADAP PERFORMA PRODUKSI MENCIT (Mus musculus) LEPAS SAPIH HASIL LITTER SIZE PERTAMA

Pembibitan dan Budidaya ternak dapat diartikan ternak yang digunakan sebagai tetua bagi anaknya tanpa atau sedikit memperhatikan potensi genetiknya. B

PEMANFAATAN GAS BIO SEBAGAI SUMBER ENERGI PANAS DALAM PENETASAN TELUR AYAM KAMPUNG RAJA PORKOT SIREGAR

Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal

Ukuran Populasi Efektif, Ukuran Populasi Aktual dan Laju Inbreeding Per Generasi Itik Lokal di Kecamatan Tilatang Kamang Kabupaten Agam ABSTRACT

pkecernaan NUTRIEN DAN PERSENTASE KARKAS PUYUH (Coturnix coturnix japonica) JANTAN YANG DIBERI AMPAS TAHU FERMENTASI DALAM RANSUM BASAL

PENGARUH WARNA CAHAYA LAMPU TERHADAP PRODUKSI TELUR BURUNG PUYUH ( Coturnix coturnix japonica ) Jimmy Sangi, J. L. P. Saerang*, F. Nangoy, J.

EFEKTIVITAS SELEKSI DIMENSI TUBUH SAPI BALI INDUK WARMADEWI, D.A, IGL OKA DAN I N. ARDIKA

DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL LUAR HALAMAN SAMPUL DALAM LEMBAR PENGESAHAN

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang Pengaruh Indeks Bentuk Telur terhadap Daya Tetas dan

penampungan [ilustrasi :1], penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengawetan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi, pencat

BIRTH WEIGHT, WEANING WEIGHT AND LINEAR BODY MEASUREMENT OF ONGOLE CROSSED CATTLE AT TWO GROUP PARITIES ABSTRACT

FERTILITAS DAN DAYA TETAS TELUR ITIK PERSILANGAN PEKING X ALABIO (PA) DAN PEKING X MOJOSARI (PM) YANG DIINSEMINASI ENTOK JANTAN

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Puyuh pertama kali di domestikasi di Amerika Serikat pada tahun 1980 dan

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia, permintaan

LAPORAN AKHIR PENELITIAN UNGGULAN PERGURUAN TINGGI

Karakteristik Kuantitatif dan Kualitatif Hasil Persilangan Beberapa Ayam Lokal

Yunilas* *) Staf Pengajar Prog. Studi Peternakan, FP USU.

Beberapa Kriteria Analisis Penduga Bobot Tetas dan Bobot Hidup Umur 12 Minggu dalam Seleksi Ayam Kampung

HASIL DAN PEMBAHASAN. Performans Bobot Lahir dan Bobot Sapih

Irawati Bachari, Iskandar Sembiring, dan Dedi Suranta Tarigan. Departemen Perternakan Fakultas Pertanian USU

PENAMPILAN PRODUKSI AYAM BROILER YANG DIBERI TEPUNG GAMBIR (Uncaria Gambir Roxb) SEBAGAI FEED ADDITIVE DALAM PAKAN.

PERSILANGAN. Oleh : Setyo Utomo

Seleksi Awal Calon Pejantan Sapi Aceh Berdasarkan Berat Badan

Transkripsi:

ISSN 1411 0067 Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. Volume 8, No. 1, 2006, Hlm. 56-60 56 FERTILITAS DAN DAYA TETAS TELUR HASIL PERSILANGAN ANTARA PUYUH ASAL BENGKULU, PADANG DAN YOGYAKARTA FERTILITY AND HATCHABILITY OF EGGS FROM CROSSBREEDS AMONG BENGKULU, PADANG AND YOGYAKARTA QUAILS Desia Kaharuddin dan Kususiyah Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu kususiyah@yahoo.com ABSTRACT An experiment was carried out to examine the effect of sire and dam on fertility and hatchability of eggs from crossbreeding among Bengkulu (B), Padang (P) and Yogyakarta (Y) quails. Treatments, crosses of BB, PP, YY, BP, BY, PB, PY, YB, and YP, were arranged in a Completely Randomized Design with five replications. The result of this experiment showed that the fertility of sire and dam of Bengkulu pure breed (BB, 77%) were significantly lower than Padang pure breed (PP) and other crossbreeds (BP, PB, PY, YP, BY and YB) but being not significantly different than fertility of Yogyakarta pure breed (YY). Hatchability of BB (71.12%) was not significantly different with hatchability of YY, BY and BP, but it was significantly lower than another croosbreed (PY, YP, YB and PB) and PP. The higher egg fertility and hatchability of crossbreed between Bengkulu quails and those of sire and dam from Yogyakarta or Padang as compared with those of Bengkulu quails pure breed shows potential for larger scales quail egg production. However, further researches need to be conducted to improve egg productivity of the crossbreeds. Key words : quails, fertility, hatchability, pure breed and crossbreed. ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh jantan dan betina terhadap fertilitas dan daya tetas telur hasil persilangan antara puyuh Bengkulu (B), Padang (P) dan Yogyakarta (Y). Perlakuan, persilangan antara BB, PP, YY, BP, BY, PB, PY, YB, dan YP, disusun dalam Rancangan Acak Lengkap, dengan lima ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fertilitas yang dihasilkan puyuh Bengkulu murni (BB, 77%) nyata lebih rendah dari fertilitas yang dihasilkan puyuh Padang murni (PP) dan hasil persilangan lainnya (BP, PB, PY, YP, BY dan YB) tetapi tidak berbeda nyata dengan fertilitas yang dihasilkan oleh puyuh Yogyakarta murni (YY). Daya tetas BB (71.12%) tidak berbeda dengan daya tetas puyuh YY, BY dan BP tetapi nyata lebih rendah dibandingkan hasil persilangan lainnya (PY, YP, YB, dan BY) dan PP. Lebih tingginya fertilitas dan daya tetas telur hasil persilangan antara puyuh Bengkulu dengan puyuh jantan dan betina dari Yogyakarta dan Padang dibanding puyuh Bengkulu murni menunjukkan bahwa persilangan dapat memperbaiki fertilitas dan daya tetas. Hal ini memberi harapan untuk dapat diproduksi telur dari puyuh hasil persilangan ini pada skala besar, namun masih diperlukan penelitian lebih lanjut. Kata kunci : puyuh, fertilitas, daya tetas, perkawinan murni dan hasil persilangan PENDAHULUAN Fertilitas dan daya tetas merupakan dua sifat yang mempunyai nilai ekonomis penting pada program pembibitan puyuh di samping karakter produksi telur. Pramono (2004) menyatakan bahwa rata-rata fertilitas dan daya tetas telur puyuh di peternakan Kota Bengkulu masing-masing 61% dan 67.2% di samping itu ditemukan juga sekitar 20% puyuh yang berkaki pengkor. Padahal Kaharuddin (1989) menyatakan fertilitas dan daya tetas puyuh adalah 89.3% dan 86.1%. Kaki pengkor, fertilitas, daya tetas dan daya tahan hidup yang rendah merupakan indikator untuk

Kaharudin, D dan Kususiyah JIPI 57 mengetahui akibat dari tekanan silang dalam (inbreeding depression) (Astuti et al., 1985). Penurunan fertilitas dan daya tetas yang terjadi di Kota Bengkulu disinyalir juga merupakan dampak inbreeding depression karena pelaksanaan pembibitan yang dilakukan peternak dalam pengadaan bibit tanpa suatu program yang tepat dan terarah. Pramono (2004) juga menyatakan bahwa umumnya pembibitan puyuh di Kota Bengkulu menggunakan puyuh-puyuh yang ada di peternakannya sendiri tanpa mendatangkan bibit-bibit dari luar daerah; sehingga fenomena ini untuk sementara dapat disimpulkan bahwa merupakan akibat perkawinan antara puyuh-puyuh sekerabat (inbreeding). Selanjutnya Noor (1996) menyatakan bahwa pengaruh buruk pada inbreeding tersebut merupakan akibat bergabungnya gen-gen resesif yang homozigot. Sementara itu menurut Rokimoto (2002), inbreeding pada ayam dapat menyebabkan turunnya fertilitas, meningkatkan mortalitas dan menimbulkan terjadinya abnormalitas kaki seperti kaki lemah, cripper dan jari-jari crooked (nyengkeram) sehingga ayam sulit bertengger dan tidak dapat berjalan secara normal. Perkawinan antar ternak yang tidak mempunyai hubungan kerabat lebih dikenal dengan persilangan (Warwick et al., 1990) dan cara ini telah umum dipergunakan untuk meningkatkan produktivitas ternak. Menurut Sheridan (1986) dan Warwick et al. (1990), persilangan adalah salah satu alternatif untuk membentuk keturunan yang diharapkan akan memunculkan efek komplementer (pengaruh saling melengkapi). Sedangkan menurut Falconer (1981), selain efek komplementer, persilangan akan membentuk efek heterosis untuk meningkatkan produktivitas. Heterosis adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan fenomena suatu hasil persilangan yang rata-rata keunggulan keturunannya melebihi rata-rata kedua tetua murni (purebred), istilah ini sering disebut dengan hibrid vigor. Johansson and Rendel (1968) menyatakan bahwa heterosis biasanya ditunjukkan oleh peningkatan fertilitas, laju pertumbuhan, produksi telur dan dewasa kelamin lebih awal. Menurut Warwick et al. (1990), semakin tinggi nilai heterosis maka semakin tinggi peningkatan produktivitas hasil persilangan yang dapat diharapkan. Selanjutnya BeBreeder (2002) menyatakan bahwa alasan prinsip penggunaan kawin silang (crossbred) karena adanya fenomena heterosis ini. Dalam program pembibitan ternak puyuh masalah fertilitas dan daya tetas merupakan dua karakteristik yang perlu mendapatkan perhatian serius. Berdasarkan uraian di atas didatangkan bibit-bibit puyuh dari luar daerah yaitu Padang dan Yogyakarta dan telah disilangkan dengan puyuh-puyuh Bengkulu guna memperbaiki fertilitas dan daya tetas telur puyuh khususnya serta kualitas genetik puyuh umumnya di Kota Bengkulu. artikel ini menyajikan hasil penelitian tentang persilangan tersebut METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan telur bibit sebanyak 750 butir, masing-masing sebanyak 250 butir berasal dari peternakan puyuh rakyat di Yogyakarta, Padang dan Bengkulu. Setelah diseleksi (retak pecah dan cacat lainnya) telur-telur dari tiga daerah asal ditimbang dan ditetaskan. Hasil penetasan sebanyak 450 ekor anak puyuh dipelihara sebagai calon parent stock di dalam 9 kandang brooding secara koloni dan diberi pakan dengan komposisi 20% protein dan EM 2900 k kal/kg. Pada umur 5 minggu dilakukan seleksi untuk dijadikan parent stock sebanyak 225 ekor yaitu 45 ekor jantan dan 180 ekor betina, dari masing-masing daerah diambil sampel 15 jantan dan 60 betina. Kemudian puyuh tersebut dimasukkan ke dalam 9 kelompok kandang perlakuan (macam perkawinan yang diujikan) setiap kandang perlakuan ditempati oleh 4 ekor betina dan 1 jantan sesuai perlakuan. Perlakuan penetasan diulang 5 kali, sehingga total ada 45 kandang Pada umur 6 minggu biasanya puyuh sudah mulai berproduksi. Saat puyuh telah berproduksi ± 3 minggu, telur dari masing-masing perlakuan dikumpulkan (dikoleksi) selama 7 hari dan ditetaskan guna mendapatkan data penelitian. Penetasan diulang sebanyak 5 kali. Perlakuan

Fertilitas dan daya tetas telur hasil persilangan JIPI 58 perkawinan dari puyuh Bengkulu (B), Padang (P) dan Yogyakarta (Y) yang diujikan adalah sebagai berikut (huruf depan adalah induk jantan dan huruf belakang adalah induk betina): BB, PP, YY, BP, BY, PB, PY, YB, dan YP. Fertilitas dihitung berdasarkan perbandingan telur yang fertil atau yang memperlihatkan perkembangan embryo dengan jumlah telur yang ditetaskan dikalikan 100%. Daya tetas dihitung berdasarkan perbandingan jumlah telur yang menetas dengan jumlah telur yang fertil dikalikan 100%. Heterosis dihitung berdasarkan perbedaan rata-rata hasil persilangan dengan rata-rata hasil tipe tetua (parent stock) dan dibagi dengan ratarata tipe tetua. Percobaan disusun dalam Rancangan Acak Lengkap dengan 9 perlakuan dengan 5 ulangan, masing-masing ulangan terdiri atas 5 ekor. Apabila terjadi pengaruh perlakuan maka uji dilanjutkan dengan DMRT. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penetasan telur yang didatangkan dari Yogyakarta, Padang dan Bengkulu digunakan untuk melihat performans awal puyuh dari masing-masing daerah. Hasil penetasan telur dari masing-masing daerah disajikan pada Tabel 1. Analisis keragaman menunjukkan bahwa daerah asal telur puyuh berpengaruh nyata (P < 0.05) terhadap fertilitas sedangkan daya tetas telur puyuh dari masing-masing daerah tidak menunjukkan pengaruh yang nyata (P > 0.05). Fertilitas telur yang berasal dari Padang nyata lebih tinggi (P < 0.05) dari fertilitas telur asal Yogyakarta dan Bengkulu, sedangkan antara kedua terakhir tidak menunjukkan perbedaan fertilitas (Tabel 1). Penyebab perbedaan fertilitas ini tidak diketahui dengan pasti mengingat telurtelur yang ditetaskan diperoleh dari peternakpeternak baik dari Bengkulu maupun Yogyakarta Tabel 1. Rata-rata performans awal telur puyuh masing-masing daerah dan Padang. Beberapa kemungkinan dapat menjadi penyebab, di antaranya sex ratio (perbandingan jantan dan betina), kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan pada tetua, umur simpan dan tatalaksana transportasi, serta penyimpanan telur sebelum ditetaskan. Selain itu, rendahnya fertilitas telur puyuh yang berasal dari Bengkulu disebabkan oleh manajemen pembibitan yang tidak benar dan disinyalir terjadi inbreeding (Pramono, 2004). Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa daya tetas telur puyuh tidak dipengaruhi (P > 0.05) oleh daerah asal telur puyuh yang ditetaskan, dengan rata-rata daya tetas sebesar 70.61%. Pengaruh puyuh jantan dan betina dari Yogyakarta, Padang dan Bengkulu terhadap fertilitas telur disajikan pada Tabel 2. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa induk jantan dan betina berpengaruh nyata (P < 0.05) terhadap fertilitas telur puyuh. Semua hasil persilangan (PY, YP, BY, YB, BP dan PB) menunjukkan fertilitas telur nyata lebih tinggi (P < 0.05) dari persilangan murni (YY dan BB) kecuali fertilitas telur yang dihasilkan oleh PP. Apabila dibandingkan dengan fertilitas awal puyuh Yogyakarta, Padang dan Bengkulu (Tabel 1), terlihat bahwa fertilitas telur puyuh hasil persilangan kami (Tabel 2) terjadi peningkatan fertilitas telur Bengkulu (BB) yang awalnya 66.33% meningkat menjadi 77%, dan Padang (PP) 76.83% naik menjadi 85.09%, hal yang sama juga ditunjukkan oleh Yogyakarta (YY) naik dari 67.07% meningkat menjadi 77.53%. Peningkatan fertilitas puyuh dari ketiga daerah mungkin disebabkan perbaikan tatalaksana kandang puyuh dibanding ditempat asal dan kerusakan akibat perjalanan jauh telur bibit sudah tidak ada karena penetasan dilaksanakan langsung dilokasi pemeliharaan. Puyuh asli Padang (PP) mempunyai nilai fertilitas lebih tinggi dari kedua daerah (Yogyakarta dan Bengkulu) (Tabel 1 dan 2). Sifat yang diamati Daerah Asal Yogyakarta Padang Bengkulu Fertilitas (%) 67.67 ± 4.23 a 76.83 ± 3.35 b 66.33 ± 2.41 a Daya tetas (%) 70.69 ± 3.81 a 72.79 ± 4.20 a 68.35 ± 5.49 a Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang tidak sama berbeda nyata (P < 0.05 ). Data ± standard error

Kaharudin, D dan Kususiyah JIPI 59 Tabel 2. Rata-rata fertilitas dan nilai heterosis telur puyuh hasil penelitian Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang tidak sama berbeda nyata (P < 0.05 ). Y = Yogyakarta, P = Padang, B = Bengkulu Tabel 3. Rata-rata daya tetas dan nilai heterosis telur puyuh hasil penelitian Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang tidak sama berbeda nyata (P < 0.05 ). Y = Yogyakarta, P = Padang, B = Bengkulu Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa melalui persilangan puyuh antar daerah fertilitas telur dapat ditingkatkan, karena persilangan dapat mengurangi gen-gen homozigot dan meningkatkan heterozigositas. Menurut Sheridan (1986) dan Warwick et al. (1990) persilangan adalah salah satu alternatif untuk membentuk keturunan yang diharapkan akan memunculkan efek komplementer (pengaruh saling melengkapi). Sedangkan menurut Falconer (1981) selain efek komplementer, persilangan akan membentuk efek heterosis untuk meningkatkan produktivitas. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai heterosis untuk fertilitas paling tinggi 12.24% dihasilkan oleh YB, kemudian diikuti berturut-turut oleh YP = 9.52%, PY (8.55%), BY (7.45%), PB (6.16%), dan terakhir BP (4.73%).Daya tetas hasil persilangan umumnya lebih tinggi dari daya tetas telur puyuh persilangan murni (YY dan BB), dengan pengecualian puyuh jantan asal Bengkulu yang cenderung menghasilkan daya tetas lebih rendah dibanding pejantan lainnya (Tabel 3). Daya tetas paling tinggi dihasilkaan oleh YB yaitu 86.53%, yang tidak berbeda (P > 0.05) dengan daya tetas YP, PY, PB dan PP. Kelima daya tetas tersebut nyata lebih tinggi (P < 0.05) dari daya tetas YY, BB, BY dan BP. Keempat hasil persilangan terakhir tidak menunjukkan perbedaan daya tetas. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengaruh sex (jantan dan betina) terhadap fertilitas tidak sama dengan pengaruh sex terhadap daya tetas. Daya tetas telur puyuh masing-masing daerah hasil penelitian ini (Tabel 3) lebih tinggi dari daya tetas awal telur dari daerah yang sama saat telur didatangkan (Tabel 1). Daya tetas telur PP nyata lebih tinggi dari BB atau YY (Tabel 3) ; ini diduga

Fertilitas dan daya tetas telur hasil persilangan JIPI 60 disebabkan puyuh asal Padang mempunyai keberagaman yang tinggi. Keunggulan daya tetas puyuh asal Padang tidak tampak pada penetasan awal (Tabel 1). Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya perbedaan tatalaksana pemeliharaan puyuh oleh peternak asal dan atau adanya perbedaan handling dan transportasi sebelum telur sampai ke Bengkulu. Penghitungan nilai heterosis menunjukkan bahwa daya tetas persilangan YB mempunyai heterosis paling tinggi 19.32%, kemudian diikuti berturut-turut oleh YP 9.36%, PB 8.09% dan PY 6.83%. Adanya heterosis ini memperlihatkan bahwa dengan persilangan puyuh dari daerah yang berbeda, daya tetas telur puyuh untuk usaha di Bengkulu dapat diperbaiki. KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa melalui persilangan, fertilitas dan daya tetas puyuh di Bengkulu dapat ditingkatkan. Persilangan puyuh betina Bengkulu dengan jantan dari daerah Yogyakarta menghasilkan pengaruh heterosis yang paling tinggi untuk performans fertilitas dan daya tetas. Dari penelitian ini puyuh hasil persilangan memberi harapan untuk diproduksi dalam skala besar. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada Pimpro SP4 Batch I Jurusan Peternakan Faperta UNIB atas bantuan dananya. Juga kepada Ir. Hidayat M.Sc., Welly Andani, Eliza dan Defrial atas bantuannya sehingga penelitian ini terlaksana. DAFTAR PUSTAKA Astuti, M., T.A. Sucahyono, dan D.T. Sulistiowati. 1985. Pengaruh silang dalam terhadap daya tunas, daya tetas, dan bobot badan pada burung puyuh. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. BeBreeder. 2002. Poultry Breeding/Genetics: Is purebred breeding the answer. www.uoguelph.ca/research/spack/cgil/page 8.html. 17 May 2002. Falconer, D.S. 1981. Introduction Quantitative Genetics. 2 nd Ed. Longman B Group Ltd., London. Johansson, I. and J. Rendel. 1968. Genetics and Animal Breeding. W. H. Freman and Co, San Fransisco. Kaharuddin, D. 1989. Pengaruh bobot telur tetas terhadap bobot tetas, daya tetas, pertambahan berat badan dan angka kematian sampai umur empat minggu pada puyuh (Coturnix coturnix japonica). Laporan Penelitian Faperta UNIB, Bengkulu Noor, R.R. 1996. Genetika Ternak. Cetakan I. Penebar Swadaya, Jakarta. Pramono, R. 2004. Performans reproduksi dan munculnya kaki pengkor pada puyuh di beberapa peternakan puyuh kota Bengkulu. Skripsi. Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian UNIB, Bengkulu. (tidak dipublikasikan). Rokimoto. 2002. Poultry Breeding/Genetics: inbreed Quail. www.the.coop.org/ wwwboard/discuss/messages/15/6437.html- 11k, 3 July 2002. Sheridan, A.K. 1986. Selection for heterosis from reciprocal cross population: Estimation of the F1 heterosis and its mode of inheritance. British Poultry Sci. 27: 541-550. Warwick E.J, Astuti J.M dan W. Hardjosubroto. 1990. Pemuliaan Ternak. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta