BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkebunan kelapa sawit merupakan jenis usaha jangka panjang. Kelapa sawit yang baru ditanam saat ini baru akan dipanen hasilnya beberapa tahun kemudian. Sebagai tanaman tahunan ( perennial crop), pada kelapa sawit dikenal periode tanaman belum menghasilkan (TBM) yang lamanya bervariasi 2-4 tahun, tergantung beberapa faktor yang salah satunya adalah kebutuhan air yang diperlukan dalam perkebunan kelapa sawit tersebut. Air merupakan kebutuhan utama bagi tanaman kelapa sawit. Jika penyaluran air yang kurang sempurna atau kurang tepat akan mengakibatkan kelainan dan bahkan bisa mengakibatkan kematian pada tanaman kelapa sawit tersebut, sehingga air yang diberikan harus disesuaikan dengan kebutuhannya. Oleh karena itu, perlu dilakukan pembuatan saluran air/drainase yang tepat yang bertujuan untuk mengelola dan mengumpulkan air yang diperlukan oleh tanaman kelapa sawit. Umumnya, lahan yang datar atau sepanjang aliran sungai (alur alam) mempunyai masalah drainase yang cukup berat sehingga tidak jarang akan banyak dijumpai areal rendahan ( low lying area) dan rawa-rawa yang dipengaruhi oleh pasang-surut permukaan air sungai. Pembukaan lahan yang mempunyai masalah drainase akan mengalami hambatan yang serius. Oleh karena itu, perlu dilakukan pembukaan saluran drainase untuk mengeluarkan air dari areal yang akan dibuka sehingga penanaman dapat dilakukan. 1.2. Rumusan Masalah Dari uraian tersebut di atas maka rumusan masalah pada penulisan ini yaitu bagaimana pola jaringan drainase yang ada pada perkebunan kelapa sawit dan bagaimana dasar serta teknis pembuatan sistem saluran air/drainase di perkebunan kelapa sawit. 1
1.3. Tujuan Penulisan Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui pola jaringan drainase dan dasar serta teknis pembuatan sistem drainase di perkebunan kelapa sawit agar air yang masuk ke dalam areal perkebunan tersebut dapat dikendalikan atau ditata. 2
BAB II PEMBAHASAN 2.1. Pola Jaringan Drainase Perkebunan Kelapa Sawit Pola jaringan drainase 2:1 adalah dalam sebuah blok tanam kebun sawit, satu jaringan tersier dibuat antara dua titik barisan tanam, dan total dari saluran tersier pola ini adalah 59 buah saluran tersier dalam satu blok. Pot. A-A Tanaman Kelapa Sawit Gambar 1.1. Pola Jaringan Drainase 2:1 0,3 1,0 m 0,,3 1,0 m 60 cm 60 cm 1 2 Gambar 1.1.a. Potongan A-A 3
Pola jaringan drainase 4:1 adalah dalam sebuah blok tanam kebun sawit, satu jaringan tersier dibuat antara empat titik barisan tanam, dan total dari saluran tersier pola ini adalah 29 buah saluran tersier dalam satu blok. Pot. A-AA Tanaman Kelapa Sawit Gambar 1.2. Pola Jaringan Drainase 4:1 0,5 1,5 m 0,5 1,5 m 60 cm 1 60 cm 2 Gambar 1.2.a. Potongan A-A 4
Selanjutnya, juga sama dengan pola jaringan drainase 6: :1 adalah dalam sebuah blok tanam kebun sawit, satu jaringan tersier dibuat antara enam titik barisan tanam, dan total dari saluran tersier pola ini adalah 19 buah saluran tersier dalam satu blok. Pot. A-A Tanaman Kelapa Sawit Gambar 1.3. Pola Jaringan Drainase 6:1 2,0 2,5 m 2,0 2,5 m 60 cm 1 60 cm 2 Gambar 1.3.a. Potongan A-A Blok 8 L adalah blok yang mempunyai pola jaringan 2:1, blok 12 M adalah blok yang mempunyai pola jaringan 6:1, dan 16 N adalah blok yang berpola jaringan drainase 6:1. Kinerja drainase yang baik adalah kinerja drainase pada blok 8 L. Kinerja pada blok 8 L dikatakan baik karena adanya debit air yang tinggi disini maka semakin banyak pulalah air genangan yang dapat di drainase. Selanjutnya diantara dari ketiga ini, debit blok 16 N masuk dalam kategori cukup baik sebab debit air pada blok ini berbeda tipis dengan blok 8 L. Sedangkan 5
drainase yang buruk terjadi pada blok 12 M, disini aliran air sangat lambat sekali. Dampak yang terjadi dari sini adalah air lamban terdrainase, sehingga apabila terjadi hujan besar maka pada blok ini akan terjadi genangan air. 2.2. Pembuatan Saluran Air/Drainase Perkebunan Kelapa Sawit Pembuatan saluran air dimaksudkan untuk mengendalikan tata air di dalam wilayah perkebunan. Metode pengendalian tata air yang umum digunakan yaitu irigasi dan drainase. Irigasi merupakan usaha untuk menambah air ke dalam wilayah, sedangkan drainase kebalikannya. Hal ini perlu disadari agar tidak terjadi kekeliruan dalam pemakaian terminologi irigasi untuk tata-nama (nomenclature) drainase karena kedua sistem ini saling berlawanan dan tidak mungkin digabung menjadi satu kesatuan. Untuk mencegah timbulnya kerancuan dalam tata-nama sistem drainase, berikut dijelaskan tipe dan ukuran saluran. a. Drainase lapangan (field drains; secara salah kaprah disebut parit tersier) Berfungsi menyekap air yang ada dan/atau mengalirkannya di permukaan tanah. Dalam keadaan tertentu berfungsi menurunkan permukaan air tanah. Merupakan parit buatan. b. Drainase pengumpul ( collection drains; secara salah kaprah disebut parit sekunder) Berfungsi mengumpulkan air dari suatu areal tertentu dan mengalirkannya ke pembuangan. Merupakan buatan manusia dan dapat berbentuk saluran (parit), kolam, waduk, dan lainnya. Dapat juga berupa teras bersambung dan benteng, dimana bentuk pengumpulannya berdiri sendiri dan pembuangannya melalui peresapan tanah. 6
c. Drainase pembuangan ( outlet drains; secara salah kaprah disebut parit primer) Berfungsi mengeluarkan air dari suatu areal tertentu. Umumnya memanfaatkan kondisi alam yang ada, seperti sungai, jurang, rendahan, dan lainnya. Jika tidak dapat memanfaatkan kondisi alam, juga dapat berupa saluran buatan (kanal), sistem pompa, dan lain-lain. Pengertian dan sistematika istilah drainase ini bersifat relatif dan tergantung pada konteks permasalahannya. Misalnya, drainase pembuangan bagi divisi/afdeling mungkin merupakan drainase pengumpul dalam konteks kebun. Secara garis besar, data pada Tabel 1.1. dapat dijadikan pedoman dalam menentukan tipe dan ukuran saluran air. Tabel 1.1. TIPE DAN UKURAN SALURAN AIR Tipe Drainase Lebar Atas (m) Lebar Bawah (m) Kedalaman (m) Lapangan 1,0 0,3 0-1,10 Pengumpul 2,0-2,5 0,5 1,25-1,75 Pembuangan 3,0-5,0 1,0 2,00-2,50 a. Dasar pembuatan sistem drainase Pembangunan sistem drainase di perkebunan terutama ditujukan untuk mengendalikan kelembapan tanah sehingga kadar airnya stabil antara 20-25% dengan kedalaman aras air ( water table) maksimum 60 cm. Selain itu, pembangunan drainase juga diusahakan terhindar dari kejenuhan air secara terus-menerus selama maksimum 2 minggu. Sistem drainase dibuat berdasarkan pada kemampuan saluran air untuk mengeluarkan kelebihan air dalam 24 jam (m 3 /24jam). Volume air yang akan dialirkan melalui sistem drainase biasanya berkisar 60-80% dari curah hujan, tergantung pada jenis tanah, topografi, dan lamanya periode 7
kekeringan. Dengan memperhitungkan 1 mm curah hujan setara dengan 10 m 3 air hujan maka volume air yang diterima kebun sebagai berikut : Volume air (m 3 ) = Luas kebun (ha) x Curah hujan (mm) x 10 m 3 Perhitungan daya mengalirkan air ke luar sistem drainase (m 3 /detik) dihitung berdasarkan curah hujan terbesar yang pernah terjadi di kebun. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan suatu sistem drainase dapat diformulasikan secara sederhana dalam rumus Manning, yaitu sebagai berikut : V = x x i Keterangan : V = Kecepatan air mengalir (m/detik), nilai idealnya 0,3-0,8 m/detik n = Koefisien kekasaran permukaan saluran air. Nilainya 0,25 bila bersih tidak bergulma dan 0,50 bila penuh gulma f = Penampang basah saluran air atau penampang berisi air (merupakan faktor variabel yang harus dikelola) c = Keliling saluran air (merupakan faktor variabel yang harus dikelola) i = Sudut penurunan dasar saluran air/slope fall (m/m). nilai idealnya 0,03-0,05. Artinya, penurunan dasar saluran air 30-50 cm setiap 100 m panjang saluran air Kemampuan sistem drainase untuk mengalirkan air dapat dihitung dengan dasar kecepatan air. Dalam sistem drainase yang baik, nilai kecepatan aliran air yaitu 0,3-0,8 m/detik. Kecepatan aliran ini cukup aman terhadap pengikisan dinding dan dasar saluran air. Ambang batas kecepatan minimal yaitu 0,1 m/detik, dimana air sudah berpotensi untuk tergenang. Prinsip dasar dari suatu sistem drainase yaitu menyekap air, kemudian mengumpulkannya, dan akhirnya dibuang keluar areal. Dengan demikian, drainase harus dirancang dalam bentuk jaringan yang memanfaatkan topografi 8
dan mengalirkan kelebihan air berdasarkan gaya berat. Merancang sistem drainase yang baik harus mengacu pada peta topografi dan bukan berdasarkan kondisi visual saja (sesuatu yang sering terjadi di perkebunan dan umu mnya tidak efektif hasilnya). b. Teknis pembuatan saluran drainase Kondisi kebun, afdeling/divisi, atau blok yang tergenang air-baik secara permanen maupun temporer-merupakan indikasi bahwa sistem drainase alamiah tidak mampu mengeluarkan kelebihan air dalam waktu 24 jam. Dalam kondisi seperti ini, mutlak diperlukan peningkatan kemampuan sistem drainase untuk mengeluarkan air keluar areal. Secara optimal, peningkatan ini dapat dilakukan dengan membuat saluran air. Pembuatan saluran air memerlukan perhitungan dan syarat teknis (spesifikasi) tertentu supaya tujuannya dapat tercapai. Saluran air harus membentuk suatu jaringan dan saling bermuara secara bertingkat, dimana saluran drainase lapangan bermuara pada drainase pengumpul dan drainase pengumpul bermuara pada drainase pembuangan. Titik temu ( junction) antarsaluran air dibuat bersudut 60-70 dan membentuk pola tulang ikan. Titik temu ini harus membelok ke arah aliran air dan tidak boleh tegak lurus. Disamping itu, titik temu ini juga harus berdiri sendiri (tunggal) sehingga mencegah terjadinya perputaran arus air/turbulensi, hal yang umum terjadi bila suatu junction terdiri lebih dari 2 percabangan dan saling berhadapan. Penampang saluran air (nilai c dalam rumus Manning) harus semakin membesar pada daerah hilir karena sifat aliran air yang akan mengakumulasikan air di daerah hilirnya. Pembuatan penampang saluran air yang besarnya sama (dari hulu ke hilir)-seperti yang lazim dilakukan di kebun-dapat menyebabkan air meluap dan menggenang di daerah hilir. Pembuatan penampang saluran air harus semakin membesar sesuai dengan urutan drainase lapangan, pengumpul, dan pembuangan. 9
Penurunan sudut dasar saluran air (slope fall = i) sebaiknya dibuat 30-50 cm per 100 m panjang saluran air (0,03-0,05 m/m). Jika penurunan sudut tersebut lebih curam-misalnya karena pengaruh topografi-maka sudut penurunan dapat diperkecil dengan agak mengikuti arah kontur. Saluran drainase lapangan yang berfungsi menyekap air, arahnya harus dibuat agak tegak lurus terhadap penurunan topografi dengan panjang maksimum 60 m. saluran drainase lapangan juga harus dibuat secara lurus dan dirawat supaya bebas gulma. Keberadaan gulma akan menghambat kelancaran aliran air (memperbesar nilai i dan mengecilkan nilai n dalam rumus Manning). Jika kondisi topografi tidak memungkinkan pembuatan saluran air yang lurus maka dapat dibelokan dalam bentuk busur lingkaran dengan jari-jari 100 m. Untuk sistem drainase di daerah rendahan, saluran drainase pengumpul dapat dibuat dua buah berkeliling (membentuk kaki bukit) dan satu atau lebih ditengah (biasanya lurus). Saluran drainase lapangan dapat dihubungkan dengan saluran pengumpul yang ada ditengah dan/atau saluran pengumpul yang melingkar. Seluruh saluran drainase pengumpul ini harus bermuara pada saluran pembuangan (Gambar 1.4.). Gambar 1.4. Sistem saluran drainase di areal rendahan : (1) drainase pembuangan, (2) drainase pengumpul, (3) drainase lapangan, (4) saluran 10
pengumpul yang melingkar di hulu, (5) tanah tinggi, dan (6) sudut pertemuan 60-70 11
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN 3.1. Kesimpulan Pola jaringan drainase perkebunan kelapa sawit terdiri dari 3 pola yaitu pola 2:1 (8 L) yang mempunyai 59 saluran tersier dari satu blok, pola 4:1 (12 M) yang mempunyai 29 saluran tersier dari satu blok, dan pola 6:1 (16 N) yang mempunyai 19 saluran tersier dari satu blok. Dalam pembuatan saluran drainase perkebunan kelapa sawit perlu diperhatikan dasar dan teknis dalam pembuatannya, salah satu misalnya merancang sistem drainase yang baik harus mengacu pada peta topografi dan bukan berdasarkan kondisi visual saja agar drainase tersebut dapat digunakan secara efektif dan efesien. 3.2. Saran Dalam pembuatan saluran drainase harus diperhatikan secara tepat perhitungan dan syarat teknis (spesifikasi) tertentu supaya tujuannya dapat tercapai. 12
REFERENSI Pahan, Iyung. 2010. Panduan Lengkap Kelapa Sawit Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga Hilir. Jakarta: Penebar Swadaya. 13