7 MODEL PENGEMBANGAN GUGUS PULAU

dokumen-dokumen yang mirip
PENGADILAN TINGGI AGAMA AMBON Jln. Kebun Cengkeh Batu Merah Atas (0911) Fax (0911)

BAB I PENDAHULUAN menjadikan kota Saumlaki semakin berkembang dengan pesat.

5 KEADAAN UMUM WILAYAH

BAB I PENDAHAULUAN. 1.1 Latar Belakang

Lampiran I.81 PENETAPAN DAERAH PEMILIHAN DAN JUMLAH KURSI ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI DALAM PEMILIHAN UMUM TAHUN 2014

KONSEP PEMERATAAN AKSES LAYANAN PENDIDIKAN MENENGAH KEJURUAN BERDASARKAN KARAKTERISTIK WILAYAH KABUPATEN MALUKU TENGGARA BARAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN MALUKU BARAT DAYA DI PROVINSI MALUKU

KAJIAN POTENSI LIMBAH TANAMAN PANGAN SEBAGAI SUMBER PAKAN ALTERNATIF TERNAK KERBAU MOA DI KABUPATEN MALUKU TENGGARA BARAT (MTB)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 1999 TENTANG PEMBENTUKAN PROPINSI MALUKU UTARA, KABUPATEN BURU, DAN KABUPATEN MALUKU TENGGARA BARAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 1999 TENTANG PEMBENTUKAN PROPINSI MALUKU UTARA, KABUPATEN BURU, DAN KABUPATEN MALUKU TENGGARA BARAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN MALUKU BARAT DAYA DI PROVINSI MALUKU

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN MALUKU BARAT DAYA DI PROVINSI MALUKU

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

STRATEGI PENGEMBANGAN SISTEM TRANSPORTASI ANTAR PULAU DI KABUPATEN MALUKU BARAT DAYA (MBD) GUNA MENUNJANG KONSEP TRANS MALUKU. Lodewyk M.

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB VII PENGEMBANGAN WILAYAH MALUKU TAHUN 2011

PROBLEM, TANTANGAN PENGEMBANGAN, DAN DESAIN KEBIJAKAN BIDANG PETERNAKAN PULAU-PULAU KECIL Kasus Provinsi Maluku. Adolf B Heatubun

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2015 TENTANG RENCANA TATA RUANG KAWASAN PERBATASAN NEGARA DI PROVINSI MALUKU

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2015 TENTANG RENCANA TATA RUANG KAWASAN PERBATASAN NEGARA DI PROVINSI MALUKU

: ,69 km2. daratan : km2 ( 7,6 % ) lautan : km2 (92,4 %) : 632 pulau. garis pantai : mil / km

BAB I PENDAHULUAN. suatu sistem negara kesatuan. Tuntutan desentralisasi atau otonomi yang lebih

I. PENDAHULUAN. Aktifitas kegiatan di perkotaan seperti perdagangan, pemerintahan, persaingan yang kuat di pusat kota, terutama di kawasan yang paling

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 1999 TENTANG PEMBENTUKAN PROPINSI MALUKU UTARA, KABUPATEN BURU, DAN KABUPATEN MALUKU TENGGARA BARAT

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan wilayah merupakan program komprehensif dan terintegrasi dari semua kegiatan dengan mempertimbangkan

STRATEGI OPERASIONALISASIPERWUJUDAN KAWASAN BUDI DAYA YANG MEMILIKI NILAI STRATEGIS NASIONAL DI KEPULAUAN MALUKU STRATEGI OPERASIONALISASI

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Oleh : Kepala Dinas Infokom Provinsi Maluku IBRAHIM SANGADJI, SE.MSi

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru

P E N J E L A S A N A T A S PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI MALUKU

BAB II KETENTUAN UMUM

STRATEGIOPERASIONALISASIPERWUJUDANKAWASANANDALAN DI KEPULAUAN MALUKU

BAB I PENDAHULUAN. transportasi dan komunikasi yang sangat diandalkan dalam mewujudkan

ANALISIS SUMBERDAYA PESISIR YANG BERPOTENSI SEBAGAI SUMBER PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) KOTA BENGKULU

VIII. ANALISIS KEMAMPUAN FASILITAS PELAYANAN DAN HIRARKI PUSAT PENGEMBANGAN WILAYAH DI WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan

DENGAN RAHMAT TUHAN YA NG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB IV STUDI KASUS. Saparua. Kep. Tenggara. Gambar 4.1 Wilayah studi

PERENCANAAN ANGKUTAN UMUM DI KOTA DAN KABUPATEN BERCIRIKAN KEPULAUAN STUDI KASUS DI PROVINSI MALUKU UTARA

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN

4. GAMBARAN UMUM 4.1 Pertumbuhan Ekonomi

3. Pola hubungan spasial intra-interregional di Kapet Bima dapat diamati dari pergerakan arus barang dan penduduk antar wilayah, yakni dengan

BAB 4 SUBSTANSI DATA DAN ANALISIS PENYUSUNAN RTRW KABUPATEN

BAB I PENDAHULUAN. bermukim pun beragam. Besarnya jumlah kota pesisir di Indonesia merupakan hal

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mulai dari yang terdapat di daratan hingga di lautan. Negara Kesatuan Republik

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perikanan Tangkap

BAB 1 MEMORANDUM PROGRAM SANITASI (MPS) KOTA TERNATE BAB PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. berbagai perubahan mendasar atas seluruh sistem sosial seperti politik, ekonomi,

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. repository.unisba.ac.id. 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. memuat arah kebijakan pembangunan daerah (regional development policies)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Menunggu Jalur Lintas Selatan Pulau Jawa Menjadi Kenyataan

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Dilihat dari sejarah atau proses perkembangannya pada masa yang lalu dapat diketahui bahwa kota-kota pada

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA TATA RUANG KEPULAUAN MALUKU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KELAUTAN DAN PERIKANAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.177, 2014 PEMERINTAHAN. Wilayah. Rencana Tata Ruang. Kepulauan Maluku.

KONDISI UMUM WILAYAH

MATRIKS ARAH KEBIJAKAN WILAYAH MALUKU

BAB 1. Pendahuluan 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang penelitian

BAB I PENDAHULUAN. BT dan 6 15'-6 40' LS. Berdasarkan pada ketinggiannya Kabupaten Indramayu

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB IV GAMBARAN UMUM

TIPOLOGI WILAYAH PROVINSI MALUKU UTARA HASIL PENDATAAN POTENSI DESA (PODES) 2014

BAB I PENDAHULUAN. karena kawasan ini merupakan pusat segala bentuk aktivitas masyarakat. Pusat

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KEBUTUHAN PENGEMBANGAN FASILITAS PELABUHAN KOLAKA UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN WILAYAH KABUPATEN KOLAKA

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENETAPAN KRITERIA WILAYAH SUNGAI DAN CEKUNGAN AIR TANAH 14 JULI

BAB VII PENGEMBANGAN WILAYAH MALUKU TAHUN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Oleh Ir. SAID ASSAGAFF Gubernur Maluku

IX. SIMPULAN, SARAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. Maluku, maka dapat dikemukakan beberapa simpulan sebagai berikut:

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2 KETENTUAN UMUM

DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN... 1

I. PENDAHULUAN. (agribisnis) terdiri dari kelompok kegiatan usahatani pertanian yang disebut

PENDAHULUAN Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber daya-sumber daya yang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN

ANALISIS PENGEMBANGAN EKONOMI DAN INVESTASI PROPINSI MALUKU TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah

BAB I PENDAHULUAN. Kehadiran pelabuhan yang memadai berperan besar dalam menunjang mobilitas barang dan

BAB I PENDAHULUAN. Penyusunan Tataran Transportasi Lokal Kota Tual 1.1. LATAR BELAKANG

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Transkripsi:

159 7 MODEL PENGEMBANGAN GUGUS PULAU 7.1 Sejarah Gugus Pulau Ditinjau dari posisi geologis, pulau-pulau di Maluku di kelompokan menjadi dua kelompok besar yaitu kelompok pulau Busur Banda Dalam dan kelompok pulau Busur Banda Luar. Kelompok Busur Banda Dalam terbentuk oleh aktivitas gunung api yang relatif masih muda sehingga memiliki tanah yang relatif lebih subur. Kelompok pulau ini meliputi Pulau Wetar, Pulau Romang, kepulauan Damar, Pulau Teon, Pulau Nila, Pulau Serua, Pulau Manuk dan Kepulauan Banda. Kelompok pulau Busur Banda Luar, terjadi dari batuan sedimen dan batu gamping yang terangkat. Kelompok pulau ini meliputi Pulau Kisar, Kepulauan Leti, Kepulauan Watubela, Kepualauan Gorom, Kepulauan Seram, Pulau Seram, Pulau Saparua, Pulau Ambon, Pulau Buru (Lokollo, 1995). Bila kita amati letak pulau-pulau dari ujung barat sampai ujung Timur pulau Seram, kepulauan Kei, Kepulauan Tanimbar, Kepulauan Babar, Pulau Kisar, sampai pulau Wetar membentuk garis lengkung ibarat alis mata yang melingkari laut banda dan ditengahnya terletak kepulauan Banda. Julius Caesar Dellascala dari kerajaan Romawi (1484-1558), mengatakan bahwa konfigurasi tata letak pulau-pulau seperti tersebut diatas digambarkan sebagai supercillium mundi yang artinya alis mata dunia. Sedangkan pulau Banda yang letaknya ditengah di ibaratkan sebagai biji mata, dan Laut Banda disekitar pulau Banda di ibaratkan sebagai mata, yang selanjutnya disebut an eye brow of the orient yang artinya mata dan alis mata dari timur (Lembaga Kebudayaan Daerah Maluku, 2005). Mengacu pada pendapat diatas, maka apa yang dideskripsikan oleh Julius Caesar Dellascala tentang status pulau sebagai biji mata, pada dasarnya menggambarkan suatu lokasi bersifat sentral ditengah-tengah laut Banda yang memiliki kemudahan aksesibiltas relatif sama terhadap wilayah disekitarnya yang disebutnya sebagai alis mata. Gambaran ini sekaligus menjelasakan akan adanya fenomena wilayah pusat dan wilayah pinggiran yang disatukan oleh lautan dan digambarkan sebagai mata. Pandangan

160 semacam inilah yang selanjutnya menjadi cikal bakal lahirnya konsep gugus pulau yang dipercaya dapat mengatasi berbagai permasalahan terutama yang berkaitan dengan rendahnya tingkat aksesibilitas dari wilayah kepulauan. 7.2 Pengertian Gugus Pulau Didalam Rencana Struktur Tata Ruang Provinsi Maluku, Bappeda Provinsi Maluku, Tahun 1992, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan gugus pulau adalah pengelompokan pulau-pulau dalam ruang menurut ekosistem, kependudukan, transportasi, perekonomian dan potensi pertanian. Berdasarkan pengelompokan tersebut, diketahui pada tahun 1992, di wilayah Provinsi Maluku telah terbentuk 8 buah gugus pulau. yaitu Gugus pulau 1 yang meliputi pulau Morotai, Halmahera, Gebe, Ternate, Tidore, Kasiruta, Makian, Mandiuli, Bacan, Bisa, dan Obi; Gugus pulau 2 yang meliputi pulau Sulabesi, Mangole, dan Taliabu; Gugus pulau 3 yang meliputi pulau Buru, Seram, Ambon, Haruku, Saparua, Geser, Gorom, Manawoka, Banda, Teon, Nila, dan Serua; Gugus pulau 4 yang meliputi.kepulauan Kei dan Kasui; Gugus pulau 5 yang meliputi kepulauan Aru; Gugus pulau 6 yang meliputi kepulauan Tanimbar (P. Yamdena, Larat, Waliaru, Selaru, Selu, Seira, Molu); Gugus pulau 7 yang meliputi kepulauan Babar dan Sermata; Gugus pulau 8 yang meliputi pulau Damar, Romang, Leti, Moa, Lakor, Kisar dan Wetar. Lebih lanjut dijelaskan dalam Rencana Struktur Tata Ruang Provinsi Maluku, Bappeda Provinsi Maluku, Tahun 1992, bahwa pengelompokan pulau-pulau diatas kedalam 8 satuan gugus pulau bertujuan untuk (1) mengatasi kendala dan permasalahan yang diakibatkan oleh kondisi geografis wilayah dengan cara menata pemanfaatan ruang kedalam kelompok kelompok gugus pulau sehingga secara internal akan membentuk ikatan dan hubungan yang lebih baik antar pulau. (2) meningkatkan aksesibilitas antar pulau dengan mengembangkan sistem infrastruktur baik yang bersifat fisik maupun sosial dan ekonomi sehingga dapat mengoptimalkan pemanfaatan potensi sumber daya alam (Laut, Hutan. Tambang), dan memacu pertumbuhan Kabupaten di Provinsi Maluku. (3)

161 melaksanakan pembangunan berwawasan lingkungan dengan mencegah perusakan terhadap daerah-daerah sensitif, baik didaratan maupun di lautan, sehingga tercipta pembangunan yang berkelanjutan. Menurut Buku Repelita ke VI yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Maluku Tahun 1994, pengembangan perwilayahan di Maluku dikelompokan dalam 8 satuan gugus pulau. Pengelompokan ini dilakukan berdasarkan kedekatan geografis, kesamaan budaya, kesatuan alam, kecenderungan orientasi, kesamaan perekonomian dan potensi sumberdaya alam. Pada masing masing gugus pulau terdapat pusat-pusat pertumbuhan dengan tingkat perkembangan yang berbeda. Dengan pengelompokan yang demikian, maka kegiatan antar pulau dapat lebih di integrasikan dalam satu satuan wilayah pembangunan secara lebih berdaya guna. Dengan demikian sebagai implementasi dari otonomi daerah, Provinsi Maluku yang merupakan wilayah kepulauan, pendekatan pembangunan yang tadinya menggunakan pendekatan pembangunan sektoral kemudian beralih ke pendekatan perwilayahan dalam bentuk gugus pulau. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 46 Tahun 1999, tentang Pembentukan Provinsi Maluku Utara, Kabupaten Buru dan kabupaten Maluku Tenggara Barat, maka pembagian wilayah Provinsi Maluku paska pemekaran kemudian dibagi dalam 8 gugus pulau yang didasarkan atas kedekatan geografis, kesamaan budaya kesatuan alam, kecenderungan orientasi, kesamaan perekonomian dan potensi sumberdaya alam. Kedelapan gugus pulau baru dimaksud adalah Gugus pulau 1 yang meliputi pulau Buru; Gugus pulau 2 yang meliputi pulau Seram, Geser, Gorong dan Kepulauan Watubela; Gugus pulau 3 yang meliputi pulau Ambon, Haruku Saparua, Nusalaut dan Kepulauan Banda; Gugus pulau 4 yang meliputi kepulauan Kei dan Kasui; Gugus pulau 5 yang meliputi kepulauan Aru; Gugus pulau 6 yang meliputi kepulauan Tanimbar (Pulau Yamdena, Larat, Wuliaru, Selaru, Selu, Siera dan Molu). Gugus pulau 7 yang meliputi pulau Babar, Sermata, Damer, Teo, Nila, dan Serua; Gugus pulau 8 yang meliputi pulau Wetar, Kisar, Romang, Leti, Moa, dan Lakor.

162 Selanjutnya berdasarkan Rencana Strategis Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Tahun 2002 sampai dengan 2006 (MTB, 2002), disebutkan bahwa pengembangan perwilayahan pada kabupaten Maluku Tenggara Barat dilakukan dengan membentuk 4 gugus pulau, yaitu (1) Gugus pulau Tanimbar yang meliputi Pulau Yamdena, Larat, Wuliaru, Selaru, Selu, Siera dan Molu; (2) Gugus Pulau Babar yang meliputi pulau Babar, Sermata, Damer, Teo Nila dan Serua, (3) Gugus Pulau Terselatan yang meliputi pulau Wetar, Kisar, dan Romang, (4) Gugus Pulau Leti Moa lakor yang meliputi pulau Leti, Moa dan Lakor. Berdasarkan pengertian dan tujuan gugus pulau di wilayah Provinsi Maluku, khususnya wilayah Kabupaten Maluku Tenggara Barat, dapat disimpulkan bahwa upaya pemerintah untuk melakukan penggugusan pulaupulau pada dasarnya merupakan suatu kebijakan ruang dalam rangka memberikan pelayanan secara lebih merata kepada penduduk di pulau-pulau kecil yang letaknya relatif terisolasi oleh jarak dan lautan antara satu pulau dengan pulau lainnya. Dengan demikian tidak mengherankan kalau didalam mekanisme pembentukan gugus pulau, kedekatan geografis menjadi hal yang sangat penting untuk dipertimbangkan didalam meningkatkan aksesibiltas dan mengurangi keterpencilan dari pulau-pulau yang ada. Hal lain yang juga menjadi pertimbangan dalam penggugusan pulau-pulau di wilayah Provinsi Maluku khususnya Kabupaten Maluku Tenggara Barat, adalah unsur kesamaan sosial, ekonomi, orientasi dan sumberdaya, sehingga dengan upaya ini kelemahan pulau-pulau kecil didalam menyediakan sumberdaya pembangunan dapat dikurangi melalui gabungan penyediaan sumberdaya pembangunan yang lebih spesifik atau dominan dari sekelompok pulau. Berdasarkan kenyataan diatas, dapat disimpulkan bahwa gugus pulau yang ada saat ini orientasinya lebih kepada sistem perwilayahan yang bersifat homogen sehingga struktur pertumbuhan yang diharapkan dapat mengurangi disparitas wilayah belum dapat berperan secara lebih baik. Dengan demikian efektifitas dari sistem gugus pulau yang ada perlu ditingkatkan dengan memasukan unsur wilayah yang menekankan adanya unsur heterogenitas

163 yang diharapkan dapat memacu keterkaitan tumbuh diantara pulau-pulau kecil secara lebih baik. 7.3 Gugus Pulau dan Keterkaitan Tumbuh Menurut Konsep Pedoman Umum Penataan Ruang Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil yang diterbitkan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan tahun 2002, mendefinisikan pengertian gugus pulau secara umum adalah sekumpulan pulau-pulau yang secara geografis saling berdekatan, dimana ada keterkaitan erat dan memiliki ketergantungan atau interaksi antar ekosistem, kondisi ekonomi, sosial dan budaya baik secara individu maupun kelompok. Kata saling berdekatan menggambarkan akan adanya dimensi ruang atau wilayah yang terkait dengan faktor jarak (D) ini berarti keterpencilan sebuah pulau kecil sangat dipengaruhi oleh jaraknya untuk berinteraksi dengan pulau-pulau lain disekitarnya. Semakin jauh jarak suatu pulau kecil terhadap pulau-pulau di sekitarnya semakin berkurang kemampuan berinteraksinya, bahkan hilang sama sekali jika mencapai jarak tertentu. Sedangkan kata ketergantungan menggambarkan akan adanya kemampuan berinteraksi suatu pulau-pulau kecil terhadap pulau-pulau di sekitarnya sebagai akibat adanya faktor hubungan fungsional yang timbul sesuai karakteristik atau potensi yang dimiliki mereka (M). Semakin lemah hubungan fungsional yang ditimbulkan, semakin berkurang kemampuan berinteraksinya. Dengan demikian kemampuan berinteraksi antara satu pulau kecil dengan pulau yang ada disekitarnya (F) sangatlah ditentukan oleh kedua faktor ini. Dalam pengelolaan wilayah kepulauan yang bersifat sangat luas dan open access, maka selain ditentukan oleh faktor jarak maupun potensi, kemampuan berinteraksi suatu pulau kecil terhadap pulau disekitarnya juga sangat terkait dengan kemampuan atau kapasitas penguasa atau pengelola wilayah setempat yang pada umumnya adalah pemerintah didalam mengendalikan wilayah tersebut. Kemampuan pemerintah ini diperlihatkan

164 sebagai kapasitas sumberdaya kelembagaan yang dimilikinya seperti dana, manusia, teknologi, metode, sarana dan prasarana serta sumberdaya kelembagaan lainnya yang mampu mendukung kelembagaan tersebut didalam mengendalikan wilayahnya secara efisien dan efektif. Keterbatasan akan kapasitas sumberdaya kelembagaan yang dimilikinya menyebabkan pemerintah harus lebih selektif didalam menentukan pulau-pulau yang memiliki fungsi strategis sebagai pusat pengembangan yang dapat memberikan multiplier effect atau efek sebaran secara lebih efisien dan efektif terhadap pulau-pulau yang ada di sekitarnya bahkan sampai dipinggirannya. Mengacu pada penjelasan di atas, maka pada dasarnya struktur gugus pulau dapat dikategorikan sebagai suatu tipe perwilayahan nodal yang terbentuk atas dasar adanya hubungan fungsional dari setiap komponenkomponen didalamnya yang tersusun secara hirarkis. Jika hubungan antara pulau-pulau yang memiliki fungsi strategis dengan pulau-pulau disekitarnya dianggap sebagai suatu sel hidup yang memiliki plasma dan inti, dimana inti adalah pusat-pusat pelayanan dan plasmanya adalah pulau-pulau yang secara fungsional bergantung pada pusat pelayanan tersebut, maka dengan semakin luas wilayah yang harus dikelola oleh pemerintah, hirarki dari sistem inti dan plasma ini akan semakin bertambah dan berkembang. Hal ini ditandai dengan adanya pembagian wilayah secara hirarkis dari sistem wilayah yang ada dalam bentuk sub-wilayah yang memiliki hirarki lebih rendah, dan seterusnya. Secara skematis pembagian wilayah dimaksud dijelaskan melalui Gambar 26. Dalam operasionalisasinya proses pembagian wilayah ini dapat diartikan sebagai penghirarkian pusat-pusat perwilayahan berdasarkan kapasitas pelayanannya. Selanjutnya kapasitas pelayanan ini dapat diartikan sebagai kapasitas sumberdaya alam seperti sumberdaya manusia, sumberdaya sosial, dan sumberdaya buatan. Selain itu kapasitas pelayanan suatu wilayah dicerminkan juga oleh besaran aktifitas sosial ekonomi masyarakat seperti perputaran uang, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), jumlah jenis organisasi atau lembaga formal dan non formal.

165 Sedangkan besaran aktifitas fisik dicerminkan dengan jumlah sarana dan prasarana serta sumberdaya buatan lainnya. 2 2 1 2 2 Gambar 26. Sub-sub wilayah inti dengan berbagai tingkat hirarki Jika karakteristik hubungan fungsional ini diarahkan pada upaya pembangunan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan, maka selain mengacu pada kaidah-kaidah dari sistem pengembangan wilayah, pendekatan perwilayahan terhadap wilayah kepulauan juga harus mengacu kepada kaidah-kaidah dari sistem pengembangan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan. Oleh karenanya sebagai salah satu solusi dari pengembangan wilayah kepulauan, komponen pendekatan perwilayahan paling tidak harus mencakup beberapa aspek yang berkaitan dengan mekanisme Interaksi Spasial, Pertumbuhan, dan Keberlanjutan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam penelitian ini pendekatan pertumbuhan yang berkelanjutan dari model gugus pulau dilakukan dengan mempergunakan konsep ecological footprint, yang mengkuantifikasikan besarnya kebutuhan lahan untuk keperluan pertumbuhan, serta besarnya kapasitas lahan yang tersedia didalam mendukung proses levelisasi pertumbuhan dan jumlah penduduk antar pulau dari waktu kewaktu. 7.4 Mekanisme Model Gugus Pulau Jika kebijakan pengembangan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan diarahkan pada fungsi tujuan berupa pembangunan bersifat fisik, sosial dan ekonomi tanpa menyampingkan pembangunan yang bersifat ekologi, maka

166 permasalahan utama dalam penelitian ini kemudian sangatlah berkaitan dengan: Bagaimana menemukan efek batas dari suatu mekanisme pembentukan gugus pulau yang diharapkan dapat mendistribusikan pertumbuhan kepada pulau-pulau kecil secara optimal sesuai dengan kapasitas daya dukung lahan dari masing-masing pulau-pulau kecil yang ada didalam gugus pulau tersebut. Dalam bentuk causal loop, maka hubungan antar variabel dalam model gugus pulau dijelaskan melalui diagram berikut ini (Gambar 27). Variabel Daya Tarik Pulau Tujuan -. Bio Capacity Pembatas Fasilitas Sos Eko Interaksi dgn Pulau Lain - Tenaga Kerja Jml Penduduk -. EF > BC -. - Ekologi - Footprint SD Lhn Pulau Lain Lahan Budidaya PDRB Dr Pulau Lain PDRB Daya Tarik P Tujuan -. -. - Variabel Daya Dorong Pulau Asal pddk dr Pulau Lain Pola Int Spasial Akses Mudah Wilayah layanan Wilayah pusat Alternatif Route Jarak makin dekat Route makin simpel Isoline Efek Batas Gambar 27. Diagram Causal Loop Model Pulau

167 Dalam gambar diperlihatkan bahwa, mekanisme pembentukan gugus pulau sebagaimana dimaksud pada prinsipnya merupakan suatu mekanisme Efek Sebaran dari suatu pulau menuju pulau lainnya yang kemudian diasumsikan memiliki pengaruh terhadap proses terdistribusinya PDRB diantara pulau-pulau kecil tersebut. Selain distribusi PDRB, maka output dari model ini juga diasumsikan berdampak terhadap peningkatan jumlah penduduk yang berakibat pada meningkatnya kebutuhan akan luas lahan sesuai dengan karakter jejak ekologis (ecological footprint) yang mempengaruhinya. Pemenuhan kebutuhan penduduk akan lahan sebagaimana dimaksud diatas sangat berkaitan dengan kapasitas biologi (bio capacity) dari keragaan sistem dan penggunaan lahan pulau-pulau kecil tersebut yang sangat terbatas luasannya. Dengan demikian, untuk menjaga keberlanjutan pertumbuhan pulau-pulau kecil, maka model gugus pulau perlu menjaga keberimbangan antara distribusi pertumbuhan PDRB dengan kapasitas ketersediaan luas lahan yang dimiliki oleh masing-masing pulau kecil yang berada didalam sistemnya. 7.5 Pendekatan Model Adanya kebutuhan hidup penduduk di pulau-pulau kecil yang cenderung terus meningkat, baik secara kualitas maupun kuantitasnya serta keterbatasan pulau-pulau kecil dimaksud didalam memenuhi kebutuhan penduduk sebagaimana diperlihatkan melalui hasil analisis ecological footprint dan bio capacity pada sub-bab sebelum ini, maka penduduk di pulau-pulau kecil cenderung untuk berpindah dari pulau asalnya ke pulau tujuan lainnya yang dianggap dapat memenuhi keterbatasannya di pulau asal dan berharap dapat meningkatkan kualitas kelangsungan hidupnya di pulau tujuan. Berpindahnya penduduk dari pulau asal ke pulau tujuan lainnya di wilayah penelitian digambarkan sebagai suatu proses pergerakkan antar pulau. Secara kuantitatif, besarnya pergerakkan antar pulau ini didekati dengan mempergunakan analisis interaksi spasial. Model ini menitikberatkan pada jumlah penduduk yang masuk dan keluar dari pulau kecil selama setahun. Sedangkan penyebab pergerakkan antar pulau didekati dengan

168 melakukan analisis fungsi wilayah didalam memenuhi kebutuhan penduduk setempat. Mengacu pada kedua fokus pendekatan diatas, dan dengan mempertimbangkan ketersediaan data sekunder di wilayah penelitian maka selain pendekatan berdasarkan wilayah administratif kecamatan, satuan unit pengolahan data dalam menganalisis pergerakkan antar pulau yang digunakan adalah satuan unit pulau yang memiliki fasilitas dan aktifitas kepelabuhan bersifat rutin setiap tahunnya, serta berfungsi sebagai pintu masuk dan keluar pulau tersebut dan pulau-pulau lain disekitarnya. Dengan demikian sebagian besar data yang dipergunakan berasal dari data aktifitas bongkar muat pada setiap pelabuhan di pulau-pulau tersebut. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Perhubungan Laut Provinsi Maluku tahun 2006, diwilayah ini terdapat 12 buah pelabuhan antar pulau yang umumnya disinggahi oleh kapal laut masing-masing di Larat (Pulau Larat), Saumlaki (Pulau Yamdena), Adaut (Pulau Selaru) Tepa (Pulau-pulau Babar), Wulur (Pulau Damer), Serwaru (Pulau Leti), Kaiwatu (Pulau Moa), Lerokis (Pulau Lakor), Lelang (Pulau Sermata), Wonreli (Pulau Kisar), Hila (Pulau Romang), Ilwaki (Pulau Wetar). Dengan demikian di wilayah penelitian teridentifikasi sebanyak 12 buah pulau yang diasumsikan berfungsi sebagai pintu masuk dan keluarnya penduduk, barang atau jasa dari pulau tersebut beserta pulaupulau lain disekitarnya. 7.6 Analisis Jarak Antar Kecamatan Dalam penelitian ini variabel jarak yang dipergunakan sebagai salah satu ukuran dalam menentukan besarnya interaksi antar pulau-pulau kecil ditentukan berdasarkan titik-titik yang diasumsikan sebagai pusat kecamatan serta pintu masuk dan keluar dari pulau-pulau kecil. Hasil inventarisasi terhadap keberadaan dan lokasi dari titik-titik dimaksud diketahui ada 17 titik pusat kecamatan di wilayah penelitian. Selanjutnya berdasarkan sebaran titiktitik tersebut dalam ruang dapat diketahui jarak antar pusat kecamatan di Kabupaten Maluku Tenggara Barat, sebagaimana diperlihatkan melalui Tabel matriks jarak berikut ini.

169 Tabel 59. Matriks Jarak Antar Pusat Kecamatan di Kabupaten MTB. Jarak (km) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 P.P.Wetar 1-91.90 146.87 175.63 260.53 279.02 349.96 376.21 504.94 527.64 533.36 548.48 555.11 569.04 573.96 585.56 610.81 P.P.Terselatan 2 91.90-55.08 84.14 187.07 187.69 261.08 287.05 414.43 440.10 443.48 459.42 469.03 480.89 486.92 500.06 525.75 Leti 3 146.87 55.08-29.32 149.22 132.74 207.66 233.33 359.75 387.12 389.12 405.50 416.93 427.48 434.19 448.26 474.18 Moa Lakor 4 175.63 84.14 29.32-129.93 103.55 178.55 204.13 330.44 358.07 359.80 376.22 388.16 398.31 405.20 419.59 445.58 Damer 5 260.53 187.07 149.22 129.93-118.61 128.76 152.06 278.86 282.41 300.28 309.57 304.38 325.05 325.70 332.85 356.82 Mdona Hiera 6 279.02 187.69 132.74 103.55 118.61-81.73 104.85 227.27 259.06 257.24 274.67 291.26 297.93 306.48 323.20 349.56 P.P.Babar 7 349.96 261.08 207.66 178.55 128.76 81.73-26.44 157.32 179.55 183.86 198.54 210.43 219.86 226.76 242.20 268.46 Babar Timur 8 376.21 287.05 233.33 204.13 152.06 104.85 26.44-131.00 154.48 157.44 172.40 186.42 194.20 201.84 218.39 244.77 Selaru 9 504.94 414.43 359.75 330.44 278.86 227.27 157.32 131.00-68.04 33.51 57.19 103.19 85.50 103.27 130.21 153.94 Wermaktian 10 527.64 440.10 387.12 358.07 282.41 259.06 179.55 154.48 68.04-48.13 35.69 37.14 42.65 47.43 67.97 94.01 Tanimbar Selatan 11 533.36 443.48 389.12 359.80 300.28 257.24 183.86 157.44 33.51 48.13-24.76 77.23 53.10 72.49 100.63 122.88 Wertamrian 12 548.48 459.42 405.50 376.22 309.57 274.67 198.54 172.40 57.19 35.69 24.76-55.58 28.43 47.92 76.36 98.15 Wuarlabobar 13 555.11 469.03 416.93 388.16 304.38 291.26 210.43 186.42 103.19 37.14 77.23 55.58-39.04 24.49 32.10 58.56 Kormomolin 14 569.04 480.89 427.48 398.31 325.05 297.93 219.86 194.20 85.50 42.65 53.10 28.43 39.04-21.82 50.51 70.30 Nirunmas 15 573.96 486.92 434.19 405.20 325.70 306.48 226.76 201.84 103.27 47.43 72.49 47.92 24.49 21.82-28.82 50.67 Tanimbar Utara 16 585.56 500.06 448.26 419.59 332.85 323.20 242.20 218.39 130.21 67.97 100.63 76.36 32.10 50.51 28.82-26.46 Yaru 17 610.81 525.75 474.18 445.58 356.82 349.56 268.46 244.77 153.94 94.01 122.88 98.15 58.56 70.30 50.67 26.46 - Sumber : Hasil Analisis GIS (2011). Jika ibu kota Kabupaten Maluku Tenggara Barat pada tahun model 2006, adalah Kota Saumlaki yang berada di Kecamatan Tanimbar Selatan, Pulau Yamdena, maka jarak menuju kecamatan dari pusat pertumbuhan Saumlaki ke kecamatan lain disekitarnya sangat bervariasi dari yang terdekat sampai yang terjauh. Untuk yang terdekat adalah Kecamatan Wermaktian dan Selaru yaitu 24,76 km lintas darat dan 33,51 km lintas laut. Sedangkan yang terjauh adalah kecamatan P.P. Wetar dan P.P Terselatan yang mencapai 533,36 km dan 443,48 km keduanya dicapai melalui lintas laut. Berdasarkan jarak terjauh dan terdekat maka diketahui jarak menengah dari pusat pertumbuhan Saumlaki adalah kecamatan P.P. Babar dan Mdona Hiera yang berjarak sekitar 183,86 km sampai dengan 257,24 km lintas laut. Jika jarak ini dibandingkan dengan batas kewenangan Provinsi Maluku sejauh 12 mil atau 18 km dari garis pantai, maka semua perjalanan antar pulau di

170 Kabupaten Maluku Tenggara Barat dapat dikategorikan sebagai perjalanan antar atau lintas provinsi, bahkan lintas nusantara. 7.7 Analisis Jangkauan Wilayah Pelayanan Pengaruh jarak yang relatif jauh dari satu pulau menuju pulau lainnya menunjukkan bahwa peran sarana dan prasarana transportasi khususnya transportasi laut menjadi sangat penting. Pentingnya transportasi laut ini terkait dengan jangkauan layanan dari suatu titik pelabuhan asal sampai pada pelabuhan tujuan atau sebaliknya. Sedangkan jangkauan pelayanan ini berkaitan dengan rentang kendali pusat pertumbuhan yang dalam hal ini adalah ibu kota Kabupaten Saumlaki terhadap wilayah kecamatan dibawah hirarkinya. Dengan melakukan pendekatan terhadap data jarak tempuh perjalanan penduduk dapat diketahui jangkauan wilayah pelayanan dari suatu pusat kecamatan atau titik pelabuhan sesuai dengan banyaknya penduduk untuk setiap mil jarak sebagaimana diperlihatkan melalui grafik Trip Length Distribution dari Dinas Perhubungan Pemerintah Provinsi Maluku (2005) berikut ini. 50.000 Penduduk (jiwa) 40.000 30.000 20.000 y = 14,227x 5-482,51x 4 5996,7x 3-32685x 2 68467x - 9922 R² = 0,8464 Pddk (jiwa) Poly. (Pddk (jiwa)) 10.000 - (10.000) 001-030 031-060 061-090 091-120 121-150 151-180 181-210 211-240 241-270 271-300 301-330 331-360 Sumber : Dinas Perhub. Maluku (2005), Lampiran 4, diolah (2011) Gambar 28. Grafik Trip Length Distribution. Jumlah Penduduk Per Satuan Jarak (mil)

171 Dari grafik Trip Length Distribution pada Gambar 28, Nampak bahwa jumlah penduduk yang melakukan perjalanan untuk setiap interval jarak cenderung meningkat dari 0-30 mil yaitu sebanyak 28.575 jiwa, menjadi 46.556 pada interval jarak 31-60 mil, kemudian menurun menjadi 19.927 jiwa pada interval 61-90 mil, dan mencapai jumlah terendah pada yaitu 81 jiwa pada interval jarak 241-270 mil. Berdasarkan grafik ini dan analisis jarak antar kecamatan yang melintasi pulau, dapat disimpulkan bahwa jarak pusat pertumbuhan, dalam hal ini adalah Saumlaki memiliki kisaran jarak terkecil adalah sebesar 33.51 km dan terjauh adalah sebesar 375 km, atau jika dalam grafik jarak ini sekitar 250 mil. Sehingga dalam jarak ini kecamatankecamatan seperti Wetar, P.P Terselatan bahkan Leti berada diluar jangkauan pusat pertumbuhan Saumlaki. Sedangkan jika dilihat secara kumulatrif banyaknya jumlah jiwa yang melakukan perjalanan berdasarkan interval jarak, maka jarak efektif yang bisa dicapai oleh pusat pertumbuhan Saumlaki terhadap kecamatan disekitarnya adalah berkisar antara 61 90 mil dan ini sesuai dengan apa yang disebutkan oleh Rencana Struktur Tata Ruang Propinsi Maluku tahun 2005 yang menyebutkan bahwa jarak tempuh efektif laut adalah sebesar 83 mil laut atau sekitar 125 km. Ini berarti jangkauan wilayah pelayanan dari pusat kecamatan atau titik pelabuhan atau pusat pertumbuhan juga semakin lebih pendek. 7.8 Analisis Interaksi Antar Kecamatan Berdasarkan analisis jarak antar kecamatan dan analisis jangkauan wilayah, serta hasil analisis ecological footprint dan bio capacity maka dengan mempergunakan analisis interaksi spasial, diharapkan pola pergerakan antar kecamatan di wilayah penelitian dapat teridentifikasi. Lebih lanjut diasumsikan bahwa pergerakkan antar kecamatan di lokasi penelitian sebagian besar disebabkan oleh adanya kebutuhan hidup dari penduduk setempat untuk mendapatkan pekerjaan terutama di sektor pertanian. Informasi ini diperoleh dari data statistik Kabupaten MTB tahun 2006 yang menyebutkan bahwa dari 85.820 angkatan kerja yang bekerja, 65.106 diantaranya bekerja disektor pertanian sisanya bekerja pada sektor non-pertanian. Sektor pertanian dan

172 non-pertanian ini sangat dipengaruhi oleh bio capacity dari lahan tempat dimana penduduk itu tinggal. Dengan demikian mengacu pada hasil analisis ecological footprint dan analisis bio capacity sebagaimana dijelaskan pada bab sebelum ini, besarnya ketersediaan lapangan pekerjaan dari masing masing kecamatan dapat diketahui. Sehingga interaksi antar kecamatan di wilayah penelitian dihitung atas dasar hubungan antara jumlah angkatan kerja dan ketersediaan lapangan kerja sebagaimana diperlihatkan melalui Tabel berikut 60 ini. Tabel 60. Angkatan Kerja, distribusi lapangan kerja, kapasitas ketersediaan langan kerja. Keterangan Tentang Aspek dalam Pengembangan Pulau- Pulau Kecil Jumlah Penduduk Kecamatan (org) Kepadatan Penduduk (org/km2) Jml Penduduk Usia Angkatan Kerja (org) Bekerja Pada Sektor Pertanian (org) Bekerja Pada Sektor Non-Pertanian (org) Bekerja Pada Sektor Tani & Non-Tani (org) Penyesuaian Lapangan pekerjaan PDRB (org) Jumlah Tenaga Kerja yang tersedia (org) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Kecamatan O_Jml O_Pdat O_Prod O_PKr1 O_PKr2 O_PKr3 O_PKr4 L36_Kap P.P.Terselatan 16.003 59,91 8.748 4.008 2.404 6.411 6.589 17.177 P.P.Wetar 5.291 2,10 2.892 2.433 714 3.147 3.234 58.783 Damer 7.059 36,14 3.859 1.735 1.046 2.781 2.858 10.639 Leti 7.503 81,88 4.101 1.944 1.536 3.480 3.576 3.528 Moa Lakor 9.301 20,84 5.084 2.031 1.396 3.427 3.522 10.088 P.P.Babar 8.479 21,40 4.635 2.909 1.114 4.023 4.134 26.514 Mdona Hiera 5.264 42,06 2.877 4.817 590 5.406 5.556 33.451 Babar Timur 9.919 32,16 5.422 3.338 1.233 4.571 4.698 26.102 Tanimbar Selatan 21.375 54,65 11.684 8.080 4.655 12.735 13.087 65.531 Wertamrian 9.322 18,68 5.096 2.329 920 3.250 3.339 27.582 Wermaktian 10.003 8,57 5.468 5.243 1.518 6.760 6.948 57.352 Selaru 11.871 35,13 6.489 6.771 1.425 8.197 8.424 46.413 Tanimbar Utara 13.629 31,11 7.450 8.300 1.608 9.908 10.182 64.383 Yaru 4.866 142,28 2.660 1.436 499 1.935 1.989 2.249 Wuarlabobar 8.018 11,23 4.383 3.059 901 3.961 4.070 39.838 Nirunmas 7.687 30,71 4.202 2.029 712 2.741 2.817 17.360 Kormomolin 5.752 15,60 3.144 2.542 543 3.085 3.171 20.623 Jumlah 161.342 18,87 88.195 63.005 22.815 85.820 88.195 527.615 Sumber : Hasil Analisis EF (2011).

173 Dengan memasukan besarnya potensi angkatan kerja untuk setiap kecamatan dan distribusi ketersediaan lapangan pekerjaan unruk setiap kecamatan yang diperoleh melalui hasil alokasi bio capacity dari masing masing kecamatan, maka didapat matriks kecamatan asal dan tujuan sebagaimana diperlihatkan melalui Tabel 61. Tabel 61. Matriks Asal dan Tujuan dari Kecamatan di Wilayah Penelitian. Sumber : Hasil Analisis EF (2011) dan Analisis Interaksi Spasial (2011)

174 7.9 Analisis Pola Interaksi Antar Kecamatan Gambar 29. Pola Interaksi Antar Kecamatan

175 7.10 Efektifitas Model Gugus Pulau Berdasarkan hasil analisis interaksi spasial diketahui bahwa, levelisasi jumlah penduduk pencari kerja (angkatan kerja) dari setiap kecamatan asal menuju kecamatan tujuan sesuai dengan katrakteristik ketersediaan lapangan kerja yang dibangkitkan oleh data bio capacity dari masing-masing kecamatan tujuan, maka hasil perpindahan penduduk dari kecamatan asal menuju kecamatan tujuan diperlihatkan melalui Tabel 62. Tabel 62. Perbandingan Lamanya Keberlanjutan dan besarnya nilai PDRB Kecamatan, sebelum dan sesudah interaksi. KECAMATAN Tenaga Kerja Awal Tenaga Kerja Akhir Tambah Kurang Penduduk Awal Penduduk Akhir Penduduk Awal Penduduk Akhir Lama Lanjut Awal Lama Lanjut Akhir 2006 (orang) (orang) (orang) (orang) (orang) Rp x Juta Rp x Juta Tahun Tahun P.P.Terselatan 8.748 6.589 (2.159) 16.003 13.844 49.643,90 51.252,42 12 16 P.P.Wetar 2.892 3.234 342 5.291 5.633 19.216,43 20.854,97 149 144 Damer 3.859 2.858 (1.001) 7.059 6.058 21.228,78 22.428,73 26 32 Leti 4.101 3.576 (525) 7.503 6.978 35.218,16 25.832,79 5 6 Moa Lakor 5.084 3.522 (1.562) 9.301 7.739 29.670,18 28.650,09 20 26 P.P.Babar 4.635 4.134 (501) 8.479 7.978 27.018,28 29.536,78 42 45 Mdona Hiera 2.877 5.556 2.679 5.264 7.943 30.110,98 29.404,30 17 8 Babar Timur 5.422 4.698 (724) 9.919 9.195 30.496,88 34.040,53 26 29 Tanimbar Selatan 11.684 13.087 1.403 21.375 22.778 106.337,49 84.327,73 15 13 Wertamrian 5.096 3.339 (1.756) 9.322 7.566 21.163,46 28.009,23 53 65 Wermaktian 5.468 6.948 1.480 10.003 11.483 47.164,08 42.509,87 94 85 Selaru 6.489 8.424 1.935 11.871 13.806 51.260,30 51.109,97 30 24 Tanimbar Utara 7.450 10.182 2.732 13.629 16.361 58.338,38 60.570,81 36 29 Yaru 2.660 1.989 (671) 4.866 4.195 11.922,21 15.529,25 2 3 Wuarlabobar 4.383 4.070 (313) 8.018 7.705 23.956,55 28.526,56 88 91 Nirunmas 4.202 2.817 (1.385) 7.687 6.302 16.944,40 23.331,46 36 45 Kormomolin 3.144 3.171 27 5.752 5.779 17.617,82 21.392,79 61 60 88.195 88.195 0 161.342 161.342 597.308 597.308 45 45 Sumber : Hasil Analisis EF dan BC (2011) Dari Tabel 62 diatas nampak bahwa, dengan adanya perpindahan penduduk dari satu kecamatan ke kecamatan lainnya dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya untuk mendapatkan pekerjaan, maka telah

176 terjadi perubahan terhadap besarnya nilai PDRB Kecamatan dari Kecamatan yang memiliki potensi PDRB relatif lebih tinggi menuju pada Kecamatan yang memilki potensi PDRB relatif lebih rendah. Dengan demikian sebagai bagian dari mekanisme gugus pulau, proses interaksi telah berhasil melevelisasi besarnya PDRB dari yang tertinggi sebesar Rp. 106.,337,49 menjadi Rp. 84.327,73 pada Kecamatan Tanimbar Selatan dan juga menaikan PDRB yang terendah sebesar Rp. 11.922,21 menjadi Rp 15.529.25 pada Kecamatan Yaru. Dalam Tabel 62, diperlihatkan juga bahwa dengan adanya proses levelisasi penduduk ke Kecamatan tujuan dalam rangka mencari pekerjaan, telah merubah lamanya waktu keberlanjutan dari kecamatan yang paling singkat yaitu Kecamatan Leti yang sebelumnya hanya 2 tahun, setelah interaksi menjadi 3 tahun, demikian juga dengan kecamatan Wetar yang memiliki lama keberlanjutannya adalah 149 tahun menjadi 144 tahun. Dengan demikian mekanisme dalam gugus pulau dapat mendistribusikan pertumbuhan secara lebih merata dan juga meningkatkan lamanya waktu keberlanjutan dari kecamatan pulau-pulau kecil di wilayah penelitian.