BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Jumlah cadangan minyak bumi dunia semakin menipis. Sampai akhir tahun 2013, cadangan minyak bumi dunia tercatat pada nilai 1687,9 miliar barel. Jika tidak ditemukan sumber cadangan baru, nilai tersebut akan habis dikonsumsi hanya dalam waktu 53,3 tahun [1]. Meskipun demikian, sampai akhir tahun 2012, minyak bumi masih menjadi bahan bakar yang paling dominan digunakan. Berdasarkan data yang dihimpun oleh International Energy Agency (IEA), pada tahun tersebut, sebanyak 40,7% konsumsi bahan bakar dunia berasal dari minyak bumi [2]. Jumlah konsumsi ini diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan populasi penduduk dan peningkatan pendapatan per kapita dunia [3]. Berkaitan dengan kondisi tersebut, kebutuhan untuk mencari sumber bahan bakar alternatif sebagai pengganti atau pencampur produk turunan minyak bumi sangat diperlukan. Minyak diesel atau yang disebut minyak solar merupakan salah satu produk turunan minyak bumi yang banyak dikonsumsi. Pada tahun 2012, sebesar 37% dari produk turunan minyak bumi yang dikonsumsi di Indonesia berjenis minyak diesel. Keadaan ini menempatkan minyak diesel sebagai bahan bakar minyak (BBM) kedua paling banyak dikonsumsi selain bensin (50%), avtur (7%), minyak tanah (4%), dan minyak bakar (2%) [4]. Sama dengan minyak bumi, minyak diesel termasuk bahan bakar yang tidak dapat diperbarui. Oleh karena itu, usaha untuk mengganti atau mencampur minyak diesel dengan bahan bakar alternatif lain terus dilakukan. Sampai saat ini, kandidat bahan bakar alternatif yang dianggap paling mampu untuk melakukan hal tersebut adalah biodiesel [5-7]. Biodiesel pada dasarnya merupakan kumpulan senyawa fatty acid alkyl ester (FAAE). Namun, karena FAAE memiliki karakteristik fisika dan kimia yang mirip 1
2 dengan minyak diesel, FAAE lebih populer disebut biodiesel. Biodiesel dapat dibuat dari minyak nabati atau lemak hewan. Kelebihan utama dari biodiesel adalah bersifat terbarukan. Biodiesel juga bersifat biodegradable dan tidak beracun. Banyak studi menunjukkan bahwa pencampuran antara minyak diesel dan biodiesel pada komposisi tertentu mampu menurunkan kadar emisi gas CO, particulate matter, dan hidrokarbon disertai dengan sedikit meningkatnya gas NO x [5,8-10]. Sifat lubrikasi biodiesel yang lebih baik dibandingkan dengan minyak diesel juga mampu memperpanjang usia pakai mesin diesel [6]. Biodiesel dapat diperoleh melalui berbagai macam metode, antara lain pirolisis, cracking, mikroemulsi, dan transesterifikasi. Dari keempat metode tersebut, transesterifikasi adalah metode yang paling banyak digunakan di industri karena hasil biodiesel yang layak konsumsi dapat dicapai dengan proses produksi yang relatif sederhana dan murah [5,6]. Secara umum, transesterifikasi adalah proses pemutusan rantai trigliserida oleh alkohol rantai pendek dengan keberadaan katalis. Trigliserida merupakan senyawa yang terkandung di dalam minyak nabati atau lemak hewan. Dalam proses tersebut, trigliserida dan sebagian alkohol rantai pendek dikonversi menjadi biodiesel dan gliserol. Di banyak industri, transesterifikasi dengan katalis basa kuat lebih dipilih karena proses konversi trigliserida menjadi biodiesel berlangsung lebih cepat jika dibandingkan dengan menggunakan katalis lain. Upaya menurunkan biaya bahan baku merupakan salah satu tantangan besar bagi banyak industri biodiesel yang menerapkan proses transesterifikasi. Umumnya, sebesar 75% dari total biaya produksi digunakan untuk membeli bahan baku [6]. Mahalnya biaya ini disebabkan oleh penggunaan bahan baku yang dapat dikonsumsi (edible), seperti minyak sawit, minyak kanola, minyak biji bunga matahari, dan minyak kedelai. Selain berakibat pada mahalnya biaya bahan baku, penggunaan bahan baku edible juga mendapat perhatian serius karena harus bersaing dengan industri makanan [11,12]. Oleh karena itu, penggunaan bahan baku yang tidak dapat dikonsumsi (non-edible) diharapkan mampu untuk mengatasi masalah tersebut.
3 Beberapa bahan baku non-edible yang dapat dipilih antara lain minyak jarak pagar (Jatropha curcas), minyak jarak (Ricinus communis), minyak nyamplung (Calophyllum inophyllum), dan minyak mahua (Madhuca indica). Di antara bahan baku tersebut, minyak nyamplung merupakan salah satu bahan baku non-edible yang berpotensi untuk digunakan. Nyamplung (Calophyllum inophyllum) merupakan tanaman kayu yang hidup di iklim tropis dan subtropis dengan tinggi 8 hingga 20 m. Nyamplung berpotensi untuk digunakan sebagai bahan baku biodiesel yang non-edible karena bijinya memiliki kandungan minyak yang tinggi, yaitu sekitar 25 sampai dengan 60% [13]. Jika dihitung dengan rerata kandungan minyak 30%, maka satu hektar pohon nyamplung dengan jarak tanam 5x5 m dapat menghasilkan sekitar 4800 kg minyak nyamplung dalam waktu satu tahun [13]. Secara alami, minyak nyamplung memiliki kadar asam lemak bebas (free fatty acid/ffa) yang tinggi. Tingginya kadar FFA ini memicu terjadinya proses saponifikasi saat transesterifikasi dilakukan dengan katalis basa. Sebagai solusi, proses esterifikasi dengan katalis asam perlu dilakukan terlebih dahulu untuk menurunkan kadar FFA menjadi kurang dari 2% atau setara dengan bilangan asam kurang dari 4 mg KOH/g [10]. Setelah kadar FFA turun, proses transesterifikasi dapat dilakukan. Saat proses transesterifikasi dilakukan, terdapat beberapa variabel yang mempengaruhi kuantitas dan kualitas biodiesel yang dihasilkan. Beberapa variabel tersebut antara lain perbandingan molar metanol terhadap minyak, konsentrasi katalis, suhu reaksi, dan waktu reaksi. Optimasi variabel-variabel pada proses transesterifikasi perlu diteliti agar minyak nyamplung dapat dikonversi menjadi biodiesel dengan yield tinggi dan kadar FFA rendah.
4 I.2. Perumusan Masalah Rumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Berapa nilai perbandingan molar metanol terhadap minyak yang diperlukan agar proses transesterifikasi menghasilkan biodiesel dengan yield tinggi dan kadar FFA rendah? 2. Berapa nilai konsentrasi katalis yang diperlukan agar proses transesterifikasi menghasilkan biodiesel dengan yield tinggi dan kadar FFA rendah? 3. Berapa suhu reaksi yang diperlukan agar proses transesterifikasi menghasilkan biodiesel dengan yield tinggi dan kadar FFA rendah? 4. Berapa waktu reaksi yang diperlukan agar proses transesterifikasi menghasilkan biodiesel dengan yield tinggi dan kadar FFA rendah? Agar objek pengamatan tidak meluas, penelitian ini dibatasi oleh beberapa hal berikut: 1. Konversi minyak nyamplung menjadi biodiesel dilakukan dengan sistem batch. 2. Konversi minyak nyamplung menjadi biodiesel dilakukan pada skala laboratorium. 3. Kajian terhadap aspek ekonomi dan safety tidak dilakukan. I.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk: 1. Melakukan konversi minyak nyamplung menjadi biodiesel melalui reaksi dua tahap. Tahap pertama adalah proses esterifikasi dengan katalis asam klorida (HCl). Tahap kedua adalah proses transesterifikasi dengan katalis natrium hidroksida (NaOH).
5 2. Mendapatkan kondisi optimum pada proses transesterifikasi dengan cara memvariasikan beberapa variabel, yaitu perbandingan molar metanol terhadap minyak, konsentrasi katalis, suhu reaksi, dan waktu reaksi. Kondisi optimum yang dimaksud adalah kondisi saat proses transesterifikasi menghasilkan biodiesel dengan yield tinggi dan kadar FFA rendah. I.4. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Membuka pengetahuan baru mengenai kondisi optimum pada proses konversi minyak nyamplung menjadi biodiesel melalui reaksi dua tahap dengan katalis HCl dan NaOH. 2. Menjadi referensi bagi para peneliti di bidang akademik dan bagi para pelaku usaha di bidang industri biodiesel. 3. Menjadi sarana penulis dalam mengaplikasikan ilmu yang didapatkan di bangku kuliah.