BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kelompok serangga herbivora, yaitu: (1) monofag, yaitu tanaman inangnya hanya

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Kubis merupakan produk urutan ketiga sayuran yang dibutuhkan oleh

TINJAUAN PUSTAKA. miring. Sycanus betina meletakkan tiga kelompok telur selama masa hidupnya.

Struktur Komunitas Hama Pemakan Daun Kubis dan Investigasi Musuh Alaminya

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Predator

TINJAUAN PUSTAKA. energi pada kumunitasnya. Kedua, predator telah berulang-ulang dipilih sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan

TINJAUAN PUSTAKA. antara telur dan tertutup dengan selaput. Telur mempunyai ukuran

PENDAHULUAN. ke Indonesia pada tahun 1848 yang ditanam di Kebun Raya Bogor. Perkebunan

I. TINJAUAN PUSTAKA. Setothosea asigna, Setora nitens, Setothosea bisura, Darna diducta, dan, Darna

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Status Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) Sebagai Hama

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA Serangga predator Bioekologi Menochilus sexmaculatus

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), adapun sistematika dari hama ini adalah

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), Setothosea asigna di klasifikasikan sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi hama penggerek batang berkilat menurut Soma and Ganeshan

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

LAPORAN AKHIR HIBAH FUNDAMENTAL. POTENSI PARASITOID Diadegma DAN PREDATOR Sycanus DALAM PENGENDALIAN HAMA PEMAKAN DAUN KUBIS DI DAERAH BALI

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. Telur berwarna putih, berbentuk bulat panjang, dan diletakkan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODA. Penelitian Kelapa Sawit, Pematang Siantar dengan ketinggian tempat ± 369 m di

TINJAUAN PUSTAKA. Berbentuk oval sampai bulat, pada permukaan atasnya agak datar. Jumlah telur

TINJAUAN PUSTAKA. Sebagaimana lazimnya makhluk hidup, tak terkecuali tumbuhan, tidak

AGROTEKNOLOGI TANAMAN LEGUM (AGR62) TEKNOLOGI PENGELOLAAN JASAD PENGGANGGU DALAM BUDIDAYA KEDELAI (LANJUTAN)

II. TINJAUAN PUSTAKA. kelompok, yaitu hama utama atau penting dan hama sekunder. Hama utama

II. TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : Setelah telur diletakkan di dalam bekas gerekan, lalu ditutupi dengan suatu zat

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Ulat Api Setothosea asigna Eecke (Lepidoptera: Limacodidae)

1. tikus 2. penggerek batang padi 3. wereng coklat

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae)

TINJAUAN PUSTAKA. Siklus hidup S. litura berkisar antara hari (lama stadium telur 2 4

HAMA Cricula trifenestrata PADA JAMBU METE DAN TEKNIK PENGENDALIANNYA

Gambar 1. Gejala serangan penggerek batang padi pada stadium vegetatif (sundep)

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi dan siklus hiduptrichogramma spp. (Hymenoptera : Famili Trichogrammatidae merupakan parasitoid telur yang

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), klasifikasi S. inferens adalah sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. enam instar dan berlangsung selama hari (Prayogo et al., 2005). Gambar 1 : telur Spodoptera litura

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

untuk meneliti tingkat predasi cecopet terhadap larva dan imago Semoga penelitian ini nantinya dapat bermanfaat bagi pihak pihak yang

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) diterangkan bahwa klasifikasi hama Oryctes

TINJAUAN PUSTAKA. bawah, biasanya pada pelepah daun ke Satu tumpukan telur terdiri dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut :

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ulat kantong Mahasena Corbetti :

HASIL DAN PEMBAHASAN. Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Populasi Kepinding Tanah ( S. coarctata

Mengenal Kepik Pembunuh, Rhinocoris fuscipes Oleh : Ayu Endah Anugrahini, SP

PENGARUH TIGA JENIS MANGSA TERHADAP BIOLOGI KEPIK PREDATOR Sycanus annulicornis DOHRN (HEMIPTERA: REDUVIIDAE) WINA PURWANINGRUM

TINJAUAN PUSTAKA. family : Tephritidae, genus : Bactrocera, spesies : Bactrocera sp.

Tetratichus brontispae, PARASITOID HAMA Brontispa longissima

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut pengamatan para ahli, kedelai (Gycines max L. Merril) merupakan tanaman

TINJAUAN PUSTAKA. berkelompok (Gambar 1). Kebanyakan telur ditemukan di bawah permukaan daun,

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Hama Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus hampei Ferr.) Menurut Kalshoven (1981) hama Penggerek Buah Kopi ini

BAB I PENDAHULUAN. pencernaan dan dapat mencegah kanker. Salah satu jenis sayuran daun yang

TINJAUAN PUSTAKA. kerusakan daun kelapa sawit. Namun demikian, penggunaan insektisida kimia

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae)

TINJAUAN PUSTAKA. buku pertama di atas pangkal batang. Akar seminal ini tumbuh pada saat biji

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. mudah ditembus oleh alat-alat pertanian dan hama atau penyakit tanaman

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Jumlah Infestasi terhadap Populasi B. tabaci pada Umur Kedelai yang Berbeda

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. Dapat diklasifikasikan

I. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman sawi B. juncea (L.) menyerbuk sendiri, umumnya tahan terhadap suhu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ujung batang atau tunas. Tanaman ini mempunyai bunga sempurna dengan

Manfaat NPV Mengendalikan Ulat Grayak (Spodoptera litura F.)

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Asal dan kandungan gizi Tanaman Melon. menemukan benua Amerika pada tahun 1492 adalah seorang yang berjasa dalam

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Distribusi Peletakan Telur Kepik Coklat pada Gulma

TINJAUAN PUSTAKA. Adapun morfologi tanaman tembakau adalah: Tanaman tembakau mempunyai akar tunggang terdapat pula akar-akar serabut

Gambar 1. Telur R. linearis Sumber: Foto langsung

HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi

TINJAUAN PUSTAKA. (Ostrinia furnacalis) diklasifikasikan sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Telur P. castanae Hubner. Bentuk telur oval dan dapat menghasilkan telur sebanyak butir perbetina.

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo saccharipaghus Bojer (Lepidoptera: Pyralidae) mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam sebelum

I. PENDAHULUAN. luas areal kakao yang cenderung mengalami peningkatan. Berdasarkan data dari

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Parasitoid

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo sacchariphagus Bojer (Lepidoptera: Crambidae) diletakkan secara berkelompok dalam 2-3 baris (Gambar 1). Bentuk telur jorong

Identifikasi dan Klasifikasi Hama Aphid (Kutu Daun) pada tanaman Kentang

HAMA KUMBANG BIBIT Plesispa reichei PADA TANAMAN KELAPA. Amini Kanthi Rahayu, SP. POPT Ahli Pertama

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. tanaman sayuran, kacang-kacangan, tomat, jagung dan tembakau. Helicoverpa

commit to users I. PENDAHULUAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berikut adalah taksonomi pengisap polong kedelai (EOL, 2014):

Kelimpahan Populasi Parasitoid Sturmia Sp. (Diptera: Tachinidae) Pada Crocidolomia pavonana

HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaman Hama pada Pertanaman Edamame Hama Edamame pada Fase Vegetatif dan Generatif

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. berbeda terdapat 6 familiy dan 9 spesies yakni Family Pyralidae spesies

TINJAUAN PUSTAKA. Telur serangga ini berwarna putih, bentuknya mula-mula oval, kemudian


BAB I PENDAHULUAN. ulat grayak merupakan hama penting pada tanaman tembakau (Nicotiana tabacum

Metamorfosis Kecoa. 1. Stadium Telur. 2. Stadium Nimfa

BAB IV. Selama proses habituasi dan domestikasi Attacus atlas (F1-F2) dengan pemberian dua

Transkripsi:

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hubungan Tanaman dengan Serangga Dilihat dari hubungan taksonomi tanaman inangnya maka dikenal tiga kelompok serangga herbivora, yaitu: (1) monofag, yaitu tanaman inangnya hanya satu jenis tanaman/sedikit jenis tanaman yang berdekatan sesama genus. ( 2) oligofag, yaitu tanaman inangnya berupa jenis tanaman dari beberapa genus sesama famili, dan (3) polifag, yaitu tanaman inangnya banyak jenis dari familifamili yang berbeda atau dari ordo yang berbeda. Hubungan antara tanaman dan serangga dapat dilihat dari segi perilaku dan fisiologi serangga serta sifat tanamannya sendiri. Sifat perilaku serangga herbivora yang penting dalam kaitannya dengan interaksi serangga dan tanaman adalah tentang bagimana langkah-langkah serangga dalam memberikan tanggapan (respon) terhadap rangsangan (stimuli) dari tanaman sehingga serangga herbivora datang dan memakan tanaman tersebut. Menurut Kogan (1982), ada lima langkah yang dilaksanakan oleh serangga herbivora dalam mendapatkan tanaman inangnya. Langkah pertama adalah penemuan habitat inang. Langkah pertama terjadi ketika serangga dewasa yang sedang memencar menemukan lokasi habitat umum serangga inang. Pada Langkah awal rangsangan yang menarik serangga herbivora biasanya bukan dari tanaman tetapi rangsangan fisik lingkungan seperti cahaya, suhu, kebasahan, dan angin. Begitu habitat umum ditemukan maka serangga 11

2 kemudian dengan menggunakan indera penglihatan dan penciuman dapat menemukan inang yang sebenarnya. Langkah kedua adalah penemuan inang. Faktor-faktor yang menarik dalam peristiwa tersebut adalah warna, ukuran, dan bentuk tanaman. Begitu serangga telah menemukan inangnya, rangsangan tanaman jarak pendek yang menyebabkan serangga menetap pada tanaman tersebut. Dengan indera peraba dan pengecapnya serangga menguji apakah tanaman tersebut dapat diterima sebagai inang atau tidak. Langkah ketiga adalah pengenalan inang. Pada langkah ketiga itu serangga mencoba mencicipi (respon kimiawi) dan meraba -raba (respon fisik) tanaman untuk mengetahui kesesuaiannya sebagai pakan. Apabila ternyata tanaman tersebut sesuai, maka serangga akan meneruskan aktivitas makannya. Langkah keempat adalah penerimaan inang. Pada langkah keempat, apabila rangsangan berbagai senyawa kimiawi tanaman berdasarkan pengujian oleh serangga dapat diterima, maka tanaman yang diuji tersebut akan diterima sebagai inang atau makanan. Langkah terakhir atau langkah kelima adalah kecocokan inang. Tanaman dianggap sesuai apabila nutrisi yang terkandung di dalam tanaman sangat cocok sebagai pakan untuk kehidupan dan perkembangbiakan serangga secara optimal, dan tidak mengandung zat racun yang merugikan. Selain sebagai tempat hidup serangga, tanaman juga berfungsi sebagai tempat berlindung. Hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa, tanaman kubis muda (umur 1 bulan) mengandung karbohidrat 2,97%, protein 2,12%, mineral (abu)

3 1,78%, kadar air 91,81%, dan Vitamin C 0,21%. Tanaman kubis yang mulai membentuk krop (umur 1,5 bulan) mengandung karbohidrat 2,86%, protein 0,70%, mineral (abu) 1,74%, kadar air 88,48%, dan Vitamin C 0,22%. Faktor lain yang perlu dipahami dalam hubungan tanaman dan serangga adalah sifat tanaman sebagai sumber rangsangan. Sifat tanaman ada 2 yaitu: sifat morfologi dan sifat fisiologi. Sifat morfologi yaitu ciri-ciri morfologik tanaman tertentu yang dapat menghasilkan rangsangan fisik untuk kegiatan makan atau kegiatan peletakan telur serangga. Sebagai contoh adalah variasi ukuran daun, kekerasan jaringan tanaman, adanya rambut dan tonjolan yang dapat menentukan derajat penerimaan serangga terhadap tanaman inang tertentu. Sifat fisiologi tanaman adalah ciri-ciri fisiologik yang mempengaruhi serangga, dan biasanya berupa zat-zat kimia yang dihasilkan oleh metabolisme tanaman baik metabolisme primer maupun metabolisme sekunder. Hasil metabolisme primer seperti karbohidrat, lemak, protein, hormon, enzim, dan lain lain oleh tanaman digunakan untuk pertumbuhan dan pembiakan tanaman. Beberapa hasil metabolisme primer tersebut juga dapat menjadi perangsang makan dan bagian nutrisi serangga. 2.2 Komunitas Hama Pemakan Daun Kubis Hama didefinisikan sebagai segala organisme yang mengurangi ketersediaan, kualitas, atau nilai sumber daya yang dimiliki manusia (Flint & van De Bosch, 1981). Beberapa hama yang menyerang tanaman kubis antara lain adalah ulat daun kubis P. xylostella L. (Lepidoptera: Plutellidae), ulat jantung kubis C. pavonana Fab. (Lepidoptera: Pyralidae), ulat grayak Spodoptera litura

4 Fab. (Lepidoptera: Noctuidae), Hellula undalis Fab. (Lepidoptera: Pyralidae), ulat tanah Agrotis ipsilon Hufnagel (Lepidoptera: Noctuidae), ulat jengkal Chrysodeixis orichalcea L. (Lepidoptera: Noctuidae), Helicoverpa armigera Hubner (Lepidoptera: Noctuidae) dan kutu daun (Hemiptera: Aphidiae),. 2.2.1 Plutella xylostella L. Kalshoven (1981) mengklasifikasikan ulat daun kubis Plutella xylostella L. sebagai berikut : Kingdom Filum Kelas Ordo Familia Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Lepidoptera : Plutellidae : Plutella Spesies : Plutella xylostella L. Hama ulat daun kubis P. xylostella merupakan salah satu hama utama kubis. Stadia dari P. xylostella yang merusak kubis adalah saat stadia larva. Larva P. xylostella sudah mulai menyerang tanaman kubis pada saat tanaman kubis baru memiliki sekitar 3 sampai 4 helai daun, dan berlanjut hingga tanaman menjelang panen. Hama P. xylostella mempunyai kisaran inang yang cukup luas serta mampu beradaptasi pada geografi yang berbeda. Selain kubis, P. xylostella juga dapat menyerang antara lain caisin, kanola, sawi jabung, dan sawi tanah (Herlinda et al., 2004).

5 P. xylostella mengalami metamorfosa sempurna, yaitu dari telur, larva, pupa, dan imago. Telur P. xylostella sangat kecil (kurang dari 1 mm), berbentuk oval dan berwarna kehijauan. Imago meletakkan telur secara tunggal atau berkelompok dengan 2-3 butir telur sepanjang tulang daun di permukaan atas atau bawah daun (Gambar 2.1). Telur menetas menjadi larva dalam waktu 3 hari tergantung kondisi lingkungan (Herlinda et al., 2004). Warna telur tampak lebih gelap pada saat akan menetas (Kalshoven, 1981). Larva yang baru menetas segera menggerek ke dalam jaringan daun, kemudian memakan daging daun dan epidermis bawah dan menyisakan lapisan epidermis atas daun. Larva bersembunyi di balik daun sambil makan, daging daunnya, tetapi kulit ari (epidermis) bagian permukaan atas daun tidak dimakan sehingga pada daun terlihat bercak-bercak putih. Apabila kulit ari kering maka daun menjadi robek dan nampak berlubang-lubang. Fase larva P. xylostella terdiri atas empat instar yaitu, instar I, instar II, instar III, dan instar IV. Larva instar I berwarna agak keruh dengan kepala berwarna hitam, dan disekitar abdomennya terdapat rambut-rambut pendek dan halus. Larva instar I berkisar 3-4 hari. Larva instar II berwarna putih kekuningan, dengan ciri-ciri tubuh sama dengan larva instar I. Larva instar II berkisar 1-2 hari. Larva instar III berwarna hijau, dengan kepala berbercak coklat dengan bagian dasar kekuning-kuningan dan terdapat rambut-rambut hitam pada bagian abdomennya. Larva instar III berkisar 2-3 hari. Larva instar IV mirip dengan larva instar III (Gambar 2.1). Larva instar IV berlangsung selama 3-4 hari. Secara keseluruhan stadium larva berlangsung 10-13 hari (Herlinda et al. 2004). Shepard

6 et al. (1999) menyatakan bahwa perkembangan larva instar I hingga larva instar IV memerlukan waktu sekitar 14 hari, dengan panjang larva instar IV 8 mm. Pupa dibungkus oleh kokon yang berbentuk jala dengan panjang kokon sekitar 9 mm (Gambar 2.1). P upa pada mulanya berwarna hijau kemudian akan berubah menjadi kekuning-kuningan dan akhirnya menjadi coklat. Pupa dibentuk pada permukaan daun bagian bawah, terutama di sekitar tulang-tulang daun. Stadium pupa berkisar 5-7 hari (Herlinda et al.2004). 1 mm ------------ A 8 mm ------------ B 10 mm ------------ C 10 mm ------------ D Gambar 2.1 Plutella xylostella L. : telur (A) (pembesaran: 3 kali), larva (B), pupa (C) (Pembesaran : 2 kali) dan imago (D) (pembesaran : 3 kali) Imago P. xylostella berukuran kecil dengan panjang 8-9 mm (Gambar 2.1). Betina dewasa meletakkan telurnya secara tunggal atau berkelompok 2-3

7 butir di sepanjang tulang daun pada permukaan atas atau bawah daun (Ngatimin, 2002). Jumlah telur yang dihasilkan oleh imago betina P. xylostella selama hidupnya adalah 92-130 butir (Vos, 1953) dan 97 201 butir (Herlinda et al. 2004). Peletakan telur biasanya terjadi pada malam hari. Peletakan telur berlangsung selama 9-13 hari, lama hidup imago 9-11 hari dan siklus hidup P. xylostella adalah 19 25 hari. 2.2.2 Crocidolomia pavonana Fab. Crocidolomia pavonana merupakan hama yang menyerang pertanaman kubis dari munculnya krop hingga panen. Menurut CAB International Compedium of Entomology (1999), C. pavonana diklasifikasikan ke dalam: Kingdom Phylum Class Ordo Family Genus Species : Animalia : Arthropoda : Insecta : Lepidoptera : Pyralidae : Crocidolomia : Crocidolomia pavonana Fab. Penyebaran serangga C. pavonana meliputi Afrika Selatan, Asia Tenggara, Australia dan Kepulauan Pasifik (Kalshoven, 1981). Di Jawa serangga C. pavonana ditemukan di dataran rendah dan tinggi. Faktor musim sangat mempengaruhi populasinya. Ada korelasi negatif antara populasi larva C. pavonana dengan curah hujan, semakin tinggi curah hujan semakin rendah

8 populasi, dan sebaliknya semakin rendah curah hujan semakin tinggi populasi. Populasi larva C. pavonana pada pertanaman kubis mulai ada pada tanaman kubis umur empat minggu dan mencapai puncaknya pada umur 10 MST, dan kemudian menurun kembali sampai saat panen kubis ( Kumarawati, 2013). Serangan C. pavonana terkadang saling bergantian dengan P. xylostella sebagai hama utama pada tanaman kubis (Permadi dan Sastrosiswojo, 1993). C. pavonana sangat merusak tanaman kubis pada saat stadia larva dengan memakan daun kubis terutama bagian krop yang dibentuk oleh salutan daun-daun muda di bagian tengah tanaman kubis (Widiana dan Zeswita, 2012). Saat bagian tengah telah hancur, larva pindah ke ujung daun dan kemudian turun ke daun yang lebih tua. Tanaman yang terserang bisa hancur seluruhnya jika ulat krop kubis tidak segera dikendalikan. Ketika serangan C. pavonana sebesar 7,14%, produksi kubis dapat mencapai 1,71 ton/ha. Sedangkan ketika serangan C. pavonana sebesar 90%-100%, produksi kubis turun menjadi 0,31 ton/ha (Paat et al. 2012). Ngengat C. pavonana memiliki panjang sekitar 18 mm dan berwarna coklat dengan dua bintik putih pada masing-masing sayap depan (Gambar 2.2 D). Ngengat hanya aktif pada malam hari dan jarang terlihat pada tanaman kubis pada siang hari. Lama hidup imago C. pavonana adalah 16-24 hari dan selama hidupnya dapat menghasilkan 11-18 kelompok telur yang masing-masing mengandung 30-80 butir telur. Telur diletakkan pada permukaan bawah daun (Khalsoven, 1981). Shepard et al. (1999) menyatakan bahwa telur C. pavonana diletakkan secara berkelompok tersusun seperti genteng. Telur akan menetas 4-5 hari setelah

9 diletakkan. Larva yang baru menetas melakukan aktivitas makan secara bersamasama, dan berkembang hingga mencapai instar V. Panjang tubuh larva instar V mencapai 16-19 mm, dan akan bergerak ke dalam tanah untuk menjadi pupa. 5 mm ------------ A 10 mm ------------ B 10 mm ------------ C 18 mm ------------ D Gambar 2.2 Crocidolomia pavonana Fabricius : telur (A) (pembesaran : 2 kali), larva (B), pupa (C) (pembesaran : 1,5 kali) dan imago (D) (pembesaran : 2 kali) Masa pupa berlangsung sekitar 10 hari (Shepard, et al., 1999). Pupa berwarna coklat dengan ukuran kurang lebih 1 cm dan terbentuk di dalam tanah (Gambar 2.2 C). Ngengat dewasa (Gambar 2.2 D) muncul sekitar 10 hari

10 kemudian. Siklus hidup C. pavonana berkisar 22-30 hari tergantung lingkungan (suhu dan kelembaban) (Khalsoven, 1981). Selain menyerang kubis, C. pavonana juga menyerang tanaman brokoli, petsai, caisin, dan kubis bunga. Petani di Pancasari dalam menangani ulat C. pavonana pernah menggunakan tanaman penghalang, dengan harapan mampu menghalangi pergerakan C. pavonana. Tanaman penghalang yang dipakai adalah rumput gajah. 2.3 Musuh Alami Hama Pemakan Daun Kubis Pemanfaatan musuh alami untuk menekan perkembangan populasi hama kubis sudah sejak lama dilakukan dalam sistem pengendalian hayati hama tersebut. Musuh alami dapat berupa parasitoid, predator dan entomopatogen. Di antara ketiga musuh alami tersebut serangga predator memiliki beberapa keunggulan, yaitu kemampuan memangsa dengan cepat, dapat membunuh pada berbagai stadium mangsa dan dapat mengkonsumsi beberapa jenis mangsa (Erawati, 2005). 2.3.1 Predator hama pemakan daun kubis Predator didefinisikan sebagai serangga yang membunuh mangsanya segera setelah diserang. Serangga predator umumnya adalah serangga-serangga yang aktif dan kuat (Borror et al. 1989). Beberapa ordo dan famili serangga yang dikenal sebagai predator penting yaitu: Ordo Diptera : Famili Syrphidae; Ordo Coleoptera : Famili Coccinellidae; Ordo Hemiptera : Famili Reduviidae; Ordo Neuroptera : Famili Chrysopidae; Ordo Odonata : Famili Libellulidae; dan Ordo Mantodea : Famili Mantidae (Hagen, 1987)

11 Bellows & Fisher (1999) menyatakan bahwa Reduviidae merupakan famili penting dari kompleks musuh alami yang berperan sebagai predator dalam mengendalikan serangga hama. Famili Reduviidae merupakan famili yang cukup besar. Sebagian besar anggota famili serangga tersebut bersifat sebagai predator. Serangga tersebut dikenal sebagai kepik pembunuh atau pengisap darah karena cara hidupnya adalah menghisap cairan darah mangsanya (Clausen, 1940; Richards & Davies, 1977). Terdapat kurang lebih 3000 spesies Reduviidae yang terdiri dari 29 subfamili. Subfamili Harpactorinae merupakan subfamili yang terbesar dengan anggota lebih dari 1000 spesies. Serangga tersebut mempunyai kelimpahan yang tinggi sehingga dapat ditemukan di setiap daerah (Matheson, 1951; Richards & Davies, 1977). Kepik Reduviidae hidup pada berbagai habitat, seperti di sekitar semak-semak, tanaman herba, dan daun-daunan (Richards & Davies, 1977). Matheson (1 951) menyatakan bahwa mangsa utama predator Reduviidae adalah larva Lepidoptera, lundi, kutu tanaman, dan hama-hama lainnya. Famili Reduviidae mudah dikenali melalui bentuknya yang khas. Antenna Reduviidae seringkali memiliki segmen dengan total 4 ruas. Rostrum meruncing terdiri dari 3 segmen. Tibia tungkai depan memiliki fosula yang berkaitan dengan daya adhesi, sedangkan bagian tarsus terdiri dari tiga segmen (Richards & Davies, 1977). Contohnya Sycanus dichotomus, selain memiliki ciri-ciri di atas, S. dichotomus mempunyai bentuk yang khas, yaitu memiliki caput yang memanjang dengan bagian belakang yang menggenting mirip leher, dan rostrum yang pendek dan kokoh. Tubuhnya berwarna hitam dengan tanda segitiga kuning di bagian

12 tengah sayap depan. Bagian tengah abdomennya melebar sehingga tidak tertutupi oleh sayapnya (Mukhopadhyay dan Sarker, 2009). Kepik predator melumpuhkan mangsanya dengan mengeluarkan saliva yang beracun yang dapat menyebabkan paralisis pada mangsanya (Matheson, 1951; Gillott, 1995). Beberapa subfamili Reduviidae yang berperan penting sebagai predator antara lain Harpactorinae dan Peiratinae. Ishikawa et al. (2007) melaporkan bahwa salah satu anggota subfamili Harpactorinae, adalah Sycanus aurantiacus yang ditemukan pada pertanaman kubis di Bali pada ketinggian ± 1000 m dpl (Gambar 2.3). S. aurantiacus adalah spesies baru dari golongan serangga predator yang ditemukan pertama kali di Pancasari pada pertanaman kubis sedang memangsa beberapa larva dari serangga Lepidoptera yang berstatus sebagai hama pada tanaman kubis. 21 mm ------------ Gambar 2.3 Predator S. aurantiacus (pembesaran: 2 kali) Sycanus sp. pernah dilaporkan oleh Kalshoven (1981) sebagai predator utama penghisap daun, Helopeltis antonii Sign (Hemiptera: Miridae) pada tanaman teh di Indonesia. Spesies lain dari genus Sycanus yang juga dilaporkan

13 berpotensi sebagai predator adalah S. affanis, S. pyrrhomelas (Walker), S. versicolor Dohrn (Ambrose, 1999), S. croceovittatus (Daeli, 2011), S. annulicornis (Fitriyani, 2009) dan S. dichotomus (Zulkefli et al., 2004). S. dichotomus umumnya ditemukan sebagai predator yang menyerang ulat kantong ( bagworms) Metisa plana Walker (Lepidoptera: Psychidae) pada tanaman sawit. S. dichotomus dapat menusuk langsung pembungkus ulat kantong dengan rostrumnya yang sangat panjang (Zulkefli et al., 2004). Selain menyerang ulat kantong, S. dichotomus juga dilaporkan menyerang ulat beluncas Setothosea asigna Van Eecke dan Darna trima Moore (Lepidoptera: Limacodidae) (Singh, 1992). Selain itu, ada juga spesies lain yang dilaporkan dari genus Sycanus yaitu S. macracanthus Stal. yang memangsa Mahasena corbetti Tams (Lepidoptera: Psychidae) dan Setothosea asigna (Tiong, 1996) yang juga merupakan hama pada tanaman sawit. Serangga Sycanus sp. memangsa mangsanya dengan cara menusukkan stiletnya yang runcing ke bagian tubuh serangga yang lunak. Mangsa segera lumpuh akibat toksin yang dikeluarkan melalui stiletnya. Cahyadi (2004) menyatakan bahwa beberapa nimfa menghisap mangsanya secara bersama-sama apabila ukuran tubuh mangsanya lebih besar. Studi tentang biologi Sycanus sudah dilakukan oleh Syari et al. (2011) yang meneliti perkembangan S. dichotomus pada dua mangsa yang berbeda Corcyra cephalonica Stainton (Lepidoptera: Pyralidae) dan Tenebrio molitor Linnaeus (Coleoptera: Tenebrionidae ). Siklus hidup S. dichotomus bila diberi makan larva T. molitor rata-rata 156,5 ± 4,6 hari, dan 122,8 ± 2,3 hari jika diberi

14 larva C. cephalonica. Dewasa betina S. dichotomus dapat menghasilkan satu hingga empat kelompok telur selama hidup imagonya dengan lama stadia telur 16,2 hari. Sementara itu Zulkefli, et al. (2004) melaporkan bahwa imago betina S. dichotomus mampu menghasilkan 15 119 butir telur dengan stadium telur 11 39 hari. Nimfa S. dichotomus yang baru menetas seluruh tubuhnya (caput, toraks, dan abdomen) berwarna kekuningan. Bagian tungkai berwarna coklat, dengan femur dan tibia berwarna kehitaman (Zulkefli et al. 2004). Nimfa S. dichotomus mengalami lima kali ganti kulit (Syari et al. 2011 ; Zulkefli et al. 2004). Stadia nimfa S. dichotomus berlangsung 69 hari (Zulkefli et al. 2004), sedangkan nimfa S. annulicornis berlangsung selama 79 hari (Erawati, 2005). Lama hidup imago betina S. dichotomus menurut hasil penelitian Syari et al. (2011) adalah 61,40 ± 4,90 hari, sedangkan menurut Zulkefli et al. (2004) adalah 87,64 ± 3,31 hari. Zulkefli et al. (2004) menyatakan bahwa siklus hidup S. dichotomus dari telur hingga imago yang diberi makan C. cephalonica adalah 193,44 ± 2,41 hari dan jika diberi P. xylostella siklus hidupnya adalah 203,91 ± 2,77 hari. Anggota lain dari Reduviidae adalah S. annulicornis (Hemiptera: Reduviidae). Manley ( 1982) menyatakan bahwa kepik pedator S. annulicornis memiliki kisaran inang yang luas terutama dari ordo Lepidoptera. Fitriyani (2009) menyatakan bahwa S. annulicornis efektif untuk mengendalikan C. pavonana. Selama ini petani kubis melakukan pengendalian hama-hama kubis dengan insektisida sintetik karena belum ditemukannya musuh alami yang cocok. S.

15 annulicornis merupakan salah satu predator yang potensial, bersifat generalis, memiliki kemampuan beradaptasi di berbagai agroekosistem dan kemampuan memangsa yang cukup tinggi rata-rata 4,7 ekor per hari (De Clercq, 2000). Cahyadi (2004), menyatakan bahwa tingkat pemangsaan C. pavonana oleh S. annulicornis mencapai 3 ekor larva per hari. Dalam perkembangannya, S. annulicornis mengalami 5 kali ganti kulit. Nimfa instar I, II, III S. annulicornis berwarna jingga. Nimfa instar IV berwarna jingga kecoklatan, sedangkan nimfa instar V berwarna lebih gelap (Cahyadi, 2004). Imago Sycanus sp. melakukan kopulasi yang dapat berlangsung selama 60 menit. Waktu yang diperlukan dari proses kopulasi selesai sampai imago betina meletakkan telur adalah tujuh hari (Cahyadi, 2004). Telur yang diletakkan oleh Sycanus sp. menyerupai paket telur di mana telur tersebut memiliki lapisan pelindung (Hasibuan, 2005). 2.4 Tanggap Fungsional Tanggap fungsional adalah hubungan antara jumlah mangsa yang dimangsa oleh predator pada kerapatan populasi mangsa per satuan waktu (Sharov, 1996: Begon et al., 1986). Jumlah mangsa yang dimangsa pada kerapatan mangsa tertentu merupakan aspek penting untuk dipelajari, sehingga diperoleh gambaran tentang kemampuan predator dalam menangani mangsanya (Pervez & Omkar, 2005: Rahman et al., 2009). Tanggap fungsional merupakan salah satu ukuran untuk menentukan keefektifan suatu predator atau parasitoid sebagai agens dalam pengendalian hayati (Dout, 1973).

16 Perubahan kerapatan populasi mangsa dapat mengubah perilaku predator dalam hal pemangsaan dan keefektifan predator, dicerminkan oleh intensitas tanggapnya terhadap kerapatan populasi mangsa (Hassel, 1966). Mempelajari kerapatan mangsa yang optimal yang mampu dikendalikan oleh suatu predator merupakan langkah awal dalam memahami tanggap fungsional predator tersebut. Menurut Holling (1959) tanggap fungsional dibedakan atas tiga tipe umum yaitu tipe I, II, dan III, yang dilukiskan dengan grafik hubungan antara kerapatan mangsa dan jumlah mangsa yang dimangsa oleh predator. Tanggap fungsional tipe-i (linier) menggambarkan bahwa jumlah mangsa yang dimakan bersifat konstan, sehingga hubungan antara banyaknya mangsa yang dimakan predator dan kerapatan mangsa bersifat linier. Jumlah mangsa yang dimakan meningkat secara proporsional mengikuti peningkatan kerapatan mangsa hingga mencapai batas maksimum dan kemudian mendatar (Gambar 2.4). Tanggap fungsional tipe II (hiperbolik) yaitu jumlah mangsa yang dimakan menurun dengan meningkatnya kerapatan mangsa. Pada awalnya terjadi peningkatan pemangsaan bersamaan dengan peningkatan kerapatan mangsa. Namun, dengan pertambahan kerapatan mangsa, respon pemangsaan mulai menurun. Tanggap fungsional tipe III (sigmoid) menggambarkan bahwa jumlah mangsa yang dimangsa sedikit pada kepadatan populasi rendah kemudian meningkat sejalan dengan meningkatnya populasi mangsa, dan kemudian melambat kembali pada populasi mangsa yang makin meningkat (Gambar 2.4)..

17 Gambar 2.4 Tiga tipe tanggap fungsional Holling (1959) Ha : Jumlah mangsa yang dimangsa, H : Kerapatan mangsa Beberapa penelitian tentang tanggap fungsional sudah dilakukan antara lain oleh Oktarina (2009), Nelly, et al. (2012) dan Daeli (2011). Oktarina (2009) menyatakan bahwa pada kepadatan kepik predator Cyrtorhinus lividipennis Reuter yang tinggi, telur Nilaparvata lugens Stal. yang dimangsa sedikit. Sebaliknya, pada kepadatan kepik predator C. lividipennis yang rendah maka telur N. lugens yang dimangsa tinggi. Nelly, et al. (2012) meneliti tanggap fungsional predator Menochilus sexmaculatus Fabricius (Coleoptera: Coccinellidae) terhadap Aphis gossypii (Glover) (Homoptera: A phididae) pada umur tanaman cabai berbeda. Pada tanaman cabai umur 2 minggu tanggap fungsional predator M. sexmaculatus

18 terhadap A. gossypii adalah tanggap fungsional tipe I yaitu, kemampuan memangsa M. sexmaculatus meningkat dengan meningkatnya jumlah mangsa. Sedangkan pada umur cabai 4, 6, dan 8 minggu tanggap fungsional predator M. sexmaculatus terhadap A. gossypii termasuk tipe III. Tipe III dicirikan oleh awal peningkatan pemangsaan berlangsung lambat, diikuti peningkatan yang lebih cepat, kemudian konstan (Hassel, 2000). Penelitian Daeli (2011) menunjukkan bahwa lama pencarian dan penanganan satu ekor ulat api Setothosea asigna pada tanaman kelapa sawit oleh S. croceovittatus (Hemiptera: Reduviidae) membutuhkan waktu 10,46 menit pada kepadatan populasi rendah (5 ekor ulat api) dan 4,61 menit pada kepadatan populasi tinggi (10 ekor ulat api). Predator atau parasitoid yang efektif mempunyai sifat yang mampu mengendalikan mangsa/inang sebanyak mungkin. Mempelajari kepadatan mangsa/inang yang optimal mampu dikendalikan oleh suatu predator/parasitoid merupakan langkah awal dalam memahami tanggap fungsional predator/parasitoid tersebut. Kinerja predator sebagai agens hayati sangat dipengaruhi oleh kerapatan mangsa dan bentuk tanaman. Bentuk atau umur tanaman sangat mempengaruhi tanggap fungsional predator dalam mengendalikan populasi mangsa (Nelly, et al., 2012). Pada tanaman yang masih muda yang biasanya daunnya belum banyak, predator akan mudah mendapatkan mangsanya.