BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. penyakit gastritis pada manusia dan merupakan faktor etiologi gastric ulcer,

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

SINDROMA DISPEPSIA. Dr.Hermadia SpPD

BAB I PENDAHULUAN. Sistem peyampaian obat konvensional tidak dapat mempertahankan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Penelitian. histopatologi. Gastritis yang berlangsung dalam jangka waktu lama akan didapatkan

BAB I PENDAHULUAN. makanan dicerna untuk diserap sebagai zat gizi, oleh sebab itu kesehatan. penyakit dalam dan kehidupan sehari-hari (Hirlan, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. Dispepsia merupakan keluhan nyeri atau rasa tidak nyaman yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penelitian tentang perdarahan yang disebabkan Stress Related Mucosal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. Pada negara berkembang infeksi Helicobacter pylori terjadi pada 80% populasi,

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT TUKAK PEPTIK PADA PASIEN TUKAK PEPTIK DI INSTALASI RAWAT INAP RS ISLAM SURAKARTA TAHUN 2008 SKRIPSI

BAB 3 KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT TUKAK PEPTIK PADA PASIEN TUKAK PEPTIK (Peptic Ulcer disease) DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA TAHUN 2008

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Keluhan dispepsia merupakan keadaan klinik yang sering dijumpai dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Dispepsia kronis merupakan keluhan nyeri atau rasa tidak nyaman yang berpusat

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT TUKAK PEPTIK PADA PASIEN TUKAK PEPTIK (Peptic Ulcer Disease) DI RUMAH SAKIT BHAYANGKARA BRIMOB TAHUN 2015

PENATALAKSANAAN DISPEPSIA Berdasarkan Konsensus Nasional Penanggulangan Helicobacter pylori 1996,ditetapkan skema penatalaksanaan dispepsia, yang

PEMANFAATAN UJI NAPAS UREA C-14 UNTUK DETEKSI INFEKSI HELICOBACTER PYLORY PADA PENDERITA DYSPEPSIA DENGAN GAGAL GINJAL KRONIK ABSTRAK

INFEKSI HELICOBACTER PYLORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan salah satu sumber penyebab gangguan otak pada. usia masa puncak produktif dan menempati urutan kedua penyebab

BAB I PENDAHULUAN. satu penyebab kematian utama di dunia. Berdasarkan. kematian tertinggi di dunia. Menurut WHO 2002,

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN. kumpulan gejala yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah,

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. angka kejadiannya (Depkes, 2006). Perkembangan teknologi dan industri serta. penyakit tidak menular (Depkes, 2006).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dalam bidang kesehatan dan perekonomian dunia. Selama empat dekade terakhir

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Infeksi Helicobacter Pylori pada Anak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. bawah 5 tahun dibanding penyakit lainnya di setiap negara di dunia. Pada tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak enak perut bagian atas yang menetap atau episodik disertai dengan keluhan

BAB 1 PENDAHULUAN. Aspirin adalah golongan Obat Anti Inflamasi Non-Steroid (OAINS), yang

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT TUKAK PEPTIK PADA PASIEN TUKAK PEPTIK

INTISARI TINGKAT PENGETAHUAN ORANG TUA DALAM PENGGUNAAN AMOXICILLIN SIRUP KERING PADA PASIEN BALITA DI PUSKESMAS SUNGAI KAPIH SAMARINDA

BAB III METODE PENELITIAN

PR0GHlllltG. B00l( UPDATEIN GASTROENTERO-HEPATOLOGYPATIENT'S MANAGEMENT! FROMBENGHTO CLINICALPRACTICE

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Peresepan Obat di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta

GAMBARAN SEROLOGI IgG HELICOBACTER PYLORI PADA PENDERITA DISPEPSIA TIPE TUKAK. Muhammad Yusuf

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu jenis infeksi yang paling sering

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. praktek sehari-hari. Diperkirakan bahwa hampir 30% kasus pada praktek umum

BAB 4 METODE PENELITIAN. Pulmonologi serta Ilmu Mikrobiologi Klinik.

POTENSI INTERAKSI OBAT PADA PASIEN GANGGUAN LAMBUNG (DISPEPSIA, GASTRITIS, TUKAK PEPTIK) RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT KELUARGA SEHAT PATI TAHUN 2015

KONSENSUS NASIONAL Penatalaksanaan Dispepsia dan Infeksi Helicobacter pylori

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadinya gangguan pencernaan. Salah satunya dispepsia. Dispepsia adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Penyakit infeksi masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Diare,

BAB 1 PENDAHULUAN. pada setiap individu (Schmidt-Martin dan Quigley, 2011; Mahadeva et al., 2012).

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. yang mana tidak hanya terkait dengan persoalan estetika, tetapi juga

BAB I PENDAHULUAN UKDW. keseluruhan yang memberikan pelayanan kuratif maupun preventif serta

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

INTISARI. Ari Aulia Rahman 1 ; Yugo Susanto 2 ; Rachmawati 3

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi pada saluran napas merupakan penyakit yang umum terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit infeksi masih merupakan salah satu masalah kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Salah satu masalah kesehatan yang kita hadapi sekarang ini adalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pneumonia merupakan salah satu infeksi berat penyebab 2 juta kematian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Profil Penggunaan Obat Pada Pasien Dispepsia Di RSU Anutapura Palu

BAB 1 PENDAHULUAN. paling sering terjadi. Peningkatan penyakit gastritis atau yang secara umum

BAB 1 PENDAHULUAN. Obat Anti-Inflamasi Nonsteroid (OAINS) adalah suatu golongan obat

BAB I PENDAHULUAN. beberapa jenis makan yang kita konsumsi, boraks sering digunakan dalam campuran

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan desain cross-sectional. Pengambilan data dilakukan secara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berlangsung lebih dari 24 jam (kecuali ada intervensi bedah atau membawa

Peresepan Antibiotik pada Pasien Anak Rawat Jalan di BLUD RS Ratu Zalecha Martapura: Prevalensi dan Pola Peresepan Obat

Penatalaksanaan infeksi Helicobacter pylori pada anak

ASUHAN KEPERAWATAN GASTRITIS

BAB I PENDAHULUAN. kedokteran disebut dengan Systemic Lupus Erythematosus (SLE), yaitu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. dengan kerusakan jaringan ( Davis dan Walsh, 2004). Nyeri merupakan salah satu

GAMBARAN ENDOSKOPI PADA PASIEN DISPEPSIA DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH TAHUN

ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA. PADA KELUARGA Tn. H KHUSUSNYA Tn. H DENGAN GANGGUAN PENCERNAAN: GASTRITIS DI WILAYAH PUSKESMAS GROGOL I

BAB 1 PENDAHULUAN. Sepsis adalah terjadinya SIRS ( Systemic Inflamatory Respon Syndrome)

BAB 1 PENDAHULUAN. perubahan beberapa faktor atau pun kondisi setempat antara lain faktor

ABSTRAK TINGKAT PENGETAHUAN PASIEN GASTRITIS TERHADAP PENGGUNAAN TERAPI KOMBINASI RANITIDIN DAN ANTASIDA DI PUSKESMAS S. PARMAN BANJARMASIN

BAB I PENDAHULUAN. dan pola konsumsi makanan, sehingga banyak timbul masalah kesehatan, salah

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan utama penyebab kesakitan

A PLACEBO-CONTROLLED TRIAL OF ANTIMICROBIAL TREATMENT FOR ACUTE OTITIS MEDIA. Paula A. Tahtinen, et all

BAB I PENDAHULUAN. berbagai sumber infeksi, seperti: gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga

BAB I PENDAHULUAN. menggambarkan kolonisasi kuman penyebab infeksi dalam urin dan. ureter, kandung kemih dan uretra merupakan organ-organ yang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. konsolidasi paru yang terkena dan pengisian alveoli oleh eksudat, sel radang dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Influenza adalah suatu penyakit infeksi saluran pernafasan. akut yang disebabkan oleh virus influenza. Penyakit ini dapat

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 2 BAHAN, SUBJEK, DAN METODE PENELITIAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai sediaan obat uji, subjek uji dan disain penelitian.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang berjudul Evaluasi ketepatan penggunaan antibiotik untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pekerjaan serta problem keuangan dapat mengakibatkan kecemasan pada diri

BAB 1 PENDAHULUAN. gangguan mual-mual, perut keras bahkan sampai muntah (Simadibrata dkk,

BAB I PENDAHULUAN. kematiannya. Karsinoma kolorektal merupakan penyebab kematian nomor 4 dari

BAB 1 PENDAHULUAN. bermakna (Lutter, 2005). Infeksi saluran kemih merupakan salah satu penyakit

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Helicobacter pylori (H. pylori) merupakan kuman penyebab utama penyakit gastritis pada manusia dan merupakan faktor etiologi gastric ulcer, duodenal ulcer, gastric carcinoma dan primary gastric B-cell lymphoma. Infeksi H. pylori sering ditemukan juga pada beberapa kasus nonulcer dyspepsia dan merupakan prevalensi yang banyak ditemukan di dunia. Infeksi kronik dapat terjadi sampai beberapa tahun dan dapat menyebabkan perubahan di dalam mukosa gaster yang pada akhirnya dapat menyebabkan ulkus bahkan kanker gaster. Habitat kuman H. pylori terbatas pada sel mukosa tipe gaster, terutama daerah antrum dan ditetapkan paling sering pada lapisan paling dalam dari mukosa yang melapisi sel epitel serta tidak akan terlihat apabila mukosa masih menutupi sel epitel (Graham dan Graham, 2002; Liska, 2004; Gatta dkk., 2013). Adanya kuman berbentuk spiral dalam lambung manusia sebenarnya sudah dilaporkan sejak tahun 1875 oleh seorang sarjana Jerman yang mendapatkan kuman berbentuk spiral pada mukosa lambung. Pada tahun 1893, seorang sarjana Italia bernama Giulio Bizzozero melaporkan bakteri berbentuk spiral yang hidup dalam lambung anjing yang bersuasana asam kuat. Hubungan antara kuman spiral tersebut dengan penyakit lambung pertama kali diutarakan oleh Professor Walery Jaworski dari Polandia yang meneliti kuman yang ditemukan dalam sedimen cairan lambung pada tahun 1899 yang pada waktu itu 1

dinamakan Vibrio rugula. Dalam usahanya untuk membuktikan bahwa kuman spiral tersebut menyebabkan penyakit lambung, Marshall telah melakukan percobaan terhadap dirinya sendiri. Dia telah menelan kuman H. pylori yang dibiakkan dan beberapa hari kemudian dilakukan endoskopi dan ternyata terjadi gastritis pada lambung Marshall yang disertai dengan adanya kuman H. pylori. Marshall kemudian mengobati dirinya sendiri dengan gabungan garam Bismuth dan Metronidazol selama 2 minggu dan akhirnya bebas dari kuman tersebut. Dalam laporan Warren dan Marshall, kuman lambung berbentuk spiral ini dinamakan Campylobacter pyloridis, dan kemudian dirubah menjadi Campylobacter pylori (Holston, 2002). Infeksi H. pylori dan keluhan dispepsia merupakan dua fenomena yang umum terjadi pada komunitas besar. Beberapa penelitian dengan endoskopi mengevaluasi prevalensi infeksi H. pylori pada pasien dispepsia non ulkus; menunjukkan bahwa kedua fenomena ini sering berhubungan, dengan rerata proporsi sekitar 50 60%pasien dengan dispepsia non ulkus menunjukkan adanya H. pylori di dalam lambung. Pada penelitian prevalensi tersebut juga dikatakan bahwa infeksi H. pylori pada individu tanpa gejala (asimtomatik) menunjukkan prevalensi yang lebih rendah dibandingkan dengan prevalensi pada pasien dengan gejala dispepsia non ulkus tersebut. Beberapa penelitian uji klinik juga menunjukkan adanya hubungan kausal antara terapi infeksi H. pylori dengan skor pengurangan gejala dispepsia. Akan tetapi hal ini masih kontradiksi (Liska, 2004). Prevalensi infeksi H. pylori sangat bervariasi antar negara maupun kelompok populasi dalam satu Negara. Hasil studi klinis di Indonesia 2

menunjukkan bahwa prevalensi H. pylori pada pasien dengan ulkus peptikum adalah 90-100%, dan pada pasien dispepsia non-ulseratif, prevalensi H. pylori menjadi 20-40%. Dalam studi multicenter di 5 kota besar di Indonesia pada tahun 2003-2004, ditemukan bahwa prevalensi tertinggi di Yogyakarta (30,6%), dan terendah di Jakarta (8%). Jumlah ini lebih rendah dibandingkan dengan penelitian sebelumnya di RS. M. Djamil Padang yang menemukan prevalensi H. pylori pada pasien dispepsia sebesar 60% dengan uji serologis, dan 45% dengan uji histopatologis (Utia dkk., 2010). Secara keseluruhan prevalensi infeksi H. pylori mencapai 40%. Studi sero-epidemiologi beberapa kota di Indonesia didapatkan frekuensi IgG anti Hp positif yaitu Malang, Solo dan Medan (34-37%), Mataram 54%, Denpasar 35%, Surabaya 36%, Jakarta 50-67%, Jakarta 52,3%, dan Trenggalek 45,6% (Agung dkk., 2011). Laporan sementara dari studi epidemiologi di Jakarta oleh Divisi Gastroenterologi menunjukkan bahwa prevalensi infeksi H. pylori sebesar 52,3% dari 310 pasien, sedangkan di Yogyakarta pada tahun 2009 sebesar 22,2% dari total pasien yang melakukan gastroskopi di RSUP Dr. Sardjito (Utia dkk., 2010; Triwikatmani, 2014). Terdapat beberapa regimen terapi eradikasi H. pylori yaitu terapi tripel (PPI dan 2 antibiotik), terapi quadrapel (PPI, 2 antibiotik dan bismuth subsalisilat), dan terapi sekuensial (PPI dan 3 antibiotik), dengan durasi 7-14 hari. Di Indonesia, salah satu kendala terapi tripel adalah tingginya angka kekebalan terhadap metronidazol. Dari 7 penelitian uji klinik dengan menggunakan plasebo dan koloidal bismuth subsitrat pada terapi dispepsia non ulkus, 4 penelitian 3

menunjukkan perkembangan gejala dispepsia non ulkus secara klinis signifikan dengan tingkat eradikasi H. pylori (Liska, 2004). Penelitian lain menunjukkan bahwa eradikasi H. pylori tidak berhubungan dengan perkembangan gejala dispepsia non ulkus. Dalam suatu penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada 12 bulan follow-up antara kelompok perlakuan (15%) dan kelompok plasebo (11%). Kedua kelompok menunjukkan tidak ada keluhan dispepsia pada akhir penelitian. Sampai saat sekarang ini tidak terdapat terapi infeksi H. pylori dengan tingkat keefektifan 100%. Beberapa antimikroba telah digunakan untuk terapi H. pylori dengan tingkat kesuksesan yang berbeda-beda. Pada prinsipnya dalam eradikasi H. pylori harus menggunakan kombinasi obat-obat sinergistik yang dapat membunuh kuman H. pylori (Talley dkk., 1999; Soemohardjo, 2002). Dalam memberikan terapi eradikasi yang menggunakan gabungan obatobat anti infeksi sedapat mungkin ada 2 komponen aktifitas obat yang penting, yaitu obat-obat yang aktif intraluminal untuk membunuh kuman yang ada dalam mukus, dan komponen obat yang aktif secara sistemik. Obat bismuth bekerja secara intraluminal, sedangkan antibiotika berfungsi secara sistemik. Belakangan timbul konsep baru dalam terapi eradikasi, yaitu gabungan antara obat penghambat pompa asam dengan 2 jenis antibiotika yang lebih dikenal dengan terapi tripel. Konsep ini berdasarkan pengertian bahwa banyak antibiotika yang bekerja suboptimal pada ph rendah, ternyata dapat bekerja baik bila ph tersebut dinaikkan mendekati enam. Obat penghambat pompa asam yang sering digunakan adalah omeprazol (Marshall, 1993; Soemohardjo, 2002; Kho, 2010). 4

Dari beberapa penelitian membuktikan bahwa khasiat omeprazol juga dapat menghambat kuman H. pylori, walaupun tidak dapat menimbulkan eradikasi. Bila diberikan dalam dosis 40 mg/hari untuk individu dewasa selama 2 minggu dan kemudian dilakukan biopsi dan pembiakan untuk kuman H. pylori, maka hasil biakan dapat negatif. Akan tetapi bila dilakukan biopsi dan biakan H. pylori satu bulan kemudian, hasilnya akan kembali positif. Oleh karena itu gabungan omeprazol dan antibiotika merupakan gabungan yang sinergistik (Soemohardjo, 2002). Keberhasilan eradikasi H. pylori dengan menggunakan berbagai rejimen sebenarnya dipengaruhi 2 faktor, yaitu tingkat kepatuhan pasien dan sensitivitas antibiotika yang digunakan. Kepatuhan pasien, pada prakteknya dipengaruhi secara langsung oleh jumlah obat yang harus diminum setiap hari. Apabila tingkat kepatuhan pasien rendah, ini akan mengakibatkan tingkat kesembuhan eradikasi H. pylori menjadi lebih rendah. Terapi tripel untuk eradikasi H. pylori mempunyai hubungan yang signifikan dengan tingkat kepatuhan dan kesembuhan eradikasi H. pylori (Liska, 2004). Faktor lain yang berpengaruh pada keberhasilan eradikasi H. pylori adalah resistensi terhadap antimikroba yang digunakan. Masalah kekebalan H. pylori terhadap antimikroba mula-mula terjadi pada metronidazol. Di negara-negara barat,resistensi H. pylori terhadap antimikroba yang paling tinggi adalah jenis imidazol, klaritromisin (72,8%) dan metronidazol (86,4%). Di negara-negara sedang berkembang kekebalan terhadap metronidazol sudah mendekati 100%. 5

Salah satu kendala terapi tripel di Indonesia adalah tingginya angka kekebalan terhadap metronidazol (Soemohardjo, 2002; Gatta dkk., 2013). Dalam penelitian meta-analisis tentang eradikasi infeksi H. pylori yang dialukan oleh Gatta dkk.(2013) didapatkan hasil bahwa antara terapi eradikasi sequensial lebih baik dibandingkan terapi tripel (baik selama 7 hari ataupun 10 hari), namun pada terapi selama 14 hari terapi tripel lebih baik daripada sequensial namun tidak terlalu signifikan (81,3% banding 80,8%). Gatta dkk. (2013) juga menyebutkan bahwa sequensial terapi lebih baik dibandingkan dengan kuwadrapel terapi pada terapi selama 14 hari (86,2% banding 84,9%). Soemohardjo (2009) menyatakan bahwa terdapat konsensus nasional mengenai eradikasi H. pylori dari kelompok studi H. pylori Indonesia yang ditandatangani pada tanggal 21 Desember 1996 di Jakarta menyatakan bahwa eradikasi H. pylori : 1. Sangat dianjurkan pada ulkus duodeni, ulkus ventrikuli, pasca reseksi kanker lambung dini, dan limfoma MALT. 2. Dianjurkan pada dispepsia tipe ulkus, gastritis kronik aktif berat, gastropati AINS (NSAID), dan gastritis hipertrofik. 3. Tidak dianjurkan pada penderita asimtomatik. Dari latar belakang tersebut dapat diketahui bahwa banyaknya pilihan kombinasi terapi eradikasi H. pylori, baik dual, teripel ataupun kuwadrapel, serta masih terdapat beberapa perbedaan pendapat terkait pemberian antibiotik pada pasien terinfeksi H. pylori dengan diagnosis atau keadaan yang berbeda, oleh karena itu hal tersebut akan mempengaruhi pola pengobatan dalam pemilihan 6

terapi eradikasi dan luaran klinis (terutama gejala yang terkait dengan peningkatan asam) yang dihasilkan pada pasien yang terinfeksi H. pylori. Terapi eradikasi yang diberikan harus tepat sesuai dengan kondisi pasien dikarenakan semakin meningkatnya tingkat resistensi antibiotik, sehingga diperlukan modalitas tata laksana terapi yang tepat dan menunjukkan luaran klinis yang membaik berdasarkan konsensus para ahli dan pola pengobatan yang sesuai di setiap rumah sakit. Hubungan antara H. pylori dan keluhan yang dirasakan oleh pasien sangat penting untuk diteliti, karena sebagian besar pasien positif H. pylori merasakan keluhan dispepsia. Namun sampai saat ini di Indonesia jarang dilakukan penelitian terkait penurunan gejala dispepsia pada pasien terinfeksi H. pylori setelah dilakukan terapi. Hal inilah yang menjadi dasar dilakukannya penelitian ini. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : a. Bagaimanakah pola pengobatan pada pasien yang terinfeksi H. pylori di Yogyakarta? b. Bagaimanakah luaran klinis setelah diberikan terapi pada pasien yang terinfeksi H. pylori? 7

C. Keaslian Penelitian Penelitian ini merupakan asli karya penulis sendiri dan bukan merupakan plagiat dari hasil penelitian orang lain. Penelitian tentang terapi eradikasi H. pylori pernah dilakukan oleh: a. Gottrand dkk. (2001) dalam penelitiannya yang berjudul Omeprazole Combined with Amoxicillin and Clarithromycin in the Eradication of Helicobacter pylori in Children with Gastritis: A Prospective Randomized Double-Blind Trial. Gottrand dkk. (2001), melakukan penelitian dengan terapi tripel (omeprasol, amoksisilin, klaritromisin) dan terapi dual (amoksisilin dan klaritromisin) selama 7 hari. Pada penelitian ini yang dinilai adalah tingkat eradikasi, efek samping dan resistensi antibiotika. Alat diagnostik yang digunakan adalah histopatologi, tes urese cepat, C-urea breath test. Pada diagnosis pertama digunakan pemeriksaan histopatologi dan tes urese cepat, dan pada saat evaluasi setelah akhir terapi digunakan alat diagnostik C-urea breath test. Hasil dari penelitian tersebut yaitu, eradikasi H. pylori pada kelompok I yang mendapatkan terapi tripel sebesar 74,2%, sedangkan pada kelompok II yang mendapatkan terapi dual, hasil eradikasinya sebesar 9,4%. Dari penelitian tersebut pula diketahui bahwa resistensi klaritromisin sebesar 7,7%. Perbedaan dengan penelitian ini adalah Gottrand dkk. (2001) membandingkan tingkat eradikasi, efek samping serta resistensi antibiotik antara 2 rejimen (omperazol, amoksisilin, klaritromisin dibanding dengan 8

amoksisilin, klaritromisin) dengan metode prospektif sedangkan penelitian yang dilakukan peneliti kali ini bersifat retrospektif dan tidak bisa mengetahui efektivitas terapi eradikasi, melainkan untuk mengetahui pola pengobatan serta luaran klinis (perbaikan keluhan) setelah diberikan terapi. b. Manes (2003) dalam penelitiannya yang berjudul Empirical prescribing for dyspepsia: randomized controlled trial of test and treat versus omeprazole treatment. Penelitian ini merupakan penelitian dengan disain randomized controlled trial yang bertujuan untuk membandingkan efektivitas dari tes H. pylori dan memperlakukan strategi dengan percobaan empiris omeprazol pada pasien dispepsia. Sampel dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok yang hanya mendapatkan terapi proton pump inhibitor (PPI), dan kelompok yang mendapatkan PPI serta antibiotik. Hasil dari penelitian ini adalah terdapat perbedaan yang signifikan (p = 0,0001) antara kelompok yang mendapatkan terapi antibiotik beserta obat golongan PPI dibandingkan dengan kelompok yang hanya mendapatkan obat golongan PPI terkait dengan perbaikan gejala dispepsia setelah 12 bulan. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh Manes (2003) adalah mambandingkan perbaikan keluhan dispepsia yang diamati selama 12 bulan antara kelompok yang mendapatkan omeprazol, klaritromisin, tinidazol dengan kelompok yang hanya mendapatkan omeprazol, sedangkan penelitian yang dilakukan peneliti dengan disain potong lintang 9

dan retrospektif sehingga tidak bisa mengetahui perbaikan keluhan dalam beberapa waktu kedepan, serta peneliti mengambil semua rejimen obat yang digunakan, tidak spesifik hanya pada satu rejimen saja. c. Liska (2004) dalam penelitiannya yang berjudul Hasil Guna Terapi Eradikasi Helicobacter Pylori Pada Anak Menggunakan Terapi Tripel Dibanding Terapi Dual. Liska (2004) melakukan penelitian dengan terapi dual (omeprasol, klaritromisin) dan terapi tripel (omeprasol, klaritromisin, amoksisilin). Pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan efektivitas antara terapi eradikasi dual dengan terapi eradikasi teripel. Diagnosis infeksi H. pylori ditetapkan dengan pemeriksaan histopatologi melalui pengambilan spesimen biopsi lambung dengan endoskopi. Efektivitas terapi eradikasi dilihat dengan hasil pemeriksaan histopatologi spesimen biopsi lambung sesudah terapi eradikasi H. pylori selama 2 minggu, yang menunjukkan hasil negatif atau tidak ditemukan bakteri H. pylori. Hipotesis dari penelitian ini ialah terapi dual lebih efektif jika dibandingkan dengan terapi tripel. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan peneliti adalah peneliti tidak membandingkan efektivitas antar 2 rejimen obat, melainkan mengetahui luaran klinis (perbaikan keluhan) setelah diberikan terapi, serta sampel yang diambil adalah semua pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi (tidak dibataskan oleh usia). 10

d. Fischbach (2005) dalam Nature Clinical Practice Gastroenterology and Hepatology yang berjudul How Effective are Quadruple Therapies as firstline H. pylori Eradication Therapies?: Meta-analysis. Fischbach (2005) melakukan penelitian pada 7151 pasien dengan disain penelitian Meta-analysis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat eradikasi terapi kuwadrapel, efek samping obat, kepatuhan pasien dan faktor yang mempengaruhi efektivitas terapi eradikasi. Hasil pada penelitian ini menunjukkan bahwa terapi kuwadrapel dengan kombinasi metronidazol, tetrasiklin, penghambat asam dan bismuth merupakan regimen yang paling banyak dipakai (56%). Penggunaan omeprazol pada tregimen tersebut menunjukan pengaruh tingkat eradikasi sebesar 6%. Penggunaan regimen tersebut selama 10-14 hari dapat menghasilkan tingkat eradikasi lebih dari 85%, bahkan pada pasien resisten metronidazol. Suatu analisa regresi meta menunjukkan bahwa terapi kuwadrapel pada pasien resisten metronidazol lebih efektif (11%) jika dibandingkan dengan terapi tripel. Tingkat eradikasi terapi kuwadrapel pada pasien resisten klaritromisin sebesar 90-100%, jika dibandingkan dengan terapi tripel maka menunjukkan perbedaan sebesar 25-61%. Efek samping yang dihasilkan antara penggunaan terapi tripel dan kuwadrapel tidak jauh berbeda. Resistensi metronidazol dapat menurunkan tingkat eradikasi sebesar 9%. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti kali ini adalah peneliti hanya ingin mengetahui luaran klinis pasien setelah diberikan 11

terapi, sedangkan penelitian oleh Fischbach (2005) ingin mengetahui tingkat eradikasi terapi kuwadrapel, efek samping obat, kepatuhan pasien dan faktor yang mempengaruhi efektivitas terapi eradikasi pada terapi kuwadrapel. e. Agah dkk. (2009), dalam penelitiannya yang berjudul Comparison of Azithromycin and Metronidazole in a Quadruple-Therapy Regimen for Helicobacter pylori Eradication in Dyspepsia. Agah dkk. (2009) melakukan penelitian double-blind RCT pada 60 pasien dispepsia yang terinfeksi H. pylori. Diagnosis awal menggunakan tehkik endoskopi dan Rapid Urea test. Pasien secara acak menerima terapi kuwadrapel selama 2 minggu. Pada kelompok I (n=30) pasien menerima metronidazol 500mg bid, amoksisilin 1g bid, omeprazol 20mg bid, bismuth 240mg bid, dan kelompok II (n=30) menerima azitromisin 500mg satu kali sehari selama 1 minggu, amoksisilin 1gr bid, omeprazol 20mg bid dan bismuth 240mg bid selama 2 minggu. Efektivitas terapi eradikasi dilihat dengan tehnik Rapid Urea Test setelah 2 bulan dilakukan eradikasi terapi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat eradikasi antara 2 kelompok tidak jauh berbeda yaitu 68% pada kelompok I, dan 69% pada kelompok II. Perbedaan pada penelitian yang dilakukan oleh Agah dkk., (2009) adalah Agah dkk., (2009) membandingkan efektivitas antara azitromisin dan metronidazol pada terapi kuwadrapel, sedangkan peneliti kali ini tidak 12

membandingkan efektivitas eradikasi, melainkan hanya mengetahui luaran klinis (perbaikan gejala) pasien setelah diberikan terapi. f. Hajiani (2009) dalam Jundishapur Journal of Microbiology yang berjudul Treatment for Helicobacter pylori infection, an overview. Hajiani (2009) melakukan penelitian untuk mengetahui tingkat eradikasi H. pylori setelah diberikan terapi dengan durasi 2 minggu. Hasil penelitian ini menunjukkan efektivitas terapi eradikasi 3 kombinasi obat yang diberikan selama 7 hari (PPI based triple therapies) dengan kombinasi omeprasol 20mg bid, amoksisilin 1gr, klaritromisin 500mg atau dengan metronidazol 400mg, klaritromisin 250mg. Terdapat beberapa penelitian yang menunjukkan kesamaan antara lansoprazol 30mg bid, rabeprazol 20mg satu kali sehari, pantoprazol 40mg bid, dan esomeprazol20mg bid, dengan omeprazol pada terapi tripel. Eradikasi H. pylori pada terapi tripel menggunakan metronidazol menunjukkan tingkat eradikasi sebesar 80-90%. Resistensi metronidazol sebesar 70% (di Asia sebesar 62,7%), klaritromisin dan furazolidon 10%, amoksisilin 20%, tetrasiklin dan ciprofloksasin sebesar 5% pada pasien tukak peptik dan dispepsia yang tidak resisten pada amoksisilin dan asam klavulanat. Terapi tripel dengan kombinasi metronidazol, bismuth subsitrat dan tetrasiklin memiliki tingkat eradikasi sebesar 80,7% pada pasien yang sensitif metronidazol dengan resistensi metronidazol sebesar 64%. Terapi tripel dengan kombinasi amoksisilin, tetrasiklin dan omeprazol dengan durasi 7-14 hari menunjukkan tingkat eradikasi sebesar 86%. 13

Terapi sekuensial dengan kombinasi 3 antibiotik menunjukkan tingkat eradikasi yang lebih besar dibandingkan terapi standar (89% versus 77%), namun hasil ini akan berbeda jauh pada pasien yang resisten klaritromisin (89% versus 29%). Terapi kuwadrapel dengan kombinasi PPI, bismuth 525mg qid, dan dua antibiotik (misal metronidazol 500mg qid, tetrasiklin 500mg qid) selama 2 minggu. Suatu penelitian menggunakan 137 pasien yang mendapatkan kapsul kombinasi 3 antibiotik (bismuth 140mg, metronidazol 125mg, tetrasiklin 125mg) dan omeprazol 20mg bid (Kelompok I), yang dibandingkan dengan 137 pasien yang mendapatkan terapi omeprazol 20mg, amoksisilin 1g, klaritromisin 500mg bid, dan bismut selama 10 hari (Kelompok II), hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa tingkat eradikasi antara 2 kelompok tidak jauh berbeda yaitu kelompok I sebesar 88% dan kelompok II sebesar 83%. Perbedaan pada penelitian yang dilakukan oleh Hajiani (2009) adalah Hajiani (2009) membandingkan efektivitas antara terapi teripel, kuwadrapel dan sekuensial, sedangkan peneliti kali ini tidak membandingkan efektivitas eradikasi, melainkan hanya mengetahui luaran klinis (perbaikan gejala) pasien setelah diberikan terapi. g. Utia dkk. (2010), dalam penelitiannya yang berjudul Clinical Evaluation of Dyspepsia in Patients with Functional Dyspepsia, with The History of Helicobacter pylori Eradication Therapy in Ciptomangunkusumo Hospital, Jakarta. 14

Utia dkk. (2010) dalam penelitiannya (cross-sectional study) menggunakan 21 sampel pasien positif H. pylori. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbaikan gejala dispepsia non-ulseratif setelah terapi eradikasi, mengetahui status H. pylori setelah terapi eradikasi, dan untuk mempelajari proporsi peningkatan gejala dispepsia pada pasien nonulseratif dengan H. pylori negatif. Setelah dilakukan eradikasi, sebanyak 81% pasien ditemukan dengan status H.pylori negatif, dan pada umumnya pasien mengalami perbaikan gejala dispepsia. Persentase dari perbaikan gejala dispepsia pada pasien dengan status H. pylori negatif setelah eradikasi adalah 76,4%. Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Utia dkk. (2010) adalah penelitian Utia dkk. (2010) merupakan penelitian prospektif menggunakan Global Overall Symptoms of Dyspepsia Scale (GOS) dalam penilaian perbaikan keluhan dispepsia, sedangkan penelitian yang dilakukan peneliti merupakan penelitian retrospektif dan dalam menilai luaran klinis peniliti melihat dari keluhan atau gejala dispepsia pasien yang tercatat di rekam medis pasien. h. Gatta dkk. (2013), dalam penelitiannya yang berjudul Global Eradication Rates for Helicobacter pylori Infection: Systematic review and metaanalysis of sequential therapy. Gatta dkk. (2013) dalam penelitiannya menggunakan 46 RCT yang sudah di review dan dianalisis. Penelitian ini membandingkan antara terapi sekuensial dan terapi lain. Sebanyak 5666 pasien yang secara acak 15

menerima terapi sekuensial dan 7866 pasien menerima terapi lain. Secara keseluruhan tingkat eradikasi terapi sekuensial ialah 84,3%. Terapi sekuensial lebih baik jika dibandingkan dengan terapi tripel selama 7 hari (86,5% versus 71,5%; perbedaan tingkat eradikasi sebesar 15%, tingkat eradikasi sekuensial 24% lebih besar dari PPI-amoksisilin-klaritromisin, dan 15,9% lebih besar dari PPI-amoksisilin-metronidazol). Terapi sekuensial lebih baik jika dibandingkan dengan terapi tripel selama 10 hari (84,3% versus 75,3%; perbedaan tingkat eradikasi sebesar 9%). Terapi sekuensial tidak jauh lebih baik jika dibandingkan dengan terapi tripel selama 14 hari (80,8% versus 81,3%; perbedaan tingkat eradikasi sebesar 0,5%). Terapi sekuensial lebih baik jika dibandingkan dengan terapi kuwadrapel dengan regimen bismuth (86,2% versus 84,9%; perbedaan tingkat eradikasi sebesar 1,3%). Terapi sekuensial lebih baik namun tidak terlalu signifikan jika dibandingkan dengan terapi kuwadrapel tanpa menggunakan regimen bismuth (81,7% versus 81,3%; perbedaan tingkat eradikasi sebesar 0,4%). Tingkat eradikasi terapi sekuensial pada pasien yang resisten klaritromisin ialah sebesar 72,8%, pada pasien resisten metronidazol sebesar 86,4%, sedangkan pada pasien yang resisten klaritromisin dan metronidazol hanya sebesar 37%. Perbedaan pada penelitian yang dilakukan oleh Gatta dkk. (2013) adalah Gatta dkk. (2013) membandingkan efektivitas antara terapi teripel, 16

kuwadrapel dan sekuensial, sedangkan peneliti kali ini tidak membandingkan efektivitas eradikasi, melainkan hanya mengetahui luaran klinis (perbaikan gejala) pasien setelah diberikan terapi. i. Xu dkk. (2013), dalam penelitian yang berjudul Symptom Improvement after helicobacter pylori eradication in patients with functional dyspepsia- A multicenter, randomized, prospective cohort study. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbaikan gejala pada pasien dispepsia fungsional positif H. pylori. Total sampel sebanyak 644 psien dispepsia fungsional yang kemudian dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok yang mendapatkan eradikasi dan kelompok yang tidak mendapatkan eradikasi. Pada kelompok yang mendapatkan eradikasi, dibagi lagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok yang mendapatkan terapi tripel dan kelompok yang mendapatkan terapi kuwadrapel. Satu bulan setelah eradikasi, dilakukan pengecekan kembali menggunakan UBT dan didapatkan hasil total eradikasi sebanyak 76,36%. Tidak ada perbedaan signifikan antara kelompok yang mendapatkan terapi tripel dengan terapi kuwadrapel pada tingkat eradikasi H. pylori. Dalam hal perbaikan gejala, kelompok yang mendapatkan terapi eradikasi mengalami perbaikan gejala yang lebih baik dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapatkan terapi eradikasi, namun tidak ada perbedaan signifikan antara terapi tripel dan kuwadrapel dalam perbaikan gejala dispepsia. 17

Perbedaan pada penelitian yang dilakukan oleh Xu dkk. (2013) adalah Xu dkk. (2013) dalam penilaian perbaikan keluhan menggunakan Gastrointestinal Symptom Rating Scale yang dipantau secara berkala (4 minggu, 8 minggu, 12 minggu dan 52 minggu), perbaikan keluhan yang dinilai spesifik yaitu pada pasien dengan keluhan postprandial distress syndrome (PDS) dan pasien dengan keluhan epigastric pain syndrome (EPS), sedangkan penelitian yang dilakukan peneliti merupakan penelitian retrospektif dan dalam menilai luaran klinis peniliti melihat dari keluhan atau gejala dispepsia pasien yang tercatat di rekam medis pasien, serta peneliti tmengambil semua keluhan yang dirasakan oleh pasien. j. Onyekwere dkk. (2014) dalam penelitiannya yang berjudul Rabeprazole, clarithromycin, and amoxicillin Helicobacter pylori eradication therapy: Report of an efficacy study. Penelitian ini bertuuan untuk mengetahui efektivitas pada terapi teripel (rabeprazol, klaritromisin dan amoksisilin) dalam eradikasi H. pylori dan mengetahui faktor yang mempengaruhi perbaikan klinis pasien dan hal-hal yang merugikan terapi teripel. Hasil dari penelitian ini adalah penggunaan kombinasi antara rabeprazol, klaritromisin dan amoksisilin memberikan efek dan keamanan yang baik dalam eradikasi H. pyloridengan nilai rata-rata eradikasi 87,2%, perbaikan keluhan pasien sebesar 95%, serta jenis kelamin dan usia tidak memberikan perbedaan yang signifikan dalam perbaikan klinis pasien, baik pada durasi 7 hari ataupun durasi 10 hari (p=0,78). 18

Perbedaan penelitian yang dilakukan Onyekwere dkk. (2014) merupakan penelitian prospektif dengan menggunakan rejimen rabeprazol, klaritromisin dan amoksisilin dengan durasi 7 dan 10 hari, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti saat ini adalah peneliti mengambil semua rejimen obat yang digunakan, baik yang menggunakan antibiotik maupun tanpa menggunakan antibiotik. D. Manfaat Penelitian Dari penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan pengetahuan yang bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis. 1. Bagi pasien Pasien bisa mendapatkan pengobatan dan penanganan yang lebih baik dari klinisi, sehingga tingkat kesembuhan penyakit akan lebih besar serta frekuensi dan keluhan dispepsia bisa berkurang. 2. Bagi keilmuan Salah satu bahan acuan dalam penatalaksanaan terapi eradikasi H. pylori sehingga para klinisi dapat memberikan pelayanan dan perawatan yang terbaik kepada pasien terinfeksi H. pylori. 3. Bagi penelitian Sebagai bahan pembanding dan pelengkap bagi penelitian selanjutnya. 19

E. Tujuan Penelitian Penelitian yang dilakukan ini bertujuan untuk : a. Mengetahui pola pengobatan pada pasien yang terinfeksi H. pylori di Yogyakarta. b. Mengetahui luaran klinis pada pasien yang terinfeksi H. pylori di Yogyakarta. 20