BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi luka operasi (ILO) merupakan salah satu infeksi nosokomial yang sering terjadi. Infeksi ini dapat menyebabkan ketidakmampuan fungsional, stress, penurunan kualitas hidup pasien dan menimbulkan masalah ekonomi (Ducel dkk., 2002). Pada tahun 2002 Centers for Disease Control and Prevention (CDC) memperkirakan angka kejadian infeksi nosokomial di rumah sakit 1,7 juta orang dan sekitar 99.000 orang meninggal karena infeksi ini. Infeksi nosokomial umumnya berupa infeksi saluran kemih (ISK) 32%, infeksi luka operasi (ILO) 22%, pneumonia 15%, infeksi aliran darah primer (IADP) 14% (Mauger dkk., 2014). Angka infeksi nosokomial di Indonesia terus meningkat, hasil survey di rumah sakit DKI Jakarta yang dilakukan oleh Perhimpunan Pengendalian Infeksi Indonesia dan Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. Dr. Suliati Saroso Jakarta pada tahun 2003 mendapatkan angka infeksi nosokomial untuk ISK 15,1%, ILO 18,9%, pneumonia 24,5%, IADP 26,4%, infeksi saluran nafas lain 15,1% (Departemen kesehatan, 2008). Banyak faktor yang berpengaruh terhadap risiko terjadinya infeksi luka operasi antara lain kelas operasi, nilai ASA (American Society of Anesthesiologists), lama rawat inap sebelum operasi, ko-morbiditas, indeks risiko dan adanya pemasangan implant (Kementrian Kesehatan, 2011). Berdasarkan penelitian Haryanti dkk (2013) dari 180 1
pasien, 9 pasien mengalami infeksi luka operasi dengan jenis operasi elektif dan nilai ASA 2. Penggunaan antibiotik profilaksis di rumah sakit merupakan pemberian antibiotik yang dilakukan sebagai upaya preventif untuk mencegah terjadinya infeksi luka operasi. Pemberian antibiotik harus dilakukan dengan alasan yang jelas karena resistensi bakteri yang semakin berkembang berhubungan dengan antibiotik tersebut dan pemilihan jenis antibiotik profilaksis berpengaruh terhadap keberhasilan pencegahan infeksi pasca bedah. Meskipun prinsip antibiotik profilaksis dalam operasi telah ditetapkan, masih terdapat yang tidak sesuai (Gyssens, 1999). Secara umum peresepan antibiotik sering tidak tepat, tidak hanya di negara berkembang namun juga di negara maju (Van der Meer dan Gyssens, 2001; Mettler dkk., 2007; Gaash, 2008; Kristiansson dkk., 2009; Sahoo dkk., 2010 ). Meluasnya antibiotik yang tidak tepat merupakan isu besar dalam kesehatan masyarakat dan keamanan pasien (Bisht dkk., 2009; Gerber dkk., 2010). Penggunaan antibiotik yang tidak tepat dapat menimbulkan berbagai masalah, diantaranya pengobatan akan lebih mahal, lebih toksik, meluasnya resistensi dan timbulnya kejadian super infeksi yang sulit diobati (Gyssens, 2005; Gerber dkk., 2010). Penggunaan antibiotik profilaksis pada tindakan bedah cukup luas dan seringkali dengan indikasi yang kurang tepat. Dari berbagai data yang ada ternyata antara 30-50% dari pemakaian antibiotik di rumah sakit diberikan untuk tujuan profilaksis bedah dan 2
30-90% antibiotik profilaksis bedah dianggap tidak rasional (Nelwan dkk., 1991). Data mengenai rasionalitas antibiotik di Indonesia masih terbatas. Penelitian tim AMRIN (Antimicrobial Resistance in Indonesia) di dua rumah sakit pendidikan di Indonesia menunjukkan hanya 21% peresepan antibiotik yang tergolong rasional (Hadi dkk., 2008). Beberapa patogen yang diteliti di Indonesia diketahui telah resisten terhadap antibiotik (Tjaniadi dkk., 2003; Lestari dkk., 2008). Evaluasi obat, khususnya antibiotik merupakan salah satu bentuk tanggung jawab farmasis di lingkungan rumah sakit dalam rangka mempromosikan antibiotik yang rasional. Hal yang dapat dilakukan farmasis bersama staf medis adalah menetapkan dan melaksanakan suatu program evaluasi antibiotik secara konkruen dan prospektif terus-menerus dengan tujuan untuk mengkaji serta menyempurnakan mutu terapi antibiotik (Siregar dan Kumolosasi, 2006). Berbagai penelitian membuktikan bahwa apoteker mempunyai peranan penting dalam meningkatkan kualitas antibiotik (Arnold, 2004; Hand, 2007). Evaluasi antibiotik memuat dua aspek penting yaitu evaluasi jumlah antibiotik yang digunakan disebut dengan evaluasi kuantitas antibiotik, sedangkan untuk ketepatan dalam pemilihan jenis antibiotik, dosis serta lama pemberian antibiotik disebut evaluasi kualitas antibiotik (Gyssens, 2005). Pada awalnya evaluasi antibiotik menggunakan metode atau kriteria Kunin. Kriteria kunin meliputi ketepatan indikasi, efektifitas, harga, dosis dan rute pemberian (Kunin dkk., 1973). Kriteria kunin karena tidak spesifik kemudian 3
disempurnakan oleh Van der Meer dan Gyssens. Keuntungan menggunakan metode Van der Meer dan Gyssens yaitu lebih spesifik, mengevaluasi setiap parameter penting yang terkait dengan antibiotik dan dapat mengevaluasi waktu pemberian antibiotik profilaksis pada pasien bedah (MacKenzie dkk., 2005). Metode Van der Meer dan Gyssens mengevaluasi seluruh aspek peresepan antibiotik seperti indikasi antibiotik, alternatif antibiotik yang lebih efektif, lebih tidak toksik, lebih murah, spektrum lebih sempit, lama pengobatan, dosis, interval dan rute pemberian serta waktu pemberian (Gyssens, 2005). Penelitian Saraswati (2013) mengenai evaluasi antibiotik profilaksis pada pasien bedah sectio caesarea menunjukkan hasil bahwa antibiotik profilaksis tidak terdapat kategori 0 berdasarkan metode Van der Meer dan Gyssens, antibiotik profilaksis yang tepat jenis antibiotik sebesar 25,61%, tepat rute pemberian sebesar 100%, tepat dosis, frekuensi dan durasi sebesar 5,49%. Penelitian Gu dkk., (2005) menunjukkan hasil bahwa durasi antibiotik profilaksis yang tidak tepat sebesar 80% pada bedah colorectal, 52% pada kolesistektomi dan 31% pada bedah hernia. Berdasarkan fakta yang disebutkan maka perlu dilakukan suatu penelitian mengenai evaluasi antibiotik profilaksis pada pasien bedah di Rumah Sakit Islam (RSI) Sultan Agung Semarang menggunakan metode Van der Meer dan Gyssens. Penelitian dilakukan di RSI Sultan Agung Semarang karena di RSI Sultan Agung Semarang belum pernah dilakukan penelitian mengenai evaluasi antibiotik 4
profilaksis pada pasien bedah. Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat menjadi masukan dan pertimbangan untuk antibiotik profilaksis pada pasien bedah. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian yang telah disampaikan dalam latar belakang, rumusan masalah pada penelitian ini adalah 1. Berapa besar angka kejadian infeksi luka operasi pada pasien bedah? 2. Berapa persentase antibiotik profilaksis yang rasional (dengan kriteria kategori 0 berdasarkan metode Van der Meer dan Gyssens) pada pasien bedah? 3. Apa saja jenis ketidakrasionalan antibiotik profilaksis (dengan kriteria kategori I sampai V berdasarkan metode Van der Meer dan Gyssens) pada pasien bedah? 4. Apakah ada hubungan antara jenis ketidakrasionalan antibiotik profilaksis dengan kejadian infeksi luka operasi pada pasien bedah? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini antara lain: 1. Mengetahui besar angka kejadian infeksi luka operasi pada pasien bedah. 2. Mengetahui persentase antibiotik profilaksis yang rasional (dengan kriteria kategori 0 berdasarkan metode Van der Meer dan Gyssens) pada pasien bedah. 5
3. Mengetahui jenis ketidakrasionalan antibiotik profilaksis (dengan kriteria kategori I sampai V berdasarkan metode Van der Meer dan Gyssens) pada pasien bedah. 4. Mengetahui hubungan antara jenis ketidakrasionalan antibiotik profilaksis dengan kejadian infeksi luka operasi. D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian yang dapat diambil dari hasil penelitian adalah: 1. Memberi gambaran angka kejadian infeksi luka operasi pada pasien bedah di RSI Sultan Agung Semarang. 2. Memberi gambaran kualitas antibiotik profilaksis dengan tujuan pencegahan infeksi luka operasi. 3. Menjadi masukan dan pertimbangan untuk meningkatkan kualitas antibiotik profilaksis dan meminimalkan risiko yang timbul akibat antibiotik profilaksis yang tidak tepat. 4. Dapat digunakan sebagai pustaka untuk penelitian lain yang terkait dengan evaluasi antibiotik profilaksis pada pasien bedah. E. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian evaluasi antibiotik yang pernah dilakukan sebelumnya adalah: 6
Tabel 1. Data Penelitian Evaluasi Penggunaan Antibiotik Peneliti (Tahun) Saraswati (2013) Metode Penelitian Cross Sectional Retrospektif Jumlah Pasien Tempat dan waktu Penelitian 164 RSIA Sakina Idaman Yogyakarta Januari sampai Desember 2012 Tujuan Penelitian Mengetahui pola dan kualitas antibiotik profilaksis pada pasien bedah sesar Penilaian Rasionalitas Metode Van der Meer dan Gyssens Blegur (2007) Cross sectional Prospektif 66 RSUD Prof. Dr. Wz. Johanes Kupang periode Oktober sampai Desember 2004 Mengetahui kesesuaian pola antibiotik profilaksis dengan standar Pelayanan Medik tahun 1992 yang meliputi: ketepatan indikasi, jenis antibiotik, dosis, rute pemberian, waktu dan lama pemakaian - Gu dkk., (2005) Cross Sectional Retrospektif 419 Januari 2000 sampai Mei 2002 pada pasien bedah colorectal, kolesistektomi, dan bedah hernia Mengetahui pola antibiotik profilaksis meliputi durasi dan interval waktu pemberian. - Dertarani (2009) Deskriptif Retrospektif 39 Di bagian Ilmu Bedah RSUP Dr. Kariadi periode Agustus sampai Desember 2008 Mengetahui kualitas kuantitas antibiotik. dan Metode Van der Meer dan Gyssens Cusini dkk., (2010) Prospektif 1577 Rumah sakit Zurich, Switzerland tahun 2008-2009 Mengetahui kualitas dan kuantitas antibiotik. Metode Van der Meer dan Gyssens 7
Lanjutan Tabel 1 Desiyana dkk., (2008) Cross sectional Prospektif 131 Rumah sakit kanker Dharmais Jakarta 10 April sampai 9 Mei 2008 Mengetahui gambaran pola antibiotik profilaksis dan kesesuaiannya dengan pola kuman pada ruang operasi serta hubungannya dengan kejadian ILO. - Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada sampel penelitian, tempat, waktu, metode penelitian dan rancangan studi yang digunakan. Rancangan studi yang digunakan yaitu cross sectional dengan pengambilan data secara retrospektif dan prospektif dengan variabel terikat yang diukur yaitu angka kejadian infeksi luka operasi. Penelitian dilakukan di RSI Sultan Agung Semarang periode November 2014 - Februari 2015. 8