BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II PENDEKATAN TEORITIS

BAB I PENDAHULUAN. dan terbelakang, melainkan juga dialami oleh negara-negara maju.

BAB III METODE PENELITIAN

ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM KELUARGA HARAPAN TERHADAP PENINGKATAN KUALITAS KESEHATAN DAN PENDIDIKAN KELUARGA

BAB V HASIL PROGRAM KELUARGA HARAPAN

Syarifah Maihani Dosen Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Almuslim

ANALISIS SITUASI DAN KONDISI KABUPATEN BOGOR

Sekapur Sirih. Jakarta, Agustus 2010 Kepala Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, Ahmad Koswara, MA

BAB I PENDAHULUAN. Badan Pusat Statistik. Data Penduduk Indonesia Per Maret Diakses 14 Februari 2011

Leuwiliang Leuwisadeng 050 Ciampea 050 Ciampea 050 Ciampea 050 Tenjolaya 070 Ciomas 070 Ciomas

TABEL 1 Nilai dan Kontribusi Sektor dalam PDRB Kabupaten Bogor Atas Dasar Harga Konstan Tahun

V. KARAKTERISTIK DAN KEMAMPUAN DAYA BELI MASYARAKAT MISKIN DI KABUPATEN BOGOR. Tabel. 22 Dasar Perwilayahan di Kabupaten Bogor

BAB I PENDAHULUAN. oleh si miskin. Penduduk miskin pada umumya ditandai oleh rendahnya tingkat

REALISASI PROGRAM DAN KEGIATAN DINAS PETERNAKAN DAN PERIKANAN KABUPATEN BOGOR 2013

TENTANG BANTUAN PROGRAM KELUARGA HARAPAN

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pembangunan nasional adalah meningkatkan kinerja. perekonomian agar mampu menciptakan lapangan kerja dan menata

Mengapa Kemiskinan di Indonesia Menjadi Masalah Berkelanjutan?

BAB V KELEMBAGAAN PENYULUHAN PERTANIAN DI KABUPATEN BOGOR

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan masalah yang bersifat kompleks dan

Mengapa PKH Diperlukan? PKH dimaksudkan untuk merunkan jumlah masyarakat miskin melalui bantuan dana tunai bersyarat.

PERATURAN BUPATI TENTANG PEMBENTUKAN, ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS PAJAK DAERAH PADA BADAN PENGELOLAAN PENDAPATAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. diperbaharui, karena memiliki proses pembentukan yang cukup lama serta

Penentuan Peringkat Kesejahteraan Rumah Tangga (P2K), 2008

PEMANFAATAN DATA UNTUK PENAJAMAN INTERVENSI KEBIJAKAN

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI PAPUA BARAT SEPTEMBER 2015

IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Letak dan Kondisi Fisik Wilayah

Data Kemiskinan dalam Perspektif APBN

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran. Data kemiskinan yang baik dapat

BAB VI UPAYA IBU MENINGKATKAN KUALITAS KESEHATAN DAN PENDIDIKAN KELUARGA

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI PAPUA BARAT SEPTEMBER 2014

I. PENDAHULUAN. hingga kini masih menjadi isu sentral di belahan bumi mana pun. Selain bersifat

I. PENDAHULUAN. Sumber : Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor (2009)

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI PAPUA BARAT SEPTEMBER 2016

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Indonesia telah merdeka hampir mencapai 69 tahun, tetapi masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pembangunan pada dasarnya merupakan suatu proses multidimensional

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan masalah yang dihadapi oleh semua negara di

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan. Kemiskinan telah membuat pengangguran semakin bertambah banyak,

BAB I PENDAHULUAN. Determinan kemiskinan..., Roy Hendra, FE UI, Universitas Indonesia

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN

BPS KABUPATEN PAKPAK BHARAT

PEMERINTAH KABUPATEN BOGOR RINGKASAN PERUBAHAN APBD MENURUT URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DAN ORGANISASI TAHUN ANGGARAN 2015

KEADAAN KEMISKINAN DI PROVINSI PAPUA SEPTEMBER, 2014

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, khususnya di negara-negara berkembang. Kemiskinan

sebanyak 158,86 ribu orang atau sebesar 12,67 persen. Pada tahun 2016, jumlah penduduk miskin mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya, yaitu se

BAB V PELAKSANAAN PKH DI KELURAHAN BALUMBANG JAYA

BAB I PENDAHULUAN. harus diminimalisir, bahkan di negara maju pun masih ada penduduknya yang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN. yang banyak sehingga kemiskinan pun tak dapat dihindari. Masalah kemiskinan


BAB I PENDAHULUAN. Salah satu permasalahan yang dihadapi secara serius oleh setiap Negara

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN

4 GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR

I. PENDAHULUAN. Kerangka desentralisasi yang dicanangkan dengan berlakunya Undang

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI PAPUA BARAT MARET 2017

sebanyak 160,5 ribu orang atau sebesar 12,98 persen. Pada tahun 2015, jumlah penduduk miskin mengalami sedikit kenaikan dibanding tahun sebelumnya, ya

Pemutakhiran Basis Data Terpadu Tahun 2015 Untuk Program-program Perlindungan Sosial

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI PAPUA BARAT MARET 2015

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sekelompok orang yang tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan

I. PENDAHULUAN. perumahan yang telah disediakan oleh pemerintah. Sehingga masyarakat dari

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI SUMATERA BARAT MARET 2017

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERDAYAAN KOMUNITAS ADAT TERPENCIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. pengembangan kebijakan dibidang perlindungan sosial, tahun 2007 Pemerintah

III. METODOLOGI PENELITIAN GUNUNG DEPOK SINDUR PARUNG RUMPIN CISEENG CIBINONG BOJONG GEDE KEMANG RANCA BUNGUR KOTA BOGOR CIBUNGBULANG CIAMPEA DRAMAGA

BAB I PENDAHULUAN. dan layak. Masalah kemiskinan menjadi masalah yang cukup serius karena akan

KEMISKINAN PROVINSI SULAWESI UTARA MARET 2014

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan hal yang sangat penting bagi individu dengan hidup yang sehat

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan penduduk miskin di Indonesia antar waktu. Kemiskinan sering menjadi topik yang dibahas dan diperdebatkan

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI PAPUA BARAT MARET 2016

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Aghnita Septiarti, 2014 Studi Deskriptif Sikap Mental Penduduk Miskin

I. PENDAHULUAN. secara terus menerus untuk mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara, yaitu

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 52

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BERALIH DARI SUBSIDI UMUM MENJADI SUBSIDI TERARAH: PENGALAMAN INDONESIA DALAM BIDANG SUBSIDI BBM DAN REFORMASI PERLINDUNGAN SOSIAL

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH BULAN SEPTEMBER 2011

DATA UMUM 1. KONDISI GEOGRAFIS

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab ini membahas secara berurutan tentang latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. ditandai dengan pengangguran yang tinggi, keterbelakangan dan ketidak

PENDAHULUAN Latar Belakang

LAPORAN SURVEI DATA POKOK PENDIDIKAN (DAPODIK)

Menyasar Warga Miskin dan Memilih Instrumen yang Tepat: Studi Kasus Indonesia

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2011

KEADAAN KEMISKINAN DI PROVINSI PAPUA MARET, 2016

I. PENDAHULUAN. yang lebih baik dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Pembangunan

MENETAPKAN SASARAN BERBASIS WILAYAH DAN RUMAH TANGGA MENGGUNAKAN DATA BDT, PODES, DAN SUSENAS

UNIFIKASI SISTEM PENETAPAN SASARAN NASIONAL

I. PENDAHULUAN. upaya dan kegiatan aktifitas ekonomi masyarakat tersebut. Untuk mencapai kondisi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan pada dasarnya merupakan proses multidimensial

KEMISKINAN DAN KETIMPANGAN PROVINSI SULAWESI UTARA MARET 2017

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. Kemiskinan dapat diukur secara langsung dengan menetapkan persedian sumber

Program Kegiatan Lokasi Kegiatan Target Kinerja

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK,

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Demikian juga halnya dengan kemiskinan, dimana kemiskinan

BAB I PENDAHULUAN. yang ada di dunia ini khususnya di negara berkembang. Sekitar 1,29 milyar penduduk dunia

KEADAAN KEMISKINAN DI PROVINSI PAPUA MARET, 2015

1.1 Latar Belakang Masalah Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian Sistematika Penulisan...

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan adalah suatu situasi dimana seseorang atau rumah tangga mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuah dasar, sementara lingkungan pendukungnya kurang memberikan peluang untuk meningkatkan kesejahteraan secara berkesinambungan atau keluar dari kerentanan (Cahyat dkk, 2007). Data Badan Pusat Statistik tahun 2011 menyatakan bahwa di daerah Jawa Barat terdapat 4.773.700 penduduk miskin. Hal ini menunjukan bahwa permasalahan kemiskinan masih menjadi permasalahan klasik bangsa Indonesia. Secara umum kemiskinan jika dilihat dari penyebabnya dapat dikategorikan menjadi kemiskinan struktural dan kultural. Kemiskinan kultural terjadi diakibatkan ketidakmampuan memanfaatkan potensi diri, menyiakan sumberdaya yang ada, dan menjauhkan diri dari kegiatan kemasyarakatan serta budaya kemiskinan melalui garis keturunan keluarga. Kemiskinan struktural sebagai akibat faktor eksternal yang memberikan tekanan hebat yang membuat seseorang atau kelompok menjadi tidak berdaya, misalnya akibat sistem dan struktur sosial dalam masyarakat (Susanto, 2006). Disadari bahwa salah satu aspek penting untuk mendukung strategi penanggulangan kemiskinan adalah tersedianya data kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran. Pengukuran kemiskinan yang dapat dipercaya dapat menjadi instrumen tangguh bagi pengambil kebijakan dalam memfokuskan perhatiannya. Salah satu konsep perhitungan kemiskinan yang banyak diaplikasikan di negara termasuk Indonesia adalah konsep kebutuhan dasar yang dilakukan oleh BPS. BPS melakukan pendataan rumah tangga miskin dengan menggunakan 14 variabel kemiskinan dimana variabel ini memiliki hubungan sangat erat dengan kemampuan memenuhi kebutuhan kalori dan kebutuhan dasar non makanan (basic needs approach). Untuk mengukur tingkat kemiskinan di Indonesia, BPS selama ini menggunakan dua cara. Pertama, untuk mengestimasi jumlah dan persentase penduduk miskin BPS menggunakan Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dengan menggunakan ketidakmampuan memenuhi kebutuhan

2 dasar. Penduduk miskin didefinisikan sebagai penduduk yang mempunya rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Data kemiskinan yang bersifat makro ini hanya menunjukkan jumlah agregat dan pesentase penduduk miskin, tetapi tidak menunjukan siapa si miskin dan dimana alamat mereka sehingga kurang operasional di lapangan. Meskipun demikian, data ini sangat bermanfaat untuk mengevaluasi penambahan/pengurangan jumlah penduduk miskin dari waktu ke waktu. Selain itu, banyak informasi penting lainnya yang bisa digali dan sangat bermanfaat untuk program pengentasan kemiskinan. Kedua, dengan melakukan Pendataan Sosial Ekonomi Penduduk (PSE) tahun 2005 yang kemudian digunakan untuk menentukan SDM penerima BLT yang memuat informasi nama kepala rumah tangga yang berhak menerima bantuan dan lokasi tempat tinggalnya (Suhariyanto, 2006) Upaya pengentasan kemiskinan biasanya ditunjukan kepada sasaran penduduk miskin tanpa mengambil sasaran keluarganya secara utuh, padahal keluarga justru memiliki anak yang mungkin saja sekolah atau tidak sekolah dikarenakan kekurangan dana sehingga munculah program dan kegiatan untuk pengentasan kemiskinan yang ditunjukan langsung kepada rumah tangga dan penduduk miskin melalui peningkatan kualitas sumberdaya manusia sebagai sumberdaya utama pembangunan. Menurut UNDP (1995) untuk menjamin tercapainya pembangunan manusia terdapat empat pokok yang perlu diperhatikan, yaitu produktifitas, pemerataan, kesinambungan, dan pemberdayaan. Kondisi ini ternyata belum sepenuhnya dimiliki oleh bangsa Indonesia, misalnya masih terjadi permasalahan kemiskinan yang berkaitan erat dengan dunia kesehatan dan pendidikan yang tercermin melalui lingkaran perangkap kemiskinan. Rendahnya penghasilan keluarga menyebabkan keluarga tersebut sulit memenuhi kebutuhan kesehatan dan pendidikan bahkan tingkat minimum sekalipun (Depsos, 2008). Guna meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, pemerintah akhirnya mengeluarkan beberapa kebijakan publik dan program yang bertujuan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia melalui kesehatan dan pendidikan. Dalam mengimplementasikan kebijakan publik, maka ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program- program atau melalui formulasi kebijakan turunan dari kebijakan publik tersebut.

3 Kebijakan publik yang terbaik adalah kebijakan publik yang mendorong semua warga masyarakat untuk membangun daya saingnya masing-masing, bukan semakin menjerumuskan pada pola ketergantungan, dimana pada prinsipnya ada empat tepat yang harus dipenuhi dalam keefektifan implementasi kebijakan atau program, yaitu tepat secara kebijakan, tepat secara pelaksanaan, tepat target, dan tepat lingkungan (Dwijowijoto, 2003). Menjawab permasalahan kemiskinan melalui peningkatan kualitas sumberdaya manusia khususnya dalam hal kesehatan dan pendidikan, hadirlah Program Keluarga Harapan (PKH) yang merupakan salah satu program penanggulangan kemiskinan yang berada pada kategori I berupa Program Bantuan dan Perlindungan Sosial karena program ini langsung menyentuh Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) yang berada di pedesaan dan perkotaan khususnya melalui peningkatan kualitas RTSM dalam bidang kesehatan dan pendidikan khususnya ibu yang menjadi sasaran penerima program ini. Program Keluarga Harapan (PKH) adalah suatu program yang memberikan bantuan tunai kepada RTSM jika mereka memenuhi persyaratan yang terkait dengan upaya peningkatan kualitas SDM yaitu kesehatan dan pendidikan. Tujuan utama PKH adalah membantu mengurangi kemiskinan dengan cara meningkatkan kualitas SDM pada RTSM sebagai penerimanya. Sasaran penerima PKH adalah RTSM yang memiliki anggota keluarga yang terdiri dari anak usia 0-15 tahun dan/atau ibu hamil/nifas dan berada pada lokasi terpilih. Penerima bantuan PKH adalah ibu atau wanita yang mengurus anak pada rumah tangga yang bersangkutan (jika tidak ada ibu maka nenek, tante/ bibi, atau kakak perempuan dapat menjadi penerima bantuan). Program ini juga merupakan program kolaborasi dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Departemen Sosial, Departemen Kesehatan, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Agama, Departemen Komunikasi dan lnformatika, dan Badan Pusat Statistik (Depsos, 2008). Data Badan Pusat Statistik tahun 2006 melalui hasil Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) BPS tahun 2006 jumlah rumah tangga miskin di Kabupaten Bogor sebanyak 1.105.156 jiwa sedangkan hasil pendataan rumah tangga miskin tahun 2008 jumlahnya sebanyak 256.782 rumah tangga. Jumlah

4 tertinggi di Jawa Barat dibandingkan kabupaten/kota lainnya. Data ini ditambah dari Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor yang mencatat sepajang 2010 jumlah penderita gizi buruk yang ditangani sebanyak 143 kasus, SDM yang masih rendah karena pendidikan minim, ekonomi lemah sehingga berdampak perilaku hidup sehat yang kurang terjaga. Kondisi ini mendorong berbagai upaya pemerintah untuk memberikan berbagai macam kebijakan dan program penanganan kemiskinan, salah satu yang tercatat adalah Program Keluarga Harapan (PKH). Berdasarkan Data Unit Pelaksana PKH (UPPKH) Pusat mencatat Kabupaten Bogor berada di peringkat 22 dari 80 kota dan kabupaten seluruh Indonesia. Saat verifikasi Juni 2010, Kabupaten Bogor mendapat persentase rata-rata 94.73% sehingga berada di peringkat 22 namun hasil tersebut dinilai cukup baik 1. 1.2 Rumusan Masalah Persoalan kemiskinan bukan merupakan gejala baru yang terjadi di Indonesia, melainkan sudah lama menghinggapi masyarakat khususnya di Pulau Jawa. Dalam buku tentang sejarah ekonomi sosial Indonesia, Prof. Burger menggambarkan bahwa lebih dari 100 tahun yang lalu pemerintah Belanda mulai meresahkan kemiskinan yang terjadi di Pulau Jawa akibat penambahan jumlah penduduk dan sistem tanam paksa (Soedjatmoko, 1983). Disamping itu, masalah kemiskinan bukan hanya berkaitan dengan masalah material namun juga non material, yang menyangkut kesempatan memperoleh pendidikan, kesehatan, transportasi, pekerjaan, dan lainnya (Susanto, 2006). Hal ini menunjukan bahwa pengentasan masalah kemiskinan diperlukan adanya keterlibatan beberapa pihak yang dilakukan secara menyeluruh dan berkelanjutan. Menurut Dian Mulyadianta, Ketua UPPKH Kabupaten Bogor tahun 2010, sejak 2007 hingga triwulan kedua 2010, bantuan bersyarat PKH berjumlah Rp 69.467.969.000,00 untuk 14.930 RTSM yang tersebar di 16 kecamatan di 155 desa. Adapun 16 kecamatan yang warga ikut program pemerintah pusat ini adalah Cariu, Megamendung, Ciawi, Ciomas, Dramaga, Ciampea, Gunung 1 Radar Bogor Edisi 22 September 2010. Kabupaten Bogor Peringkat 22. http:// www.radarbogor.co.id [diunduh 3 Maret 2011].

5 Sindur, Ciseeng, Cigombong, Tenjolaya, Leuwisadeng, Kemang, Ranca Bungur, Bojong Gede, Tajur Halang dan Cibinong 2. Adanya program PKH yang digulirkan kepada rumah tangga miskin di daerah Kabupaten Bogor akan berdampak pada kehidupan masyarakat itu sendiri. Sebagai penerima PKH, setiap RTSM pastilah memiliki karakteristik yang berbeda-beda, walaupun BPS telah memilih berdasarkan 14 indikator kemiskinan. Namun yang terjadi di lapangan adalah bahwa melalui 14 indikator yang digunakan dalam pemilihan RTSM penerima PKH belum mampu menggambarkan kebutuhan masing-masing RTSM. Temuan yang didapatkan adalah pada kelompok RTSM penerima memiliki perbedaan terkait aset atau kondisi rumah tangganya. Misalnya ada diantara mereka yang kepemilikan asetnya tinggi namun juga ada yang sedikit atau ada yang kondisi rumahnya baik dengan lantai keramik dan dinding tembok namun ada pula yang berdinding bilik, sehingga dirasakan perlu untuk mengklasifikasikan dimana posisi RTSM itu berdasarkan kategori yang lebih bervariasi, sederhana namun mampu melihat dimana posisi RTSM berada. Hal ini juga ditunjang dengan kondisi bahwa ada beberapa rumah tangga yang tidak masuk dalam penerima PKH namun secara kondisi fisik rumah lebih membutuhkan dibandingkan penerima PKH yang terdaftar sehingga dikhawatirkan terjadi ketidaktepatan sasaran. Disamping itu, jika melihat struktur organisasi PKH, banyak melibatkan beberapa aktor tingkat pusat hingga kecamatan, mulai dari Departemen Sosial, PT Pos, UPPKH, dan pendamping. Namun kelemahannya adalah tidak tercantum peran pemerintah desa dalam struktur tersebut, padahal menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005, pemerintah desa adalah penyelenggara urusan pemerintahan oleh pemerintah desa dan badan permusyawarahan desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan kata lain, pemerintah desa memiliki peran strategis dalam menentukan RTSM 2 Barus Petrus. 2010. 3 dari 100 Warga Kabupaten Bogor Hidup Sangat. http://www.bogorkita.com/pemerintahan/layanan-publik/774-3-dari-100-warga-kabupaten-bogor-hidup-sangatmiskin.html [diunduh 3 Maret 2011].

6 penerima PKH dikarenakan pemerintah desa merupakan institusi yang mengetahui asal usul dan kondisi masyarakatnya. Selain itu, pemerintah desa juga berperan dalam proses pelaksanaan dan pengawasan program. Berdasarkan hal tersebut maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimanan proses pemilihan Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) penerima PKH dan sejauhmana keterlibatan pemerintah desa dalam pemilihan RTSM tersebut? 2. Bagaimana bentuk alokasi dana oleh Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) penerima PKH? 3. Bagaimana upaya ibu penerima PKH meningkatkan kualitas kesehatan dan pendidikan keluarga? 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah: 1. Menganalisis proses pemilihan Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) penerima PKH dan mengetahui keterlibatan pemerintah desa dalam pemilihan RTSM tersebut. 2. Mengetahui alokasi penggunaan dana oleh Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) penerima PKH 3. Mengetahui upaya ibu penerima PKH meningkatkan kualitas kesehatan dan pendidikan keluarga. 1.4 Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat, khususnya bagi: 1. Peneliti dapat memperoleh pengalaman dalam menerapkan berbagai konsep dan teori berkenaan dengan konsep kebijakan publik, kemiskinan, kapasitas dan kualitas sumberdaya manusia (ibu). 2. Pemerintah dapat memperoleh evaluasi, rekomendasi, acuan, dan arahan terkait implementasi dan hasil dari kebijakan penanganan kemiskinan, khususnya Program Keluarga Harapan (PKH). 3. Kalangan akademis dapat memberikan kontribusi dan acuan dalam studi-studi implementasi kebijakan atau program pemerintah khususnya dalam menangani masalah kemiskinan.

7