Dampak Kebijakan Upah Minimum terhadap Tingkat Upah dan Penyerapan Tenaga Kerja di Daerah Perkotaan Indonesia

dokumen-dokumen yang mirip
Menyikapi keadaan yang tidak seimbang tersebut, Pemerintah melalui kebijakannya harus membantu pekerja/ buruh memperbaiki posisi tawarnya

VIII. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. Berdasarkan hasil dan pembahasan Bab V sampai dengan Bab VII,

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Menurut Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Pasal 1, tenaga kerja adalah

Profil Pekerjaan yang Layak INDONESIA

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih

BAB I PENDAHULUAN. lapangan atau peluang kerja serta rendahnya produktivitas, namun jauh lebih

I. PENDAHULUAN. menganggap pengangguran bukan masalah ketenagakerjaan yang serius

Perluasan Lapangan Kerja

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan ekonomi suatu negara akan mengalami kemajuan jika diiringi dengan

BAB 23 PERBAIKAN IKLIM KETENAGAKERJAAN

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

Menilai Pekerjaan Layak di Indonesia

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. bertujuan melindungi kondisi ekonomi dari para pekerja berupah rendah (Gramlich,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah penduduk yang sangat

BAB 22 PERBAIKAN IKLIM KETENAGAKERJAAN

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi diartikan juga sebagai peningkatan output masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. saat ini sudah mencapai kondisi yang cukup memprihatinkan. Jumlah penganggur

BAB I PENDAHULUAN. tersebut adalah masalah pengangguran (Sukirno,1985). Menurut Nanga

BAB I PENDAHULUAN. seiring dengan berlangsungnya proses demografis. Pada tahun 2004, di Jawa. 1,07 persen bila dibanding tahun 2003 (BPS, 2004).

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PADA AGUSTUS 2015 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 4,07 PERSEN

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.

ANALISIS HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. atau bahkan tercapainya full employment adalah kondisi ideal perekonomian yang

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT FEBRUARI 2014

BAB I PENDAHULUAN. terakhir. Pertumbuhan Indonesia hanya mencapai 5,8% pada tahun 2013 dan turun

Fokus Negara IMF. Fokus Negara IMF. Ekonomi Asia yang Dinamis Terus Memimpin Pertumbuhan Global

IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Gambaran Umum Inflasi di Pulau Jawa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Permasalahan ketenagakerjaan disadari bersifat kompleks karena

Menanggapi Akibat Globalisasi terhadap Kinerja Tenaga Kerja: Pengalaman dari Sektor Tekstil dan Garmen Indonesia

I. PENDAHULUAN. dalam penetapan tingkat upah. Kebijakan ini disebut dengan kebijakan upah

Potensi Kerentanan Ekonomi DKI Jakarta Menghadapi Krisis Keuangan Global 1

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era perdagangan bebas saat ini, telah terjadi perubahan secara

Keadaan Ketenagakerjaan Agustus 2017 Di Provinsi Sulawesi Barat

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai tujuan yang hendak dicapai. Pada dasarnya yang menjadi tujuan

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TIMUR, AGUSTUS 2016

6HUL'HEDW 3HPEDQJXQDQ Kasus Indonesia

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi suatu bangsa. Industrialisasi dapat diartikan sebagai suatu proses

BAB I PENDAHULUAN. fiskal maupun moneter. Pada skala mikro, rumah tangga/masyarakat misalnya,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

HUBUNGAN SUMBER DAYA MANUSIA TERHADAP TINGKAT PENDIDIKAN DAN PENGANGGURAN TERBUKA DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. kesempatan kerja sangatlah terbatas (Suratiyah dalam Irwan, 2006)

Standar Perburuhan Internasional yang mendukung kebebasan berserikat, dialog sosial tripartit, perundingan bersama dan SDG

BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. Penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Sulistiawati (2012).

ANALISIS KEBERADAAN TRADEOFF INFLASI DAN PENGANGGURAN (KURVA PHILLIPS) DI INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN. Analisis demografi memberikan sumbangan yang sangat besar pada. kebijakan kependudukan. Dinamika kependudukan terjadi karena adanya

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TIMUR, AGUSTUS 2013

BAB 1 PENDAHULUAN. berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, masih memiliki stuktur

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KESEMPATAN KERJA DI JAWA TENGAH PERIODE TAHUN

SURVEI PERSEPSI PASAR

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TIMUR, AGUSTUS 2015

BERITA RESMI STATISTIK

BAB I PENDAHULUAN. tersebut berdasarkan pada jenis kelamin tentunya terdiri atas laki-laki dan

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga infrastruktur lebih banyak

BERITA RESMI STATISTIK

DAFTAR ISI... HALAMAN DAFTAR TABEL... DAFTAR GRAFIK... DAFTAR BOKS... KATA PENGANTAR...

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan oleh program pembangunan nasional ( Propenas ) yakni di

BAB I PENDAHULUAN. banyak perusahaan yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI DKI JAKARTA AGUSTUS 2012

LAPORAN HASIL SURVEY PERLINDUNGAN MATERNITAS DAN HAK-HAK REPRODUKSI BURUH PEREMPUAN PADA 10 AFILIASI INDUSTRIALL DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Suatu negara yang melakukan kegiatan perekonomian biasanya ditujukan

Perantara. program. kesadaran upah memproduksi. Survei terhadap. di Indonesia, rumahan. dan. perusahaan, perantara yang. diketahui tentang.

SURVEI PERSEPSI PASAR. Triwulan II 2006

GAMBARAN UMUM PROVINSI DKI JAKARTA Keadaan Geografis dan Kependudukan

II. TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan yang terencana. Perencanaan wilayah adalah mengetahui dan

Laporan Akhir Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi Tahun Anggaran 2013

Pemanfaatan DATA Statistik Dalam Perencanaan Pembangunan Daerah

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI D.I. YOGYAKARTA PADA FEBRUARI 2015 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 4,07 PERSEN

Kerangka Analisis untuk Mengintegrasikan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dengan Kewajiban Pemenuhan Hak-hak Asasi Manusia untuk di Indonesia

I. PENDAHULUAN. rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga

KENAIKAN BBM DAN TEKANAN BAGI TENAGA KERJA INFORMAL (LINGKARAN SETAN KEMISKINAN)

KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN SELATAN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kebutuhan manusia selalu berkembang sejalan dengan tuntutan zaman, tidak

BAB I PENDAHULUAN. Pengangguran merupakan salah satu masalah utama yang selalu dihadapi

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BAB I PENDAHULUAN. beranjak dari suatu keadaan atau kondisi kehidupan yang lebih baik dalam rangka

BPS PROVINSI JAWA BARAT

ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN UPAH MINIMUM TERHADAP KEMISKINAN DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara berkembang

SURVEI PERSEPSI PASAR

BERITA RESMI STATISTIK

BAB 1 PENDAHULUAN. populasi dan pendapatan per kapita negara-negara anggota ASEAN. Dimana, Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. pertanian meliputi sub-sektor perkebunan, perikanan, dan perikanan.

BAB I PENDAHULUAN. ekonomis yang penting dari peningkatan jumlah penduduk adalah peningkatan dalam

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pajak memiliki peran yang sangat penting dalam mendukung. kemandirian keuangan suatu negara. Menurut Soemitro (1988) Dalam rangka

V. STRUKTUR PASAR TENAGA KERJA INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. (growth). Pembangunan ekonomi yang mengalami pertumbuhan yaitu apabila tingkat

PEREKONOMIAN DAERAH KOTA BATAM

KEADAAN KETENAGAKERJAAN KALIMANTAN SELATAN FEBRUARI 2011

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPRI

KEADAAN KETENAGAKERJAAN FEBRUARI 2016

III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

KEADAAN KETENAGAKERJAAN DI KABUPATEN NGADA AGUSTUS 2011 : TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 0,74 PERSEN

Transkripsi:

Ringkasan Eksekutif Laporan Penelitian Tim Peneliti SMERU Dampak Kebijakan Upah Minimum terhadap Tingkat Upah dan Penyerapan Tenaga Kerja di Daerah Perkotaan Indonesia Laporan dari Lembaga Penelitian SMERU, dengan dukungan dari USAID/PEG Oktober 2001 Temuan, pandangan dan interpretasi dalam laporan ini digali oleh masing-masing individu dan tidak berhubungan atau mewakili Lembaga Penelitian SMERU maupun lembaga-lembaga yang mendanai kegiatan dan pelaporan SMERU. Untuk informasi lebih lanjut, mohon hubungi kami di nomor telepon: 62-21- 336336; Faks: 62-21-330850; E-mail: smeru@smeru.or.id; Web: www.smeru.or.id

RINGKASAN EKSEKUTIF Pendahuluan Dalam dua tahun terakhir ini, Pemerintah Indonesia telah memberlakukan kenaikan tingkat upah minimum yang cukup besar. Misalnya, di wilayah Jabotabek (Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi), upah minimum riil (setelah diperhitungkan dengan tingkat inflasi) dinaikkan sebesar 24% pada tahun 2000 dan kemudian dinaikkan lagi antara 33% hingga 36% pada tahun 2001. Secara riil tingkat upah minimum yang berlaku saat ini sudah lebih tinggi daripada tingkat upah minimum tertinggi sebelum masa krisis yang dicapai pada tahun 1997. Kebijakan peningkatan upah minimum yang cukup besar ini dilaksanakan ketika Indonesia sedang berjuang keras untuk memulihkan perekonomiannya dari krisis ekonomi yang parah. Setelah terjadi kontraksi ekonomi besar-besaran sekitar 13,7% pada tahun 1998 dan laju pertumbuhan ekonomi kurang dari satu persen pada tahun 1999, perekonomian Indonesia mengalami pertumbuhan sekitar 5% pada tahun 2000. Berbagai pihak memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi pada tahun 2001 akan mencapai sekitar 3% hingga 3,5%. Dalam iklim pertumbuhan ekonomi yang rendah seperti ini, kenaikan upah minimum lebih lanjut memicu keprihatinan bahwa hal tersebut mungkin akan menghambat upaya pemulihan ekonomi, memperlambat pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang, dan mengurangi pertumbuhan penyerapan tenaga kerja di sektor industri moderen. Disamping itu, mulai bulan Januari 2001 Indonesia telah menerapkankan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Dengan adanya kebijakan ini, wewenang untuk menetapkan tingkat upah minimum dialihkan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah di tingkat propinsi, kabupaten, dan kota. Terdapat tanda-tanda awal bahwa pengalihan wewenang ini mungkin akan semakin meningkatkan kenaikan upah minimum di beberapa daerah. Selain kenaikan upah minimum yang cukup besar pada tahun 2001, frekuensi perubahan upah minimum juga telah meningkat selama setahun terakhir ini. Hal ini menimbulkan keprihatinan bahwa pemerintah daerah mungkin lebih mudah menyerah terhadap tekanan-tekanan agar memberlakukan pendekatan yang lebih populis dalam kebijakan sosial. Akibatnya, ada bahaya bahwa pertumbuhan 1

ekonomi jangka panjang mungkin akan dikorbankan demi kepentingan-kepentingan jangka pendek yang tidak berkesinambungan. Bersamaan dengan semakin meningkatnya kecenderungan pemerintah daerah untuk semakin memanfaatkan upah minimum sebagai alat kebijakan sosial, maka pertanyaan apakah kekakuan pasar tenaga kerja yang ditimbulkan akan merugikan atau menguntungkan kelompok miskin di Indonesia menjadi sangat relevan. Studi ini mencoba menjawab salah satu dimensi dari pertanyaan ini. Dalam studi ini dampak kebijakan upah minimum terhadap tingkat upah yang berlaku dan penyerapan tenaga kerja diuji melalui pendekatan ekonometrik dengan menggunakan data yang bersumber dari Survei Tenaga Kerja Nasional (Sakernas). Dalam beberapa aspek, studi ini berbeda dengan kajian-kajian terdahulu mengenai dampak upah minimum terhadap pasar tenaga kerja di Indonesia. Pertama, baik secara teoritis maupun praktek, peningkatan upah minimum mempunyai pengaruh yang tidak sama terhadap semua jenis pekerja. Pengaruh negatif terutama terjadi pada tenaga kerja dengan tingkat upah yang rendah dan pada mereka yang rentan terhadap perubahan dalam pasar tenaga kerja, misalnya pekerja perempuan, pekerja muda usia, pekerja dengan tingkat pendidikan rendah, dan pekerja kasar. Oleh karena itu, dalam studi ini dilakukan pengujian mengenai dampak upah minimum terhadap tingkat upah dan penyerapan berbagai jenis pekerja. Kedua, survei ini diperkuat dengan survei kualitatif terhadap 200 pekerja di lebih dari 40 perusahaan di wilayah Jabotabek dan Bandung. Survei ini dilakukan untuk mengidentifikasi berbagai karakteristik perusahaan yang mempengaruhi penerapan upah minimum di tingkat perusahaan, dan juga berbagai karakteristik pekerja yang mempengaruhi besarnya upah yang mereka terima. Temuan-temuan dari survei kualitatif ini mendukung hasil analisis statistik mengenai dampak upah minimum dari data Sakernas. 2

Hasil Analisis Statistik Hasil dari studi ini menunjukkan bahwa upah minimum telah terus meningkat selama sebagian besar dari periode tahun 1990an, dan penerapan peraturan mengenai upah minimum di tingkat perusahaan juga telah terus semakin meningkat. Akibat dari hal ini upah minimum telah mengubah seluruh distribusi upah pekerja sektor formal di perkotaan. Pada tahun 1988, setahun sebelum peraturan upah minimum mulai diperbaiki, upah minimum hampir tidak memiliki dampak terhadap distribusi upah pekerja. Namun hal ini secara berangsur-angsur telah berubah. Pada tahun 1992 dampak upah minimum terhadap distribusi upah pekerja telah mulai tampak jelas. Hal ini ditunjukkan dengan mulai adanya tonjolan di dan sekitar tingkat upah minimum dalam distribusi upah pekerja. Pada tahun 1996, modus dari distribusi upah pekerja hanya sedikit lebih tinggi daripada tingkat upah minimum. Akhirnya, pada tahun 1999 dan 2000 upah minimum telah menjadi tingkat upah yang mengikat bagi sebagian besar pekerja. Analisis statistik menunjukkan bahwa kenaikan upah minimum telah mendongkrak upah pekerja kasar. Adanya hubungan yang positif antara tingkat upah minimum dan tingkat upah rata-rata juga ditemukan di berbagai kelompok pekerja lainnya, misalnya pekerja perempuan, muda usia, berpendidikan rendah, dan pekerja kerah putih (whitecollar). Namun hubungan positif tersebut secara statistik tidak nyata. Hal ini tidak berarti bahwa upah minimum tidak berpengaruh terhadap upah pekerja secara individu, tetapi pengaruh tersebut berbeda-beda antar pekerja. Upah beberapa pekerja terangkat oleh adanya upah minimum, sementara upah pekerja lainnya malah tertekan, sehingga pengaruhnya menjadi tidak nyata pada upah rata-rata keseluruhan pekerja. Berbeda dengan dampak terhadap upah, hasil analisis statistik menunjukkan bahwa kenaikan upah minimum berdampak negatif terhadap penyerapan tenaga kerja di sektor formal perkotaan, dengan perkecualian bagi pekerja kerah putih. Secara total, perkiraan elastisitas penyerapan tenaga kerja terhadap upah minimum adalah 0,112 dan nyata secara statistik. Angka ini menunjukkan bahwa untuk setiap 10% kenaikan tingkat upah minimum riil terdapat lebih dari satu persen pengurangan penyerapan 3

tenaga kerja total. Ini dengan asumsi bahwa faktor-faktor lain yang mempengaruhi penyerapan tenaga kerja, misalnya pertumbuhan ekonomi dan jumlah angkatan kerja, tidak berubah. Temuan yang lebih penting lagi dari studi ini adalah bahwa dampak negatif dari upah minimum sangat dirasakan oleh kelompok yang mempunyai kerentanan tinggi terhadap perubahan dalam kondisi pasar tenaga kerja, seperti pekerja perempuan, pekerja muda usia, dan pekerja berpendidikan rendah. Perlu diingat bahwa mereka ini merupakan mayoritas dari pekerja di Indonesia, baik di sektor formal maupun sektor informal. Bagi pekerja perempuan dan muda usia, elastisitas penyerapan tenaga kerja terhadap upah minimum lebih besar dari 0,3. Implikasinya adalah bahwa setiap 10% kenaikan upah minimum riil akan mengakibatkan penurunan penyerapan tenaga kerja perempuan dan muda usia dengan lebih dari 3%. Sementara itu, elastisitas penyerapan tenaga kerja bagi mereka yang berpendidikan rendah juga relatif cukup besar dengan angka 0,2. Artinya, untuk setiap 10% peningkatan upah minimum maka penyerapan tenaga kerja berpendidikan rendah akan turun sekitar 2%. Sebaliknya, pekerja kerah putih adalah satu-satunya kategori pekerja yang mendapat keuntungan dari upah minimum dalam hal penyerapan tenaga kerja. Elastisitas penyerapan tenaga kerja pekerja kerah putih terhadap upah minimum adalah 1,0 dan nyata secara statistik. Ini berarti bahwa untuk setiap 10% peningkatan upah minimum riil maka penyerapan tenaga kerja pekerja kerah putih akan meningkat sebesar 10% pula. Hal ini menunjukkan adanya efek substitusi dari upah minimum terhadap penyerapan tenaga kerja dari berbagai jenis pekerja. Dengan adanya kenaikan tingkat upah minimum maka perusahaan akan mengurangi sebagian tenaga kerja untuk digantikan dengan pekerja kerah putih. Hal ini juga menunjukkan bahwa setelah adanya kenaikan upah minimum perusahaan mengubah proses produksi yang padat tenaga kerja dengan proses produksi yang lebih padat modal dan lebih menuntut keterampilan. Karena adanya saling keterkaitan antara modal dan keterampilan, maka proporsi pekerja kerah putih yang lebih tinggi menandai adanya pemanfaatan teknologi yang lebih padat modal. 4

Lebih lanjut lagi, terdapat bukti bahwa penerapan peraturan upah minimum di tingkat perusahaan telah terus meningkat sejak pertengahan tahun 1990an. Hasil analisis ekonometrik juga menunjukkan bahwa meningkatnya penerapan peraturan upah minimum cenderung memperkuat efek positif upah minimum terhadap upah rata-rata dan juga memperbesar efek negatif terhadap penyerapan tenaga kerja. Hasil Survei terhadap Pekerja dan Perusahaan Temuan dari survei kualitatif mendukung temuan-temuan dari hasil analisis ekonometrik. Hasil survey menunjukkan bahwa karakteristik-karakteristik perusahaan sangat mempengaruhi penerapan peraturan upah minimum di tingkat perusahaan. Secara umum, perusahaan-perusahaan di sektor padat modal membayar upah lebih tinggi, dan karena itu menunjukkan penerapan peraturan upah minimum yang lebih tinggi daripada perusahaan-perusahaan di sektor padat karya. Ukuran perusahaan juga merupakan faktor penentu dalam penerapan peraturan upah minimum. Umumnya perusahaan yang lebih besar akan lebih mampu membayar upah lebih tinggi, dan karena itu penerapan peraturan upah minimumnya lebih baik daripada perusahaanperusahaan kecil. Perusahaan-perusahaan modal asing juga umumnya membayar upah lebih tinggi dan menerapkan peraturan upah minimum secara lebih efektif dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan domestik. Sementara itu, perusahaanperusahaan yang menjual produknya ke pasar ekspor rata-rata membayar upah lebih tinggi dan menerapkan peraturan upah minimum lebih baik daripada perusahaanperusahaan yang hanya mengincar pasaran domestik. Namun, temuan-temuan mengenai perusahaan-perusahaan padat modal, perusahaan asing, dan eksportir ini ternyata lebih diakibatkan karena perusahaan-perusahaan tersebut masuk dalam kategori sampel perusahaan skala besar. Analisis ekonometrik menunjukkan bahwa skala perusahaan adalah penentu utama kemampuan perusahaan dalam menerapkan peraturan upah minimum. Pekerja di perusahaan skala menengah memiliki 21% kemungkinan lebih tinggi untuk memperoleh upah di atas upah minimum daripada pekerja di perusahaan skala kecil. Demikian pula, pekerja di 5

perusahaan skala besar mempunyai 44% kemungkinan lebih tinggi untuk menerima upah di atas upah minimum daripada pekerja di perusahaan skala kecil. Disamping itu, karakteristik-karakteristik pekerja juga mempengaruhi penerapan peraturan upah minimum oleh perusahaan. Pekerja pria rata-rata digaji lebih tinggi dari upah minimum dan hanya sedikit dari pekerja pria yang menerima upah di bawah upah minimum dibanding dengan pekerja perempuan. Hubungan U-terbalik yang sering ditemui antara usia dan upah juga tampak jelas dalam studi ini. Upah mulamula meningkat seiring dengan meningkatnya umur, tetapi kemudian menurun kembali pada tingkat umur yang semakin tua. Pendidikan juga merupakan faktor penentu yang penting dalam penetapan upah. Mereka yang hanya berpendidikan tidak lebih tinggi dari sekolah lanjutan tingkat pertama rata-rata dibayar sekitar upah minimum. Kemudian, ditemukan adanya hubungan yang positif antara pengalaman kerja dengan tingkat upah yang diterima. Akan tetapi, analisis ekonometrik mengidentifikasi jender sebagai variabel utama yang mempengaruhi apakah seorang pekerja dibayar di atas upah minimum atau tidak. Pekerja perempuan mempunyai 19% kemungkinan lebih rendah untuk dibayar di atas upah minimum dibanding dengan pekerja laki-laki. Dengan demikian, baik karakteristik-karakteristik perusahaan maupun pekerja sama-sama mempengaruhi kemungkinan apakah seorang pekerja dibayar sesuai dengan atau lebih rendah daripada upah minimum. Akhirnya, survei kualitatif menemukan bahwa jenis kontrak kerja yang mencerminkan hubungan kerja antara perusahaan dan pekerjanya juga mempunyai konsekuensi penting terhadap kesejahteraan pekerja. Pekerja harian lepas menerima upah rata-rata sekitar upah minimum dan sekitar 44% dari pekerja dalam kategori ini dibayar lebih rendah daripada upah minimum. Sebaliknya, pekerja bulanan tetap umumnya menerima upah lebih tinggi daripada kategori pekerja-pekerja lainnya. Menurut responden dari perusahaan, cara penetapan kebijakan upah minimum akhirakhir ini telah menghambat perkembangan sejumlah perusahaan, sehingga menghambat peningkatan penyerapan tenaga kerja di sektor moderen. Kebijakan upah minimum juga telah menjadi salah satu penyebab utama perselisihan perburuhan. 6

Sebelum krisis, upah minimum ditetapkan sekali setiap tahun. Namun baru-baru ini di beberapa wilayah tingkat upah minimum telah diubah lebih dari satu kali dalam setahun. Akibatnya, hal ini menimbulkan masalah bagi perusahaan dalam melakukan perencanaan dan memperkirakan aliran dana. Disamping itu, hal ini juga menimbulkan kesulitan bagi perusahaan-perusahaan yang sudah menandatangani kontrak dengan pembeli. Perhitungan biaya dalam kontrak tidak memasukkan kenaikan tingkat upah yang tidak diperkirakan sebelumnya, sehingga menyebabkan kerugian bagi perusahaan. Upah minimum tampaknya juga telah mengurangi insentif bagi pekerja untuk meningkatkan produktivitas. Sejak akhir tahun 1980an tingkat upah minimum sudah mengalami kenaikan dengan cepat sehingga telah mencapai satu titik dimana upah minimum menjadi tingkat upah yang berlaku bagi sebagian besar pekerja. Hal ini terutama terjadi di perusahaan-perusahaan skala menengah dan kecil. Semua pekerja tidak terampil dan setengah terampil di perusahaan-perusahaan ini kini menerima upah yang kurang lebih sama besarnya, yaitu upah minimum. Akibatnya, hal ini telah membatasi kemampuan perusahaan untuk menggunakan upah sebagai sistem insentif untuk meningkatkan produktivitas pekerja. Juga terdapat kekhawatiran bahwa hal ini akan menimbulkan disinsentif bagi pekerja yang lebih produktif. Akhirnya, hal ini dapat menyebabkan penurunan produktivitas secara keseluruhan di perusahaanperusahaan tersebut. Dampak upah minimum terhadap perusahaan berbeda antar sektor. Dampak yang paling besar terjadi pada sektor-sektor yang padat karya. Namun, perusahaanperusahaan di sektor ini tidak mempunyai banyak pilihan selain mentaati peraturan upah minimum, sekalipun sesungguhnya mereka kesulitan untuk membayar upah pekerja pada tingkat itu. Tetapi, biaya bila tidak mematuhi peraturan diperkirakan akan lebih besar karena kemungkinan akan terjadinya perselisihan perburuhan. Secara teoritis, bagi perusahaan yang sedang menghadapi kesulitan untuk menerapkan peraturan upah minimum memang peraturan memberi kesempatan untuk mengajukan permohonan penundaan sementara. Namun, persyaratan untuk mendapatkan ijin penundaan ini sulit dipenuhi dan biayanya sangat mahal, sperti harus adanya audit oleh akuntan publik. Disamping itu, penundaan cenderung mengundang protes dan 7

pemogokan pekerja, sehingga akan mengganggu kegiatan produksi dan mengakibatkan keterlambatan pengiriman produk kepada pemesan. Kombinasi antara hubungan perburuhan yang penuh masalah dan semakin banyaknya peraturan ketenagakerjaan yang cenderung memberatkan perusahaan akhir-akhir ini telah menjadi keprihatinan banyak perusahaan. Perusahaan tidak hanya harus menerapkan peraturan mengenai upah minimum, tetapi mereka juga menghadapi kesulitan untuk mempertahankan pekerja mereka, terutama karena adanya peraturan mengenai uang pesangon yang mendorong pekerja untuk keluar dari pekerjaannya hanya karena ada perselisihan kecil dengan pihak manajemen. Untuk mengatasi masalah ini, beberapa perusahaan telah memilih untuk mengubah sistem kepegawaian mereka, yaitu dengan cara lebih banyak menggunakan pekerja borongan. Kesimpulan Sebagai penutup, hasil studi ini menunjukkan bahwa upah minimum telah menguntungkan sebagian pekerja tetapi merugikan sebagian lainnya. Para pekerja yang dapat mempertahankan pekerjaannya di pabrik-pabrik jelas mendapat keuntungan dari peningkatan upah minimum. Pekerja kerah putih jelas merasakan manfaat besar dari penegakan kebijakan upah minimum. Namun, mereka yang kehilangan pekerjaan sebagai akibat meningkatnya upah minimum adalah mereka yang dirugikan oleh kebijakan upah minimum. Mereka ini khususnya terdiri dari para pekerja yang rentan terhadap perubahan kondisi pasar tenaga kerja, seperti pekerja perempuan, muda usia, dan mereka yang berpendidikan rendah. Dalam iklim pertumbuhan ekonomi tinggi, peningkatan upah minimum tidak terlalu menjadi persoalan karena pertumbuhan itu sendiri akan mendorong peningkatan upah, sehingga tingkat upah yang berlaku sama dengan atau di atas upah minimum. Pertumbuhan ekonomi juga akan mendorong penciptaan kesempatan kerja yang lebih besar daripada yang hilang karena kebijakan upah minimum. Namun, dalam iklim pertumbuhan ekonomi rendah seperti yang dialami Indonesia pada tahun 2000-2001 ini, kenaikan tinggi pada upah minimum kemungkinan besar akan mempunyai efek merugikan bagi para pekerja, khususnya mereka yang rentan terhadap perubahan- 8

perubahan dalam kondisi pasar tenaga kerja. Kebijakan upah minimum yang dilaksanakan dengan ketat, yang mendorong tingkat upah jauh di atas produktivitas kelompok rentan, tentu akan membawa efek yang merugikan bagi kelompok ini. Hasil dari survei kualitatif juga menunjukkan bahwa peningkatan yang cukup besar pada upah minimum akan merugikan perusahaan-perusahaan kecil dan menengah, karena mereka adalah kelompok perusahaan yang paling tidak mampu menghadapi keadaan jika terjadi peningkatan struktur biaya perusahaan. Temuan-temuan dari studi ini mempunyai implikasi terhadap program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah. Kebijakan upah mimimum yang dilaksanakan dengan ketat akan membantu para pekerja yang lebih produktif yang dapat mempertahankan pekerjaannya di sektor modern. Namun kecil kemungkinannya bahwa para pekerja ini berada dalam kelompok yang hidup di bawah garis kemiskinan. Berbagai hasil studi menunjukkan bahwa sebagian besar kelompok miskin adalah mereka yang bekerja di sektor informal perkotaan dan di perdesaan. Bila kebijakan upah minimum mengurangi tingkat penyerapan tenaga kerja di sektor modern hingga di bawah pertumbuhan jumlah angkatan kerja, maka pekerja yang tidak mempunyai keterampilan mungkin akan terpaksa memasuki pekerjaan-pekerjaan yang lebih rendah tingkatnya di sektor informal. Hal ini menunjukkan bahwa dampak upah minimum terhadap ketenagakerjaan di sektor modern hanya merupakan sebagian dari keseluruhan cerita lengkapnya. Dampak upah minimum terhadap kesejahteraan pekerja di sektor informal, yang merupakan sebagian besar dari angkatan kerja di Indonesia, mungkin sama pentingnya atau bahkan lebih penting lagi. Salah satu bidang yang penting untuk dikaji di waktu yang akan datang adalah bagaimana dampak pengurangan kesempatan kerja di sektor modern dari upah minimum berpengaruh terhadap penghasilan riil dari mereka yang bekerja di sektor informal. 9