KONSERVASI EBONI (Diospyros celebica Bakh.) Sunaryo

dokumen-dokumen yang mirip
STRATEGI PENYELAMATAN EBONI (Diospyros celebica Bakh.) DARI ANCAMAN KEPUNAHAN. Edi Kurniawan

PERTUMBUHAN ANAKAN ALAM EBONI (Diospyros celebica Bakh.) DARI TIGA POPULASI DI PERSEMAIAN. C. Andriyani Prasetyawati *

PENGEMBANGAN DAN PENGELOLAAN EBONI DALAM SISTEM DAERAH PENYANGGA. M. Bismarck

EKSPLORASI ANAKAN ALAM EBONI (Diospyros celebica Bakh.) DI TIGA KABUPATEN DI SULAWESI SELATAN. C. Andriyani Prasetyawati dan Edi Kurniawan

Asrianny, Arghatama Djuan. Laboratorium Konservasi Biologi dan Ekowisata Unhas. Abstrak

STATUS DAN STRATEGIPEMULIAAN POHON EBONI (Diospyros celebica Bakh.)

PENAMPILAN TANAMAN KONSERVASIEX-SITU EBONI (Diospyros celebica Bakh.) Budi Santoso dan Chairil Anwar Balai Penelitian Kehutanan, Ujung Pandang

PEMBUDIDAYAAN POHON EBONI (Diospyros celebica Bakh.)

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

EFEKTWITAS PUPUK ORGANIK DAN PUPUK N PADA PERTUMBUHAN BIBIT EBONI (Diospyros celebica Bakh.)

BAB I PENDAHULUAN. Kayu jati (Tectona grandis L.f.) merupakan salah satu jenis kayu komersial

TEKNIK PENGADAAN BIBIT ULIN DENGAN PEMOTONGAN BIJI BERULANG SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN KEDIKLATAN

Oleh: Merryana Kiding Allo

I. PENDAHULUAN. Pertanian dan sektor-sektor yang terkait dengan sektor agribisnis

KAJIAN KONSERVASI EBONI {Diospyros celebica Bakh.) Samedi dan Ilmi Kurniawati

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Adanya ketidakseimbangan antara jumlah kebutuhan dengan kemampuan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Volume Pohon pada Jarak Tanam 3 m x 3 m. Bardasarkan penelitian yang telah dilaksanakan, Pada sampel populasi untuk

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG

UJI PROVENANSI EBONI (Diospyros celebica Bakh) FASE ANAKAN

BAB I PENDAHULUAN. dalam Suginingsih (2008), hutan adalah asosiasi tumbuhan dimana pohonpohon

Kata kunci : Umur pertumbuhan, Dipterocarpaceae, mersawa, Anisoptera costata Korth

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Lokasi Kajian Metode Penelitian Lanjutan Metode Penelitian

USAHA KEBUN KAYU DENGAN JENIS POHON CEPAT TUMBUH

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan

PEDOMAN PENGUNDUHAN BENIH PADA PANEN RAYA DIPTEROKARPA 2010

II. TINJAUAN PUSTAKA. pada tumbuhan lain yang lebih besar dan tinggi untuk mendapatkan cahaya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

UPAYA MEMPERLUAS KAWASAN EKONOMIS CENDANA DINUSA TENGGARA TIMUR

PENDAHULUAN. Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Perkebunan memiliki peran yang penting dalam pembangunan nasional,

HASIL DAN PEMBAHASAN

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM

I. PENDAHULUAN. Meksiko, merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

EFEK NAUNGAN DAN ASAL ANAKAN TERHADAP PERTUMBUHAN EBONI (Diospyros celebica Bakh.) Wirianto Rahman dan Muh. Nurdin Abdullah

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004),

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH. Oleh : PT.

II. TINJAUAN PUSTAKA. fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam untuk

PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk

PERMUDAAN ALAM dan PERMUDAAN BUATAN

Makalah Penunjang pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian : Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Padang, 20 September

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang

2 METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian. Alat dan Bahan. Rancangan Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. jati memiliki kelas awet dan kelas kuat yang tinggi seperti pendapat Sumarna

TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit

TEKNOLOGI SAMBUNG PUCUK PADA DUKU KUMPEH

TINJAUAN PUSTAKA. A. Pembibitan Jati. tinggi. Pohon besar, berbatang lurus, dapat tumbuh mencapai tinggi m.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pengelolaan hutan alam produksi, produktivitas hutan menjadi satu

PEMBUATAN BAHAN TANAM UNGGUL KAKAO HIBRIDA F1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

Penanganan bibit jati (Tectona grandis Linn. f.) dengan perbanyakan stek pucuk

TEKNIK BUDIDAYA ROTAN PENGHASIL JERNANG

BAB I PENDAHULUAN. dkk, 1999). Salah satu spesies endemik adalah Santalum album Linn.,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Baharinawati W.Hastanti 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN BAHAN DAN METODE

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang menjadi sentra penanaman jati adalah puau Jawa (Sumarna, 2007).

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ekologi Padang Alang-alang

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.10/Menhut-II/2007 TENTANG PERBENIHAN TANAMAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

II. METODOLOGI. A. Metode survei

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Tanaman Tebu Saccharum officinarum

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Propinsi Sumatera Utara, dan secara geografis terletak antara 98 o o 30 Bujur

Penyediaan Bibit untuk Budi Daya Tanaman Garut (Maranta arundinacea L.)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. negara kepulauan yang terdiri dari tujuh belas ribu pulau. Pulau yang satu dengan

Silvikultur intensif jenis rotan penghasil jernang (bibit, pola tanam, pemeliharaan)

PENTINGNYA PLASMA NUTFAH DAN UPAYA PELESTARIANNYA Oleh : DIAN INDRA SARI, S.P. (Pengawas Benih Tanaman Ahli Pertama BBPPTP Surabaya)

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas,

Cara Menanam Tomat Dalam Polybag

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

Peluang Usaha Budidaya Cabai?

Suatu unit dalam. embryo sac. (kantong embrio) yang berkembang setelah terjadi pembuahan. Terdiri dari : ~ Kulit biji ~ Cadangan makanan dan ~ Embrio

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pertumbuhan Bibit Cempaka (Magnolia elegans (Blume.) H.Keng) pada Tempat Sapih Politub dan Polibag 1

Teknologi rehabilitasi hutan rawa gambut terdegradasi

Sistem Tebang Parsial & Tebang Habis

BAGIAN KELIMA PEDOMAN PEMBUATAN TANAMAN HUTAN RAKYAT GERAKAN NASIONAL REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN BAB I PENDAHULUAN

Jenis prioritas Mendukung Keunggulan lokal/daerah

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Subhan dkk. (2005) menyatakan bahwa pertumbuhan vegetatif dan generatif pada

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Bibit Sehat... Kebun Kopi Selamat

BUDIDAYA SUKUN 1. Benih

HASIL DAN PEMBAHASAN

Transkripsi:

Berita Biologi, Volume 6, Nomor 2, Agustus 2002 KONSERVASI EBONI (Diospyros celebica Bakh.) Sunaryo Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam ABSTRAK Kelimpahan jenis pohon eboni di kawasan hutan alam menurun sebagai akibat eksploitasi dan pemanfaatan secara komersial. Kayu eboni dimanfaatkan masyarakat sebagai bahan baku kerajinan tangan, mebel dan bahan bangunan sebagai mata pencaharian tambahan. Untuk mencegah penurunan kelimpahan yang dapat mengarah pada kepunahan jenis tanpa menghilangkan mata pencaharian masyarakat, perlu dilakukan suatu cara pemanfaatan yang berkelanjutan dari jenis-jenis eboni tersebut seperti pembangunan hutan rakyat dan hutan kemasyarakatan. Diusulkan suatu cara pengelolaan yang berkelanjutan baik dengan cara pelestanan in-situ, ex-situ, dan dengan teknik budidayanya. Diharapkan melalui pengembangan hutan tanaman, eboni dapat terus dipanen tanpa penurunan populasi di hutan alam. Kata Kunci: Eboni (Diospyros celebica Bakh.,), pelestarian in-situ dan ex-situ. PENDAHULUAN Indonesia memiliki kekayaan beraneka-ragam tipe ekosistem, jenis flora, fauna dan jasad renik yang terkandung di dalamnya sebagai sumberdaya alam yang sangat potensial dalam menunjang pembangunan. Aneka flora yang tumbuh di bumi Indonesia diperkirakan lebih kurang 100-150 suku tumbuhan hutan yang meliputi 25-30 ribu jenis. Dari jumlah ini, separuhnya mempunyai potensi yang dapat diman-faatkan dalam bentuk kayu dan buah-buahan (Meijer, 1974), termasuk jenis-jenis eboni. Ada sekitar 90-100 jenis pohon eboni, tetapi yang menghasilkan kayu teras hanya beberapa, antara lain: Diospyros celebica Bakh., D. ebenum Koen., D. ferrea Bakh., D. lolin Bakh., dan D. rumpi Bakh. Eboni yang paling terkenal adalah D. celebica karena terasnya bergaris cokelat dan D. rumpii dengan warna teras hitam dan tidak bergaris. Stok pohon D. celebica (eboni) terdapat di Sulawesi Utara (20%), Sulawesi Tengah (65%) dan Sulawesi Selatan (15%). Diospyros rumpii terdapat di Sulawesi dan Maluku. Kuantitas teras eboni tampak berbeda berdasarkan lokasi. Teras kayu eboni yang berwarna hitam, mengkilat, awet, halus dan bernilai tinggi untuk bahan ukiran, hiasan dan mebel mempunyai nilai ekonomi tinggi, oleh karena itu harga kayu eboni sangat mahal. Dari sekian banyak jenis eboni, jenis Diospyros celebica Bakh. yang hanya terdapat secara alami di Sulawesi termasuk jenis yang sangat disukai orang. Pada tahun 1967 harga kayu eboni setiap ton sekitar 20 dolar AS, dan 20 tahun kemudian, harga satu meter kubik atau sekitar 1,2 ton meningkat menjadi 2.000 dolar AS (Kuhon, et al, 1987). Dalam perkembangannya, sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan ekspor non migas, menurut harga dasar ekspor yang dikeluarkan oleh Departemen Perdagangan tanggal 20 Mi 1987, harga kayu eboni mencapai lebih dari tiga kali harga kayu jati (Djamil, 1987 dalam Hendromono, 1995). Pemanfaatan kayu eboni secara umum sebagai bahan mebel, patung, ukiran hiasan dinding, alat musik, kipas, kayu lapis mewah atau bahan bangunan telah berlangsung lama di Indonesia. Selain itu masyarakat desa hutan sudah lama mengembangkan berbagai macam kerajinan dari kayu eboni, sebagai mata pencaharian tambahan. Dengan tingginya nilai tersebut merangsang pengusaha untuk mengeksploitasi eboni hutan alam secara besar-besaran yang menyebabkan spesies ini semakin mengarah ke kepunahan {endangered). Ditinjau dari konservasi, pencarian eboni jauh ke tengah hutan dapat mengganggu keamanan wilayah hutan tersebut. Untuk jenis-jenis eboni itu 239

Sunaryo - Konservasi Eboni sendiri, pengambilan terus menerus menurunkan populasi yang akan berdampak pada kelangkaan jenisnya. Keanekaragaman eboni perlu dilestarikan sebagai sumber genetika bagi pengembangannya melalui usaha konservasi in-situ, ex-situ, budidaya serta usaha-usaha ke arah penggunaan yang berkelanjutan. Dengan adanya pembukaan hutan untuk pembangunan konsesi hutan, perladangan berpindah dan juga pengambilan berbagai jenis kayu di hutan alam mengakibatkan merosotnya populasi jenis ini di alam. Untuk mempertahankan keberadaan jenis kayu eboni (D. celebica Bakh.) maka perlu upaya konservasi di habitatnya atau konservasi in-situ. Di samping itu, konservasi jenis eboni perlu dilakukan secara ex-situ yaitu melalui kegiatan penanaman di kebun koleksi, kebun botani atau kebun percobaan. Konservasi eboni akan berhasil bila budidaya eboni dapat dikembangkan secara baik oleh semua pihak yang berkepentingan. USAHA MENUNJANG KONSERVASI EBONI (D. celebica Bakh.) Eksplorasi Jenis Eboni Untuk menunjang data ilmiah mengenai jenis eboni, pakar botani telah melakukan serangkaian eksplorasi dan pengumpulan contoh tumbuhan. Sekitar 84 jenis spesimen herbarium eboni dengan berbagai informasi ekologinya telah terkumpul. Eboni tumbuh dari 0-600 m dpi, kebanyakan sampai 400 m. Eboni yang berada di ketinggian 500-600 m, terasnya kurang baik. Di Mamuju (Sulawesi Selatan), pohon eboni ditemukan di lereng terjal berbatu dengan kelerengan 60%. Di Sulawesi Utara pohon eboni tumbuh di tanah berbatu, tanah Iiat dan tanah pasir. Penyebaran pohon eboni tidak merata, kadang-kadang berkelompok dalam jumlah besar, kadang-kadang berkelompok dalam jumlah kecil dan ada pula yang soliter. Pohon eboni tumbuh lurus, tinggi mencapai 40 m batang bebas cabang 10-21 m, dengan garis tengah batangnya dapat mencapai 100 cm (Djiun, 1957; Soerianegara, 1967). Pohon eboni mudah dikenal di dalam hutan karena kulit luarnya yang berwarna hitam seperti arang serta daunnya panjang dengan bagian bawah berbulu. Menurut hasil survai, komposisi eboni dalam tegakan hutan eboni hanya sekitar 10%. Jenis pohon lain yang terdapat pada hutan eboni adalah Koordersiodendron spp., Elmerillia ovalis, Diospyros pilosanthera, Eugenia spp., Artocarpus spp., Canarium asperum, Diospyros hebecarpa, Pometia pinnata, Eucalyptus deglupta, Homalium sp., Palaquium obtusifolium, Gnetum spp., Ormosia sp. dan Madhuca sp. Penelitian Ekologi Eboni Suatu jenis eboni pada umumnya tidak bisa hidup sendiri. Berbagai jenis eboni untuk dapat berkembang biak dengan baik memerlukan suatu lingkungan tertentu. Jenis tersebut memerlukan kondisi tertentu untuk tempat tumbuhnya, ketinggian tempat, cahaya dan kelembaban (Seran et al., 1988). Kerapatan pohon eboni antara 1 sampai 6 batang per ha dengan volume kayu teras rata-rata 2 m 3 per ha. Batang dengan kayu teras yang berkualitas baik terjadi setelah diameter mencapai 40 cm ke atas. Inventarisasi permudaan eboni di Tabalu dan area kerja HPH Sinar Kaili (Sulawesi Tengah) di tahun 1974 menunjukkan bahwa pohon eboni dengan diameter >50 cm sudah jarang karena habis dipanen, tapi pohon pada tingkat pancang masih sering ditemukan. Permudaan semai eboni masih ditemukan dalam jarak 50 sampai 100 m dalam jalan rintis. Semai berkembang di bawah naungan kanopi, tapi lebih menyukai kondisi rumpang kecil. Tampaknya eboni termasuk jenis rumpang, bukan jenis naungan seperti ulin. Permudaan eboni juga keliha-tannya tidak mampu tumbuh soliter. Bila sendirian, pucuknya meranggas atau batangnya mati, lalu tumbuh tunas leher (Sagala, 1994). Jumlah semai di hutan primer setiap hektar 4.850 batang, pada kondisi ini eboni hanya terdapat 90 batang dengan penyebaran 5%. Permudaan tingkat pancang untuk jenis eboni sangat kurarig, yaitu satu anakan per hektar dengan penyebaran 1%. 240

Berita Biologi, Volume 6, Nomor 2. Agustus 2002 Pada hutan bekas tebangan, jumlah semai setiap hektar 6.480 batang, tetapi jenis eboni hanya berjumlah 10 semai dengan penyebaran 1%. Teknik Konservasi ex-situ Pada umumnya benih eboni memakan waktu lebih lama untuk berkecambah. Ditinjau dari segi persen tumbuh kecambah dan proses perkecambahannya, perendaman benih eboni dengan air biasa lebih menguntungkan daripada tanpa perendaman. Di sini ada kecenderungan makin besar ukuran benih, kemampuan benih untuk berkecambah makin tinggi dan pertumbuhan tinggi pada awal semainya makin cepat. Sedangkan pertumbuhan dan mutu bibit eboni diperlukan medium pertumbuhan yang sesuai dan pemeliharaan bibit yang baik di persemaian. Untuk penelitian eboni yang menyangkut penanaman, pemeliharaan, perlindungan, pemanenan kayu eboni dan teknologi pasca panen dan lainnya telah dibuat suatu pedoman atau bukupintar (Badan Litbang Kehutanan, 1994). Dalam rangka pengembangan budidaya anakan alam eboni dengan teknik silvikultur karena tanpa penerapan teknik penyiapan dan bibit yang berkualitas baik maka keberhasilan penanaman tidak dapat diharapkan. Oleh karena perlu pemberian naungan dan pupuk organik atau anorganik khususnya pada tanaman dalam fase anakan. Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa dalam pembuatan persemaian eboni sebaiknya digunakan naungan dengan intensitas 100% dengan bibit mempunyai 5-6 helai daun. Kemudian penggunaan pupuk dengan kenaikan taraf dosis yang lebih besar dapat mempercepat peningkatan pertumbuhan bibit eboni di persemaian (Seran dan Yusri, 1996). Dari percobaan penanaman di Kebun Percobaan Cikampek, ternyata pohon eboni mulai berbunga dan berbuah pada umur 5-7 tahun dan berbuah setiap tahun. Musim berbunga pada umumnya jatuh pada bulan Maret-Mei dan buah masak pada bulan September-November (Soerianegara, 1967). Penanaman eboni dapat mengunakan bibit dalam kantong atau anakan permudaan alam yang telah dipelihara di persemian. Pengumpulan buah sebaiknya dilakukan dengan memanjat pohon dan memilih buah yang masak, yaitu yang berwarna cokelat dengan bintik-bintik kuning. Apabila mengambil buah yang telah jatuh ke tanah, ada kemungkinan bijinya diserang jamur Penicilliopsis clavariae. Karena daya berkecambah biji eboni cepat menurun apabila disimpan, maka makin cepat ditanam di persemaian makin baik (Soerianegara, 1967). Bibit eboni di persemaian perlu mendapat naungan, pembuatan bibit dari permudaan alam dimulai dari pengambilan anakan eboni yang tingginya ± 15 cm di bawah pohon induknya. Anakan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam kantong dan ditambah tanah secukupnya. Anakan dipelihara di persemaian selama 4 bulan untuk siap ditanam di lapangan. Bibit eboni yang telah ditanam di lapangan perlu mendapat naungan ringan, misalnya dengan menanam tanaman sela atau pohon pelindung terlebih dahulu. Penanaman eboni harus dilakukan pada permulaan musim hujan (Soerianegara, 1967). Tanaman sela yang telah digunakan di daerah Palopo adalah kemlandingan (Leucaena), yang ditanam 2 atau 3 bulan sebelumnya dalam baris yang jarak antaranya 2-2,5 m (Soerianegara, 1967). Alrasjid (1985) menanam eboni di bawah tegakan jati pada enam Kesatuan Pemangkuan Hutan di Jawa. Hasil pengamatannya selama delapan tahun menunjukkan ada perbedaan pertumbuhan tinggi pohon antar lokasi satu dengan lainnya, diduga karena kesuburan tanahnya berbeda. Apabila dibandingkan antara tanaman eboni di bawah tegakan jati dengan tanaman eboni di kebun percobaan Cikampek yang keduanya mempunyai kondisi iklim sama, ternyata pertumbuhan tinggi tanaman eboni di bawah tegakan jati lebih lambat. Terhambatnya pertumbuhan tersebut menurut Alrasjid (1985) karena adanya stres (cekaman) sinar 241

Sunaryo - Konservasi Eboni matahari langsung yang diterima tanaman eboni pada saat pohon jati menggugurkan daunnya. Tanaman eboni termasuk jenis yang lambat pertumbuhannya riap tinggi selama 10 tahun pertama di Cikampek dan Bogor masing-masing 68 cm/tahun, riap diameter rata-rata selama 20 tahun 1,5-1,6 cm/tahun, kemudian menurun menjadi 0,5 cm/tahun (Soerianegara, 1967). Riap tinggi tanaman eboni selama 8 tahun pertama di bawah tegakan jati pada daerah bertipe iklim C berkisar antara 7-55 cm/tahun (Airsjid, 1985). Dengan diketahuinya faktor ekologis dan teknik pembuatan permudaan buatan eboni maka program konservasi ex-situ dapat meliputi pengembangan hutan kemasyarakatan yang dikombinasikan dengan sistem agroforestri atau dalam bentuk pengembangan hutan rakyat. Konservasi in-situ Salah satu usaha untuk pelestarian berbagai jenis tumbuhan termasuk jenis eboni (D. celebica Bakh) adalah menetapkan dan mengelola kawasan konservasi, seperti cagar alam dan taman nasional. Taman Nasional ataupun Kawasan Konservasi berfungsi sebagai laboratorium alam guna penelitian multi disiplin terhadap jenis eboni, sehingga akan diperoleh pengetahuan tentang eboni secara baik. Untuk konservasi plasma nutfah, kawasan yang di tetapkan tentunya meliputi semua ekosistem dengan keanekaragaman jenis yang tinggi, kawasan yang ditetapkan cukup luas, agar dapat mendukung kelangsungan hidup jenis eboni yang bersangkutan. Pada daerah yang sempit dan mempunyai jenis dengan individu sedikit dapat memungkinkan jenis yang bersangkutan punah, atau dapat terjadi inbreeding dan pada kurun waktu lama kelangsungan hidup jenis pohon akan terancam. Untuk itu perlu dipikirkan adanya kemungkinan pelestarian eboni di kawasan hutan areal di luar daerah konservasi seperti kawasan perlindungan plasma nutfah atau wilayah konservasi dalam HPH (areal sumber daya genetik). Selain itu perlu pengelolaan dan pengamanan kawasan tersebut dari berbagai bentuk kerusakan habitat. Kondisi sosial masyarakat yang hidup di dekat kawasan konservasi atau Taman Nasional merupakan faktor penting, terutama kawasan padat penduduk. Faktor-faktor ketidak-suburan tanah dan kegagalan panen dan terbatasnya sumber mata pencaharian dapat menyebabkan timbulnya gangguan masyarakat terhadap areal konservasi, khususnya pengambilan eboni secara ilegal. KESIMPULAN 1. Hutan sebagai areal konservasi in-situ jenis eboni khususnya di luar kawasan konservasi tetap memerlukan pengelolaan yang baik untuk tetap mempertahankan keragaman jenis dan penyebarannya di alam. Sedangkan yang berada dalam kawasan konservasi dapat berfungsi sebagai laboratorium alam untuk penelitian berbagai bidang ilmu secara multidisplin sehingga didapatkan hasil dan metode pelestariannya yang maksimal guna menunjang pembangunan kehutanan. Sedangkan kebun koleksi, kebun percobaan dan lainnya berperan sebagai tempat konservasi ex-situ jenis eboni (D. celebica Bakh.). Penelitian-penelitian yang dilakukan hendaknya meliputi berbagai seperti aspek taksonomi, morfologi, ekologi, teknik silvikultur dan aspek teknik pemanfaatan berkelanjutan agar kelesta-rian jenis tersebut bisa dipertahankan. 2. Dari hasil penelitian diketahui bahwa permudaan alam eboni di hutan primer maupun hutan bekas tebangan di Sulawesi sangat kurang, karena itu permudaan buatan di areal HPH perlu dilakukan untuk melestarikannya. Dalam pengembangan pemudaan buatan ini perlu diketahui bahwa tanaman eboni yang masih muda memerlukan naungan ringan untuk pertumbuhannya. 3. Tanaman eboni termasuk jenis yang pertumbuhannya lambat. Untuk meningkatkan nilai ekonomi dan ekologi hutan tanaman eboni, perlu dicampur dengan jenis cepat tumbuh yang bernilai ekonomi tinggi dan dapat hidup bersama 242

Berita Biologi, Volume 6, Nomor 2, Agustus 2002 dengan jenis eboni. Teknik ini dapat diterapkan pada hutan rakyat atau hutan kemasyarakatan (ex-situ). 4. Untuk menjaga kelangsungan persediaan bahan baku jenis eboni terutama yang berasal dari alam maka konservasi in-situ maupun ex-situ perlu diwujudkan. DAFTAR PUSTAKA Alrasjid H. 1985. Percobaan Penanaman Kayu Eboni (Diospyros celebica) di Bawah Tegakan Jati di Jawa. Buletin Penelitian Hutan No. 464, 23-37. Badan Litbang Kehutanan, 1994. Buku Pintar Eboni (Diospyros celebica Bakh.). Departemen Kehutanan, Jakarta, 1-12. Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi, 1979. Pedoman Teknis Penanaman Eboni (Diospyros celebica Bakh). Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal Kehutanan. No. A 27. Hendromono, 1995. Pengaruh Skarifikasi dan Ukuran Benih Eboni (Diospyros celebica Bakh.) Terhadap Perkecambahan dan Pertumbuhan Awalnya. Buletin Penelitian Hutan No. 594, 110. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Bogor. Hendromono, 1991. Pertumbuhan dan Ukuran Bibit Eboni (Diospyros celebica Bakh.) Pada Tiga Jenis Medium Yang Dipupuk NPK. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Vol. VII, No. 1, 28-31. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bogor. Kartawinata K dan Whitten AJ. 1991. Krisis Biologi. Hilangnya Keanekaragaman. Yayasan Obor Indonesia, 221-228. Kuhon A, Pattiradjawane RL dan Badil R. 1987. Kayu Hitam yang Semakin Hitam. Kompas. 1 Nov. 1987, 2. Meijer W. 1974. Field Guide for Trees of West Malesia. University of Kentucky. Pandjaitan PH dan Dali J 1971. Hasil Survey Eboni Ampibabo (Sulawesi Tengah). Bagian Silvikultur, LPH Bogor. Tidak diterbitkan. Sallata MK, Seran D dan Ginoga B 1989. Tinjauan Ekologi Kayu Eboni (Diospyros celebica.bakh.) di Sulawesi Selatan. Prosiding Diskusi Hasil Penelitian Silvikultur Jenis Kayu Hutan Tanaman Industri. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, 41-49. Seran D dan Yusri M 1996. Stimulasi Pertumbuhan Eboni (Diospyros celebica Bakh.) Melalui Pengaturan Intensitas Naungan dan Pemupukan NPK di Persemaian. Buletin Penelitian Kehutanan No. 2, 32-43. Balai Penelitian Kehutanan Ujung Pandang, Sulawesi Selatan. Badan Litbang Kehutanan. Seran D, Lempang M, Allo MK, Sumardjito Z, Paembonan S dan Ginoga B. 1988. Aspek Ekologi Eboni (Diospyros celebica Bakh.) di Cagar Alam Kalaena, Kabupaten Luwu, Propinsi Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Kehutanan Vol. II No. 1, 1-8. Balai Penelitian Kehutanan Ujung Pandang. Soerianegara I. 1967. Beberapa Keterangan Tentang Djenis-djenis Pohon Eboni Indonesia. Pengumuman No. 92. Lembaga Penelitian Hutan, Bogor. Whitmore TC dan Tantra LGM. 1989. Tree Flora of Indonesia. Agency for Forestry Research and Development. Forest Research and Development Centre. 243