KEBERLANJUTAN SISTEM INTENSIFIKASI PRODUKSI PADI DI INDONESIA I Putu Wardana Zulkifli Zaini Hasil Sembiring Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan 1
I 2
Pada 2013 sawah di Indonesia sekitar 8,2 juta ha dan konversi lahan produktif untuk keperluan nonpertanian meningkat. Hanya 4,75 juta ha yang memiliki prasarana irigasi teknis, semi teknis, dan sederhana. Setiap orang dihidupi oleh 339 m 2. Kebutuhan beras dari 248 juta orang terus meningkat (1,49%/tahun) 3
Tantangan Tingginya laju pertumbuhan penduduk, Berkurangnya luas lahan sawah, Keterbatasan suplai air irigasi, Infrastruktur yang tidak memadai, sehingga terjadi cekaman banjir, kekeringan, dan salinitas. Biaya produksi padi makin tinggi, Akses terhadap permodalan rendah, Pendidikan petani rendah, 4
Produktivitas lahan harus segera ditingkatkan guna mencapai kapasitas produksi optimal melalui introduksi teknologi. Pengembangan green economy menjadi sangat penting karena mengutamakan ketahanan pangan dan energi, kesejahteraan petani, kelestarian sumberdaya dan lingkungan. Untuk mempertahankan swasembada beras, Pemerintah mempromosikan PTT Padi dan memasalkan GP-PTT. 5
II 6
2.1. Era Sebelum Kemerdekaan Landbouw Departement (1905): LVD telah melakukan desentralisasi program hingga ke tingkat provinsi. Petani menanam varietas lokal, teknik pengolahan tanah yang baik, dan pupuk organik. 7
2.2. Periode Kasimo (1948-1950) Fokus: melatih petani dalam produksi padi (seleksi benih, pemupukan, pengairan, dan proteksi tanaman) Pupuk nitrogen dianjurkan dengan takaran 20-40 kg N/ha, dan penggunaan pupuk fosfat. Air irigasi diperkirakan cukup menyediakan hara kalium. Pengembangan sistem usahatani lahan kering (konversi perkebunan tebu). 8
2.3. Periode Padi Sentra (1950-1960) Impor beras mencapai 1 juta ton (1959) Dewan Bahan Makanan membentuk Padi Sentra sebagai pelaksana program ekstensifikasi dan intensifikasi. Balai Penyelidikan Teknik Pertanian melaksanakan penelitian efektivitas pemupukan N, P, dan K pada varietas Bengawan dan Sigadis, Sinta, Dewi Ratih. Produktivitas meningkat hingga 2 t/ha. 9
2.4. Periode Pra-Bimas (1960-1966) Pada MT 1963/64 proyek percontohan dilaksanakan di lahan sawah irigasi seluas 100 ha di Karawang. Pembinaan dan pengawalan teknologi intensif dari dosen dan mahasiswa IPB di lapangan. Hasil meningkat secara meyakinkan dan diperluas menjadi Demonstrasi Massal (Demas) 11.000 ha. Varietas padi yang digunakan Bengawan, Sigadis, Remaja, Sinta, dan Arimbi dengan produktivitas 3 ton/ha. 10
2.5. Periode Bimas (1966-1980) Mulai MT 1965/66, Program Demas diganti dengan Bimas dengan Panca Usahatani. Pada 1969 introduksi IR 5 dan IR-8 (hasil persilangan Peta dari Indonesia dengan Deegeo-woo-gen dari Taiwan) yang memiliki potensi hasil 4,5 t/ha. Panca Usahatani : benih unggul, cara bercocok tanam baik, pengaturan air irigasi, pemupukan, pemberantasan hama dan penyakit. 11
2.6. Periode Insus (1980-1986) Program Insus (1980) menerapkan teknologi Sapta Usahatani yang merupakan penyempurnaan dari Panca Usahatani. Kombinasi inovasi teknologi, penyuluhan, dan perbaikan infrastruktur. Program ini dikenal dengan revolusi hijau yang menghasilkan swasembada beras pada tahun 1984. 12
2.7. Periode Supra Insus (1986-1997) Supra Insus dilaksanakan pada 1986/87 dengan pendekatan yang lebih holistik menggunakan 10 jurus teknologi Paket-D. Program Supra Insus menggunakan berbagai varietas unggul baru (VUB) yang lebih tahan terhadap hama dan penyakit, seperti IR-64. 13
2.8. Periode Gema Palagung (1997-2000) Pada 1997: Gerakan Mandiri Peningkatan Produksi Padi, Kedelai, dan Jagung (Gema Palagung) dengan Perbaikan Mutu Intensifikasi (PMI), IP 200, dan IP300. Pergantian Menteri Pertanian membuat kegiatan Gema Palagung terhenti dan sebagai gantinya dicanangkan program Corporate Farming. 14
2.9. Periode Reformasi (2000-2007) Dari penelitian Reversing Trends of Declining Productivity (mega project) kerja sama antara Badan Litbang Pertanian-IRRI, dan diperkaya oleh kajian System of Rice Intensification (SRI), dihasilkan inovasi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT). 15
Komponen Teknologi PTT (1) penggunaan varietas unggul baru, (2) benih bermutu dan berlabel, (3) perlakuan benih (4) penggunaan bibit muda, (5) pemberian bahan organik, (6) pengaturan populasi tanaman secara optimum/sistem tanam Legowo, (7) pemupukan spesifik lokasi (N,P,K), (8) pengendalian OPT dengan pendekatan PHT, (9) pengairan berselang, (10) panen tepat waktu dan gabah segera dirontok. 16
Komponen teknologi disesuaikan dengan keadaan biofisik, sosial ekonomi, sumber daya setempat (spesifik lokasi), dan dinamis. FAO mengakui efektivitas implementasi inovasi PTT dalam meningkatkan produktivitas padi. Teknologi PTT diadopsi oleh Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dengan nama PMI (Peningkatan Mutu Intensifikasi) pada tahun 2002-2006. Pemerintah memberi dukungan berupa: subsidi benih dan pupuk, kredit, dan ternak kepada petani. Raskin diberikan kepada konsumen untuk menstabilkan harga. 17
2.10. Periode Pengembangan PTT (2008-2012) Program SL-PTT mencakup padi inbrida, padi hibrida, padi gogo, jagung, dan kedelai. Mulai 2008, luas area SL-PTT terus meningkat. SL-PTT padi inbrida luasan 1 juta ha dan meningkat menjadi 3,1 juta ha pada 2012. 18
2.11. Periode Transformasi PTT Komponen teknologi seperti varietas unggul, pemupukan, dan waktu tanam telah dikaji dengan pendekatan usahatani presisi. Teknologi pemupukan spesifik lokasi telah tersedia dengan bantuan teknologi informasi seperti web, hand phone, dan smart phone. Kalender tanam memandu petani dalam memulai tanam dan memperkirakan iklim ekstrim (El Nino atau La Nina). 19
Usahatani presisi membantu petani untuk lebih efektif dan efisien menggunakan pupuk, insektisida, fungisida, herbisida, dan air irigasi. Implementasi inovasi PTT dapat diarahkan pada usahatani presisi untuk memperkecil senjang hasil di tingkat petani. Usahatani presisi membutuhkan manajemen yang tepat dan teknologi spesifik lokasi, terutama dalam pengelolaan tanah dan tanaman. 20
Luas panen, produktivitas dan produksi padi Period Program Luas panen (juta ha) Rata-rata per tahun Produktivitas (ton/ha) Produksi (juta ton) 1961-68 BIMAS 7.3 1.81 13.3 1969-73 BIMAS 8.2 2.42 19.7 1974-78 BIMAS 8.5 2.75 23.4 1979-83 INSUS 9.1 3.47 31.5 1984-88 INSUS 9.9 4.00 39.7 1989-93 SUPRA INSUS 10.7 4.32 46.2 1994-98 SUPRA INSUS 11.3 4.35 49.2 1999-13 SRI, PTT, ICM 12.3 4.71 58.3 Pada periode BIMAS hingga INSUS produktivitas padi naik lebih dari 2 kali lipat : 1.81 ton/ha menjadi 4.00 ton/ha tetapi setelah itu peningkatan produktivitas relatif kecil Pada periode BIMAS hingga INSUS luas panen padi naik sebesar 2.6 juta hektar tetapi setelah itu naik seluas 2.4 juta hektar 21
Period Program Pertumbuhan produksi padi Sawah irigasi Cropping Pertumbuhan (%/th) Luas (%/thn) index Luas panen Produktivitas Produksi 1961-68 BIMAS na - - 2.4 3.1 5.7 1969-73 BIMAS 5.5-1.49 1.0 3.7 4.7 1974-78 BIMAS 5.7 5.0 1.49 1.3 2.5 3.8 1979-83 INSUS 6.1 6.6 1.50 0.6 5.9 6.6 1984-88 INSUS 6.2 3.0 1.60 2.1 1.3 3.4 1989-93 1994-98 1999-13 SUPRA INSUS SUPRA INSUS SRI, PTT, ICM 6.3 2.0 1.70 1.7 1.3 3.0 6.8 9.8 1.67 1.4 0.1 0.5 7.9 21.8 1.56 1.1 1.4 2.5 Peningkatan produktivitas > 2.5 %/th hanya terjadi pada periode 1961-1983 (periode BIMAS dan INSUS), setelah itu hanya sekitar 1%/th semakin lambat Peningkatan produksi > 3.5%/th hanya terjadi pada periode 1961-1983 (periode BIMAS dan INSUS), setelah itu semakin lambat Sebelum swasembada (1984) sebagian besar peningkatan produksi berasal dari peningkatan produktivitas, sebaliknya setelah swasembada. 22
III 23
3.1. Kebijakan Litbang Pertanian Infrastruktur Irigasi Kebijakan harga dan subsidi. Regulasi perdagangan (domestik dan global). 24
Ringkasan Program Intensifikasi Padi Periode Program Inovasi teknologi Pengembangan kelembagaan 1905-1945 1948-1950 1950-1959 1966-1979 - Kasimo Plan + Wicaksono Plan Padi Sentra Bimas Pengolahan lahan Kementrian pertanian (1905) Varietas lokal Lembaga penyuluhan (1910) Pupuk organik Produksi benih Irigasi Balai Pendidikan Masyarakat Pemupukan N Desa (BPMD) Proteksi tanaman Varietas unggul lokal - Bengawan - Si gadis - Sinta - Dewi Ratih Konsolidasi petani Panca Usahatani Padi (pembentukan KT) Kebijakan / faktor pendukung - - - - Komitmen politik kuat Varietas IR 5 + IR 8 Pembentukan PPL Birokasi pusat-daerah lancar Pemupukan anorganik Devisa minyak Pestisida Subsidi pupuk Irigasi - Subsidi pestisida Transportasi Subsidi harga gabah Akses pasar 25
Ringkasan Program Intensifikasi Padi (lanjutan) Periode Program Inovasi teknologi Pengembangan kelembagaan 1980-1986 INSUS Panca Usahatani Padi Varietas IR 36 Pemupukan anorganik Pestisida Konsolidasi petani (pembentukan KT) Penyaluran input ke tingkat petani - Kebijakan / faktor pendukung Komitmen politik Birokasi pusat-daerah lancar Subsidi pupuk Subsidi pestisida Subsidi harga gabah Sapta Usahatani Padi Pabrik pupuk Komitmen politik 1987-1997 1998-1999 SUPRA INSUS GEMA PALAGUNG Varietas IR 64 PT. Pusri, Kujang, Petrokimia, Birokasi pusat-daerah lancar Bontang Pemupukan anorganik BRI-Unit Desa Subsidi pupuk Pestisida Kios pupuk Pembatasan subsidi pestisida Varietas umur pendek KUD (7900) Kredit Usahatani IPM, 1979 PPL (37000), metoda LAKU Subsidi harga gabah Subsidi pupuk-harga gabah Inovasi SUPRA INSUS Peranan BULOG diperluas pada jagung dan - Krisis politik kedele Krisis ekonomi El Nino 26
Ringkasan Program Intensifikasi Padi (lanjutan) Periode Program Inovasi teknologi 2000-2007 2008-2012 SRI dan PTT PTT dan ICM Teknologi PTT Varietas unggul baru Benih berlabel Jajar legowo irigasi berselang Pupuk kompos Perlakuan benih Bibit muda Pemupukan berimbang Pemupukan spesifik lokasi IPM Teknologi pasca panen Teknologi PTT Kalender tanam Teknologi informasi (We) Pemupukan Spesifik lokasi Integrasi Padi-Sapi Bantuan 80 ekor sapi/kt Pengembangan kelembagaan - - Kebijakan / faktor pendukung Desentraliasai pemerintahan Birokasi pusat-daerah kurang lancar Bantuan langsung benih, pupuk, pelatihan petani (BANSOS) Kredit input Subsidi kandang Bantuan langsung benih, pupuk, pestisida (BANSOS) 27
3.2. Produksi Pemakaian pupuk kimia yang berlebih (belum mempertimbangkan ketersediaan hara dalam tanah). Kelangkaan pupuk dan bahan organik Biaya produksi padi tinggi 28
Pabrik pupuk perlu membuat 2 komposisi pupuk majemuk: 1) Kandungan hara N seperti pada Phonska dengan P relatif rendah dan K relatif tinggi, 2) Kandungan hara N seperti Phonska dengan kandungan P relatif tinggi dan kandungan K relatif rendah. Pupuk NPK Phonska akan lebih efisien jika diberikan sebagai pupuk dasar. Kekurangan N bagi tanaman padi dapat dipenuhi dengan pemberian pupuk urea. 29
Penggunaan pupuk hijau, jerami padi, dan pupuk kandang meningkatkan kandungan BO, tetapi tidak dapat mempertahankan BO tanah dan kapasitas pasokan N pada lahan sawah. Pemberian BO secara terus-menerus dalam jumlah besar tidak nyata meningkatkan produktivitas padi. 30
Sebaliknya, inovasi PTT menggunakan pupuk organik dan anorganik yang disesuaikan dengan kebutuhan tanaman dapat memperbaiki kesuburan tanah. Penggunaan pestisida mengacu pada prinsip pengelolaan hama terpadu. 31
Perbandingan produksi dan produktivitas padi serta konsumsi beras dari negara ASEAN, 2010. Negara Konsumsi (kg/cap) Produksi (Juta ton) Produktivitas (kg GKG/ha) Indonesia 127,4 66,5 5,02 Vietnam 141,2 40,0 5,32 Myanmar 140,8 33,2 4,12 Thailand 133,0 31,6 2,88 Philippines 123,3 15,8 3,62 Cambodia 160,3 8,2 2,97 Malaysia 74,0 2,5 3,64 Timor Leste 67,3 0,1 3,09 32
IV 33
Implementasi program P2BN berhasil meningkatkan produksi beras dan ketahanan pangan nasional. Hal ini berdampak positif terhadap stabilitas politik, sosial, dan ekonomi. Keberlanjutan program SL-PTT perlu didukung oleh kebijakan yang komprehensif dan terintegrasi, baik di tingkat nasional maupun daerah. 34
Hal-hal yang perlu ditingkatkan: Ketersediaan dan akses teknologi, sarana produksi, perbaikan infrastruktur, prasarana panen dan pascapanen, struktur dan efisiensi pemasaran, subsidi, dan stabilisasi harga. Komitmen pembinaan dan pendanaan daerah sangat diperlukan. 35
4.1. Optimalisasi Sinergisme Program Pusat dan Daerah Koordinasi dan sinkronisasi yang kuat antara pada tingkat pusat dengan provinsi dan kabupaten sesuai Permentan No. 45 tahun 2011. Dukungan kebijakan makro dan regulasi yang kondusif sangat diperlukan agar seluruh pelaksanaan kegiatan dapat berfungsi secara harmonis dan optimal. 36
4.2. Tanggung Jawab Pemerintah Kabupaten/Kota dalam Meningkatkan Ketahanan Pangan Konsepsi dan implementasi SL-PTT yang cenderung bersifat sentralistik menghambat penerapan PTT spesifik lokasi. Pengembangan PTT perlu diarahkan ke sentra produksi dengan dukungan infrastruktur, kelembagaan, dan manajemen yang memadai. 37
4.3. Desain Ulang Tahapan Pelaksanaan Pengembangan SL-PTT harus mengikuti proses pembelajaran sekolah lapangan secara sinambung, bukan pendekatan keproyekan. Perencanaan, persiapan logistik, dan pelatihan (TOT) harus mendahului tahapan implementasi SL-PTT. 38
4.4. Penyediaan Benih Unggul Spesifik Lokasi Benih VU spesifik lokasi diidentifikasi BPTP dan VU yang sesuai dg preferensi konsumen dan agroekosistem dipetakan oleh Balit dan BPTP. Konsep 1 penangkar untuk 1 kecamatan perlu dikembangkan dan dikaitkan dengan program strategis Kementan lainnya (PUAP, KKPE, dan LUEP). SL-PTT dilaksanakan lebih dari 1 musim an skema pembiayaannya memberikan insentif bagi petani. 39
4.5. Penekanan Senjang Hasil dan Peningkatan Efisiensi Input Senjang hasil antara petani dan peneliti 1-3 t/ha, kehilangan pascapanen 15-20%, dan efisiensi pupuk N dan air 30-50%. Peningkatan potensi hasil, penekanan senjang hasil, peningkatan efisiensi input, pengurangan susut hasil, dan peningkatan nilai tambah merupakan elemen penting. 40
4.7. Perkuat Teknologi PTT Lahan Marginal Lahan marjinal yang dimaksud adalah lahan sawah tadah hujan, lahan rawa lahan pasang surut, lebak, dan lahan kering. Jika lahan marjinal ini ditata secara proporsional dan dikelola dengan baik dapat memberikan kontribusi dalam pengadaan pangan. 41
4.8. Percepatan Adopsi PTT Padi Berbasis Teknologi Informasi Gerakan percepatan adopsi PTT padi dapat menggunakan panduan PTT padi yang dibangun menggunakan web. Panduan PTT padi dapat dihubungkan dengan Klinik Tanaman Padi (Rice Crop Doctor) yang menyediakan informasi untuk mengatasi masalah yang timbul. 42
V 43
Produksi padi Indonesia meningkat terus dalam lima dekade karena keberhasilan dalam menerapkan kebijakan dan program aksi. Walaupun demikian dalam dekade terakhir diteliti terjadi stagnasi hasil seperti juga terjadi di negara lain.. 44
Revitalisasi program intensifikasi padi perlu terus dilakukan melalui : Pengalihan tanggung jawab kepada pemerintah kabupaten/kota Perancangan ulang tahapan pelaksanaan SLPTT Penyediaan benih spesifik lokasi Pengembangan teknologi PTT lahan marginal Percepatan adopsi PTT padi berbasis teknologi informasi. 45