FAKTA DAN PERSEPSI TENTANG PROFESI GURU DAN PENGEMBANGAN PROFESI GURU

dokumen-dokumen yang mirip
Fakta-Fakta Penelitian Tentang Profesi Guru dan Pengembangan Profesi Guru

SERTIFIKASI GURU DAN DOSEN TAHUN 2009: DASAR HUKUM DAN PELAKSANAANNYA 1

Tak berlebihan bila dikatakan bahwa awal

PERANAN SERTIFIKASI GURU DALAM MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN *) Oleh: Dr. S. Eko Putro Widoyoko, M. Pd. **)

(Invited Speaker dalam Seminar Nasional di Universitas Bengkulu, 29 Nopember 2009)

BAB I PENDAHULUAN. dihadapi kedepan adalah globalisasi dengan dominasi teknologi dan informasi

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI DEMAK PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI DEMAK NOMOR 53 TAHUN 2015 TENTANG

SERTIFIKASI GURU MERUPAKAN PERLINDUNGAN PROFESI. Sugeng Muslimin Dosen Pend. Ekonomi FKIP Unswagati ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

KARYA TULIS ILMIAH DAN PENGEMBANGAN PROFESI GURU

DASAR HUKUM JABATAN FUNGSIONAL ANALIS KEPEGAWAIAN :

IMPLIKASI UNDANG-UNDANG GURU DAN DOSEN TERHADAP PENINGKATAN MUTU PROSES PENDIDIKAN TEKNOLOGI DAN KEJURUAN

BUPATI GARUT PERATURAN BUPATI GARUT NOMOR 730 TAHUN 2012 TENTANG MEKANISME PENGANGKATAN DAN PENUGASAN PENGAWAS SATUAN PENDIDIKAN

PENELITIAN TINDAKAN KELAS DAN PENGEMBANGAN PROFESI GURU *) Oleh: Dr. S. Eko Putro Widoyoko, M.Pd.

Buku pedoman ini disusun sebagai acuan bagi semua pihak yang terkait dengan pelaksanaan penyaluran tunjangan profesi guru.

BAB IV ANALISIS UPAYA PENINGKATAN KOMPETENSI GURU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SD NEGERI 03 MOJO KECAMATAN ULUJAMI KABUPATEN PEMALANG

BUPATI SIDOARJO PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 38 TAHUN 2013 TENTANG

BERITA DAERAH KOTA BEKASI

2. Akreditasi terhadap program dan satuan pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri yang berwenang sebagai bentuk akuntabilitas publik.

BAB I PENDAHULUAN. Efektivitas proses..., Hani Khotijah Susilowati, FISIP UI, Universitas Indonesia

HAK GURU. Uraian tentang hak-hak guru selanjutnya dituangkan dalam tabel di bawah ini.

DASAR DAN TEKNIK PENETAPAN KUOTA PESERTA SERTIFIKASI GURU DALAM JABATAN TAHUN 2009

BAB I PENDAHULUAN. Guru dalam proses pembelajaran di kelas memainkan peran penting terutama

MENJADI GURU UTAMA DENGAN PENGEMBANGAN KEPROFESIAN BERKELANJUTAN. Oleh : Dra. Nuraeni T, M.H BAB I. PENDAHULUAN

PERATURAN MENTERI NEGARA PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI NOMOR: 21 TAHUN 2010 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. yang bekerja didalamnya. Orang-orang yang bekerja di sekolah adalah

I. PENDAHULUAN. Dalam mencapai tujuan, setiap organisasi dipengaruhi oleh perilaku

PROSEDUR SERTIFIKASI GURU DALAM JABATAN BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

PEDOMAN PENULISAN KARYA TULIS ILMIAH ONLINE (KTI ONLINE) TAHUN 2009 BAB I PENDAHULUAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2005 TENTANG GURU DAN DOSEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

GURU DAN KARYA TULIS ILMIAH

BAB I PENDAHULUAN. penghargaan atas dasar prestasi dan kinerjanya. dengan meningkatkan profesionalisme dalam melakukan pekerjaan sebagai guru.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT,

~ 1 ~ PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2008 TENTANG GURU

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2013 NOMOR 41 SERI E

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

NORMA, STANDAR, PROSEDUR, DAN KRITERIA (NSPK) PENDIDIKAN ANAK USIA DINI (PAUD) FORMAL DAN PENDIDIKAN DASAR DI KABUPATEN/KOTA

Strategi Pengembangan Sekolah Efektif untuk Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Tujuan pendidikan nasional yang diamanatkan dalam pembukaan undangundangdasar

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tantangan terberat bagi bangsa Indonesia pada era globalisasi abad

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Manual Mutu Sumber Daya Manusia Universitas Sanata Dharma MM.LPM-USD.10

BAB V PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat

PERATURAN MENTERI NEGARA PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA TENTANG JABATAN FUNGSIONAL GURU DAN ANGKA KREDITNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia. dan Undang-undang Dasar Tahun Upaya tersebut harus selalu

Pedagogik Kepribadian Profesional Sosial

PT LIPPO KARAWACI Tbk Piagam Audit Internal

PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN PROFESI GURU BUKU

PEDOMAN PENYELENGGARAAN PROGRAM PENINGKATAN KUALIFIKASI SARJANA (S1) BAGI GURU MADRASAH IBTIDAIYAH DAN GURU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PADA SEKOLAH (DUAL

MENJADI SEORANG GURU PROFESIONAL

PERATURAN REKTOR UNIVERSITAS PADJADJARAN NOMOR 70 TAHUN 2015 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA PENGELOLA UNIVERSITAS PADJADJARAN

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia tersebut adalah pendidikan. Tujuan pendidikan adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian peranan menurut Soejono Soekanto (2002;234) adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. yang maju, modern dan sejahtera. Sejarah bangsa-bangsa telah menunjukkan bahwa bangsa yang

BAB I PENDAHULUAN. suatu bangsa dan merupakan wahana dalam menerjemahkan pesan-pesan

PERATURAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA

PROBLEM KENAIKAN PANGKAT GURU Oleh : Istamaji, S.I.Kom (Analis Kepegawaian Pertama Kantor Kementerian Agama Kab. Way Kanan)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2005 TENTANG GURU DAN DOSEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN PENDIDIKAN AGAMA PADA SEKOLAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 74 TAHUN 2008 TENTANG GURU

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Deskripsi Tempat dan Subjek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. dosen diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan. pembelajaran yang digunakan sebagai perangkat dasar kemudian

BAB I PENDAHULUAN. mutu sumber daya manusia menuju era globalisasi yang penuh dengan tantangan.

2013, No Mengingat e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-U

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kegiatan pelaksanaan pendidikan di sekolah, guru merupakan orang yang

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Perencanaan pengembangan kinerja dosen di IAIN Sulthan Thaha

BAB I PENDAHULAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Ketatnya persaingan dalam lapangan kerja menuntut lembaga pendidikan

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI. maka dikemukakan kesimpulan sebagai berikut:

Analisis Kebijakan Penyelenggaraan PPG SD/MI Pra Jabatan di Indonesia

PEDOMAN PENETAPAN ANGKA KREDIT DAN KENAIKAN JABATAN/PANGKAT PENGAWAS MADRASAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Lahirnya Undang-undang No. 22 tahun 1999 yang direvisi dengan

WALIKOTA PADANG PERATURAN WALIKOTA PADANG NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PENGAWAS SEKOLAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PADANG,

PANDUAN PENYUSUNAN PROPOSAL PENYELENGGARAAN PROGRAM SARJANA (S-1) KEPENDIDIKAN BAGI GURU DALAM JABATAN

W A L I K O T A Y O G Y A K A R T A

PERATURAN MENTERI NEGARA PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI NOMOR 16 TAHUN 2009 TENTANG JABATAN FUNGSIONAL GURU DAN ANGKA KREDITNYA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

UNJUK KERJA KOMITE SEKOLAH DI SMA NEGERI 3 SEMARANG TESIS

PERATURAN MENTERI NEGARA PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI NOMOR 16 TAHUN 2009 TENTANG JABATAN FUNGSIONAL GURU DAN ANGKA KREDITNYA

PERATURAN BUPATI SINJAI NOMOR 38 TAHUN 2013 TENTANG PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN KEMAMPUAN PROFESIONAL PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB V PENUTUP. bagi guru dalam jabatan dilakukan dengan pola Portofolio, Pola Pendidikan dan

2017, No di bidang arsitektur, dan peningkatan mutu karya arsitektur untuk menghadapi tantangan global; d. bahwa saat ini belum ada pengaturan

BAB I PENDAHULUAN. Setiap pelaksanaan program pendidikan memerlukan adanya pengawasan atau supervisi.

Peranan Pemimpin Lokal dalam Pendidikan Nasional di Era Otonomi Daerah Drs. Djariyo, M.Pd.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Giya Afdila, 2016

BAB I PENDAHULUAN. Bab pendahuluan ini secara berturut-turut membahas mengenai latar belakang

MENINGKATKAN PROFESI GURU MELALUI PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI GURU (PPG) PRA JABATAN

ARAH PEMIKIRAN FILOSOFI, DAN URGENSI KARYA TULIS ILMIAH DALAM UPAYA MENINGKATKAN. (Sutaryat Trisnamansyah, Prof., Dr.,M.A.)

STANDAR PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG ARSITEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGEMBANGAN KARIER PUSTAKAWAN MELALUI JABATAN FUNGSIONAL

PROSEDUR DAN MEKANISME SERTIFIKASI GURU

PENYUSUNAN PORTOFOLIO GURU SEBAGAI INSTRUMEN SERTIFIKASI GURU Disampaikan dalam Seminar Pendidikan Nasional, di Hotel Bumi Wiyata Depok, 2009

BUPATI DEMAK PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI DEMAK NOMOR 55 TAHUN 2015 TENTANG

IDEALISME KUALIFIKASI PENDIDIK DAN TANTANGANNYA

PENGEMBANGAN KEPROFESIAN BERKELANJUTAN. tantangan menuju profesionalisme. Oleh Rahmatiah

Transkripsi:

FAKTA DAN PERSEPSI TENTANG PROFESI GURU DAN PENGEMBANGAN PROFESI GURU Makalah Dipresentasikan dalam Diklat Pengembangan Profesi Keguruan dan Seminar Nasional Himpunan Mahasiswa Pancasila (HIMAPA) Jurusan PPKn FKIP Universitas Madura (UIM) Pamekasan Tanggal 26 Maret 2010 Mohammad Imam Farisi Dosen FKIP-UT di UPBJJ Surabaya Diklat Pengembangan Profesi Keguruan dan Seminar Nasional FKIP Universitas Madura (UIM) Pamekasan Maret 2010

Abstrak Profesi guru bukan sekedar pekerjaan, akan tetapi suatu pekerjaan yang memerlukan keahlian, tanggung jawab, kesejawatan, pengembangan pengetahuan, penyediaan sarana/insititusi, asosiasi, dan pengakuan oleh khalayak. Namun, berbagai penelitian empirik dan persepsi publik tentang eksistensi guru sebagai profesi dan pekerja profesional banyak mengungkap tentang berbagai dimensi yang tidak melulu memberikan kebanggaan kepada para pemangkunya. Oleh karena itu, kesadaran dan kearifan para guru untuk memahami dan mematuhi berbagai dimensi keprofesian guru menjadi niscaya, ketika publik semakin menuntut keahlian layanan pembelajaran yang mendidik dari para guru. Kata kunci: guru, profesi, profesional, pengembangan profesi. Menurut UU Guru dan Dosen, profesi merupakan bidang pekerjaan yang memiliki prinsip-prinsip profesional, di antaranya memiliki: (1) kelayakan profesi dalam aspek kualifikasi, latar belakang pendidikan, kompetensi, dan bidang tugas; (2) kode etik profesi, dalam aspek kewajiban dalam melaksanakan tugas dan pembuatan karya-karya intelektual-profesi; (3) penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerjanya; (5) kewajiban mengembangkan profesinya secara berkelanjutan; (6) organisasi profesi yang berbadan hukum. Pengembangan profesi adalah aktivitas guru untuk lebih mengembangkan profesionalismenya, melalui pembuatan karya tulis ilmiah (KTI), alat peraga/bimbingan, penemuan teknologi tepat guna, penciptaan karya seni, dan partisipasi aktif di dalam pengembangan kurikulum. A. Realitas Di balik Fakta dan Persepsi Fakta dan Persepsi tentang Kelayakan Profesi Sebagian besar guru sebenarnya sudah mengikuti semacam pelatihan ataupun penataran kaitannya dengan peningkatan kompetensi guru, dan sikap guru terhadap KBK pun dapat dikatagorikan tinggi (Mulyana, 2006). Namun demikian, Djalal & Sardjunani (2006) menemukan bahwa banyak guru yang kurang layak kualifikasinya. Ketaklayakan kualifikasi mereka teridentifikasi dari kurangnya kemampuan profesionalisme guru yang berakibat pada keengganan belajar siswa dan kemerosotan kualitas pendidikan (Nasanius, 1998). Tilaar menegaskan bahwa setelah lebih dari 30 tahun berlalu sejak Depdikbud melakukan Penelitian Nasional Pendidikan (PNP) pada tahun 1969 yang melibatkan sekitar 100 pakar pendidikan dari seluruh Indonesia di Cipayung, kewajiban kita untuk mengenal perkembangan anak Indonesia sebagai salah satu titik sentral dari proses pendidikan anak nihil. Hampir tidak ada penelitian pengembangan tentang anak Indonesia secara psikologi, antropologi, filsafat dan pedagogik, demikian pula terkait dengan kebijakan pendidikan (Harian Kompas, 4 Oktober 2004). Banyak di antara guru yang juga ditengarai kurang memenuhi kualifikasi mengajar dan kinerja kurang memadai, dimana dalam praktiknya masih tetap menerima pembayaran tunjangan fungsional yang sama dengan kualifikasi guru yang memenuhi kinerja yang memadai. Kustono (2007) menngemukakan bahwa kualitas guru di Indonesia masih tergolong relatif rendah. Hal ini antara lain disebabkan oleh tidak terpenuhinya kualifikasi pendidikan minimal terutama bila mengacu pada amanat UU RI No 14/2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD), dan PP RI Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). Data dari Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas pada tahun 2005 menunjukkan terdapat 1.646.050 (69,45%) guru SD, SMP, SMA, SMK, dan SLB yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan Diklat Pengembangan Profesi Keguruan dan Seminar Nasional 2

minimal. Kualifikasi guru dimaksud masing-masing sebagai berikut: guru TK terdapat 91,54%, SD terdapat 90,98%, SMP terdapat 48,05%, dan SMA terdapat 28,84% yang belum memiliki kualifikasi pendidikan S1/D4. Profesionalisme guru dan tenaga kependidikan juga masih belum memadai utamanya dalam hal bidang keilmuannya (Sumargi, 1996). Banyak di antara para guru yang keliru menyampaikan materi, juga kurang mampu menyajikan dan menyelenggarakan pendidikan yang benar-benar berkualitas (Dahrin, 2000); kurang mampu mengaplikasikan keterampilan proses dalam pembelajaran IPA; mengalami kesulitan dalam cara menggunakan Kit-IPA dan karenanya kurang difungsikan dalam pembelajaran di kelas, bahkan ada guru yang mengasumsikan penggunaan Kit-IPA kurang efisien dari sisi waktu (Budiastra, 2001). Kualitas guru dalam pengembangan Kit-Pembelajaran juga masih kurang dan membutuhkan pembimbingan yang lebih intensif (Sutrisno & Nuryanto (2008). Fakta dan Persepsi tentang Karya Intelektual-Profesi Karya-karya intelektual bagi suatu profesi, sangat penting bagi pembentukan tradisi profesi dan pengembangan khasanah keprofesian, yang memungkinkan setiap pemangku profesi dan publik menjamin kesinambungan tradisi profesi guru, dan/atau melakukan perubahan-perubahan atas tradisi profesi ke arah yang lebih baik, maju, dan akuntabel. Karena itu, fakta bahwa guru mengalami hambatan dalam menulis karya ilmiah tentu menyedihkan. Sebab, guru mestinya bisa menjadikan karya ilmiah sebagai media untuk mendialogkan berbagai persoalan yang berkaitan dengan dunia pendidikan. Melalui publikasi ilmiah, diharapkan terjadi sharing yang memungkinkan para guru berbagi pengalaman. Temuan Sembiring (2007) mungkin sangat mengejutkan bagi insan guru, karena ketidakmampuan menulis karya ilmiah di kalangan guru mencapai 99,37%. Berkenaan dengan keharusan guru mengumpulan angka kredit dari unsur kegiatan pengembangan profesi untuk kenaikan pangkat golongan IVa ke atas, ditemukan tidak sedikit guru dan pengawas yang merasa kurang mampu melaksanakan kegiatan pengembangan profesinya (= yang dalam hal ini membuat KTI) sehingga menjadikan mereka enggan, tidak mau, dan bahkan apatis terhadap pengusulan kenaikan golongannya. Terlebih lagi dengan adanya fakta bahwa (a) banyaknya KTI yang diajukan dikembalikan karena salah atau belum dapat dinilai, (b) kenaikan pangkat/golongannya belum memberikan peningkatkan kesejahteraan yang signifikannya, (c) proses kenaikan pangkat sebelumnya dari golongan IIIa ke IVa yang relatif lancar, menjadikan kesulitan memperoleh angka kredit dari kegiatan pengembangan profesi, sebagai hambatan yang merisaukan. Akibatnya menurut Suhardjono, sekalipun niat guru untuk menggunakan laporan penelitian sebagai KTI sangatlah tinggi, namun ada sebagian guru yang masih merasa belum memahami tentang apa dan bagaimana penelitian pembelajaran itu. Akibatnya, kerja penelitian dirasakan sebagai kegiatan yang sukar, memerlukan biaya, tenaga dan waktu yang banyak. Dari KTI yang diajukan, --tidak sedikit berupa KTI orang lain yang dinyatakan sebagai karyanya, atau KTI tersebut DIBUATKAN oleh orang lain, yang umumnya diambil (dijiplak) dari skripsi, tesis atau laporan penelitian. Pernah terjadi di beberapa daerah, di mana sebagian besar KTI yang diajukan sangat mirip antara yang satu dengan yang lainnya. Banyak pula KTI yang berisi uraian hal-hal yang terlalu umum. KTI yang tidak berkaitan dengan permasalahan atau kegiatan nyata yang dilakukan oleh guru dalam kegiatan pengembangan profesinya. Dalam pandangan Sirodjuddin (2008), hal tersebut merupakan suatu kemunduran, karena penilaian angka kredit dari golongan IV A ke IV B mewajibkan komponen pengembangan profesi, sehingga banyak guru yang tertahan di golongan IV A karena tidak bisa membuat karya pengembangan profesi, sementara Diklat Pengembangan Profesi Keguruan dan Seminar Nasional 3

banyak peserta uji sertifikasi guru yang lolos tanpa melampirkan komponen karya pengembangan profesi. Bahkan, menurut Biyanto (2009), banyak guru yang harus rela pangkatnya terhenti di golongan IV/a. Berdasarkan data Badan Kepegawaian Nasional (BKN) tentang golongan/ruang kepangkatan guru pada 2005 menunjukkan, di antara 1.461.124 guru, 22,87 persen adalah golongan IV/a; 0,16 persen golongan IV/b; 0,006 persen golongan IV/c; 0,001 persen golongan IV/d; dan 0,00 persen golongan IV/e. Atau menurut Surapranata (Sembiring, 2007), setidaknya ada 342.000 guru terpaksa memperpanjang waktu untuk menghuni golongan IVa. Ada semacam ketakutan pada sebagian guru untuk melaksanakan penelitian sebagai salah satu wujud dari kegiatan pengembangan profesinya. Bahkan, tidak jarang hal itu menjadi momok, terutama jika dikaitkan persoalan kenaikan pangkat guru (Harjono, 2009). Karena tradisi meneliti belum dimiliki di kalangan guru, sehingga tidak banyak tenaga pendidik yang mampu atau bersedia mengembangkan kemampuan mengajarnya dengan melakukan penelitian. Diakui oleh Direktur Ketenagaan Ditjen Dikti Muchlas Samani, sekalipun penelitian oleh guru tidak perlu muluk-muluk, tetap saja tak banyak tenaga pendidik yang tertarik melakukan penelitian kependidikan. Padahal menurutnya, dengan penelitian-penelitian tersebut diharapkan akan muncul berbagai macam ide kreatif dan inovatif dari tenaga pendidik sehingga mutu pendidikan akan meningkat (Harian Kompas, edisi 8 Oktober 2009). Dalam hipotesis Kusumah (2009), ada sejumlah alasan munculnya ketakukan guru untuk melakukan penelitian (PTK), yakni: (1) kurang memahami profesi guru; (2) malas membaca buku dan malas menulis; (3) kurang sensitif terhadap waktu dan terjebak dalam rutinitas kerja; (4) kurang kreatif dan inovatif serta malas meneliti; dan (5) kurang memahami PTK. Peran dan kedudukan guru di tengah masyarakat pun terus merosot. Ini bukan hanya terjadi di negara kita, tapi juga banyak terjadi di negara berkembang. Apalagi masyarakat menghargai seorang guru lebih cenderung dari sisi materi (Nurkolis, 2004). Secara politik pun, guru belum memiliki akses strategis terhadap kekuasaan. Menurut Husen (Nurkolis, 2004), karya-karya (baca hasil temuan atau penelitian) para guru tidak memiliki pengaruh terhadap pengambilan kebijakan para penguasa, dan hubungan keduanya tidaklah jelas. Temuan-temuan para guru sebagus apa pun dan sepenting apa pun jika tidak mendukung kedudukan penguasa, maka tidak ada artinya dan tidak dijadikan dasar pengambilan kebijakan. Bila ingin dekat dengan penguasa, maka guru harus tunduk pada penguasa. Karena itu, di mata penguasa, guru tidak memiliki kekuatan tawar. Fakta dan Persepsi tentang Sertifikasi Pendidik Sertifikasi Guru adalah upaya yang "paling akhir" saat yang bisa dilakukan saat ini untuk standarisasi kompetensi dan kualifikasi guru, sekaligus dimaksudkan untuk melakukan pengendalian mutu (quality control) dari suatu hasil pendidikan, audit, atau penilaian prestasi, kinerja, dll. Sertifikasi guru merupakan salah satu mekanisme seleksi, evaluasi yang memungkinkan seorang pemangku profesi benar-benar kompetitif diperbolehkan melaksanakan bidang keprofesiannya. Sertifikasi pendidik (guru) dilakukan melalui penilaian portofolio terhadap guru berpendidikan minimal S1/D4, baik PNS maupun non-pns tingkat TK, SD, SMP, dan SMA/SMK swasta dan negeri. Guru yang dinyatakan lulus, baik lulus langsung dari penilaian portofolio maupun setelah mengikuti pendidikan dan pelatihan profesi guru (PLPG), akan memperoleh sertifikat pendidik, nomor registrasi guru, dan tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok. Kebijakan pemerintah tentang sertifikasi pendidik pun tak luput dari banyaknya rumpang. Dalam tinjauan Sirodjuddin (2008), sertifikasi guru melalui komponen portofolio ternyata juga ditengarai kurang teruji secara baik. Fenomena yang ada di sekolah-sekolah, guru-guru yang dipanggil untuk sertifikasi hanya Diklat Pengembangan Profesi Keguruan dan Seminar Nasional 4

mengejar komponen-komponen portofolio yang relatif mudah, sementara untuk komponen yang susah mereka tinggalkan. Sebagai contoh, menjadi peserta seminar walaupun dengan biaya sendiri yang cukup tinggi mereka ikuti. Maka seminar menjadi lahan bisnis baru yang menggiurkan. Sementara hasil seminar tidak membekas di hati peserta apalagi ditindaklajuti. Seminar hanya mengejar sertifikat bukan ilmu yang dikejar. Komponen karya pengembangan profesi adalah komponen yang tidak dijamah. Mengutip pernyataan Fasli Jalal dalam kegiatan workshop Kepala Sekolah SMK Se-Kota Semarang, sangat sedikit Bapak Ibu Guru peserta uji sertifikasi yang melampirkan komponen karya pengembangan profesi. Senada dengan Sirodjuddin, Tim Peneliti dari Lembaga Penelitian SMERU, yang beranggotakan Hastuti, Sulaksono, Akhmadi, Syukri, Sabainingrum, dan Ruhmaniyati (2009) menyimpulkan bahwa pelaksanaan sertifikasi guru mempunyai beberapa kelemahan. Koordinasi horizontal antarlembaga masih terkendala, sosialisasi program bervariasi, dan informasi yang disampaikan belum menyeluruh; jumlah kuota antarwilayah studi tidak sebanding dengan jumlah guru yang memenuhi persyaratan; dalam jumlah terbatas terdapat indikasi penyimpangan penetapan guru peserta; terdapat laporan penyimpangan pembuatan portofolio; peserta yang lulus belum menerima nomor registrasi dan hanya sedikit yang sudah memperoleh sertifikat pendidik; dan pembayaran tunjangan profesi tersendat. Dampak sertifikasi bagi peningkatan kualitas guru pun menurut temuan Tim masih menjadi pertanyaan, namun program ini mampu mendorong minat guru untuk aktif mengikuti berbagai kegiatan dan guru yang belum memenuhi persyaratan terdorong untuk meningkatkan pendidikan hingga meraih gelar S1. Dengan kata lain, reward profesi cenderung menjadi main trigger dari segala motif kesertaan guru dalam sertifikasi, yang bisa menjadikan sistem sertifikasi kehilangan makna substantifnya. Karena orientasi ke arah professional profit secara ekonomis tampak lebih menonjol daripada sisi peningkatan status, kualifikasi, dan kualitas guru sebagai profesi. Indikasi ke arah itu, bisa kita cermati bersama dari antusiasme yang menggebu-gebu dari para guru untuk mengikuti studi pada jenjang S1 atau S2 kependidikan (Farisi, 2007). Karena itu, bisa dipahami, mengapa terhadap komitmen pemerintah untuk meningkatkan kompetensi dan kualifikasi guru pada jenjang Sarjana (S1) tampaknya juga tidak semuanya positif. Penelitian Mujiyati dan Murni (2003), menemukan bahwa masih ada guru yang bersikap netral, yang disebabkan mereka harus membayar sendiri biaya pendidikannya (swadana). Selain itu di dalam berbagai aturan dan panduan sertifikasi dan naskah perangkat portofolio, sama sekali tidak ditegaskan klasifikasi ijazah yang dinyatakan sah dan bisa dijadikan bukti fisik berdasarkan status perguruan tinggi yang mengeluarkan (apakah cukup hanya perguruan tinggi yang memperoleh ijin penyelenggaraan dan/atau yang sudah terakreditasi). Aturan dan panduan sertifikasi hanya menyebutkan bahwa kualifikasi akademik yaitu tingkat pendidikan formal yang telah dicapai sampai dengan guru mengikuti sertifikasi, baik pendidikan gelar (S1, S2, atau S3) maupun nongelar (D4 atau Post Graduate diploma), baik di dalam maupun di luar negeri. Bukti fisik yang terkait dengan komponen ini dapat berupa ijazah atau sertifikat diploma atau sertifikat keahlian dengan ketentuan: (1) relevan dengan jenis, jenjang, dan satuan pendidikan formal di tempat penugasan; (2) sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku tentang pendidikan tinggi. Ketidaktegasan dan ketidakjelasan aturan tentang kelayakan dan keabsahan ijazah sebagai portofolio kualifikasi akademik ini, tidak saja menimbulkan ketakpastian dan fitnah bagi publik luas, melainkan juga merupakan titik lemah proses sertifikasi. Seperti diakui oleh Dr Rahmat Wahab, Kepala Pelaksana Ujian Sertifikasi Guru dan Dosen (KPUSGD) Rayon 11 DIY Jateng, bahwa dari pengamatan ujian lalu banyak ijazah S1 dari para guru di DIY dan Jateng ini yang sebenarnya belum terakreditasi. Tetapi karena dari pusat Diklat Pengembangan Profesi Keguruan dan Seminar Nasional 5

aturannya cuma menyebutkan berijazah S1 tanpa penjelasan detail, maka sertifikasi tetap dilanjutkan sambil menunggu sikap dari Dirjen Dikti ke Diknas. Tentang kasus ijazah aspal (dikeluarkan oleh PT yang tidak berhak karena tidak memiliki ijin penyelenggaraan dari Dikti, belum terakreditasi oleh BAN, dan/atau menyelenggarakan kelas jauh) ini, tentu kita juga seringkali dengar, lihat, dan baca dari pembicaraan, media massa cetak atau elektronik. Bahkan, belakangan pernah menggemparkan Republik ini, karena ijazah tersebut diperoleh dari praktik-praktik penyelenggaraan pendidikan tinggi illegal baik yang dilakukan oleh perguruan tinggi nasional maupun luar negeri. Di Harian Kompas, 5 Mei 2002 hlm. 4 misalnya, disebutkan setidaknya ada 17 PT asing dan dua PT nasional berdasarkan SE. Dirjen Dikti Nomor : 870/D/T/2002 tanggal 6 Mei 2002 perihal lembaga penjual gelar, dinyatakan sebagai lembaga/perguruan tinggi yang melaksanakan kelas jauh dan melakukan penjualan gelar di Indonesia. Penyelenggaraan pendidikan yang mereka lakukan dianggap sebagai penipuan, tidak sesuai dengan Kepmendiknas no. 107/U/2001 tentang "Penyelenggaraan Program Pendidikan Tinggi Jarak Jauh". Hukuman yang akan mereka terima berdasarkan SE. Ditjen Dikti no. 3519/D/T/2004 dan no. 68 /D.5.1/2006 tegas dinyatakan bahwa ijasah yang diperoleh dari perguruan tinggi kelas jauh/paralel, baik yang diselenggarakan perguruan tinggi negeri maupun swasta tidak dapat digunakan atau civil effect terhadap pengangkatan maupun pembinaan jenjang karir pegawai negeri sipil. Sungguh pun demikian, praktik-praktik untuk memperoleh ijazah dan gelar semacam itu, dengan rasionalisasi beragam masih tetap berlangsung hingga sekarang, tak terkecuali di Kabupaten Pamekasan. Menurut statistik pendidikan kabupaten Pamekasan tahun 2005 jumlah lulusan S1 hanya 116 orang, sementara lulusan S2 belum ada (?), maka dalam dua tahun belakangan ini, jumlah lulusan S1 sudah tak terhitung banyaknya. Demikian pula halnya dengan lulusan S2, entah sudah berapa puluh guru/pendidik yang telah sukses mencapainya. Seperti penulis ketahui dan tentu para guru di Pamekasan lebih tahu, tidak semua bahkan prakiraan penulis lebih banyak gelar Sarjana dan Magister diperoleh dari perguruanperguruan tinggi yang dalam klasifikasi Dikti sebagai perguruan tinggi tidak memiliki ijin penyelenggaraan, terakreditasi, atau kelas jauh/paralel yang ijazahnya dengan tegas dinyatakan tidak dapat digunakan atau civil effect terhadap pengangkatan maupun pembinaan jenjang karir pegawai negeri sipil. Dalam hal ini, kesalahan memang bukan sepenuhnya berasal dari kita sebagai pengguna PT, baik karena ketidakcermatan terhadap status PT, keinginan yang menggebu untuk studi lanjut dan memperoleh ijazah/gelar secara instan. Kesalahan juga disebabkan oleh ketidaktegasan sikap dan komitmen pandega pendidikan dan pemerintah setempat; juga karena tidak adanya transparansi dari perguruan tinggi terhadap publik mengenai status institusinya. Namun demikian, siapapun yang bersalah, tanggungjawab sekaligus penerima akibat dari illegalitas itu semua adalah publik pengguna jasa layanan pendidikan tinggi, termasuk para guru. Untuk itu, kepada publik yang akan melanjutkan studi ke jenjang S1, S2, bahkan S3, perlu lebih bertindak cermat dengan mengakses berbagai sisi dari perguruan tinggi dimaksud. Salah satunya bisa dilakukan dengan mengakses direktori perguruan tinggi berijin/resmi/terakreditasi di seluruh Indonesia yang terdapat di situs depdiknas (www.depdiknas.go.id/, www.pts.co.id/, atau www.ban-pt.or.id/ ). Di dalam website tadi, publik dapat mengetahui tentang berbagai aspek dari sebuah perguruan tinggi, termasuk statusnya (hanya ijin penyelenggaraan, dalam proses ijin penyelenggaraan, terdaftar, diakui, disamakan, terakreditasi (A C), tak terakreditasi (D), dan/atau sama sekali tidak jelas ijin apalagi akreditasinya). Hal ini Diklat Pengembangan Profesi Keguruan dan Seminar Nasional 6

sangat penting dilakukan, agar publik pengguna jasa perguruan tinggi tidak terjebak oleh euforia untuk studi lanjut untuk sekadar memperoleh ijazah/gelar, atau oleh promosi besar-besar yang dilakukan oleh perguruan tinggi yang kini telah merambah hingga ke pelosok. Karena itu, Depdiknas berencana mengeluarkan standar operasional prosedur (SOP) yang digunakan untuk memantau kinerja guru seiring dengan dilaksanakannya sertifikasi. (Jawa Pos, 7/10/2009). Rencana ini memang sangat beralasan, karena menurut Setiawan (tt) model audit kinerja guru yang berlaku sesuai dengan prinsip-prinsip standar kompetensi profesional pendidik yang berlaku umum (SKPPBU) masih belum tersedia. Juga karena masih belum ada Standar Profesional Audit Kinerja Guru yang diterbitkan oleh pihak berwenang, seperti Dewan Pendidikan Nasional, Ikatan Profesi Guru (PGRI), dan lainnya. Belum adanya standar professional audit kinerja guru tersebut berakibat bahwa hingga saat ini belum diperoleh suatu temuan atas penyimpangan kinerja guru dalam kaitannya dengan pembayaran tunjangan fungsional dalam bentuk finansial. Audit kinerja guru merupakan salah satu mekanisme seleksi, evaluasi yang memungkinkan seorang pemangku profesi benar-benar kompetitif diperbolehkan melaksanakan bidang keprofesiannya. Audit kinerja guru adalah suatu proses kegiatan evaluasi/pengujian secara sistematis yang berisi tentang metode dan prosedur audit atas laporan kinerja guru dalam menjalankan tugas profesinya sebagai pendidik dan untuk mendapatkan informasi secara objektif dalam semua hal yang berhubungan dengan asersi tentang kejadiankejadian kegiatan kompetensi pendidik (guru) serta menentukan tingkat kesesuaian antara asersi kompetensi tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan dan mengkomunikasikan hasilnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan (Setiawan, 2008). Ada 2 jenis audit kinerja guru yang perlu dikembangkan, yaitu: (1) audit untuk pengujian kepatuhan dan pelaksanaan praktik yang sehat, serta (2) audit pengujian substantive atas laporan kinerja guru. Faktor Penyebab: Kompleks dan Dilematis Belum dimilikinya prinsip-prinsip profesional oleh guru dalam menekuni pofesi guru dan pengembangan profesinya, diakibatkan oleh faktor-faktor penyebab yang sangat kompleks dan dilematis. Akadum (1999) berpendapat bahwa penyebab kurang terpenuhinya prinsip-prinsip profesional oleh guru sangatlah kompleks, bersifat politis, ekonomi, sosial, di samping faktor internal guru sendiri. Masalahmasalah tersebut memiliki korelasi timbal-balik yang pemecahannya memerlukan kearifan dan kebijaksanaan beberapa pihak terutama pengambil kebijakan. Masalah-masalah tersebut antara lain: (1) profesi keguruan kurang menjamin kesejahteraan karena rendah gajinya; rendahnya gaji berimplikasi pada kinerjanya; (2) profesionalisme guru masih rendah; (3) masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara utuh atau total. Hal ini disebabkan oleh banyak guru yang bekerja di luar jam kerjanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sehingga kurang waktu untuk membaca dan menulis untuk meningkatkan diri; (4) kurangnya motivasi guru dalam meningkatkan kualitas diri karena guru tidak dituntut untuk meneliti sebagaimana yang diberlakukan pada dosen di perguruan tinggi; (5) kepatuhan guru terhadap norma dan etika profesi keguruan masih rentan dan rendah; (6) masih belum smooth-nya perbedaan pendapat tentang proporsi materi ajar yang diberikan kepada calon guru. Pemerintah Indonesia pun oleh Rumani (2006) dipandang belum serius menggarap persoalan pendidikan. Kebijakan baru yang sepenggal-sepenggal, temporer, tidak ada kepastian, mendadak, tidak fokus dan sistematis, mengakibatkan kebingungan peserta didik, orangtua dan pendidik. Kebijakan pendidikan yang tidak berorientasi mutu menyebabkan infrastruktur pendidikan jauh dari memadai (gedung sekolah tidak Diklat Pengembangan Profesi Keguruan dan Seminar Nasional 7

terawat, fasilitasi perpustakaan belum maksimal, guru yang tidak kompeten mengajar), yang semuanya itu justru menimbulkan kerugian yang tidak sebanding (tingkat pengangguran tinggi dan tidak kompeten). Dalam hal kemampuan menulis karya-karya ilmiah-keprofesian, faktor dari sekolah tempat guru mengabdi, juga tidak selamanya kondusif bagi pembentukan kemampuan guru untuk meneliti. Di antaranya adalah bahwa kultur di sekolah tidak banyak menuntut perubahan, karena kepala sekolah cenderung memiliki orientasi birokrasi yang terlalu kuat dalam kegiatannya sebagai administrator (Addauri, 1995); peran, fungsi, dan tugasnya sebagai edukator, manager, administrator, supervisor, leader, innovator, dan motivator (EMASLIM) pada umumnya belum dilaksanakan secara optimal dalam pengelolaan sekolah sesuai dengan konsep kepemimpinan yang efektif, disebabkan kepala sekolah belum menguasai konsep-konsep kepemimpinan, dan kinerja yang belum optimal (Akil, 2002). Akibatnya, guru merasa cukup dengan kemampuan yang dimiliki. Itu membuat minat guru untuk menulis dan meneliti sangat rendah. Target sekolah yang berlebih dan minimnya kesejahteraan guru juga menjadi faktor yang menyebabkan tradisi menulis dan meneliti kurang populer di antara guru. Yang tak kalah penting, ternyata tidak banyak sekolah yang memiliki majalah atau jurnal. Miskinnya publikasi ilmiah dan PTK para guru juga disebabkan tiadanya fasilitas perpustakaan yang memadai dan dukungan dana. Kondisi perpustakaan yang memprihatinkan menyebabkan guru kesulitan memperoleh referensi yang dibutuhkan. Dukungan dana untuk kegiatan PTK juga tidak pernah muncul dalam RAPB sekolah (Biyanto, Jawa Pos 15 November 2009). Minimnya penguasaan keterampilan guru membuat karya-karya pengembangan profesi, tampaknya berkorelasi signifikan positif dengan rendahnya pemanfaatan perpustakaan, khususnya perpustakaan sekolah. Di kalangan profesional, seperti juga guru, niscaya mengakui bahwa perpustakan sekolah dapat membantu mereka menemukan sumber-sumber pembelajaran, dan membantu menggugah kesadaran profesional guru untuk membaca dan menulis, serta senantiasa mengikuti perkembangan iptek. Apalagi jika pengadaan bahan pustakanya dilakukan secara teratur dan terus menerus, dikelola dengan baik, dan diberdayakan koleksi pustakanya. Perpustakaan sesungguhnya merupakan lembaga edukatif, informatif, preservatif dan rekreatif yang diterjemahkan sebagai bagian aktivitas ilmiah, tempat penelitian, tempat pencarian data/informasi yang otentik, tempat menyimpan, tempat penyelenggaraan seminar dan diskusi ilmiah, tempat rekreasi edukatif, dan kontemplatif bagi masyarakat luas (Rusyanti, tt). Sayangnya, temuan penelitian Rumani (2006) mengungkap realitas yang ironis, bahwa perpustakaan sekolah dan perguruan tinggi, bagi kebanyakan guru masih termarginalkan, belum dijadikan tempat belajar dan mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Perpustakaan masih dipersepsi guru sebatas sebagai unsur penunjang, dan belum sebagai basis pendidikan. Akibatnya, pendidikan sebagai hak dasar warga negara yang dijadikan tolok ukur kualitas sumber daya manusia dihadapkan pada situasi dilematis. Rendahnya pemanfaatan perpustakaan ini, tidak saja merugikan guru, melainkan juga sangat merugikan perpustakaan itu sendiri. Tanpa adanya pemanfaatan koleksi bahan pustaka secara maksimal, keberadaan sebuah perpustakaan menjadi kurang berarti (Rusyanti, tt). Upaya Tak Sepenuhnya Menggembirakan Untuk meningkatkan profesionalisme guru, sesungguhnya telah banyak upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan organisasi profesi guru, dalam bentuk peraturan perundang-undangan, yang memberikan hak, kewenangan, dan/atau sanksi yang tegas, jelas, dan pasrti terhadap pemangku profesi, dan atau pelanggaran terhadap profesi oleh orang lain yang bukan ahlinya, atau kebijakan- kebijakan yang diharapkan Diklat Pengembangan Profesi Keguruan dan Seminar Nasional 8

bisa memberikan ruang yang lebih terbuka bagi guru untuk mengekspresikan keahliannya. Tetapi tampaknya tidak seluruhnya disikapi secara sadar dan profesional. Tahun 1989 pemerintah telah membuat aturan tentang kenaikan jabatan fungsional guru, melalui Kepmendiknas no. 57686/MPK/1989; Surat Edaran Bersama Mendikbud & Menpan no. 38/SE/1989, yang kemudian direvisi menjadi Kepmenpan nomor 84/1993 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, serta Keputusan bersama Mendikbud Kepala BAKN Nomor 0433/P/1993, nomor 25 tahun 1993 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, yang pada prinsipnya bertujuan untuk membina karier kepangkatan dan profesionalisme guru. Namun seperti ditemukan oleh Suhardjono, tidak sedikit karya pengembangan profesi para guru (KTI) terbukti milik orang lain yang dinyatakan sebagai karyanya, atau KTI tersebut DIBUATKAN oleh orang lain, yang umumnya diambil (dijiplak) dari skripsi, tesis atau laporan penelitian. Selain bahwa KTI yang ada tidak berkaitan dengan permasalahan atau kegiatan nyata yang dilakukan oleh guru dalam kegiatan pengembangan profesinya. Pengalaman penulis sebagai tim penilai Karya Tulis Ilmiah tingkat Provinsi Jawa Timur dalam rangka kenaikan pangkat/jabatan guru dari golongan IV/a ke IV/b, juga banyak menemukan adanya kepekatan praktik manipulasi, plagiarisme, dan non-etis dalam pembuatan KTI. Berbagai bentuk praktik kontraprofesional seperti itu, ternyata tidak hanya terjadi di lingkup kecamatan dan kabupaten, melainkan telah membentuk semacam regional networking di antara para penjahit KTI hingga lingkup provinsi. Apabila hal demikian juga terjadi dalam sertifikasi, penulis tidak yakin bahwa sistem portofolio profesional yang kini berlaku bisa sepenuhnya mencapai tujuan yang diharapkan. Melihat realitas ini, untuk membentuk dan meningkatkan kemampuan guru menulis karya-karya profesional, pemerintah dan/atau organisasi profesi guru juga telah berbuat banyak. Di hampir setiap kota/kabupaten, diadakan berbagai jenis pelatihan, penataran atau workshop penulisan karya ilmiah. Sejalan dengan kemajuan perkembangan teknologi ICT, Dirprodik Dit PMPTK mengadakan program pembimbingan penulisan karya ilmiah secara online bagi guru (KTI-Online) yang dilakukan dengan model terbuka melalui forum diskusi. Namun demikian, hasil penelitian Surjono, Sumardiningsih, Respati, dan Widiatmono (2007) menyimpulkan bahwa sistem KTI Online kurang efektif, belum mantap. Aktivitas pembimbingan yang telah berlangsung sangat rendah. Dari 589 guru yang menjadi target, hanya 143 guru (24.2 %) yang telah berhasil login. Mereka rata-rata hanya melakukan konsultasi (menyampaikan pertanyaan) sebanyak 2.57 kali, guru kurang aktif dalam pembimbingan, dan tingkat efektivitas (ketercapaian tujuan) program pembimbingan sangat rendah. Dari 589 guru yang menjadi target pembimbingan hanya 3 orang guru saja yang telah menyerahkan laporan penelitian. Profesi guru telah memiliki berbagai institusi/lembaga peningkatan tenaga kepandidikan (LPTK); lembaga penjaminan mutu pendidikan (LPMP). Tetapi dalam hal ini pun tampaknya pengakuan terhadap ilmu pendidikan dan keguruan masih setengah hati dari pengambilan kebijakan dan pihak-pihak terlibat. Hal ini terbukti dari masih belum mantapnya kelembagaan pencetak tenaga keguruan dan kependidikan (LPTK) seperti kebijakan wider mandate yang mengharuskan IKIP diubah menjadi universitas. Selain itu, juga ditemukan adanya perguruan tinggi sebagai pencetak guru yang lulusannya asal jadi, tanpa mempehitungkan output-nya kelak di lapangan, sehingga menyebabkan banyak guru yang tidak patuh terhadap etika profesi keguruan (Akadun, 1999). Dalam hal keberadaan LPMP pun, tampaknya masih ada kendala institusional berkaitan dengan persoalan siapa yang berhak menilai usulan angka kredit guru, LPMP atau Dinas Diklat Pengembangan Profesi Keguruan dan Seminar Nasional 9

Pendidikan Provinsi?. Dalam kasus ini, akhirnya usulan angka kredit untuk kenaikan jabatan fungsional guru ada yang diusulkan ke LPMP dan ada pula yang diusulkan ke Dinas Pendidikan Provinsi. Profesi guru juga telah memiliki organisasi-organisasi profesi seperti Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Ikatan Guru TK Indonesia (IGTKI), Ikatan Profesi Guru (IPG), dll., yang merupakan media/alat untuk mengembangkan bidang, memajukan kualitas, mengusahakan kesejahteraan anggota, dan mengarahkan profesionalisme anggota. Bahkan di dalam organisasi profesi guru terdapat Dewan kehormatan Guru berwenang mengawasi pelaksanaan kode etik guru dan memberikan rekomendasi pemberian sanksi atas pelanggaran kode etik oleh guru (UU no. 14 tahun 2005, psl. 44). Profesi guru juga telah memiliki pusatpusat kegiatan pembinaan dan pengembangan profesi, seperti Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), Pusat Kegiatan Guru (PKG), Kelompok Kerja Guru (KKG), atau Kelompok Kerja Kepala Sekolah (KKKS) dan Musyawarah KKS (MKKS). Namun demikian, Akadum (1999) menengarai bahwa PGRI sebagai organisasi profesi masih belum berfungsi dan berupaya secara maksimal untuk meningkatkan profesionalisme anggotanya, dan masih ada kecenderungan yang lebih politis. Dengan melihat adanya faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya profesionalisme guru, PGRI perlu terus berupaya untuk mencari alternatif untuk meningkatkan profesi guru. Satu hal yang kontributif dari PGRI adalah hasil survei mengenai dampak sertifikasi terhadap kinerja guru. Dari survei tersebut dinyatakan bahwa kinerja guru yang sudah lolos sertifikasi belum memuaskan. Motivasi kerja yang tinggi justru ditunjukkan guru-guru di berbagai jenjang pendidikan yang belum lolos sertifikasi. Harapan mereka adalah segera lolos sertifikasi berikut memperoleh uang tunjangan profesi. Addauri (1995) juga menemukan bahwa keberadaan KKKS; KKG; PKG; dan organisasi profesi seperti; PGRI dan ISPI sebagai wadah pembinaan profesional murang dimanfaatkan oleh kepala sekolah. Di samping bahwa ruang lingkup program PGRI yang belum komprehensif, dan belum dimilikinya instrumen monitoring dan evaluasi kinerja guru (Benosaputra, 2001). Komunitas pendidikan (termasuk guru) juga telah memiliki lembaga mandiri yang dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota dan satuan pendidikan, yaitu Dewan Pendidikan (DP) atau Board of Education, dan Komite Sekolah (KS) yang dibentuk sesuai dengan Keputusan Mendiknas No.044/U/2002 dan selanjutnya ditetapkan dalam UU-Sisdiknas no. 20 tahun 2003 (psl. 55). Pembentukan kedua lembaga ini berkaitan dengan upaya pemerintah untuk lebih memberdayakan daerah dan satuan-satuan pendidikan sejalan dengan konsep manajemen pendidikan yang berbasis sekolah/masyarakat (school/community based management). DP-KS berfungsi sebagai badan pertimbangan, pendukung, pengontrol, dan mediator di bidang pendidikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kontribusi peran komite sekolah dan kepemimpinan kepala sekolah terhadap efektivitas pengelolaan sekolah masing-masing hanya sebesar 9,61% dan 3,84% dan secara bersama-sama sebesar 10,05% (Rahmani, 2005). Pengaruh tingkat keterlibatan dewan sekolah terhadap peningkatan kualitas kinerja manajemen penyelenggaraan pendidikan di sekolah dirasakan kurang maksimal dan perlu lebih ditingkatkan (Prabowo, 2003). Lebih jauh penelitian lembaga ICW yang dilakukan oleh Irawan, Eriyanto, Djani, & Sunaryanto (2004; cf. Heryanto, 2007) mengungkapkan bahwa di dalam pelaksanaan MBS masih sangat besar peranan kepala sekolah di dalam penentuan berbagai kebijakan, belum melibatkan seluruh stakeholder pendidikan yaitu orang tua, masyarakat, peserta didik, seluruh staf guru, dan seluruh masyarakat sekitar yang memiliki sekolah. Akibatnya, kebijakan-kebijakan yang diambil Diklat Pengembangan Profesi Keguruan dan Seminar Nasional 10

kebanyakkan bersifat tertutup sehingga MBS yang kerap harus dikaitkan dengan Komite Sekolah belum berjalan mekanismenya. Dengan kata lain kontrol dari masyarakat belum berjalan. Septiadhi (2005) juga menemukan bahwa secara keseluruhan implementasi MBS belum efektif, karena ditemukan belum berdampak terhadap peningkatan mutu sekolah, karena kurang didukung oleh profesionalisme personil sekolah dan komite sekolah, juga kepedulian masyarakat terhadap peningkatan mutu sekolah. Karena itu pula, dukungan dana untuk kegiatan penelitian oleh guru ditengarahi juga tidak pernah muncul dalam RAPB sekolah (Biyanto, Jawa Pos 15 November 2009). Berkaitan dengan implementasi KTSP salah satu unsur dalam pengembangan profesi guru penelitian Sutrisno dan Nuryanto (2008) juga menemukan bahwa Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah hanya hiasan struktur organisasi, dan bukan sebagai alat vital organisasi. Mereka tak berdaya karena ketidaktahuan dan kebiasaan ketergantungan. Paradoks KTSP dan kesiapan guru bisa menjadi musibah nasional pendidikan. Musibah intelektual ini sulit di-recovery dan butuh waktu relatif lama, apalagi jika dikaitkan dengan konteks global jelas terjadi ironi. Misi DP dan KS juga dipandang begitu besar dalam proses demokratisasi, partisipasi, dan akuntabilitas pendidikan, tetapi kurang dukungan dari pemerintah. Sehingga pelaksanaan missinya menjadi sebuah mission impossible (Dharma, 2005). Adalah fakta, bahwa pelaksanaan peran dan fungsi DP dan KS belum optimal dalam mendukung upaya peningkatan mutu layanan pendidikan, sekalipun untuk memberdayakan keduanya pemerintah melaksanakan berbagai upaya strategis seperti workshop Dewan Pendidikan, pemberian subsidi stimulan Dewan Pendidikan, pemilihan Komite Sekolah Hibah Bersaing, lokakarya Komite Sekolah Hibah Bersaing, dan kegiatan pendukung lainnya. Persoalannya menurut Ditjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah karena keberadaan DP dan KS belum sepenuhnya diterima secara terbuka oleh birokrasi dan legislatif, dan pemangku kepentingan lainnya, untuk kemitraan yang akan dibangun oleh Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Indikasinya adalah: (1) ada walikota yang dengan cara yang arogan telah membubarkan Komite; (2) ada bupati yang baru terpilih dalam pilkada yang telah memecat Ketua Dewan Pendidikan, dengan alasan tertentu; (3) ada kepala sekolah yang telah memecat komite sekolah, karena tidak mau menandatangani laporan pertanggungjawaban BOS; dan (4) masih ada beberapa gubernur belum memiliki respon dalam pembentukan Dewan Pendidikan Provinsi (Depdiknas, 2007). Profesi guru juga telah memiliki Kode Etik Profesi Guru yang dirumuskan oleh Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Kode etik profesi merupakan norma dan asas yang disepakati dan diterima guruguru di Indonesia sebagai pedoman sikap dan perilaku dalam melaksanakan tugas profesi sebagai pendidik, anggota masyarakat dan warga negara (UU no. 14 tahun 2005). Etika atau kode etik profesi bukan saja penting sebagai upaya organisasi profesi guru untuk menciptakan, mempertahankan, dan melestarikan pola-pola harmonis dan menguntungkan di antara anggota sesama anggota komunitas profesi, dan antar anggota dan komunitas profesi umumnya. Lebih dari itu, etika atau kode profesi penting untuk mengembangkan kultur dan tradisi keprofesian yang sehat dan menjunjung tinggi sikap-sikap profesional (kejujuran, kesetiaan pada kebenaran, rasa ingin tahu, dan interestedness). Kode etik profesi juga disusun untuk mengembangkan dan mengarahkan perkembangan profesi. Apabila seorang profesional melanggar kode etik, maka dia akan ditegur, diperingatkan, bahkan mungkin diberi sanksi oleh organisasi profesinya. Diklat Pengembangan Profesi Keguruan dan Seminar Nasional 11

Terhadap upaya ini pun tak semulus seperti yang dicitakan. Kepatuhan guru terhadap norma dan etika profesi keguruan masih rentan dan rendah. Temuan Suhardjono, bahwa tidak sedikit karya pengembangan profesi para guru (KTI) terbukti milik orang lain yang dinyatakan sebagai karyanya, atau KTI tersebut DIBUATKAN oleh orang lain, yang umumnya diambil (dijiplak) dari skripsi, tesis atau laporan penelitian (plagiarisme). Selain bahwa KTI yang ada tidak berkaitan dengan permasalahan atau kegiatan nyata yang dilakukan oleh guru dalam kegiatan pengembangan profesinya. Untuk mengantisipasi praktik-praktik pelanggaran etika ini, pemerintah mengeluarkan UU Hak Cipta tahun 1997, yang kemudian diperbaharui pada tahun 2000, tahun 2001, dan terakhir tahun 2002 (UU no. 19/2002). Walaupun nuansa pertimbangan ekonomis lebih mengemuka, akan tetapi secara substantif HaKI pada dasarnya adalah hak eksklusif yang diberikan Negara kepada individu pelaku HaKI (inventor, pencipta, pendesain dan sebagainya). Maksudnya tiada lain sebagai penghargaan atas sebuah hasil karya (kreativitas) mereka dan agar orang lain terangsang untuk dapat lebih lanjut mengembangkannya lagi. Upaya lain yang dilakukan oleh pemerintah adalah standarisasi kompetensi dan kualifikasi profesi guru melalui UU RI No 14/2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD), dan PP RI Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). Tujuannya adalah agar para pendidik (guru) sebagai agen pembelajaran memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi professional pendidik sebagai agen pembelajaran. Kualifikasi akademik profesi guru adalah sarjana (S1) atau program diploma empat (D-IV) yang sesuai dengan tugas sebagai guru, yang diperoleh melalui pendidikan tinggi. Kompetensi profesional guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional, yang terintegrasi di dalam kinerja guru. Di antara upaya-upaya sebelumnya, standarisasi kompetensi dan kualifikasi profesi guru ini tampaknya paling disikapi dengan penuh antusiasme karena terkait dengan program Sertifikasi Guru yang sangat menjanjikan bagi komunitas guru. Penelitian Efie (1999) mengungkapkan bahwa kinerja para guru SD (lulusan) Program S-1 cukup memadai. Manfaat tugas belajar yang diberikan oleh Dinas Pendidikan cukup memperoleh wawasan dan ilmu pengetahuan, mampu mengelola proses belajar mengajar, mempu melaksanakan administrasi sekolah, selain itu terungkap pula motivasi untuk bekerja lebih baik belum memadai di lingkungan kerjanya, lebih jauh terungkap bahwa kurangnya perhatian atasan, sehingga tidak adanya keseimbangan mengenai pengembangan karir bagi para guru (lulusan) program S-1, ini disebabkan tidak adanya evaluasi terhadap lulusan Program S-1. Sejalan dengan itu, hasil penelitian Mujiyati dan Murni (2003) juga menemukan bahwa masih ada guru yang bersikap netral terhadap upaya peningkatan kualifikasi pendidikan mereka minimal pada jenjang S1/D-IV, yang di antaranya karena mereka harus membayar sendiri biaya pendidikannya (swadana). Kita pun sering mendengar bahwa banyak di antara para guru memiliki gelar Sarjana dan Magister yang diperoleh dari perguruan-perguruan tinggi yang dalam klasifikasi Dikti sebagai perguruan tinggi tidak memiliki ijin penyelenggaraan, terakreditasi, atau kelas jauh/paralel yang ijazahnya dengan tegas dinyatakan tidak dapat digunakan atau civil effect terhadap pengangkatan maupun pembinaan jenjang karir pegawai negeri sipil. Penelitian Hastuti, Sulaksono, Akhmadi, Syukri, Sabainingrum, dan Ruhmaniyati (2009) dari Lembaga Penelitian SMERU juga menemukan bahwa aturan tersebut mampu mendorong minat guru untuk aktif mengikuti berbagai kegiatan, dan guru yang belum memenuhi persyaratan terdorong untuk meningkatkan pendidikan hingga meraih gelar S1, walaupun juga tidak semuanya positif. Surabaya, 20 Februari 2010. Diklat Pengembangan Profesi Keguruan dan Seminar Nasional 12

Daftar Pustaka Addauri. 1995. Studi tentang Kreativitas Kepala Sekolah dalam Mengembangkan Kegiatannya Sebagai Administrator Pada Sekolah Dasar Dalam Wilayah Kotamasya Daerah Tingkat II Pekanbaru. Propinsi Riau. Tesis PPS-IKIP Bandung. Diunduh di: http://digilib.upi.edu/pasca/ (20-02-2010) Akadum. 1999. Potret Guru Memasuki Milenium Ketiga. Suara Pembaharuan. Diunduh dari: http://www.suara pembaharuan.com/news/1999/01/220199/oped. (18 Februari 2010). Akil. 2002. Peranan Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Motif Berprestasi Tenaga Kependidikan dan Pengaruhnya Terhadap Prestasi Belajar Siswa: Studi Deskriptif Analitis pada SLTP Negeri di Kabupaten Indramayu. Tesis PPS-IKIP Bandung. Diunduh di: http://digilib.upi.edu/pasca/ (20-02-2010). Benosaputra, A. (2001). Peranan PGRI dalam Meningkatkan Profesionalisme Guru Sekolah Dasar di Kota Bandung: Studi Evaluatif tentang Implementasi Program Kerja PGRI Kota Bandung Masa Bakti 1995--2000. Tesis PPS- IKIP Bandung. Diunduh di: http://digilib.upi.edu/pasca/ (20-02-2010). Biyanto. (2009). Mendorong Guru Senang Menulis. Jawa Pos, 15 November 2009. Budiastra, A.A.K. (2001). Sejauhmana Guru Telah Menguasai Konsep Keterampilan Proses dan Sejauhmana Keterampilan Proses Tersebut Dilaksanakan dalam Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar. Laporan Penelitian. Jakarta: Lemlit-UT. Diunduh di: http://pustaka.ut.ac.id/puslata/ (18 Februari 2010). Dahrin, D. (2000). Memperbaiki Kinerja Pendidikan Nasional Secara Komprehensip: Transformasi Pendidikan. Komunitas, Forum Rektor Indonesia. Vol.1 No. Hlm 24. Depdiknas, 2007. Pemberdayaan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Jakarta: Ditjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah. Dharma, S. 2005. Dewan Pendidikan : The Mission Impossible. Diunduh di: http://satriadharma.blogspot.com/ 2005/03/dewan-pendidikan-mission-impossible.htm. (20-02-2010). Djalal, F. & Sardjunani, N. (2006). Pendidikan Untuk Semua: Keaksaraan Bagi kehidupan (Ringkasan). Laporan Pengawasan Global PUS. Efie. 1997. Kemampuan Guru SD Melaksanakan Tugas Bagi yang Telah Mengikuti Tugas Belajar Program S-1 di Lingkungan Dinas P dan K Dati II Propinsi Riau. Tesis PPS-IKIP Bandung. Diunduh di: http://digilib.upi.edu/pasca/ (20-02-2010). Farisi, M.I. (2007). Refleksi Profesional: Sertifikasi Pendidik dan Standarisasi Profesionalitas Guru. Pamerte: Majalah Dwibahasa Dinas Pendidikan Kabupaten Pamekasan. Edisi November Desember 2007. Harian Kompas. (edisi 8 Oktober 2009). Guru Belum Miliki Tradisi Penelitian. Diunduh di: http://indonesiabuku.com/?p=1958. (18 Februari 2010). Harjono, Y. (2009). Guru Masih Terkendala Menulis. Kompas.com. Jumat, 6 November 2009. diunduh di: www.kompas.com/ (18 Februari 2010). Hastuti., Sulaksono, B., Akhmadi, Syukri, M., Sabainingrum, U., dan Ruhmaniyati. (2009). Pelaksanaan Sertifikasi Guru dalam Jabatan 2007: Studi Kasus di Provinsi Jambi, Jawa Barat, dan Kalimantan Barat. Laporan Penelitian. Jakarta: Lembaga Penelitian SMERU. Heryadi, Ch. 2007. Persepsi guru tentang kemampuan manajerial kepala sekolah dan kinerja komite sekolah terhadap efektivitas implementasi manajemen berbasis sekolah : studi kasus pada Sekolah Dasar Negeri di Kabupaten Lahat. Tesis PPS-IKIP Bandung. Diunduh di: http://digilib.upi.edu/pasca/ (20-02-2010). Irawan, A., Eriyanto, Djani, L., & Sunaryanto, A. (2004). Mendagangkan Sekolah. Jakarta: Indonesia Corruption Watch. Kustono, Dj. (2007). Urgensi Sertifikasi Guru, makalah Seminar Nasional Dalam Rangka Dies UNY ke-43 tanggal 5 Mei 2007, di Yogyakarta. Kusumah, W. (22 Januari 2009). Alasan Guru Takut Meneliti. Kompasiana. Diunduh di: http://umum.kompasiana.com/ (18 Februari 2010). Mujiyati, E., & Murni, S. (2003). Sikap Guru SD Lulusan Program DII Terhadap Program S1 PGSD UT di Kabupaten Karanganyar UPBJJ-UT Surakarta. Laporan Penelitian. Pusat Studi Indonesia-UT. Diunduh di: http://pustaka.ut.ac.id/puslata/ (18 Februari 2010). Mulyana. (2006). Sikap Profesional Guru Madrasah Tsanawiyah (Survei di Provinsi Banten). Laporan Penelitian, tidak diterbitkan. Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta. Nasanius, Y. 1998. Kemerosotan Pendidikan Kita: Guru dan Siswa Yang Berperan Besar, Bukan Kurikulum. Suara Pembaharuan. (Online) (http://www.suara pembaharuan.com/news/1998/08/230898, diakses 7 Juni 2001). Hlm. 1-2. Nurkolis. (6 Desember 2004). Mempertanyakan Keprofesionalan Guru. Suara Merdeka. Diunduh dari: http://www.suaramerdeka.com/harian/0412/06/opi03.htm (18 Februari 2010). Rabowo. A. (2003). Menuju Pemberdayaan Dewan Sekolah dalam Penyelenggaraan Pendidikan: Studi Desktiptif Analitik Tentang Partisipasi Masyarakat Melalui Dewan Sekolah Dalam Peningkatan Kualitas Manajemen Penyelenggaraan Pendidikan Di Sekolah Dasar Negeri Kota Cirebon Tahun 2002. Tesis PPS-IKIP Bandung. Diunduh di: http://digilib.upi.edu/pasca/ (20-02-2010). Diklat Pengembangan Profesi Keguruan dan Seminar Nasional 13

Rahmani. 2005. Kontribusi Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Komite Sekolah Terhadap Efektivitas Pengelolaan Sekolah: Studi Pada SLTP Negeri di Kota Tangerang Provinsi Banten. Tesis PPS-IKIP Bandung. Diunduh di: http://digilib.upi.edu/pasca/ (20-02-2010). Rumani, S. (2006). Peranan Perpustakaan dalam Mewujudkan Pendidikan Bermutu. Media Pustakawan. 13(3 &.4), Desember 2006. Rusyanti. (tt). Pemanfaatan Teknologi Informasi Bagi Perpustakaan Sekolah. Makalah diajukan untuk memenuhi tugas dalam pelatihan jardiknas di Kabupaten Kendal. Sembiring, D. (2007). Upaya Peningkatan Kemampuan Menulis dan Kualitas Karya Tulis Ilmiah Guru. Septiadhi, B. 2005. Efektivitas Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) Sebagai Upaya Peningkatan Mutu Sekolah di Sekolah Dasar. Skripsi Sarjana UPI-Bandung. Diunduh di: http://digilib.upi.edu/pasca/ (20-02-2010). Setiawan, Ng. (2008). Pengembangan Model Audit Kinerja Guru dalam Mendukung Program Sertifikasi Pendidikan. Diunduh dari: http://puslitjaknov.org/data/file/2008 (18 Februari 2010). Sirodjuddin, A. (2008). Sertifikasi Guru Tidak Akurat. Pendidikan Network. Diunduh di: http://researchengines.com/ardan0608.html; http://psg15.um.ac.id/?p=920) Suhardjono. (2005). Laporan Penelitian Eksperimen dan Penelitian Tindakan Kelas sebagai KTI. makalah pada pelatihan peningkatan mutu guru di Makasar, Jakarta tahun 2005 Suhardjono. (2006a). Laporan Penelitian sebagai KTI. Makalah pada pelatihan peningkatan mutu guru dalam pengembangan profesi di Pusdiklat Diknas Sawangan, Jakarta, Februari 2006. diunduh dari: http://ptkguru.wordpress.com/2008/05/20/karya-tulis-ilmiah-d.. (18 Februari 2010). Suhardjono. (2006b). Peningkatan Karir Tenaga Kependidikan, khususnya dalam hal pembuatan Karya Tulis Ilmiah sebagai Kegiatan Pengembangan Profesi. Disajikan pada Temu Konsultasi dalam Rangka Koordinasi dan Pembinaan Kepegawaian Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Departemen Pendidikan Nasional, Biro Kepegawaian, Griya Astuti Nopember 2006. Suhardjono. (2009). Tanya-jawab di Sekitar Karya Tulis Ilmiah dalam Kegiatan Pengembangan Profesi Guru. Makalah bahan diskusi pada Rapat Koordinasi KTI on-line, 17-20 Februari 2009, Hotel Sahid Surabaya. Diunduh dari: http://www.ktiguru.org/file.php/1/moddata/data/ 3/9/6/TANYA_J... (18 Februari 2010). Sumargi. 1996. Profesi Guru Antara Harapan dan Kenyataan. Suara Guru No. 3-4/1996. Hlm. 9-11. Surjono, H.D., Sumardiningsih, S., Respati, D., & Widiatmono, R. (2007). Studi Efektivitas Pembimbingan Penulisan Karya Ilmiah Online Bagi Guru: Ringkasan Laporan Penelitian. Yogyakarta: Lembaga Penelitian UNY. Sutrisno dan Nuryanto (2008). Profil Pelaksanaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di Provinsi Jambi (Studi Evaluatif Pelaksanaan KTSP, SD, SMP dan SMA). Makalah pada Simposium Tahunan Penelitian Pendidikan 2008. Diklat Pengembangan Profesi Keguruan dan Seminar Nasional 14