BAB I PENDAHULUAN. syndrome, hyperactive, cacat fisik dan lain-lain. Anak dengan kondisi yang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menerima bahwa anaknya didiagnosa mengalami autisme.

BAB I PENDAHULUAN. Individu yang hidup pada era modern sekarang ini semakin. membutuhkan kemampuan resiliensi untuk menghadapi kondisi-kondisi

1. PENDAHULUAN. Gambaran resiliensi dan kemampuan...dian Rahmawati, FPsi UI, Universitas Indonesia

BAB I. PENDAHULUAN UKDW. hidup seoptimal mungkin (Depkes RI, 2006). Di bidang pencegahan dan

RESILIENSI PADA PENYANDANG TUNA DAKSA PASCA KECELAKAAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. salah satunya adalah kecelakaan. Ada berbagai jenis kecelakaan yang dialami oleh

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan fisik dan juga kelainan fisik yang sering disebut tunadaksa.

2016 PROSES PEMBENTUKAN RESILIENSI PADA IBU YANG MEMILIKI ANAK PENYANDANG DOWN SYNDROME

BAB I PENDAHULUAN. segala potensinya. Oleh sebab itu pendidikan harus diterima olah setiap warga negara,

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Anak-anak yang Spesial ini disebut juga sebagai Anak Berkebutuhan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan di Indonesia merupakan suatu hal yang wajib ditempuh oleh semua warga negara.

BAB I PENDAHULUAN. yang begitu bahagia dan ceria tanpa lagi ada kesepian. dengan sempurna. Namun kenyataannya berkata lain, tidak semua anak dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. paling penting dalam pembangunan nasional, yaitu sebagai upaya meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan tubuhnya secara efektif. Lebih lanjut Havighurst menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Setiap manusia pasti memiliki masalah dalam hidup. Kita juga pernah

BAB I PENDAHULUAN. kepada para orang tua yang telah memasuki jenjang pernikahan. Anak juga

BAB 1 PENDAHULUAN. Setiap manusia ingin terlahir sempurna, tanpa ada kekurangan,

LAPORAN OBSERVASI LAPANGAN PERKEMBANGAN DAN PROSES PEMBELAJARAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jumlah penyandang disabilitas di Indonesia saat ini dapat dikatakan memiliki angka

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyandang tunadaksa seringkali digambarkan sebagai figur yang

BAB I PENDAHULUAN. terjadi pada waktu dan tempat yang kadang sulit untuk diprediksikan. situasi

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Salah satu tujuan bangsa Indonesia yang tertuang dalam pembukaan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki perbedaan

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan penelitian dan pengembangan serta akan diuraikan juga mengenai

BAB I PENDAHULUAN. Setiap anak diharapkan tumbuh dan berkembang secara sehat, baik fisik,

BAB I PENDAHULUAN. SMP/MTs/SMPLB/Paket B, SMA/MA/SMALB/Paket C, SMK/MAK, atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Resiliensi. Sedangkan Hildayani (2005) menyatakan resiliensi atau ketangguhan adalah suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masa remaja merupakan peralihan antara masa kanak-kanak menuju

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. A. Simpulan. pencapaian kebermaknaan hidup pada ibu dari penyandang cerebral palsy adalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. sesuatu yang di buat keluarganya dapat mempengaruhi anak begitupun

2015 HUBUNGAN KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KEMAMPUAN MENGENDALIKAN EMOSI DAN MOTIVASI PADA ATLET FUTSAL PUTERI UKM UPI

BAB I PENDAHULUAN. dan masyarakat. Pendidikan juga merupakan usaha sadar untuk menyiapkan

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan lebih lanjut ke perguruan tinggi ( Perguruan tinggi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Manusia terlahir di dunia dengan kekurangan dan kelebihan yang berbedabeda.

BAB V PEMBAHASAN. A. Rangkuman Hasil Seluruh Subyek Hasil penelitian dengan mengunakan metode wawancara, tes

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Semua individu berhak mendapatkan pendidikan. Hal tersebut sesuai

BAB I LATAR BELAKANG. dari anak kebanyakan lainnya. Setiap anak yang lahir di dunia dilengkapi dengan

Resiliensi Seorang Wanita Dalam Menghentikan Perilaku Merokok dan Minum Alkohol HELEN YOHANA SIRAIT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. telah membina keluarga. Menurut Muzfikri (2008), anak adalah sebuah anugrah

2015 PEMBELAJARAN TARI MELALUI STIMULUS GERAK BURUNG UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KINESTETIK PADA ANAK TUNAGRAHITA SEDANG DI SLB YPLAB LEMBANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sempurna, ada sebagian orang yang secara fisik mengalami kecacatan. Diperkirakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ditandai dengan adanya perkembangan yang pesat pada individu dari segi fisik, psikis

SMA NEGERI 1 SANDEN Alamat. JL. Ngentak, Murtigading, Sanden, Bantul, 55763

BAB I PENDAHULUAN. sosial, sehingga dapat menurunkan kualitas hidup individu. Salah satu jenis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dilihat dari fisik, tetapi juga dilihat dari kelebihan yang dimiliki.

BAB I PENDAHULUAN. pendengaran, baik sebagian maupun seluruhnya yang berdampak kompleks

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. identitas dan eksistensi diri mulai dilalui. Proses ini membutuhkan kontrol yang

BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Kehadiran seorang bayi dalam keluarga merupakan berkah yang luar

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 40 tahun dimana terjadi perubahan fisik dan psikologis pada diri individu, selain itu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Yuyun Yuniarsih, 2014 Perilaku sosial remaja tunadaksa yang menggunakan jejaring sosial

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. secara fisik. Anak Berkebutuhan Khusus dibagi ke dalam dua kelompok yaitu

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya sekolah-sekolah regular dimana siswa-siswanya adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Abdul Majid (2011:78) menjelaskan sabda Rasulullah SAW.

BAB I PENDAHULUAN. Pada tahun-tahun pertama kehidupan, mendengar adalah bagian. terpenting dari perkembangan sosial, emosional dan kognitif anak.

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan jasmani adaptif merupakan luasan dari kata pendidikan jasmani

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Nurfitri Amelia Rahman, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di zaman yang sudah berkembang ini seseorang yang mengamati

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori atau Konsep 1. Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus Anak berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa yang berbeda

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lastarina Andanawari, 2013

AKTIVITAS PENDIDIKAN JASMANI ADAPTIF SEBAGAI PENGEMBANGAN KETERAMPILAN GERAK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kelahiran anak dalam kondisi sehat dan normal adalah harapan setiap ibu (UNICEF,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah hal yang penting dan tidak dapat dipisahkan dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sempurna, baik jasmani maupun rohani. Kondisi ini adalah kesempurnaan yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam kehidupan bernegara, ada yang namanya hak dan kewajiban warga

BAB I PENDAHULUAN. bahwa anak bukan hanya tanggung jawab orang tua, tetapi masyarakat bahkan juga

BAB I PENDAHULUAN. manusia, tidak terkecuali bagi anak luar biasa atau anak berkebutuhan khusus.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. I. A. Latar Belakang. Anak yang dilahirkan secara sehat baik dalam hal fisik dan psikis

BAB I PENDAHULULUAN. di masyarakat terhambat. Seseorang dikatakan mengalami ketunadaksaan apabila

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Adaptif. Adaptif dapat diartikan sebagai, penyesuaian, modifikasi, khusus, terbatas, korektif, dan remedial.

BAB 1 Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang

Pengaruh Dukungan Sosial terhadap Resiliensi pada Ibu yang Memiliki Anak Autis Penulisan Ilmiah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

2016 MINAT SISWA PENYANDANG TUNANETRA UNTUK BERKARIR SEBAGAI ATLET

BAB I PENDAHULUAN. kecerdasannya jauh dibawah rata rata yang ditandai oleh keterbatasan intelejensi

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan

BAB II LANDASAN TEORI. A. Resiliensi. bahasa resiliensi merupakan istilah bahasa inggris

Implementasi Program Nawacita dalam Bidang Pendidikan untuk. Siswa Berkebutuhan Khusus di Sekolah Luar Biasa. Negeri 1 Bantul Tahun 2017

BAB II LANDASAN TEORI. Istilah adult atau dewasa awal berasal dari bentuk lampau kata adultus yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. terdapat 2 sampai 2,5 persen beresiko cerebral palsy(nasution, 2013). Menurut

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. yang penting yang harus dialami oleh setiap manusia, mulai dari Pendidikan

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. khusus karena anak tersebut menandakan adanya kelainan khusus. Mereka

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap anak yang lahir di dunia dilengkapi dengan kondisi yang berbedabeda. Ada anak yang lahir dengan kondisi yang normal, namun ada juga anak yang lahir dengan membawa kelainan-kelainan seperti indigo, autism, down syndrome, hyperactive, cacat fisik dan lain-lain. Anak dengan kondisi yang berbeda dengan anak normal lainnya ini kemudian disebut dengan Anak Berkebutuhan Khusus. Menurut Hallahan dan Kauffman (dalam Mangunsong, 2011) Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) adalah mereka yang membutuhkan pendidikan dan pelayanan khusus terkait dengan kekhususan yang dimiliki, yaitu kelainan fisik, emosional, mental, sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa, agar mereka dapat berkembang dengan optimal sesuai dengan potensi kemanusiaan. Secara umum anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki keunikan tersendiri dalam jenis dan karakteristiknya, yang membedakan dari anak-anak normal pada umumnya. Salah satunya yaitu anak yang mengalami gangguan fisik dan biasa disebut dengan anak tunadaksa. Menurut Mangunsong (2011) tunadaksa diartikan sebagai ketidakmampuan tubuh secara fisik untuk menjalankan fungsi tubuh seperti dalam keadaan normal. Termasuk dalam hal ini adalah cacat fisik bawaan seperti anggota tubuh yang tidak lengkap, anak yang kehilangan anggota badan karena amputasi, anak dengan gangguan 1

2 neuromuscular seperti cerebral palsy, anak dengan gangguan sensomotorik (alat penginderaan) dan anak-anak yang menderita penyakit kronis. Salah satu kategori yang tergolong dalam gangguan neuromuscular adalah spasticity, dimana ciri-ciri dari gangguan ini adalah kontraksi otot kaku tiba-tiba, susah melakukan gerakan, bagian bawah tubuh menggunting karena kontraksi otot, serta gerakan refleks dari lengan dan jari-jari. Anak-anak yang lahir dengan kondisi cacat fisik atau tunadaksa kategori spasticity ini harus mengalami banyak hal yang berbeda dalam hidupnya. Beban yang diterima anak tunadaksa juga lebih berat daripada anak normal lainnya. Mereka harus melakukan aktifitasnya dengan cara mereka yang khusus, seperti harus memakai alat khusus atau menerima bantuan khusus agar mereka dapat duduk, berdiri, dan berjalan. Oleh karena itu, kecacatan yang dialami oleh anak tunadaksa merupakan suatu hal yang sulit diterima oleh anak. Maka tidak mengherankan jika anak tunadaksa seringkali memperlihatkan gejolak emosi terhadap kecacatan yang dialaminya dan cenderung tidak dapat menerima keadaan dirinya (Anggraeni, 2008). Selanjutnya dalam penelitian Stefiany (2013) disebutkan bahwa anak-anak tunadaksa seringkali memiliki pemikiran negatif terkait keterbatasan fisiknya. Dimana anak-anak tunadaksa ini sering menganggap dirinya sebagai orang-orang yang gagal karena adanya kelemahan atau kekurangan pada anggota tubuhnya. Anak-anak tunadaksa percaya bahwa keadaan cacat tubuhnya adalah penghalang dalam segala hal yang ingin dilakukannya, termasuk dalam hal bermain dan belajar.

3 Menurut Piaget (dalam Papalia, Old, & Feldman., 2009) perkembangan fisik dan motorik mempunyai pengaruh langsung terhadap anak, karena menentukan hal-hal yang dapat dilakukan dan secara tidak langsung baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain. Perkembangan fisik yang normal memungkinkan individu menyesuaikan diri pada situasi sosial yang sesuai dengan tuntutan usianya, sedangkan perkembangan fisik yang tidak normal akan menghambat penyesuaian diri bagi individu (Papalia, Old, & Feldman., 2009). Dengan demikian, kecacatan fisik yang dialami oleh anak tunadaksa secara tidak langsung juga akan mengakibatkan terhambatnya fungsi sosial anak dalam lingkungan sosialnya. Anggraeni (2008) menyebutkan bahwa kecacatan fisik yang dialami anak tunadaksa dapat mengakibatkan anak menarik diri dari lingkungan, merasa tidak berguna, dan timbulnya rasa frustasi pada diri anak. Perasaan rendah diri ini secara tidak langsung akan dapat mempengaruhi sejauh mana anak tunadaksa mencapai kebahagiaan dalam hidupnya. Walau begitu, keadaan cacat fisik tidak dengan sendirinya berarti juga keadaan tidak bahagia, karena ada juga penyandang tunadaksa yang dapat bangkit dan menerima keadaan dirinya dan dapat menjalankan kehidupannya dengan baik. Beberapa anak tunadaksa ternyata ada yang mampu mengembangkan kemampuan-kemampuan yang ada pada dirinya, mendapatkan penerimaan, dan kasih sayang dari lingkungan serta merasakan kebahagiaan dalam hidupnya. Goldstein dan Brooks (2005) mengatakan bahwa orang-orang yang mampu bangkit dan mampu mengatasi keterbatasan yang dimilikinya ini disebut

4 dengan individu yang resilien. Lima orang anak tunadaksa yang dapat dijadikan contoh sebagai individu yang resilien dan mampu mengembangkan kemampuan yang dimiliki dalam keterbatasan fisiknya yakni Zikriyati, ABK tunadaksa di SDLB Negeri Susoh, Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) yang tampil menjadi juara III mata pelajaran MIPA Tingkat Provinsi Aceh tahun 2011 lalu (Yusuf, 2011). Selain dalam bidang akademik beberapa anak tunadaksa lainnya juga menunjukkan prestasi di bidang non akademik. Tiga atlet bulutangkis kursi roda Indonesia, yakni Nursad, Ajai, dan Dessy berhasil mewakili Indonesia dalam pekan olahraga penyandang disabilitas tingkat ASEAN yang diselenggarakan Desember 2011 tahun lalu (Indrawati, 2011). Selanjutnya, hal lain juga ditunjukkan oleh anak tunadaksa lainnya (dalam Anggraeni, 2013), dimana salah satu anak berkebutuhan khusus tunadaksa di YPAC kota Malang memiliki prestasi dalam bidang akademik dan non akademik, yakni bermain alat musik dan menari. Menurut Tugade dan Federickson (2004) untuk menjadi individu yang resilien, setiap orang membutuhkan resiliensi yakni suatu kemampuan untuk melanjutkan hidup setelah ditimpa kemalangan atau setelah mengalami hal yang berat, karena satu hal yang harus kita ingat bahwa hidup penuh rintangan dan cobaan. Faktanya orang yang paling relisien mencari pengalaman baru dan menantang karena mereka telah mempelajari bahwa hanya melalui perjuangan, dengan memaksakan diri mereka sendiri ke batas yang paling maksimal, maka mereka akan menambah batasan hidup mereka sendiri (Reivich & Shatte, 2002).

5 Menurut Reivich dan Shatte (2002) resiliensi adalah kapasitas individu untuk mengatasi dan meningkatkan diri dari keterpurukan dengan merespons secara sehat dan produktif untuk memperbaiki diri sehingga mampu menghadapi dan mengatasi tekanan hidup sehari-hari. Dalam hal ini, resiliensi sebagai salah satu karakter positif diharapkan dapat mengatasi masalah penyesuaian diri dan penerimaan anak tunadaksa. Menurut Dankonski, dkk (dalam Yumpi, 2014) resiliensi merupakan faktor serta sumber internal dan eksternal untuk mengatasi stress, konflik, dan menguasai seluruh tugas-tugas perkembangan anak tunadaksa. Menurut Yumpi (2014) manfaat lain dari resiliensi adalah anak mampu mengelola perasaan-perasaan dan mengelola perasaan negatif sehingga lebih cepat pulih dari kondisi yang tidak menyenangkan. Anak tunadaksa yang memiliki resiliensi cenderung menilai dirinya secara positif, mampu mengembangkan potensi yang dimiliki, percaya diri, dan mampu menjalin hubungan yang baik dengan orang-orang disekitarnya. Anggraeni (2008) menyebutkan bahwa bagi individu yang resilien, resiliensi membuat hidupnya menjadi lebih kuat. Artinya, resiliensi akan membuat anak tunadaksa berhasil menyesuaikan diri dalam berhadapan dengan kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan. Salah satu anak tunadaksa di SLB Wacana Asih Kota Padang diketahui memiliki kemampuan lebih di bidang akademik dan non akademik. Berdasarkan informasi yang didapat oleh peneliti pada tanggal 10 Febuari 2014 dari guru olahraga SLB Wacana Asih Kota Padang, subyek tergolong anak yang mampu menyesuaikan diri serta mandiri dalam mengatasi keterbatasannya. Hal ini terlihat

6 ketika peneliti melakukan observasi awal pada jam istirahat dan jam olahraga di kelas IV (empat) SLB Wacana Asih Kota Padang. Pada jam istirahat, subyek terlihat sedang berusaha membuka snack-nya tanpa bantuan atau enggan menerima bantuan dari orang lain. Subyek terlihat sedang berusaha membuka makanan menggunakan bantuan tangan, mulut, bahkan kakinya sendiri. Kemudian, berbeda dengan teman-temannya yang malas mengikuti aba-aba dari guru pada jam olahraga, peneliti melihat subyek bersemangat mengikuti aba-aba yang diberikan oleh guru. Walaupun sempat terjatuh beberapa kali, subyek terlihat langsung berusaha berdiri sendiri tanpa mengharapkan bantuan orang lain. Selanjutnya ketika peneliti mengajak berbicara, subyek juga memberikan respons yang baik dan bersikap ramah terhadap orang yang baru ia temui. Subyek menyebutkan bahwa dirinya tidak sakit dan ia meyakini suatu saat nanti ia akan dapat berjalan seperti anak normal lainnya. Subyek juga memiliki keyakinan jika ia rajin melakukan latihan maka ia akan dapat berjalan dengan normal. Selain itu, subyek juga menyampaikan harapan jika ia dapat berjalan dengan normal, yakni ingin bermain bola dan mengikuti pertandingan. Berdasarkan penjelasan di atas, subyek mampu menilai dirinya secara positif, optimis, mandiri, dan mampu mengatasi keterbatasan fisiknya. Menurut Stefiany (2013) agar anak dapat mengatasi keterbatasan fisiknya, anak tersebut harus melalui suatu proses, memiliki sumber dan faktor yang melatarbelakangi seseorang dapat bangkit dari keterpurukannya. Selanjutnya Goldstein dan Brooks

7 (2005) menjelaskan bahwa lingkungan juga berperan dalam membangun resiliensi anak, yakni seberapa baik dukungan sosial yang diterima anak tunadaksa. Deswita (2006) menyebutkan bahwa ada beberapa hambatan yang dihadapi oleh keluarga dan lingkungan dalam memberikan dukungan sosial terhadap anak tunadaksa yakni faktor pendidikan, pengetahuan, spiritual, dan faktor ekonomi keluarga. Dalam hal ini, kondisi ekonomi keluarga yang sulit juga dapat memperburuk kondisi yang diterima oleh anak tunadaksa, sehingga dapat menghambat terbentuknya resiliensi pada diri anak tunadaksa (Yumpi, 2014). Anak tunadaksa berprestasi di SLB Wacana Asih kota Padang yang ditemukan oleh peneliti diketahui berasal dari keluarga ekonomi menengah kebawah, namun subyek mampu bangkit serta mempunyai harapan dan optimis dalam mengatasi keterbatasannya. Berdasarkan penjelasan dari salah satu guru di SLB Wacana Asih Kota Padang, subyek tergolong anak berkebutuhan khusus tunadaksa kategori spaticity. Dimana subyek mengalami kontraksi otot kaku, susah melakukan gerakan, bagian tubuh menggunting karena kontraksi otot, serta gerakan refleks dari lengan dan jari-jari. Oleh karena itu, kecacatan fisik yang dialami subyek mengakibatkan terhambatnya perkembangan motorik subyek. Subyek mengaku sering mengalami kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari, seperti memakai pakaian, makan, berdiri, dan berjalan. Namun, keadaan sulit yang dialami subyek tidak membuat subyek menyerah pada kondisinya. Subyek memiliki keyakinan bahwa dirinya mampu menjalankan hidup dengan baik, mengembangkan potensi yang dimiliki, dan meraih prestasi seperti anak normal lainnya.

8 Informasi awal yang diterima oleh peneliti ketika mengunjungi SLB Wacana Asih pada tanggal 10 Febuari 2014, subyek merupakan salah satu siswa berprestasi di sekolahnya. Hal ini dibuktikan dengan pencapaian subyek meraih Peringkat II (dua) di kelasnya. Selain itu, subyek juga memiliki prestasi dalam bidang non akademik, yaitu Juara II (dua) lomba baca puisi tingkat Kota Padang. Berdasarkan hasil wawancara dengan orang tua subyek, peneliti melihat lingkungan anak berkebutuhan khusus tunadaksa berprestasi ini mampu mendukung dan memotivasi dalam melawan hambatan yang dimiliki anak agar tetap bisa berprestasi walaupun dalam keadaan yang terbatas. Bapak Mujiono selaku orang tua anak berkebutuhan khusus tunadaksa berprestasi di SLB Wacana Asih, menyebutkan: Faktor utama yang membuat anak saya semangat belajar tentu karena dukungan dari orang tua dan saudara-saudaranya. Dukungan yang keluarga berikan dalam hal ini mencakup kasih sayang dan perhatian khusus kepada ST. Saya selalu bilang ke anak saya ST pasti bisa! ST pasti bisa! harapan saya dengan memberikan dukungan seperti ini, semoga ST ini tidak minder dengan tementemennya dan percaya diri untuk tampil di depan orang banyak Untuk dapat menjadi pribadi yang resilien bagi anak berkebutuhan khusus tunadaksa memang bukan hal yang mudah, karena dibutuhkan proses yang melibatkan berbagai faktor yang berperan dalam membentuk pribadi yang resilien. Stefiany (2013) menyebutkan bahwa penilaian resiliensi dapat dilihat dari bagaimana seseorang menghadapi tantangan sehari-hari oleh keterbatasan fisiknya, serta dukungan seperti apa yang didapat dari lingkungannya. Selanjutnya Reivich dan Shatte (2002) mengungkapkan bahwa untuk menjadi individu yang resilien diperlukan tujuh faktor yang berperan. Tujuh faktor tersebut adalah

9 pengaturan emosi, kontrol terhadap impuls, optimis, kemampuan menganalisis masalah, empati, efikasi diri, dan reaching out. Menurut Reivich dan Shatte (2002) setiap individu memiliki kekuatan yang berbeda-beda terhadap setiap faktor. Secara naluriah setiap individu memiliki faktor masing-masing untuk mengembangkan resiliensi dalam dirinya, agar lebih adaptif dalam menghadapi berbagai kesulitan, masalah, dan tantangan yang berhubungan dengan keterbatasan yang dimiliki (Anggraeni, 2013). Berdasarkan penjelasan tersebut, maka peneliti melihat perlunya untuk menggali lebih dalam mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi anak berkebutuhan khusus tunadaksa berprestasi di SLB Wacana Asih Kota Padang. 1.2. Pertanyaan Penelitian Pertanyaan dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi pada anak berkebutuhan khusus tunadaksa berprestasi di SLB Wacana Asih Kota Padang? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah melihat faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi pada anak berkebutuhan khusus tunadaksa berprestasi di SLB Wacana Asih Kota Padang.

10 1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Teoritis Manfaat teoritis dilaksanakannya penelitian ini yaitu sebagai bahan informasi pengembangan ilmu psikologi, khususnya psikologi perkembangan dan pendidikan anak berkebutuhan khusus tunadaksa. 1.4.2. Manfaat Praktis Manfaat praktis dilaksanakannya penelitian ini yaitu sebagai bahan masukan bagi pendidik, orang tua, dan anak untuk mengetahui mengapa resiliensi penting bagi anak berkebutuhan khusus tunadaksa, bagaimana dukungan yang harus diberikan pada anak berkebutuhan khusus tunadaksa, serta bagaimana cara anak berkebutuhan khusus tunadaksa mendapatkan proses resiliensi yang tepat. 1.5. Sistematika Penulisan Untuk menghasilkan penulisan penelitian yang baik dan sistematis, maka penelitian ini disusun berdasarkan sistematika berikut ini: BAB I : Pendahuluan Berisi uraian singkat mengenai latar belakang masalah yang disertai cuplikan-cuplikan teori serta konsep yang akan dipergunakan dalam melakukan penelitian. Selain itu dalam bab ini juga berisi rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

11 BAB II : Landasan Teori Berisi teori yang digunakan sebagai landasan penelitian yaitu resiliensi, anak berkebutuhan khusus tunadaksa dan prestasi. BAB III : Metode Penelitian Berisi penjelasan mengenai pendekatan yang digunakan dalam penelitian, subyek penelitian, metode pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data, uji keabsahan data, prosedur penelitian, serta prosedur analisis data. BAB IV : Analisis Data dan Interpretasi Berisi deskripsi data dan interpretasi data dari hasil wawancara yang dilakukan, membahas data-data penelitian tersebut dengan teori yang relevan untuk menjawab pertanyaan penelitian yang telah ditentukan sebelumnya. BAB V : Kesimpulan dan Saran Berisi hasil dari penelitian yang telah dilaksanakan dan diskusi terhadap data-data yang tidak dapat dijelaskan dengan teori atau penelitian sebelumnya karena merupakan hal yang baru, serta saran-saran praktis sesuai hasil dan masalah-masalah penelitian, serta saran-saran teoritis untuk penyempurnaan penelitian lanjutan.