BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

dokumen-dokumen yang mirip
PUSAT PERAWATAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS ARSITEKTUR PERILAKU TUGAS AKHIR TKA 490 BAB I PENDAHULUAN

BAB 6 PEMBAHASAN 6.1 Dukungan Keluarga

BAB I PENDAHULUAN. masih tanggung jawab orang tua. Kewajiban orang tua terhadap anak yaitu membesarkan,

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan penting dalam meningkatkan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

PERSEPSI ORANGTUA TERHADAP ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (Deskriptif Kuantitatif di SDLB N.20 Nan Balimo Kota Solok)

I. PENDAHULUAN. selalu berhubungan dengan tema tema kemanusiaan, artinya pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. hampir sama dengan anak kebanyakan. Namun takdir berkata lain anak yang

BAB I PENDAHULUAN. orang tua. Anak bisa menjadi pengikat cinta kasih yang kuat bagi kedua orang

BAB I PENDAHULUAN. adanya diskriminasi termasuk anak-anak yang mempunyai kelainan atau anak

BAB I PENDAHULUAN. kepada para orang tua yang telah memasuki jenjang pernikahan. Anak juga

BAB I PENDAHULUAN. adanya perbedaan kondisi dengan kebanyakan anak lainnya. Mereka adalah yang

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan mereka dapat menggenggam dunia. mental. Semua orang berhak mendapatkan pendidikan yang layak serta sama,

repository.unisba.ac.id

BAB I PENDAHULUAN. dalam melakukan segala aktifitas di berbagai bidang. Sesuai dengan UUD 1945

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

HAKIKAT ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS. Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Inklusi dan Anak Berkebutuhan Khusus

BAB I LATAR BELAKANG. dari anak kebanyakan lainnya. Setiap anak yang lahir di dunia dilengkapi dengan

1. PENDAHULUAN. Gambaran resiliensi dan kemampuan...dian Rahmawati, FPsi UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Manusia merupakan mahluk individu karena secara kodrat manusia

Karakteristik Anak Usia Sekolah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. telah membina keluarga. Menurut Muzfikri (2008), anak adalah sebuah anugrah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan di Indonesia merupakan suatu hal yang wajib ditempuh oleh semua warga negara.

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Tubuh manusia mengalami berbagai perubahan dari waktu kewaktu

BAB I PENDAHULUAN. berbagai alasan. Terlebih lagi alasan malu sehingga tidak sedikit yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Orang tua merupakan sosok yang paling terdekat dengan anak. Baik Ibu

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. I.1.1. Latar Belakang Pengadaan Proyek

Pengantar Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)

Bab I Pendahuluan. Sekolah Luar Biasa Tunagrahita di Bontang, Kalimantan Timur dengan Penekanan

BAB I PENDAHULUAN. lain dan kelak dapat hidup secara mandiri merupakan keinginan setiap orangtua

BAB I PENDAHULUAN. Retardasi mental adalah suatu gangguan yang heterogen yang terdiri

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anak adalah anugerah, anak adalah titipan dari Allah SWT. Setiap

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan fisik dan juga kelainan fisik yang sering disebut tunadaksa.

Implementasi Program Nawacita dalam Bidang Pendidikan untuk. Siswa Berkebutuhan Khusus di Sekolah Luar Biasa. Negeri 1 Bantul Tahun 2017

BAB I PENDAHULUAN. 1 SLB Golongan A di Jimbaran. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Keadaan disabilitas yang adalah keterbatasan fisik, kecacatan baik fisik maupun mental, serta berkebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. pada dasarnya menunjukkan hukum alam yang telah menunjukkan kepastian.

BAB 1 PENDAHULUAN. psikologis, sosial, dan spiritual (Hidayat, 2009). Sedangkan menurut Undang-

BAB I PENDAHULUAN. rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab

BAB I PENDAHULUAN. semangat untuk menjadi lebih baik dari kegiatan belajar tersebut.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. tidak mampu mendengar atau kurang mampu mendengar suara. Anak tuna rungu

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan di Indonesia tidak hanya diperuntukkan bagi anak- anak yang

AHMAD NAWAWI JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UPI BANDUNG 2010

LAPORAN OBSERVASI LAPANGAN PERKEMBANGAN DAN PROSES PEMBELAJARAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas, cakupan dari disabilitas terdiri dari

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang. Kasus kekerasan seksual pada anak (KSA) semakin marak menjadi sorotan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dipandang mampu menjadi jembatan menuju kemajuan, dan

BAB I PENDAHULUAN. I. A. Latar Belakang. Anak yang dilahirkan secara sehat baik dalam hal fisik dan psikis

BAB I PENDAHULUAN. Ai Nuraeni, 2014 Pembelajaran PAI Untuk Siswa Tunarungu Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.

BAB I. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 40 tahun dimana terjadi perubahan fisik dan psikologis pada diri individu, selain itu

BAB I PENDAHULUAN. Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki perbedaan

BAB I PENDAHULUAN. dijamin dan dilindungi oleh berbagai instrumen hukum internasional maupun. nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional.

1. PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Gambaran Stres..., Muhamad Arista Akbar, FPSI UI, 2008

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pada setiap budaya dan lingkungan masyarakat, keluarga memiliki struktur yang

Seminar Tugas Akhir BAB I PENDAHULUAN

2016 MINAT SISWA PENYANDANG TUNANETRA UNTUK BERKARIR SEBAGAI ATLET

KEGIATAN BERMAIN KEYBOARD ANAK SLOW LEARNER DI SEKOLAH INKLUSIF SD 1 TRIRENGGO BANTUL TAHUN AJARAN 2014/2015

BAB 1 PENDAHULUAN. kehidupan seseorang, sakit dapat menyebabkan perubahan fisik, mental, dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Komunikasi merupakan suatu proses atau kegiatan yang sukar dihindari

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Salah satu tujuan bangsa Indonesia yang tertuang dalam pembukaan

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan dan perkembangan fisik, sosial, psikologis, dan spiritual anak.

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan mampu memikul beban tugas dan tanggung jawab serta berpartisipasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena itu mereka termasuk kedalam anak berkebutuhan khusus (Miller, 2005).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kebermaknaan Hidup

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya, miskin, tua, muda, besar, kecil, laki-laki, maupun perempuan, mereka

BAB I PENDAHULUAN. adalah salah satu unsur sosial yang paling awal mendapat dampak dari setiap

BAB I PENDAHULUAN. Anak-anak yang Spesial ini disebut juga sebagai Anak Berkebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. memiliki rasa minder untuk berinteraksi dengan orang lain.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

2015 PEMBELAJARAN TARI MELALUI STIMULUS GERAK BURUNG UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KINESTETIK PADA ANAK TUNAGRAHITA SEDANG DI SLB YPLAB LEMBANG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi diantara umat manusia itu sendiri (UNESCO. Guidelines for

PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu usaha yang dilakukan secara sadar dan terencana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. untuk suatu profesi, tetapi mampu menyelesaikan masalah-masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. Setiap pasangan memiliki harapan serta keinginan-keinginan menjalani

2 Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sempurna, ada sebagian orang yang secara fisik mengalami kecacatan. Diperkirakan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

repository.unisba.ac.id BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah hal yang sangat mendasar untuk perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dilihat dari fisik, tetapi juga dilihat dari kelebihan yang dimiliki.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Setiap orang dilahirkan berbeda dimana tidak ada manusia yang benar-benar sama

BAB 1 PENDAHULUAN. kehidupan, sehingga menjadi orang yang terdidik. dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara. Di negara kita ini pendidikan menjadi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah hal yang penting dan tidak dapat dipisahkan dari

BAB I PENDAHULUAN. untuk dapat saling mengisi dan saling membantu satu dengan yang lain.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat, karena itu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori atau Konsep 1. Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus Anak berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa yang berbeda

BAB I PENDAHULUAN. Setiap anak diharapkan tumbuh dan berkembang secara sehat, baik fisik,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam kehidupan bernegara, ada yang namanya hak dan kewajiban warga

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak adalah potensi serta penerus cita-cita bangsa yang dasar-dasarnya telah diletakkan oleh generasi sebelumnya. Anak juga merupakan anugerah serta titipan yang diberikan kepada orang tua. Kelahiran seorang anak merupakan suatu momen yang sangat ditunggu-tunggu dalam sebuah pernikahan. Kelahiran dapat menjadi stressor besar dalam sebuah pernikahan terutama ketika kelahiran anak pertama. Dalam proses kelahiran, semua perasaan orang tua bercampur aduk antara senang, cemas, takut, khawatir serta tidak sabar menunggu kelahiran sang anak. Pada proses melahirkan berbagai resiko yang akan dialami oleh seorang ibu maupun bayinya terutama keselamatan jiwa. Namun perasaan bahagia yang seyogyanya muncul ketika seorang ibu berhasil melahirkan anak dengan selamat dapat berubah menjadi kekecewaan ketika mengetahui anak yang dilahirkan memiliki kekurangan atau berkebutuhan khusus. Kekecewaan memang merupakan perasaan yang manusiawi ketika mendapati realitas tak sebanding dengan ekspektasi. Anak berkebutuhan khusus (ABK) adalah anak yang mengalami keterbatasan atau keluarbiasaan, baik fisik, mental-intelektual, sosial, maupun emosional, yang berpengaruh secara signifikan dalam proses pertumbuhan atau perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain yang seusia dengannya (Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, 2013). ABK adalah anak yang mengalami hambatan fisik dan/atau mental sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar, dan anak yang akibat keadaan tertentu 1

2 mengalami kekerasan, berada di lembaga permasyarakatan/rumah tahanan, di jalanan, di daerah terpencil/bencana/konflik yang memerlukan penanganan secara khusus. Anak penyandang cacat dapat digolongkan menjadi beberapa kelompok antara lain: tunanetra, Tunarungu/Tunawicara, Tunagrahita, Tunadaksa, Tunalaras, Attention Deficit and Hyperactivity Disorder (ADHD), Autisme dan Tunaganda (Kementerian Kesehatan RI, 2010). Keberadaan ABK termasuk penyandang cacat secara nasional maupun sebarannya pada masing-masing provinsi belum memiliki data yang pasti. Menurut WHO, pada tahun 2007 jumlah ABK di Indonesia adalah sekitar 7% dari total jumlah anak usia 0-18 tahun atau sebesar 6.230.000. Menurut data Sensus Nasional Biro Pusat Statistik tahun 2003, jumlah penyandang cacat di Indonesia sebesar 0,7% dari jumlah penduduk sebesar 211.428.572 atau sebanyak 1.480.000 jiwa. Dari jumlah tersebut 24,45% atau 361.860 diantaranya adalah anak-anak usia 0-18 tahun dan 21,42% atau 317.016 anak merupakan anak cacat usia sekolah (5-18 tahun). Sekitar 66.610 anak usia sekolah penyandang cacat (14,4% dari seluruh anak penyandang cacat) ini terdaftar di Sekolah Luar Biasa (SLB). Ini berarti masih ada 295.250 anak penyandang cacat (85,6%) ada di masyarakat dibawah pembinaan dan pengawasan orang tua dan keluarga dan pada umumnya belum memperoleh akses pelayanan kesehatan sebagaimana mestinya. Pada tahun 2009 jumlah anak penyandang cacat yang ada di Sekolah meningkat menjadi 85.645 dengan rincian di Sekolah Luar Biasa (SLB) sebanyak 70.501 anak dan di sekolah inklusif sebanyak 15.144 anak, data siswa penyandang cacat yang terdaftar di SLB mencatat 5.610 orang terdaftar di SLB Tunarungu/Tunawicara merupakan peringkat kedua setelah SLB campuran berjumlah 58.008 orang (Kementerian Kesehatan RI, 2010). Berdasarkan hasil survei awal yang dilakukan peneliti di Sekolah Dasar

3 Luar Biasa khusus tunarungu (SDLB-B) Karya Mulia II pada 9 ibu siswa, didapatkan hasil 100% ibu menginginkan anak yang dikandungnya lahir dengan sehat dan tak kurang apapun, 44,44% ibu menjalani persalinan dengan lancar sedangkan 55,55% mengalami hambatan, 77,77% ibu merasa bahagia dan bersyukur saat melahirkan sedangkan 22,22% merasa khawatir, 77,77% ibu mengetahui diagnosa anaknya setelah lebih dari 2 tahun dan 22,22% mengetahui setelah usia 1 tahun, 66,66% ibu merasa kecewa saat tahu anaknya memiliki kekurangan sedangkan 33,33% tetap bersyukur dengan keadaan anaknya, dan 100% ibu menerima keadaan anaknya saat ini. Sedangkan berdasarkan hasil wawancara wali kelas, 4 dari 6 wali kelas (66.67%) mengatakan tidak semua anak di kelas mereka mempunyai kemampuan sosial dan emosional yang baik. Meningkatnya jumlah ABK menimbulkan masalah terutama pada keluarga. Kehadiran ABK juga merupakan stressor yang berat bagi sebuah keluarga. Diasingkan, tak dianggap, diabaikan, itulah yang masih dialami oleh kebanyakan ABK. Berdasarkan hasil pengamatan di sekitar tempat tinggal peneliti, tak jarang orang tua mereka menitipkan ABK ini pada kakek dan nenek mereka agar tak dianggap sebagai aib bagi keluarga mereka. Setelah kelahiran, terkadang orang tua menjadi saling menyalahkan karena hadirnya ABK yang bisa berakibat pada mengganggu keharmonisan keluarga. Sebagai orang tua, sebaiknya sadar bahwa setiap anak mempunyai hak yang harus dipenuhi oleh mereka entah bagaimanapun keadaan anak. Menjadi orang tua dengan ABK hendaknya tak menjadi akhir dari segalanya, namun harusnya para orang tua menjadi tertantang untuk dapat memenuhi kebutuhan anak, bagaimanapun keadaannya anak merupakan anugerah dari Tuhan dalam sebuah keluarga serta Tuhan tidak akan pernah memberikan kekurangan tanpa kelebihan apapun, begitu juga pada ABK. Dukungan dari lingkungan sosial (dukungan sosial) bagi ABK sangat

4 mempengaruhi perkembangan ABK (Efendi, 2008). Peningkatan anak cacat ini disebabkan oleh beberapa faktor, 1) Yang terjadi pada pra kelahiran antara lain: a. Gangguan Genetika (Kelainan Kromosom, Transformasi), b. Infeksi Kehamilan, c. Usia Ibu Hamil (high risk group), d. Keracunan Saat Hamil, e. Pengguguran dan f. Lahir Prematur. 2) Yang terjadi selama proses kelahiran adalah a. Proses kelahiran lama (Anoxia), b. Prematur, c. Kekurangan oksigen, d. Kelahiran dengan alat bantu (Vacum), e. Kehamilan terlalu lama: > 40 minggu. 3) Yang terjadi setelah proses kelahiran yaitu a. Penyakit infeksi bakteri (TBC/virus), b. Kekurangan zat makanan (gizi, nutrisi), c. Kecelakaan dan keracunan. Berdasarkan faktor tersebut di atas, sebagian besar (70,21%) anak cacat disebabkan oleh bawaan lahir, kemudian karena penyakit (15,70%) dan kecelakaan/bencana alam sebesar 10,88%. Pola yang sama terjadi baik di daerah perkotaan maupun daerah pedesaan (Irwanto, Kasim Eva Rahmi, dkk. 2010). Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, menegaskan bahwa semua anak termasuk anak penyandang cacat mempunyai hak untuk kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi serta hak untuk didengar pendapatnya. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan bahwa upaya pemeliharaan kesehatan penyandang cacat harus ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup sehat dan produktif secara sosial, ekonomis dan bermartabat. Pemerintah wajib menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan memfasilitasi penyandang cacat untuk dapat tetap hidup mandiri dan produktif secara sosial dan ekonomis. Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, hak anak untuk memperoleh pendidikan dijamin penuh tanpa adanya diskriminasi termasuk anak-anak yang mempunyai

5 kelainan atau yang berkebutuhan khusus. ABK (special needs children) dapat diartikan secara simple sebagai anak yang lambat (slow) atau mengalami gangguan (retarded) yang tidak akan pernah berhasil di sekolah sebagaimana anak-anak pada umumnya. Banyak istilah yang dipergunakan sebagai variasi dari kebutuhan khusus, seperti disability impairment, dan handicap. Keluarga merupakan entry point dalam pemberian pelayanan kesehatan di masyarakat, untuk menentukan resiko gangguan akibat pengaruh gaya hidup dan lingkungan (Nursalam, 2013). Dukungan sosial keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap penderita. Keluarga berfungsi sebagai sistem pendukung bagi anggotanya dan anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung, selalu siap memberikan pertolongan dengan bantuan jika diperlukan (Friedman, 2010). Orang tua adalah guru utama, karena orang tua yang menginterpretasikan dunia dan masyarakat pada anak-anaknya. Lingkungan merupakan hal yang penting khususnya dalam hal ini mempengaruhi orang tua saat anak-anak masih kecil karena orang tua yang menafsirkan makna utama yang dimiliki oleh kekuatan dari luar ini kepada anak-anak mereka. Keluarga telah lama dipandang sebagai suatu lingkup yang paling vital bagi tumbuh-kembang yang sehat. Keluarga memiliki pengaruh penting pada pembentukan identitas dan rasa percaya diri seseorang (Friedman, 2010). ABK sering menghadapi berbagai hambatan fisik, sosial dan lingkungan untuk berpartisipasi secara penuh dalam masyarakat, termasuk akses pada pelayanan kesehatan, pendidikan dan layanan pendukung lainnya (SOWC, 2013). Anak dengan gangguan pendengaran memiliki resiko tinggi pada gangguan perilaku, gangguan emosional dan cenderung memiliki prestasi akademik yang lebih rendah dibandingkan dengan anak seusianya (Glickman, 2007). Meskipun anak tunarungu memiliki berbagai

6 macam kepribadian dan kesehatan mental, mereka berbagi pengalaman perkembangan jauh dari optimal. Akibatnya, tidak mengherankan jika sebagian besar dari mereka tertunda dalam perkembangan bahasa dan kognisi, serta dalam bidang keterampilan sosial dan emosional (Greenberg & Kusche, 1993 dalam Terwogt dan Rieffe, 2004). Banyak orang tua menginginkan anak-anak mereka memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi, baik itu anak non ABK dan ABK. Padahal sebenarnya kecerdasan intelektual (IQ) bukan merupakan satusatunya yang menjamin seseorang menjadi sukses. Goleman (2009) mengungkapkan bahwa kecerdasan intelektual (IQ) pada seorang anak hanya menyumbang maksimal 20% bagi kesuksesan hidup seseorang dan 80% sisanya diisi oleh salah satunya oleh kecerdasan emosional. Jadi untuk menjadi pribadi yang sukses tidaklah cukup hanya mengandalkan intelektual, kecerdasan emosional juga perlu dimiliki oleh tiap individu. Kecerdasan emosional atau dikenal dengan EQ (emotional quotient) adalah kemampuan seseorang untuk menerima, menilai, mengelola, serta mengontrol emosi dirinya dan orang lain di sekitarnya. Salah satu faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional adalah keterampilan sosial (Permana, R. Toshida, 2013). Dalam UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 3 dikemukakan bahwa kemampuan sosial merupakan dasar bagi manusia untuk beradaptasi dan berhubungan dengan orang lain sangatlah penting dimiliki oleh setiap anak, hal tersebut tercermin dalam tujuan pendidikan yang secara umum mengharuskan seseorang memiliki kemampuan sosial, sebagaimana tujuan pendidikan nasional adalah untuk mencerdaskan dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang memiliki kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Kemampuan sosial adalah kemampuan seseorang dalam

7 mengendalikan diri, berinteraksi dengan masyarakat, menjalin hubungan dalam masyarakat, menjalin hubungan dalam masyarakat dan menyelesaikan masalah (Permana, R. Toshida, 2013). Berdasarkan hasil penelitian oleh Desiyani Nani pada tahun 2010 mengenai pengaruh dukungan sosial terhadap kemampuan sosialisasi ABK dengan responden berjumlah masing-masing 8 orang pada usia 10-15 tahun dan usia 16-21 tahun didapatkan hasil bahwa dukungan sosial yang diperoleh ABK diperoleh gambaran bahwa semua ABK di SLB Yakut mendapatkan dukungan emosional (50%), penilaian (25%), informasional (12,5%), dan instrumental (12,5%). Kemampuan sosialisasi ABK diperoleh gambaran bahwa kemampuan sosialisasi kategori baik (87,5%), dan kategori cukup (12,5%). Pada sebuah penelitian yang dilakukan oleh Rima Rizki Anggraini pada tahun 2013 yang berjudul Persepsi Orang Tua terhadap ABK menunjukkan bahwa 34,48% orang tua sangat kecewa karena anaknya tergolong ABK, 68,96% orang tua merasa bersalah dan bersikap amat melindungi, 58,62% orang tua merasa malu dengan kehadiran ABK, 51,72% orangtua khawatir dengan keadaan ABK akan dapat mempengaruhi tingkat kekerabatan Bapak atau Ibu dengan relasi kerja, tetangga, atau handai taulan lainnya, 58,62% orang tua dapat menerima keadaan ABK, 86,20% ketergantungan secara fisik dan emosionil ABK pada Bapak atau Ibu sering kali semakin tinggi dibandingkan dengan ketergantungan anak non ABK menyatakan ya. Dari sebuah penelitian berjudul hubungan dukungan keluarga dengan penyesuaian sosial anak down syndrome usia 6-12 tahun didapatkan hasil 20 dari 33 anak Down Syndrome dinilai cukup dalam kemampuan penyesuaian fungsi sosialnya dengan presentase 68%. Ada hubungan antara dukungan keluarga dengan penyesuaian fungsi sosial anak Down Syndrome (Dessy Nur Millata dan Dhian Satya R., 2014).

8 Keluarga mempunyai pengaruh yang besar terhadap anak termasuk kemampuan emosional dan sosial anak. Pengaruh yang seharusnya didapat dari keluarga khususnya orang tua hendaknya positif sehingga dapat berdampak positif pula bagi anak-anak. Namun ketika anak yang dilahirkan adalah anak dengan kebutuhan khusus dan mayoritas orang tua merasa malu bahkan mengasingkan anak mereka dari kehidupan sosial, sikap ini akan berdampak buruk terhadap perkembangan anak tersebut khususnya kemampuan emosional dan sosial ABK. Padahal seperti kita ketahui, tidak sedikit ABK yang berprestasi. Sebagai contoh, anak dari Christian Husen Sitompul, 20 tahun merupakan seorang atlet renang yang meraih medali emas pada Olimpiade Tuna Grahita 2011 di Athena, Yunani (Republika.co.id, 2011). Selain itu ada juga Dian Inggrawati Soebangil, lebih dari 400 piala untuk lomba lukis, tari, masak, dan fashion show diraih wanita berusia 27 tahun itu. Pada Juli 2011, ia mengikuti kontes Miss Deaf World di Praha, Chechoslovakiam dan berhasil meraih second runner up atau juara ketiga. Padahal ini pertama kali Indonesia ikut serta dalam ajang internasional yang diikuti 38 negara tersebut (news.liputan6.com, 2011). Seyogyanya para orang tua dari ABK harus tetap memberi dukungan terhadap anaknya bagaimanapun keadaan anak karena anak adalah titipan dari Tuhan yang harus dirawat dan dibesarkan oleh orang tuanya. Para orang tua juga sebaiknya sadar bahwa Tuhan tidak pernah menciptakan seseorang dengan kekurangan tanpa kelebihan, ini yang menjadi tugas orang tua untuk mencari kelebihan pada ABK mereka. Ketika sebuah keluarga dengan ABK dapat menjalankan fungsi keluarga dengan baik serta memberikan dukungan yang positif, maka saat itulah ABK dapat membangun rasa percaya diri dan dapat belajar dari orang tua tentang bagaimana cara bersosialisasi yang baik sehingga pada akhirnya akan berdampak positif terhadap kemampuan emosional anak (EQ).

9 Berdasarkan uraian fakta dan masalah diatas, penulis tertarik untuk meneliti tentang hubungan dukungan keluarga dengan kemampuan sosial dan emosional ABK; tunarungu di SDLB-B Karya Mulia I Surabaya. Alasan peneliti memilih lokasi ini karena SLB ini memiliki kekhususan bagi anak tunarungu serta populasinya homogen yaitu usia sekolah tingkat pertama yaitu sekolah dasar. 1.2 Rumusan Masalah Apakah ada hubungan dukungan keluarga dengan kemampuan sosial dan emosional ABK; tunarungu di SDLB-B Karya Mulia I Surabaya? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Menjelaskan hubungan dukungan keluarga dengan kemampuan sosial dan emosional ABK; tunarungu di SDLB-B Karya Mulia I Surabaya. 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Mengidentifikasi dukungan keluarga dari ABK; tunarungu di SDLB-B Karya Mulia I Surabaya. 2. Mengidentifikasi kemampuan sosial ABK; tunarungu di SDLB-B Karya Mulia I Surabaya. 3. Mengidentifikasi kemampuan emosional ABK; tunarungu di SDLB-B Karya Mulia I Surabaya. 4. Menganalisis hubungan dukungan keluarga dengan kemampuan sosial ABK; tunarungu di SDLB-B Karya Mulia I Surabaya. 5. Menganalisis hubungan dukungan keluarga dengan kemampuan emosional ABK; tunarungu di SDLB-B Karya Mulia I Surabaya.

10 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam bidang keperawatan anak khususnya tentang pentingnya dukungan keluarga yang baik sebagai proses aplikasi teori dalam usaha peningkatan kemampuan sosial dan emosional ABK; tunarungu. 1.4.2 Manfaat Praktis a. Bagi pelayanan keperawatan dan masyarakat Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi mengenai peran keluarga terhadap kemampuan sosial dan emosional anak berkebutuhan khsusus. Penelitian ini dapat menjadi evidence based practice dalam ilmu keperawatan bagi profesi keperawatan dalam mengembangkan bidang keperawatan anak terutama mengenai dukungan keluarga bagi kemampuan sosial dan emosional ABK; tunarungu. b. Bagi pendidikan Melalui penelitian ini juga diharapkan dapat berkembangnya informasi yang diberikan pada orang tua dengan ABK;tunarungu untuk melibatkan peran serta orang tua secara aktif dalam pelaksanaan intervensi keperawatan pada pendidikan ABK; tunarungu.