SISTEM PEMELIHARAAN TERNAK KERBAU DI PROPINSI JAMBI BUSTAMI dan ENDANG SUSILAWATI Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi ABSTRAK Ternak kerbau mempunyai nilai sejarah kebudayaan masyarakat Jambi. Pada saat sekarang ini ternak kerbau masih mempunyai nilai jual tinggi yaitu mencapai 6-10 juta rupiah per ekor. Pola pemeliharaan umumnya ekstensif tradisional yaitu kerbau lepas di semak-semak belukar dan dikandangkan pada malam hari. Ternak kerbau umumnya berada di lapang pengembalaan tanpa ada campur tangan pemilik dalam pemberian pakan. Pada saat ini lapangan penggembalaan semakin sempit karena alih fungsi menjadi lahan perkebunan kelapa sawit dan perkebunan karet, sehingga kadangkala terjadi keguguran pada musim kemarau karena kondisi induk yang kekurangan pakan di padang penggembalaan. Selain itu sistem pemeliharaan kerbau secara lebih baik (semi intensif) belum diminati dengan alasan pemberian pakan yang terlalu banyak jika dibandingkan dengan ternak sapi. Selain itu kerbau mempunyai Calving interval yang panjang yaitu 18-24 bulan sehingga perkembangan agak terlambat. Dengan demikian diperlukan padang penggembalaan komunal yang permanen dimiliki oleh masyarakat. Untuk meningkatkan perkembangan populasi ternak kerbau diperlukan berbagai upaya terutama memperpendek masa kelahiran, status padang penggembalaan dan manajemen pemeliharaan yang saling menguntungkan dengan pola integrasi ternak kerbau dengan perkebunan kelapa sawit dan karet. Kata kunci: Pemeliharaan, kerbau, Propinsi Jambi PENDAHULUAN Ternak kerbau memegang peranan yang sangat penting bagi status sosial budaya masyarakat pedesaan di Propinsi Jambi. Sejak dahulu, masyarakat berpendapat bahwa apabila seseorang memiliki ternak kerbau maka dianggap sebagai orang yang memiliki harta banyak dan berderajat tinggi. Sehingga ternak kerbau dimanfaatkan pada acara-acara tertentu sebagai simbol kebesaran seperti acara perkawinan yang dikenal dengan sebutan potong kerbau, yang dilaksanakan secara adat setempat. Perkembangan populasi ternak ruminansia secara nasional mengalami penurunan sebesar 4,1% per tahun (KUSNADI, 2006). Begitu juga dengan ternak sapi dan kerbau di Propinsi Jambi mengalami penurunan yang cukup tinggi (DINAS PETERNAKAN PROPINSI JAMBI, 2006). Dengan permintaan daging yang semakin meningkat, diperlukan upaya untuk meningkatkan populasi. Sebaiknya Pemerintah mencari langkah-langkah terobosan sehingga mencapai keseimbangan antara produksi dan permintaan. Hingga saat ini Propinsi Jambi masih mendatangkan ternak potong dari daerah lain, mencapai 25.654 ekor per tahun (DINAS PETERNAKAN PROPINSI Jambi, 2005). Dalam periode yang sama produksi daging telah naik rata-rata 9,2% per tahun. Dalam pada itu telah terjadi pergeseran produksi daging, dimana sumbangan daging sapi menurun dari 23,52% menjadi 21,96%. Penurunan daging sapi disubstitusikan oleh daging unggas yaitu mengalami peningkatan dari 56,58% menjadi 60,73% (DIREKTORAT JENDRAL PETERNAKAN, 2005). Dengan peningkatan permintaan akan daging secara langsung harus diikuti oleh peningkatan produksi ternak sebagai penghasil daging. PEMBAHASAN Populasi ternak kerbau Populasi ternak kerbau dapat ditingkatkan terutama pada kabupaten-kabupaten yang potensial yaitu Kabupaten Batanghari, Muaro 90
Seminar dan Lokakarya Nasional Ushaternak Kerbau 2007 Tabel 1. Populasi ternak kerbau pada setiap kabupaten/lota di Propinsi Jambi pada tahun 2005 Kabupaten/kota Jumlah kerbau (ekor) Kota 610 Muara Jambi 4986 Batanghari 14129 Tebo 13289 Bungo 10396 Merangin 11389 Sarolangun 7616 Kerinci 4383 Tanjung Jabung Barat 1087 Tanjung Jabung Timur 274 Jumlah 68159 Sumber: DINAS PETERNAKAN PROPINSI JAMBI (2006) Jambi, Sarolangun, Merangin, Bungo dan Tebo. Hal ini didukung oleh ketersediaan lahan yang dapat diintegrasikan dengan lahan perkebunan kelapa sawit dan karet (Tabel 1 dan 2). Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa Kabupaten Batanghari, Tebo, Bungo dan Merangin merupakan sentra ternak kerbau di Propinsi Jambi. Jenis kerbau yang berkembang adalah kerbau lumpur tanpa ada perbaikan genetik atau program inseminasi buatan (IB) sebelumnya. DWIYANTO dan SUBANDRIO (1995), melaporkan sistem pemeliharaan ternak kerbau umumnya masih tradisional dengan penguasaan lahan yang kurang ekonomis, kualitas pakan yang rendah, terbatasnya pengetahuan peternak tentang reproduksi dan belum diterapkan teknologi tepat guna. Masalah utama untuk meningkatkan populasi adalah melalui pengontrolan pengeluaran dan pemotongan betina produktif di tingkat lapangan. Saat ini pengeluaran dan pemotongan kerbau betina produktif sulit dikendalikan karena adanya penawaran dan permintaan. Padahal salah satu cara untuk mempercepat peningkatan populasi dengan dropping sapi bibit yang diawasi secara berkesinambungan seperti yang telah dilakukan International Fund for Agricultural Develovmen (IFAD) pada tahun 1980-an, yang dianggap berhasil dalam upaya peningkatan populasi ternak sapi di Jambi. Sistem pemeliharaan ternak kerbau Ternak kerbau bagi masyarakat Jambi merupakan harta yang suatu saat dimanfaatkan untuk keperluan hajatan atau sebagai tabungan yang diusahakan secara tradisional. Di Desa Mersam Kabupaten Batanghari, pola pemeliharaan ternak kerbau adalah dilepas di padang penggembalaan yang mempunyai kubangan dan semak belukar bahkan memasuki perkampungan (Gambar 1). Dengan sistem ini masyarakat sudah terbiasa dengan keadaan tersebut sehingga merasa tidak terganggu dengan adanya ternak kerbau di sekitar tempat tinggal. Pada sore hari pemilik kerbau memberikan air garam sambil menggiring ternaknya ke kandang. Ada pepatah orang Jambi mengatakan Ternak bereban malam siang betali mato kok dekat diturut dengan aek garam kok jauh di jelang, Umo bekandang siang tigo sebeban dikebat utan tua disokong antaronyo. Ungkapan di atas berarti pemilik ternak boleh melepaskan ternaknya pada siang hari dan diawasi/digembala, begitu juga dengan pemilik kebun membuat pagarnya dengan kayu yang besar dan kuat. Karena seringkali terjadi pencurian ternak kerbau maka untuk menjaga keamanan dibuat kesepakatan antara pemilik ternak kerbau, dimana secara bergantian menjadi penjaga malam di lokasi dekat kandang. Oleh karena lokasi kandang umumnya berada dekat dengan perkampungan maka pos jaga dapat dialiri listrik (Gambar 2). Pola penjagaan seperti ini sangat baik untuk meningkatkan kerjasama antara sesama pemilik kerbau. Lahan penggembalaan Sistem pemeliharaan ternak kerbau di pedesaan di Jambi sangat tergantung pada lahan penggembalaan karena sistem pemeliharaan yang ekstensif tradisional. LUBIS (1999), melaporkan bahwa 91% pemeliharaan kerbau di Propinsi Jambi masih 91
Gambar 1. Ternak kerbau hidup berkeliaran di perkampungan pedesaan Gambar 2. Pos jaga ternak kerbau untuk malam hari di sekitar kandang ternak memanfaatkan pakan alami yang diambil sendiri oleh ternak di padang penggembalaan dan selebihnya diambil secara cut and carry untuk makan selama masa musim tanam. Pada saat ini umumnya lahan yang dominan digunakan adalah untuk perkebunan kelapa sawit dan karet. Sementara itu juga padang penggembalaan telah banyak beralih fungsi menjadi lahan perkebunan sawit dan karet (Gambar 3). Dengan semakin berkurangnya lahan penggembalaan maka pada musim kemarau telah mulai kelihatan dampak negatif bagi perkembangan ternak kerbau seperti terjadi beberapa kasus keguguran (kasus di Desa Mersam). Selain alih fungsi lahan pengembalaan, statusnya hanya dimiliki oleh individu sehingga suatu saat nanti lahan penggembalaan semakin berkurang apabila dibiarkan berlanjut seperti saat ini. Untuk itu diperlukan kebijakan-kebijakan dalam rangka 92
Seminar dan Lokakarya Nasional Ushaternak Kerbau 2007 mempertahankan keberadaan lahan penggembalaan pada daerah-daerah yang potensial pengembangan ternak kerbau. Belum adanya lahan penggembalaan yang legal secara hukum di tingkat pedesaan akan menimbulkan kekhawatiran beralih fungsinya lahan-lahan tersebut bagi usaha di luar peternakan. Untuk mengoptimalkan penggunaan lahan sebenarnya ternak kerbau dapat diintegrasikan dengan perkebunanan kelapa sawit dan karet, pada tanaman berusia di atas 6 tahun. Banyak keuntungan apabila ternak kerbau diintegrasikan dengan perkebunan sawit dan karet, memanfaatkan rumput yang tumbuh di antara tanaman utama sebagai pakan dan dijadikan tenaga kerja untuk alat transportasi tandan buah segar (TBS) sawit. Sebenarnya kemampuan ternak kerbau untuk mengkonsumsi pakan lebih baik dari ternak sapi. DEVENDRA (1985) mengemukakan bahwa kerbau mampunyai kemampuan lebih baik memanfaatkan hijauan yang berkualitas rendah dari pada sapi. menurut beberapa laporan jarak kelahiran adalah 18-24 bulan. Gambar 3 (kasus di Desa Mersam) memperlihatkan bahwa anak yang diperkirakan berumur 1,5 tahun masih menyusui dengan induknya, hal ini mengindikasikan reproduksi ternak kerbau di tingkat petani masih lambat sebagai mana yang dilaporkan oleh PUTU (1992). Beberapa masalah pengembangan ternak kerbau di Indonesia antara lain adalah pemasaran daging kerbau, pertumbuhan yang lambat, calving interval yang panjang dan program seleksi bibit yang belum terarah. Upaya pengembangan ternak kerbau Berdasarkan kondisi lapangan pada saat ini diperlukan upaya-upaya pengembangan kerbau yang disesuaikan dengan kondisi lahan. Tabel 2. Luas lahan perkebunan karet dan kelapa sawit, hijauan pakan ternak dan padang pengembalaan di Propinsi Jambi Reproduksi ternak kerbau Keberhasilan pemeliharaan ternak kerbau dapat diukur dengan kemampuan ternak untuk menghasilkan anak dalam periode tertentu, dimana semakin pendek jarak kelahiran ternak kerbau maka reproduksi ternak semakin baik. Untuk ternak kerbau di Propinsi Jambi,. Penggunaan lahan Karet Kelapa sawit Kebun hijauan pakan ternak Padang pengembalaan Sumber: BPS JAMBI (2005) Ha 563.502 341.065 371.525 735 Gambar 3. Kerbau di padang pengembalaan yang telah beralih fungsi 93
Dengan beralih fungsinya sebagaian lahan penggembalaan menjadi perkebunan kelapa sawit dan karet maka salah satu upaya adalah integrasi ternak kerbau di lahan perkebunan yang telah berproduksi sehingga tidak mengganggu tanaman utama. Disamping itu juga perlu kebijakan mempertahankan lahan penggembalaan terutama pada daerah-daerah potensial pengembangan ternak kerbau. Untuk merubah pola pemeliharaan lepas ke arah sistem semi intensif diperlukan pengkajian sosial budaya petani untuk memasukan teknologi baru seperti IB, teknologi pakan musim kemarau, seleksi bibit dan teknologi lainnya. DAFTAR PUSTAKA BPS PROPINSI JAMBI 2006. Jambi Dalam Angka 2005. DEVENDRA, C. 1987 Herbivores. In: The arid and tropic.the Nutrition of Herbivores Academic Press. Sydney. DWIYANTO, K. dan SUBANDRIO. 1995. Peningkatan Mutu genetik Kerbau lokal di Indonesia. Jurnal Hasil Penelitian Volume XIV. Badan Litbang Pertanian DINAS PETERNAKAN PROPINSI JAMBI. 2006. Laporan Tahunan Dinas Peternakan Propinsi Dati I Jambi Tahun 2006. DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN 2005. Statistik Peternakan 2004. Direktorat Jenderal Peternakan. Jakarta. LUBIS. A.S. 1999. Laporan Studi Pendahuluan Pengembangan potensi Kerbau di Kabupaten Batang Hari Propinsi Jambi. Dinas Peternakan Propinsi Dati I Jambi. PUTU,.I. G. 1992. Prospek pengembangan ternak kerbau di Indonesia. Prosiding Pengolahan dan Komunikasi hasil-hasil Penelitian Ruminansia Besar. Balitnak Bogor. Hal 20 23. 94