KAJIAN SEMIOTIK PADA POCAPAN GARA-GARA PAGELARAN WAYANG PURWA DENGAN LAKON DURYUDANA GUGUR OLEH KI TIMBUL HADI PRAYITNO Oleh : Hesti Nur Cahyo program studi pendidikan bahasa dan sastra jawa hestinurcahyo@gmail.com Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mendeskripsikan pembacaan heuristik tuturan dan tembang dalam Pocapan Gara-Gara Pagelaran Wayang Purwa dengan Lakon Duryudana Gugur oleh Ki Timbul Hadi Prayitno; 2) Mendeskripsikan pembacaan hermeneutik tuturan dan tembang dalam Pocapan Gara-Gara Pagelaran Wayang Purwa dengan Lakon Duryudana Gugur oleh Ki Timbul Hadi Prayitno. Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Objek penelitian adalah tuturan dan tembang pada pocapan gara- gara. Subjek penelitian adalah pocapan gara- gara pagelaran wayang kulit dengan judul Duryudana Gugur oleh dalang Ki Timbul Hadi Prayitno. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik simak dan catat. Instrumen penelitian yang dipakai adalah peneliti sebagai sumber instrumen dibantu dengan buku-buku, alat tulis dan nota pencatat. Teknik analisis data menggunakan analisis semiotik dan menarik kesimpulan setelah data disajikan. Penyajian data disajikan dengan metode informal yaitu dalam bentuk tabel dan paragraf. Hasil penelitian dengan pendekatan semiotik menggunakan pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik atau retroaktif. 1) Pembacaan heuristik merupakan pencarian arti (tanda) secara leksikal atau tersurat. Dalam penentuan arti secara leksikal, peneliti dibantu dengan kamus dalam menentukan arti (tanda) dalam berbagai cara penentuannya menggunakan dua cara penentuan arti (tanda) pada tuturan dan tembang yaitu dengan: a) melakukan penambahan kosakata, penambahan kosakata ditandai dengan pemberian tanda kurung dan tercetak tebal. b) penggantian kosakata tidak baku menjadi baku. 2) Pembacaan hermeneutik bertujuan untuk mengartikan tanda dengan pemberian tafsiran oleh peneliti. Jadi, peneliti memberikan deskripsi-deskripsi yang didapatkan setelah membaca sebuah tuturan maupun tembang dari adegan gara-gara dalam pagelaran wayang purwa. Setelah membaca tuturan dan tembang dalam adegan gara-gara dapat disimpulkan bahwa adegan gara-gara dalam pagelaran wayang purwa yang diteliti menjelaskan tentang norma-norma sosial yang ada diantara masyarakat. Kata kunci: Semiotik, gara-gara, Duryudana Gugur Pendahuluan Indonesia merupakan Negara kesatuan yang terdiri atas jajaran pulau-pulau. Setiap penduduk pulau tersebut, tentu mempunyai anggapan atau pemikiran yang berbeda. Perbedaan pemikirannya antara lain tentang bahasa dan kebudayaan. Bahasa merupakan sarana paling penting dalam komunikasi antar manusia. Bahasa menjadi alat yang paling tepat untuk mengutarakan berbagai keinginan, perasaan, gagasan dan halhal lainnya kepada orang lain, agar orang yang diajak berkomunikasi memahami tentang apa yang disampaikan. Begitu pentingnya fungsi bahasa dalam kehidupan Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 22
sehari-hari atau kehidupan sosial manusia, hingga mau tidak mau kita harus memahami apa dan bagaimana menggunakan bahasa secara baik dan benar. Dalam dunia pendidikan formal, bahasa dikaji, diteliti dan dideskripsikan secara terus menerus untuk mendapatkan kejelasan secara akademis dan ilmiah. Bahasa dalam konteks kemasyarakatan merupakan alat komunikasi yang utama selain alat komunikasi yang lain, oleh karena itu dalam kehidupan bermasyarakatpun perlu dan penting dengan adanya bahasa. Masyarakat mempunyai kehidupan yang rumit dan komplek, begitu juga mengenai bahasa masyarakat itu sendiri bervariasi dan beragam mengikuti ragam masyarakat dan kultur yang ada. Dari bahasa tersebut munculah berbagai jenis kebudayaan di masyarakat Jawa. Salah satu kebudayaan masyarakat Jawa yang masih bertahan hingga saat ini adalah wayang kulit/ wayang purwa. Kesenian wayang kulit adalah salah satu dari jutaan kebudayaan daerah di Indonesia. Kesenian ini merupakan kebudayaan daerah Jawa yang diwariskan turuntemurun dari nenek moyang. Kesenian wayang kulit diharapkan dapat menjadi tontonan sekaligus tuntunan ( adiluhung ) tingkah laku masyarakat Jawa dan para penonton pada umumnya. Wayang kulit merupakan gambaran sifat manusia yang dibuat sedemikian rupa dengan skenario yang ada. Wayang kulit sebenarnya adalah nama kesenian yang kita kenal saat ini. Awal mula kesenian ini lahir dengan nama wayang purwa. Wayang berasal dari kata wayang yang berarti gambaran atau bayangan tentang suatu tokoh secara samar-samar, sedangkan purwa berarti pertama, tua, atau permulaan. Jadi, wayang purwa adalah bayangan tentang suatu tokoh secara samar pada zaman paling tua. Wayang kulit merupakan satu unsur kebudayaan daerah yang mengandung nilainilai seni, moral, pendidikan, pesan-pesan pembangunan nasional, dan nilai-nilai pengetahuan yang tinggi, serta sangat berharga untuk dipelajari sedalam-dalamnya. Nilai- nilai tersebut sangat kental dengan satu adegan pada wayang kulit yaitu adegan gara-gara. Adegan gara-gara menampilkan tokoh punakawan dan sangat menghibur yang sangat menyenangkan, karena terdapat hiburan seperti berbagai lagu dolanan, sejak yang klasik hingga jenis lagu yang modern. Bahasa yang digunakan untuk adegan gara-gara relatif sederhana, campuran, komunikatif, mudah dipahami para penonton. Dalam adegan gara-gara bahasa yang muncul tak lain bahasa yang berupa nasihat terkadang kata-kata porno, sindiran, maupun kritik dan sebagainya. Hal ini yang membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terhadap bahasa yang digunakan Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 23
dalam pocapan gara-gara. Pada adegan pocapan gara-gara berisi tentang kritik sosial, terutama terhadap keberadaan bangsa Indonesia dewasa ini antara lain: kerusakan lingkungan, disintegrasi, korupsi, hukum lemah, pemimpin yang arogan, pergaulan bebas dan sebagainya. Setiap pembawaan tema tersebut diawali dengan syair sulukan seperti salah satu contoh adegan gara-gara dengan tema kerusakan lingkungan, para punakawan akan keluar dan menggambarkan 8 (delapan) hal kondisi alam semesta (bumi, sawah, gunung, laut, hutan, ladang, dewa dan raja) sudah tidak berfungsi, rusak amat berat karena ulah para pelaku yang tidak bermoral dan bertanggung jawab, sehingga menimbulkan berbagai bencana alam yang amat menyengsarakan rakyat. Terdapat berbagai ragam bahasa yang mudah dipahami oleh aprisiator, tetapi tidak jarang juga para punakawan mengucapkan kata-kata yang arkais, mengandung purwakanthi,. paribasan, bebasan, wangsalan, pepindhan, sanepa, panyandra, dasanama, tembung garba, yogyaswara, parikan, tembung saroja, rura basa, kerata basa, tembung entar, kosok balen, basa rinengga, dan tembung plutan, yang terkadang penggunaan unsur estetis ini menjadi kendala bagi apresiator, terutama bagi yang belum berpengalaman untuk dapat menangkap keindahan dan maksud dari dalang. Hal tersebut salah satu unsur didalam topik yang akan diteliti oleh peneliti yaitu Kajian Semiotik Struktural. Tetapi pada penelitian ini akan dikaji lebih luas tentang Kajian Semiotik. Semiotik dapat diartikan tanda. Tanda itu sendiri diartikan sebagai sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain. Semiotik dapat pula diartikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan peristiwa yang terjadi di seluruh dunia sebagai tanda. Berawal dari permasalahan tersebut, maka timbul keinginan penulis untuk mengkaji unsur-unsur semiotik yang ada pada adegan gara- gara pagelaran wayang kulit. Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik mengangkat kajian tentang Kajian Semiotik pada Pocapan Gara- Gara pada Pagelaran wayang kulit dengan lakon Duryudana Gugur oleh Dalang Ki Timbul Hadi Prayitno, dengan alasan terkadang penggunaan unsur-unsur semiotik ini menjadi suatu kendala mengenai persepsi, terutama mereka yang kurang memahami arti dari isi tembang, keindahan-keindahan bahasa dan maksud dalang. Selain itu, masyarakat umum terutama generasi muda kadang kurang tertarik untuk mempelajari unsur-unsur semiotik yang terdapat pada tembang dan pocapan gara- gara yang sangat bermanfaat sebagai tuntunan kehidupan. Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 24
Metode Penelitian Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Dimana peneliti cenderung pada pemaparan hasil. Instrumen utama dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri. Data yang dikumpulkan berupa kata-kata dalam benyuk tertulis maupun lisan. Deskriptif atau deskripsi yaitu penggambaran pengalaman dan pemahaman berdasarkan hasil pemaknaan berbagai bentuk pengalaman sesuai dengan karakteristik sasaran penelitiannya. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan deskriptif kualitatif. Peneliti memberikan gambaran mengenai konsep semiotik tuturan dan lirik tembang dengan cara menyimak tayangan adegan Gara-gara dan menuliskan tuturan dan lirik tembang yang ada pada adegan Gara-gara pada Pocapan Gara- Gara Pagelaran Wayang Kulit dengan Judul Duryudana Gugur oleh Dalang Ki Timbul Hadi Prayitno. Data yang diperoleh berupa kata, kalimat dan paragraf yang menunjukan adanya unsur semiotik. Hasil Penelitian Hasil penelitian dengan pendekatan semiotik menggunakan pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik atau retroaktif. 1) Pembacaan heuristik merupakan pencarian arti (tanda) secara leksikal atau tersurat. Dalam penentuan arti secara leksikal, peneliti dibantu dengan kamus dalam menentukan arti (tanda) dalam berbagai cara penentuannya menggunakan dua cara penentuan arti (tanda) pada tuturan dan tembang yaitu dengan: a) melakukan penambahan kosakata, penambahan kosakata ditandai dengan pemberian tanda kurung dan tercetak tebal. b) penggantian kosakata tidak baku menjadi baku. 2) Pembacaan hermeneutik bertujuan untuk mengartikan tanda dengan pemberian tafsiran oleh peneliti. Jadi, peneliti memberikan deskripsi-deskripsi yang didapatkan setelah membaca sebuah tuturan maupun tembang dari adegan gara-gara dalam pagelaran wayang purwa. Setelah membaca tuturan dan tembang dalam adegan gara-gara dapat disimpulkan bahwa adegan garagara dalam pagelaran wayang purwa yang diteliti menjelaskan tentang norma-norma sosial yang ada diantara masyarakat. Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 25
Simpulan Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan bahwa untuk mengatasai masalah-masalah yang terdapat pada rumusan masalah yaitu tentang kajian semiotik yang terdapat pada tuturan dan tembang pada pocapan gara-gara pagelaran wayang kulit dengan judul Duryudana Gugur oleh Ki Timbul Hadi Prayitno, dilakukan penelitian dengan pendekatan semiotik menggunakan pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik atau retroaktif. 1. Pembacaan heuristik Pendekatan semiotik dengan pembacaan jenis ini merupakan pencarian arti (tanda) secara leksikal atau tersurat. Dalam penentuan arti secara leksikal, peneliti dibantu dengan kamus dalam menentukan arti (tanda) dalam berbagai cara penentuannya, antara lain: a. Menentukan arti (tanda) dengan menambahkan kosakata kedalam dialog. Penambahan kosakata ditandai dengan pemberian tanda kurung dan tercetak tebal. Penambahan ini dilakukan dengan harapan ditemukannya sebuah arti dari kalimat dikarenakan adanya kosakata yang pengucapannya dipersingkat muncul. Dengan munculnya kosakata baru, penulis lebih mudah mengartikan sebuah kalimat. b. Menentukan arti suatu tanda dengan mengganti kosakata tidak baku menjadi kosakata baku sesuai dengan ejaan yang disempurnakan. Hal ini terjadi karena kebiasaan pengucapan dan pengucapan dari penutur yang terbiasa dengan intonasi cepat. 2. Pembacaan hermeneutik Pendekatan semiotik dengan pembacaan hermeneutik bertujuan untuk mengartikan tanda dengan pemberian tafsiran oleh peneliti. Jadi, peneliti memberikan deskripsi- deskripsi yang didapatkan setelah membaca sebuah tuturan maupun tembang dari adegan gara- gara dalam pagelaran wayang purwa. Dari pembacaan inilah terlihat kekreatifan seseorang dalam mendeskripsikan suatu tuturan ataupun tembang dengan imajinasi- imajinasi yang ada dalam pikiran peneliti. Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 26
Daftar Pustaka Berger, Arthur Asa. 2010. Pengantar Semiotika. Yogyakarta: Tiara Wacana Endraswara, Suwardi. 2013. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: CAPS (Center for Academic Publishing Service). H Hoed, Benny. 2011. Semiotik dan Dinamika Budaya Ferdinand de Saussure, Roland Barthes, Julia Kristeva, Jacques Derrida, Charles Sanders Pierce, Marcel Danesi, Paul Perron, dll. Jakarta: Komunitas Bambu. Ismawati, Esti. 2011. Metode Penelitian Pendidikan Bahasa dan Sastra. Surakarta: Yuna Pustaka. Pradopo, Rahmad Djoko. 1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Sutardjo, Imam. 2006. Serpihan Mutiara Pertunjukan Wayang. Surakarta: Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret. Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 27