ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN TIFUS ABDOMINALIS DI KOTA SIBOLGA TAHUN 2015

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Pembangunan nasional dapat

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN. kesadaran (Rampengan, 2007). Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella

BAB 1 PENDAHULUAN. adalah masalah kejadian demam tifoid (Ma rufi, 2015). Demam Tifoid atau

ARTIKEL PENELITIAN HUBUNGAN KONDISI SANITASI DASAR RUMAH DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS REMBANG 2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. menyusun istilahnya yaitu epi yang artinya atas, demos artinya penduduk dan logos

PERILAKU IBU DALAM MENGASUH BALITA DENGAN KEJADIAN DIARE

HUBUNGAN KONDISI FASILITAS SANITASI DASAR DAN PERSONAL HYGIENE DENGAN KEJADIAN DIARE DI KECAMATAN SEMARANG UTARA KOTA SEMARANG.

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KESEMBUHAN PASIEN PENDERITA DEMAM TYPHOID DI RUANG PERAWATAN INTERNA RSUD KOTA MAKASSAR

BAB I PENDAHULUAN. adalah masalah kejadian penyakit Tifoid (Thypus) di masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. oleh infeksi saluran napas disusul oleh infeksi saluran cerna. 1. Menurut World Health Organization (WHO) 2014, demam tifoid

BAB I PENDAHULUAN ). Penyakit Typhoid Abdominalis juga merupakan masalah kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. menular yang banyak menyebabkan kematian. Masalah tersebut menjadi

BAB I PENDAHULUAN. rendah, cenderung meningkat dan terjadi secara endemis. Biasanya angka

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. terjadi pada bayi dan balita. United Nations Children's Fund (UNICEF) dan

HUBUNGAN SANITASI LINGKUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE DIDUGA AKIBAT INFEKSI DI DESA GONDOSULI KECAMATAN BULU KABUPATEN TEMANGGUNG

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Tahun 2006, World Health Organization melaporkan lebih dari seperempat

I. PENDAHULUAN. besar di Indonesia, kasus tersangka tifoid menunjukkan kecenderungan

BAB I PENDAHULUAN. pada iklim, tetapi lebih banyak di jumpai pada negara-negara berkembang di

BAB I PENDAHULUAN. Sumber penularan penyakit demam typhoid adalah penderita yang aktif,

BAB I PENDAHULUAN. WHO memperkirakan jumlah kasus demam thypoid di seluruh dunia

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella Typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh bakteri Salmonella thypi dan Salmonella para thypi. Demam

BAB 1 PENDAHULUAN. saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dan beban global. terutama di negara berkembang seperti Indonesia adalah diare.

PERILAKU PENCEGAHAN PENYAKIT DEMAM TIFOID PADA MAHASISWA PREVENTION BEHAVIOR IN STUDENTS TYHPOID FEVER

BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Demam Typhoid (typhoid fever) merupakan salah satu penyakit

BAB II PEMBAHASAN. Tujuan Surveilans Epidemiologi 2 Tujuan surveilans epidemiologi yaitu:

STUDI KASUS KEJADIAN DIARE PADA ANAK BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BAYANAN TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yaitu program pemberantasan penyakit menular, salah satunya adalah program

PERBEDAAN PENGETAHUAN MAHASISWA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN TENTANG PENCEGAHAN PENYAKIT DEMAM TIFOID

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. penyakit yang menyerang seperti typhoid fever. Typhoid fever ( typhus abdominalis, enteric fever ) adalah infeksi

FAKTOR FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEBERADAAN BAKTERI Escherichia coli PADA JAJANAN ES BUAH YANG DIJUAL DI SEKITAR PUSAT KOTA TEMANGGUNG

BAB I PENDAHULUAN. Derajat kesehatan masyarakat yang optimal sangat ditentukan oleh tingkat

BAB I PENDAHULUAN. dapat menurunkan tingkat kesadaran (Rahmatillah et al., 2015). Demam tifoid

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. berbagai masalah lingkungan yang bersifat alamiah maupun buatan manusia.

Promotif, Vol.2 No.2 April 2013 Hal

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yang setinggi-tingginya sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya

Kata Kunci : Diare, Anak Balita, Penyediaan Air Bersih, Jamban Keluarga

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DIARE DI MASYARAKAT DESA MARANNU KECAMATAN PITUMPANUA KABUPATEN WAJO YURIKA

BAB I PENDAHULUAN. dari spesimen-spesimen yang diperiksa. Petugas laboratorium merupakan orang

BAB 1 : PENDAHULUAN. (triple burden). Meskipun banyak penyakit menular (communicable disease) yang

PHBS yang Buruk Meningkatkan Kejadian Diare. Bad Hygienic and Healthy Behavior Increasing Occurrence of Diarrhea

BAB I PENDAHULUAN. prasarana kesehatan saja, namun juga dipengaruhi faktor ekonomi,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi penyakit multisistemik yang disebabkan oleh kuman Salmonella

BAB 1 PENDAHULUAN. Asia Tenggara termasuk di Indonesia terutama pada penduduk yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi pada usus kecil yang disebabkan oleh kuman Salmonella Typhi.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TERJADINYA ISPA PADA BAYI (1-12 BULAN) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS RAJABASA INDAH BANDAR LAMPUNG TAHUN 2013

BAB I PENDAHULUAN. sebesar 3,5% (kisaran menurut provinsi 1,6%-6,3%) dan insiden diare pada anak balita

Ririh Citra Kumalasari 1. Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Undip *)Penulis korespondensi:

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit diare adalah salah satu penyebab utama kesakitan dan kematian pada

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh salmonella typhi, salmonella paratyphi A, salmonella

BAB 1 PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan hak asasi manusia yang harus diperhatikan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Giardia intestinalis. Penyakit ini menjadi salah satu penyakit diare akibat infeksi

MEDIKA TADULAKO, Jurnal Ilmiah Kedokteran, Vol.1 No.2 Mei 2014

BAB. I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. seluruh daerah geografis di dunia. Menurut data World Health Organization

BAB 1 PENDAHULUAN. Usia anak dibawah lima tahun (balita) merupakan usia dalam masa emas

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Ancaman penyakit yang berkaitan dengan higiene dan sanitasi khususnya

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) selalu merupakan beban

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. WHO (World Health Organization) mendefinisikan Diare merupakan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Tenggara. Terdapat empat jenis virus dengue, masing-masing dapat. DBD, baik ringan maupun fatal ( Depkes, 2013).

HUBUNGAN PERSONAL HYGIENE IBU DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BAYI DI POSYANDU CEMPAKA DAN MAWAR DESA CUKANGKAWUNG TASIKMALAYA PERIODE BULAN APRIL 2015

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Pemberantasan penyakit. berperanan penting dalam menurunkan angka kesakitan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

UKDW. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara

BAB I PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang. disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di

EFEKTIFITAS TERAPI AROMA TERHADAP PENURUNAN SKALA NYERI DISMENOREA PADA REMAJA PUTRI DI SMA NEGERI 1 KABUN TAHUN 2015

BAB I. Leptospirosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan oleh

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan di RSUD Kabupaten Temanggung ini merupakan

BAB 1 : PENDAHULUAN. dikonsumsi masyarakat dapat menentukan derajat kesehatan masyarakat tersebut. (1) Selain

BAB 1 PENDAHULUAN. Anak merupakan titipan illahi dan merupakan suatu investasi bangsa

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU TENTANG HYGIENE MAKANAN DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA DI PUSKESMAS JATIBOGOR TAHUN 2013

EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR

HUBUNGAN ANTARA HIGIENE PERORANGAN, FREKUENSI KONSUMSI DAN SUMBER MAKANAN JAJANAN DENGAN KEJADIAN DIARE

SURVEI PENGETAHUAN TENTANG DEMAM TYPOID PADA KELUARGA KLIEN YANG DIRAWAT DI RUMAH SAKIT UMUM HAJI MAKASSAR

SKRIPSI ANALISIS FAKTOR RISIKO KEJADIAN PENYAKIT TUBERKULOSIS PADA ANAK DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT SURAKARTA

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anak merupakan individu yang berada dalam suatu rentang

BAB III METODE PENELITIAN. cross sectional. Dalam penelitian cross sectional peneliti melakukan

BAB 1 PENDAHULUAN. Di dalam bab ini akan dibahas tentang latar belakang penelitian, masalah

BAB I PENDAHULUAN. Survei morbiditas yang dilakukan oleh Subdit Diare Departemen Kesehatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN. Herdianti STIKES Harapan Ibu Jambi Korespondensi penulis :

FAKTOR RISIKO KEJADIAN DEMAM TYPOID PADA PASIEN RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT TMC TASIKMALAYA TAHUN Heti Damayanti 1) Nur Lina dan Sri Maywati 2)

BAB I PENDAHULUAN. masalah kesehatan di indonesia terutama pada anak-anak. Diare harus

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN TIFUS ABDOMINALIS DI KOTA SIBOLGA TAHUN 2015 Oleh MANOTAR SINAGA, S.KEP, M.KES. Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (Stikes) Nauli Husada Sibolga PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, yang pada hakekatnya merupakan upaya penyelenggaraan kesehatan oleh bangsa Indonesia untuk mencapai kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Pembangunan nasional dapat terlaksana sesuai dengan cita-cita bangsa jika diselenggarakan oleh manusia yang cerdas dan sehat. Keberhasilan pembangunan kesehatan sangat dipengaruhi oleh tersedianya sumber daya manusia yang sehat, terampil dan ahli, serta memiliki perencanaan kesehatan dan pembiayaan terpadu dengan justifikasi kuat dan logis yang didukung oleh data dan informasi epidemiologi yang valid (Kepmenkes RI Nomor 1116, 2003). Pembangunan bidang kesehatan di Indonesia saat ini mempunyai beban ganda (double burden). Penyakit infeksi masih memerlukan perhatian besar dan sementara itu telah terjadi peningkatan penyakit-penyakit tidak menular. Kemajuan transportasi dan komunikasi, membuat penyakit dapat berpindah dari satu daerah atau negara ke negara lain dalam waktu yang relatif singkat serta tidak mengenal batas wilayah administrasi. Selanjutnya berbagai penyakit baru (New emerging diseases) ditemukan, serta kecenderungan meningkatnya kembali beberapa penyakit yang selama ini sudah berhasil dikendalikan (Re-emerging diseases) (Kepmenkes RI Nomor 1116, 2003). Di Negara Indonesia penyakit Tifus bersifat endemik. Berdasarkan data kasus di rumah sakit besar di Indonesia, penyakit Tifus menunjukkan kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun dengan rata-rata kesakitan 500/100.000 penduduk dengan Case Fatality Rate (CFR) antara 0,6-5% atau 3-25/100.000 (Kepmenkes RI No. 364, 2006). Pasien Tifus

sanagt dianjurkan dirawat di rumah sakit karena penyakit ini relatif mudah menular kepada anggota keluarga lain (Tambayong, 2000). Tifus banyak ditemukan dalam kehidupan masyarakat Indonesia, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Penyakit Tifus sangat erat kaitannya dengan kualitas higiene pribadi (higiene perorangan dan higiene perjamah makanan yang rendah) dan sanitasi lingkungan (lingkungan yang kumuh, kebersihan tempat-tempat umum yang kurang) serta perilaku masyarakat yang tidak mendukung untuk hidup sehat (Kepmenkes RI No. 364, 2006). Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI (2009) bahwa dari hasil Riset Kesehatan Daerah Sumatera Utara tahun 2007 dalam 12 bulan terakhir, Tifus dapat dideteksi di Provinsi Sumatera Utara dengan prevalensi 900/100.000, dan tersebar di seluruh kabupaten/kota dengan rentang 200/100.000-3.300/100.000. Prevalensi Tifus tertinggi dilaporkan di Kabupaten Nias Selatan (3.300/100.000). Prevalensi Tifus di Kota Sibolga dilaporkan adalah 600/100.000. Kota Sibolga, merupakan salah satu Kota di Provinsi Sumatera Utara terdiri dari 4 Kecamatan, memiliki luas wilayah 10,77 km 2 dengan jumlah penduduk 85.981 orang dan tingkat kepadatan 7.983 orang/km 2 (BPS Kota Sibolga, 2013). Data surveilens terpadu penyakit berbasis rumah sakit sentinel di RSUD Dr. Ferdinand Lumbantobing Sibolga Tahun 2014, menunjukkan bahwa untuk kasus rawat inap, jumlah kasus tifus perut klinis sebanyak 149 kasus dan tifus perut widal/kultur sebanyak 193 kasus. Sementara itu, untuk kasus rawat jalan diperoleh jumlah kasus tifus perut klinis sebanyak 61 kasus dan tifus perut widal/kultur sebanyak 148 kasus (Rekam Medik RSUD Dr. Ferdinand Lumbantobing Sibolga Tahun 2014). Sebagai upaya pencegahan penyakit Tifus di Kota Sibolga, maka perlu diketahui faktorfaktor yang paling signifikan mempengaruhi terjadinya penyakit tifus abdominalis tersebut sehingga diketahui rencana upaya yang paling efektif untuk mencegah penyakit tersebut. Penelitian epidemiologi dapat dilakukan untuk menjawab frekuensi, distribusi dan determinan penyakit tifus abdominalis secara deskriptif dan analitik. Untuk itulah maka penulis tertarik melakukan penelitian tentang faktor-faktor apakah yang paling signifikan mempengaruhi kejadian Tifus di Kota Sibolga Provinsi Sumatera Utara.

2. Permasalahan Permasalahan sebagai berikut : Faktor-faktor apakah yang paling signifikan berhubungan dengan kejadian Tifus di Kota Sibolga Provinsi Sumatera Utara?. 3. Tujuan Penelitian Untuk menganalisa faktorfaktor yang paling signifikan berhubungan dengan kejadian tifus abdominalis di Kota Sibolga Provinsi Sumatera Utara. 4. Manfaat Penelitian Bagi Dinas Kesehatan dan Rumah Sakit Umum Daerah Dr. F.L. Tobing Sibolga dapat dijadikan sebagai data dasar kasus Tifus di Kota Sibolga dan sebagai masukan dalam pencegahan penyakit Tifus di Kota Sibolga. 5. Hipotesis Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah hipotesa alternatif (Ha), yaitu : 1. Ada hubungan yang signifikan mencuci tangan terhadap kejadian Tifus 2. Ada hubungan yang signifikan higiene makanan dan minuman terhadap kejadian Tifus 3. Ada hubungan yang signifikan penyediaan air bersih terhadap kejadian Tifus 4. Ada hubungan yang signifikan penyediaan jamban kelurga terhadap kejadian Tifus 5. Ada hubungan yang signifikan sarana pembuangan air limbah terhadap kejadian Tifus 6. Ada hubungan yang signifikan sarana pembuangan sampah/tempat sampah terhadap kejadian Tifus 7. Ada hubungan yang signifikan kebiasaan makan di luar terhadap kejadian Tifus TINJAUAN PUSTAKA 1. Konsep Epidemiologi Tifus Definisi epidemiologi dapat diartikan sesuai dengan komponen kata yang menyusun istilahnya yaitu epi yang artinya atas, demos artinya penduduk dan logos artinya ilmu. Dengan demikian epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang menimpa/terjadi pada penduduk (Lapau, 2013). 2. Basil Salmonella dan Reservoir Mikoorganisme penyebab Tifus adalah bakteri Salmonella Typhi dari genus Salmonella.

3. Gambaran Epidemiologis Tifus Di Indonesia, Kasus Tifus di rumah sakit besar di Indonesia, menunjukkan angka kesakitan cenderung meningkat setiap tahun dengan rata-rata 500/100.000 penduduk. Case Fatality Rate (CFR) diperkirakan sekitar 600-5.000/100.000 sebagai akibat dari keterlambatan mendapat pengobatan serta tingginya biaya pengobatan. 4. Cara Penularan Tifus dan Faktor-Faktor yang Berperan Bakteri Salmonella Typhi Salmonella menular ke manusia melalui makanan dan minuman. Makanan dan minuman yang dikonsumsi manusia dapat tercemar oleh komponen feses atau urin dari pengidap Tifus 5. Pengertian Tifus Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi bakteri hebat yang terjadi di selaput lendir usus dan jika tidak diobati secara progresif menyerang jaringan di seluruh tubuh. 6. Etiologi Tifus Etiologi Tifus adalah bakteri Salmonella. Bakteri Salmonella adalah bakteri gram negatif, tidak berkapsul, mempunyai flagella dan tidak membentuk spora. Bakteri Salmonella Tpypi mempunyai 3 antigen penting untuk pemeriksaan laboratorium, yaitu Antigen O (Somatik), antigen H (flagella) dan antigen K (selaput) (Kunoli, 2013). 7. Patofisiologi Tifus Penularan penyakit Tifus terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi urin/feces dari penderita tifus akut dan dari para pembawa kuman/carrier. Penularan penyakit Tifus terjadi melalui Finger, Files, Fomites, dan Fluids (Empat F) ke makanan, minuman, buah dan sayuran yang sering dimakan tanpa dicuci/dimasak (Kunoli, 2013). 8. Gejala Klinik Tifus Kumpulan gejala-gejala klinis Tifus disebut dengan sindrom Tifus Beberapa gejala klinis yang sering pada Tifus diantaranya adalah (Kepmenkes RI No. 364, 2006) : a. Demam b. Gangguan saluran pencernaan c. Gangguan kesadaran d. Hepatosplenomegali e. Bradikardia relatif dan gejala lain 9. Penularan Tifus Penularan penyakit Tifus terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi

oleh tinja dan urine dari penderita atau carrier. Lalat dapat juga berperan sebagai perantara penularan memindahkan mikroogranisme dari tinja ke makanan. Di dalam makanan, mikroorganisme berkembang biak memperbanyak diri mencapai dosis infektif, dimana dosisnya lebih rendah pada Tifus dibandingkan dengan Paratifoid (Kunoli, 2013). 10. Masa Inkubasi Masa inkubasi tergantung pada besarnya jumlah bakteri yang menginfeksi ; masa inkubasi berlangsung dari 3 hari sampai dengan 1 bulan dengan rata-rata 8-14 hari. Untuk Gastroenteris yang disebabkan oleh Paratifoid masa inkubasi berkisar antara 1-10 hari (Kunoli, 2013). 11. Komplikasi Tifus Komplikasi Tifus sering timbul pada minggu ke 2 atau lebih, mulai dari komplikasi ringan sampai berat bahkan kematian. Beberapa komplikasi Tifus yang sering terjadi diantaranya (Kepmenkes RI No. 364, 2006) : a. Tifoid Toksik (Tifoid Enselofapati) b. Syok Septik 12. Gambaran Laboratorium Tifus Pemeriksaan laboratorium yang digunakan untuk pasien Tifus adalah (Kepmenkes RI No. 364, 2006) : a. Gambaran darah tepi b. Pemeriksaan bakteriologis 13. Pengobatan Tifus Pengobatan Tifus dilakukan dengan prinsip triologi penatalaksanaan (Widoyono, 2011) yaitu : 1. Pemberian antibiotik 2. Istirahat dan perawatan 3. Terapi penunjang 14. Pencegahan dan Pemberantasan Tifus 1. Pencegahan a. Penyuluhan kepada masyarakat. b. Pembuangan kotoran pada jamban yang baik dan yang tidak terjangkau oleh lalat. c. Sumber air perlu dilindungi dari zat yang bias mengkontaminasi. d. Pemberantasan lalat dengan menghilangkan tempat berkembangbiaknya dengan sistem pengumpulan dan pembuangan sampah yang baik (Kunoli, 2013). Secara lebih detail, strategi pencegahan Tifus

mencakup hal-hal berikut (Widoyono, 2011) : a. Penyediaan sumber air minum yang baik b. Penyediaan jamban yang sehat c. Sosialisasi budaya cuci tangan d. Sosialisasi budaya merebus air sampai mendidih sebelum diminum e. Pembersihan lalat f. Pengawasan kepada para penjual makanan dan minuman g. Sosialisasi pemberian Air Susu Ibu (ASI) pada ibu menyusui h. Imunisasi Jenis vaksinasi yang tersedia adalah : a. Vaksin parenteral utuh b. Vaksin oral Ty21a c. Vaksin parenteral polisakarida 2. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya 3. Penanggulangan wabah 2. Landasan Teori Faktor Pejamu (Host = Tuan Rumah) Pejamu adalah manusia atau mahluk hidup lainnya, termasuk burung dan arthropoda, yang menjadi tempat terjadi proses alamiah perkembangan penyakit. Faktor Agen Agen (faktor penyebab) adalah suatu unsur, organisme hidup atau kuman infektif yang dapat menyebabkan terjadinya suatu penyakit. Faktor lingkungan Lingkungan adalah semua faktor luar dari suatu individu yang dapat berupa lingkungan fisik, biologis dan sosial. 2.4. Kerangka Konsep Kerangka konsep penelitian ini menggambarkan faktor-faktor yang diduga berhubungan terhadap kejadian Tifus di Kota Sibolga (Gambar 2.2) METODE PENELITIAN 3. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang akan digunakan adalah studi analitik dengan desain studi case control dengan memilih kasus yang menderita Tifus dan kontrol yang tidak menderita Tifus Dalam penelitian ini dilihat paparan yang dialami subjek pada waktu yang lalu (retrospektif) dengan menggunakan instrumen berupa kuesioner penelitian, lembar observasi, dan data rekam medik RSUD. Dr. Ferdinan Lumbantobing Sibolga tahun 2016. 1. Lokasi Penelitian Penelitian akan dilakukan di Kota Sibolga. Pengambilan kasus Tifus dari RSUD. Dr. Ferdinan Lumbantobing Sibolga.

2. Populasi dan sampel 1. Populasi Populasi dalam penelitian ini dibagi dalam dua (2) kelompok, yaitu : 1. Populasi Kasus Populasi kasus adalah seluruh pasien Tifus telah didiagnosis dokter di RSUD. Dr. Ferdinan Lumbantobing Sibolga. 2. Populasi Kontrol Populasi kontrol adalah seluruh tetangga pasien terdekat yang tidak pernah didiagnosis tifus 2. Sampel a. sampel Maka berdasarkan hasil perhitungan di atas didapatkan jumlah sampel minimal kasus = 88 penderita Tifus dan kontrol 88 orang yang tidak menderita Tifus Dengan demikian jumlah sampel sebanyak 176 orang. b. Cara pengambilan sampel Pengambilan sampel dilakukan secara consecutive sampling. Sampel diambil berdasarkan kriteria didiagnosis Tifus di RSUD. Dr. Ferdinan Lumbantobing Sibolga mulai bulan Desember 2015-Januari 2016. 3. Metode pengumpulan data 1. Sumber data 1. Data primer adalah data yang diperoleh melalui wawancara langsung dan observasi oleh penulis kepada responden (kelompok kasus dan kontrol) dengan menggunakan kuesioner penelitian dan lembar observasi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian Tifus 2. Data sekunder diambil dari data rekam medik penderita Tifus di RSUD. Dr. Ferdinan Lumbantobing Sibolga Tahun 2015. 3. Pengolahan data Data yang telah dikumpulkan selanjutnya diolah dengan tahapan sebagai berikut : a. Editing (pemeriksaan data) b. Coding (pemberian kode) c. Entry (pemasukan data ke komputer) d. Cleaning data HASIL PENELITIAN 1. Karakteristik Responden Karakteristik responden pada penelitian ini terdiri dari umur, jenis kelamin, pendidikan terakhir dan pekerjaan.

2. Analisis Bivariat Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel independen yaitu faktor determinan (mencuci tangan, higiene makanan dan minuman, penyediaan air bersih, penyediaan jamban keluarga, sarana pembuangan air limbah, sarana pembuangan sampah/tempat sampah, dan kebiasaan makan diluar rumah) dengan variabel terikat (kejadian Tifus Adbominalis). Uji statistik yang dilakukan pada analisis bivariat ini adalah uji Chi Square dengan derajat kepercayaan 95% (α = 0,05). Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa responden yang mencuci tangan dengan baik lebih banyak pada kelompok kontrol (39,2%) dibandingkan dengan pada kelompok kasus (23,9%). Sedangkan responden yang mencuci tangan dengan buruk lebih banyak pada kelompok kasus (26,1%) dibandingkan dengan kelompok kontrol (10,8%). Hasil uji statistik chi square diperoleh nilai p=0,000 < 0,05, artinya ada hubungan antara variabel mencuci tangan dengan kejadian Tifus Responden yang memiliki higiene makanan dan minuman yang baik lebih banyak pada kelompok kontrol (36,9%) dibandingkan dengan pada kelompok kasus (25,6%). Sedangkan responden yang memiliki higiene makanan dan minuman yang buruk lebih banyak pada kelompok kasus (24,4%) dibandingkan dengan kelompok kontrol (13,1%). Hasil uji statistik chi square diperoleh nilai p=0,002 < 0,05, artinya ada hubungan antara variabel higiene makanan dan minuman dengan kejadian Tifus Responden yang memiliki penyediaan air bersih yang baik lebih banyak pada kelompok kontrol (43,2%) dibandingkan dengan pada kelompok kasus (25,6%). Sedangkan responden yang memiliki penyediaan air bersih yang buruk lebih banyak pada kelompok kasus (24,4%) dibandingkan dengan kelompok kontrol (6,8%). Hasil uji statistik chi square diperoleh nilai p=0,000 < 0,05, artinya ada hubungan antara variabel penyediaan air bersih dengan kejadian Tifus Responden yang memiliki penyediaan jamban keluarga yang baik lebih banyak pada kelompok kontrol (46,6%) dibandingkan dengan pada kelompok kasus (39,8%). Sedangkan responden yang memiliki penyediaan jamban keluarga yang buruk lebih banyak pada kelompok kasus (10,2%) dibandingkan dengan kelompok kontrol (3,4%). Hasil uji statistik chi square diperoleh nilai p=0,008 < 0,05, artinya ada hubungan antara variabel penyediaan jamban keluarga dengan kejadian Tifus

Responden yang memiliki sarana pembuangan air limbah yang baik lebih banyak pada kelompok kontrol (43,8%) dibandingkan dengan pada kelompok kasus (36,4%). Sedangkan responden yang memiliki sarana pembuangan air limbah yang buruk lebih banyak pada kelompok kasus (13,6%) dibandingkan dengan kelompok kontrol (6,3%). Hasil uji statistik chi square diperoleh nilai p=0,014 < 0,05, artinya ada hubungan antara variabel sarana pembuangan air limbah dengan kejadian Tifus Responden yang memiliki sarana pembuangan sampah yang baik lebih banyak pada kelompok kontrol (39,8%) dibandingkan dengan pada kelompok kasus (23,9%). Sedangkan responden yang memiliki sarana pembuangan sampah yang buruk lebih banyak pada kelompok kasus (26,1%) dibandingkan dengan kelompok kontrol (10,2%). Hasil uji statistik chi square diperoleh nilai p=0,000 < 0,05, artinya ada hubungan antara variabel sarana pembuangan sampah dengan kejadian Tifus Responden yang tidak memiliki kebiasaan makan diluar rumah lebih banyak pada kelompok kontrol (39,8%) dibandingkan dengan pada kelompok kasus (28,4%). Sedangkan responden yang memiliki kebiasaan makan diluar rumah lebih banyak pada kelompok kasus (21,6%) dibandingkan dengan kelompok kontrol (10,2%). Hasil uji statistik chi square diperoleh nilai p=0,001 < 0,05, artinya ada hubungan antara variabel kebiasaan makan diluar rumah dengan kejadian Tifus PEMBAHASAN 1. Hubungan mencuci tangan terhadap kejadian Tifus Adbominalis Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pada kelompok kasus lebih banyak responden yang mencuci tangan dengan buruk yaitu sebanyak 46 responden (32,5%) dan pada kelompok kontrol lebih banyak responden yang mencuci tangan dengan baik sebanyak 69 orang (39,2%). Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa responden yang mencuci tangan dengan baik lebih banyak pada kelompok kontrol (39,2%) dibandingkan dengan pada kelompok kasus (23,9%). Sedangkan responden yang mencuci tangan dengan buruk lebih banyak pada kelompok kasus (26,1%) dibandingkan dengan kelompok kontrol (10,8%). Hasil uji statistik chi square diperoleh nilai p=0,000 < 0,05, artinya ada hubungan antara variabel mencuci tangan dengan kejadian Tifus

2. Hubungan higiene makanan dan minuman terhadap kejadian Tifus Adbominalis Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Pada kelompok kasus lebih banyak responden memiliki higiene makanan dan minuman yang baik yaitu sebanyak 45 responden (25,6%) dan pada kelompok kontrol lebih banyak responden yang memiliki higiene makanan dan minuman yang baik yaitu sebanyak 65 responden (36,9%). Responden yang memiliki higiene makanan dan minuman yang baik lebih banyak pada kelompok kontrol (36,9%) dibandingkan dengan pada kelompok kasus (25,6%). Sedangkan responden yang memiliki higiene makanan dan minuman yang buruk lebih banyak pada kelompok kasus (24,4%) dibandingkan dengan kelompok kontrol (13,1%). Hasil uji statistik chi square diperoleh nilai p=0,002 < 0,05, artinya ada hubungan antara variabel higiene makanan dan minuman dengan kejadian Tifus 3. Hubungan penyediaan air bersih terhadap kejadian Tifus Adbominalis Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Pada kelompok kasus lebih banyak responden memiliki penyediaan air bersih yang baik yaitu sebanyak 45 responden (25,6%) dan pada kelompok kontrol lebih banyak responden yang memiliki penyediaan air bersih yang buruk yaitu sebanyak 76 responden (43,2%). Responden yang memiliki penyediaan air bersih yang baik lebih banyak pada kelompok kontrol (43,2%) dibandingkan dengan pada kelompok kasus (25,6%). Sedangkan responden yang memiliki penyediaan air bersih yang buruk lebih banyak pada kelompok kasus (24,4%) dibandingkan dengan kelompok kontrol (6,8%). Hasil uji statistik chi square diperoleh nilai p=0,000 < 0,05, artinya ada hubungan antara variabel penyediaan air bersih dengan kejadian Tifus 4. Hubungan penyediaan jamban keluarga terhadap kejadian Tifus Adbominalis Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Pada kelompok kasus lebih banyak responden memiliki penyediaan jamban keluarga yang baik yaitu sebanyak 70 responden (39,8%) dan pada kelompok kontrol lebih banyak responden yang memiliki penyediaan jamban keluarga yang baik yaitu sebanyak 82 responden (46,4%). Responden yang memiliki penyediaan jamban keluarga yang baik lebih banyak pada kelompok kontrol (46,6%) dibandingkan dengan pada

kelompok kasus (39,8%). Sedangkan responden yang memiliki penyediaan jamban keluarga yang buruk lebih banyak pada kelompok kasus (10,2%) dibandingkan dengan kelompok kontrol (3,4%). Hasil uji statistik chi square diperoleh nilai p=0,008 < 0,05, artinya ada hubungan antara variabel penyediaan jamban keluarga dengan kejadian Tifus 5. Hubungan sarana pembuangan air limbah terhadap kejadian Tifus Adbominalis Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Pada kelompok kasus lebih banyak responden memiliki sarana pembuangan air limbah yang baik yaitu sebanyak 64 responden (36,4%) dan pada kelompok kontrol lebih banyak responden yang memiliki sarana pembuangan air limbah yang baik yaitu sebanyak 77 responden (70,5%). Responden yang memiliki sarana pembuangan air limbah yang baik lebih banyak pada kelompok kontrol (43,8%) dibandingkan dengan pada kelompok kasus (36,4%). Sedangkan responden yang memiliki sarana pembuangan air limbah yang buruk lebih banyak pada kelompok kasus (13,6%) dibandingkan dengan kelompok kontrol (6,3%). Hasil uji statistik chi square diperoleh nilai p=0,014 < 0,05, artinya ada pengaruh antara variabel sarana pembuangan air limbah dengan kejadian Tifus 6. Hubungan sarana pembuangan sampah/tempat sampah terhadap kejadian Tifus Adbominalis Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Pada kelompok kasus lebih banyak responden memiliki sarana pembuangan sampah yang baik yaitu sebanyak 42 responden (23,9%) dan pada kelompok kontrol lebih banyak responden yang memiliki sarana pembuangan sampah yang baik yaitu sebanyak 70 responden (39,8%). Responden yang memiliki sarana pembuangan sampah yang baik lebih banyak pada kelompok kontrol (39,8%) dibandingkan dengan pada kelompok kasus (23,9%). Sedangkan responden yang memiliki sarana pembuangan sampah yang buruk lebih banyak pada kelompok kasus (26,1%) dibandingkan dengan kelompok kontrol (10,2%). Hasil uji statistik chi square diperoleh nilai p=0,000 < 0,05, artinya ada hubungan antara variabel sarana pembuangan sampah dengan kejadian Tifus

7. Hubungan kebiasaan makan diluar rumah terhadap kejadian Tifus Adbominalis Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pada kelompok kasus lebih banyak responden yang tidak memiliki kebiasaan makan di luar rumah yaitu sebanyak 50 responden (23,9%) dan pada kelompok kontrol lebih banyak responden yang memiliki kebiasaan makan di luar rumah yaitu sebanyak 70 responden (39,8%). KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan 1. Ada hubungan antara mencuci tangan dengan kejadian tifus abdominalis di Kota Sibolga. 2. Ada hubungan antara higiene makanan dan minuman dengan kejadian tifus abdominalis di Kota Sibolga. 3. Ada hubungan antara penyediaan air bersih dengan kejadian tifus abdominalis di Kota Sibolga. 4. Ada hubungan antara penyediaan jamban keluarga dengan kejadian tifus abdominalis di Kota Sibolga. 5. Ada hubungan antara sarana pembuangan limbah keluarga dengan kejadian tifus abdominalis di Kota Sibolga. 6. Ada hubungan antara sarana pembuangan sampah (tempat sampah) dengan kejadian tifus abdominalis di Kota Sibolga. 7. Ada hubungan antara kebiasaan makan diluar rumah dengan kejadian tifus abdominalis di Kota Sibolga. 2. Saran 1.Bagi Responden Responden hendakanya tetap memperhatikan mencuci tangan, higiene makanan dan minuman, penyediaan air bersih, penyediaan jamban keluarga, sarana pembuangan air limbah, sarana pembuangan sampah/tempat sampah, dan kebiasaan makan diluar rumah agar terhindar dari penyakit tifus abdominalis. 2.Bagi RSUD Dr. Ferdinand Lumbantobing dan RS Metta Medika Sibolga Pihak rumah sakit hendakanya lebih lagi meningkatkan pelayanan tatalaksana pengobatan dan juga perawatan pasien dengan penyakit tifus abdominalis. 3.Bagi Penelitian Selanjutnya Diharapkan perlunya melakukan penelitian lanjutan mengenai faktor yang mempengaruhi kejadian tifus abdominalis melalui metode penelitian lain, seperti penelitian kualitatif.

DAFTAR PUSTAKA Achmadi, U. F. Dasar-Dasar Penyakit Berbasis Lingkungan. Jakarta : Rajawali Pers. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI. 2009. Laporan Hasil Riset Kesehatan Daerah Sumatera Utara Tahun 2007. Diakses dari terbitan.litbang.depkes.go.id Bustan, N. 2012. Pengantar Epidemiologi. Jakarta : PT. Rineka Cipta Depkes RI Ditjen PPM dan PL. 2002. Pedoman Teknis Penilaian Rumah Sehat. Djauli, S. 2009. Raih Kembali Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas Herawati, M. H dan Ghani, L. 2007. Hubungan Faktor Determinan Dengan Kejadian Tifoid di Indonesia Tahun 2007 (Association of Determinant Factors with Prevalence of Typhoid in Indonesia). Artikel Media Penelitian dan Pengembang. Kesehatan. Volume XIX Nomor 4 Tahun 2009. Puslitbang Biomedis dan Farmasi. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di Rumah Tangga Melalui Tim Penggerak PKK. Kepmenkes RI Nomor 364, 2006. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 364 /Menkes/SK/V/2006 Tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Kepmenkes RI Nomor 1116, 2003. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1116/Menkes/SK/VIII/2003 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan. Kepmenkes RI Nomor 1479, 2003. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1479/Menkes/SK/X/2003 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular Dan Penyakit Tidak Menular Terpadu. Kunoli, F. J. 2013. Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular Untuk Mahasiswa Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Trans Info Media. Lapau, B. 2012. Prinsip dan Metode Epidemiologi. Jakarta : Badan Penerbit FKUI Kemenkes RI. 2011. Panduan Pembinaan dan Penilaian

Noor, N. N. 2013. Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular. Jakarta : Penerbit Rineka Cipta. Ochiai, R Leon., dkk. 2008. A Study Typhoid Fever In Five Asian Countries : Disease Burden And Implications For Controls. Bulletin of the World Health Organization. Rakhman, A., Humardewayanti, R., Pramono, D. 2009. Faktor- Faktor Resiko Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Demam Tifoid Pada Orang Dewasa. Berita Kodokteran Masyarakat Vol. 25. No 4. Simanjuntak, C H. 1990. Masalah Demam Tifoid di Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran No.60. Tambayong, J. 2000. Patofisiologi Untuk Keperawatan. Jakarta : EGC Raflizar dan Herawati, M. H. 2010. Hubungan faktor determinan kejadian tifoid di Pulau Jawa. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol.9 No.4 Desember 2010 : 1357-1365. Saraswati, N. A., AR Junaidi., dan Ulfa, M. Karakteristik Tersangka Demam Tifoid Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang Periode Tahun 2010. Jurnal Syifa MEDIKA, Vol. 3 (No.1), September 2012. Sastroasmoro, S., Ismael, S. Dasar- Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta : Sagung Seto. Slamet, J. S. 2009. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta : Gadjah mada University Press.