BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tidak stabil atau unstable angina (UA) dan infark miokard akut. Berdasarkan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit jantung koroner atau penyakit kardiovaskuler saat ini merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. arrhythmias, hypertension, stroke, hyperlipidemia, acute myocardial infarction.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. penyakit jantung dan pembuluh darah telah menduduki peringkat pertama sebagai

BAB I PENDAHULUAN. gangguan kesehatan yang semakin meningkat di dunia (Renjith dan Jayakumari, perkembangan ekonomi (Renjith dan Jayakumari, 2011).

Ns. Furaida Khasanah, M.Kep Medical surgical department

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan usia harapan hidup penduduk dunia membawa dampak

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

dari inti yang banyak mengandung lemak dan adanya infiltrasi sel makrofag. Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak yang berdekatan dengan intima yang

BAB 1 PENDAHULUAN. dan mortalitas yang tinggi di dunia. Menurut data World Health Organization

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sindroma Koroner Akut (SKA) merupakan manifestasi klinis akut penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. angka morbiditas penderitanya. Deteksi dini masih merupakan masalah yang susah

BAB 1 PENDAHULUAN. terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit negara-negara industri (Antman

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan problem kesehatan utama yang

Penatalaksanaan Astigmatism No. Dokumen : No. Revisi : Tgl. Terbit : Halaman :

BAB I PENDAHULUAN. Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah salah satu manifestasi klinis

sebesar 0,8% diikuti Aceh, DKI Jakarta, dan Sulawesi Utara masing-masing sebesar 0,7 %. Sementara itu, hasil prevalensi jantung koroner menurut

BAB 1 PENDAHULUAN. tersering kematian di negara industri (Kumar et al., 2007; Alwi, 2009). Infark

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. maju, dan negara berkembang termasuk di Indonesia. Diperkirakan

BAB I PENDAHULUAN. menggambarkan pasien yang datang dengan Unstable Angina Pectoris. (UAP) atau dengan Acute Myocard Infark (AMI) baik dengan elevasi

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Penelitian. Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab. kematian terbesar diseluruh dunia terutama yang

BAB 1 PENDAHULUAN. atau gabungan keduanya (Majid, 2007). Penyakit jantung dan pembuluh darah

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan pembunuh nomor satu di seluruh dunia. Lebih dari 80% kematian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang. Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan masalah kesehatan dunia yang

BAB I PENDAHULUAN. utama pada sebagian besar negara-negara maju maupun berkembang di seluruh

BAB II LANDASAN TEORI. A. Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab nomor satu kematian di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) merupakan suatu

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. secara global, termasuk Indonesia. Pada tahun 2001, World Health Organization

Tatalaksana Sindroma Koroner Akut pada Fase Pre-Hospital

BAB I PENDAHULUAN. Sel trombosit berbentuk discus dan beredar dalam sirkulasi darah tepi dalam

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

Informed Consent Penelitian

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Indonesia maupun di negara-negara barat. Kematian akibat penyakit jantung

Prevalensi hipertensi berdasarkan yang telah terdiagnosis oleh tenaga kesehatan dan pengukuran tekanan darah terlihat meningkat dengan bertambahnya

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PEMBAHASAN SINDROM KORONER AKUT

BAB I. Pendahuluan. I.1 Latar Belakang. Angina adalah tipe nyeri dada yang disebabkan oleh. berkurangnya aliran darah ke otot jantung.

BAB I PENDAHULUAN. Refreshing- Acute Coronary Syndrome Stase Interna BLUD SEKARWANGI Page 1

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Acute Coronary Syndrome (ACS) merupakan istilah yang mencakup

BAB I PENDAHULUAN. menimpa populasi usia di bawah 60 tahun, usia produktif. Kondisi ini berdampak

BAB I PENDAHULUAN. memfokuskan diri dalam bidang life support atau organ support pada pasienpasien

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit jantung koroner (PJK) atau di kenal dengan Coronary Artery

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 4 HASIL. Hubungan antara..., Eni Indrawati, FK UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit kardiovaskuler memiliki banyak macam, salah satunya adalah

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Tingkat morbiditas dan mortalitas penyakit jantung. iskemik masih menduduki peringkat pertama di dunia

YUANITA ARDI SKRIPSI SARJANA FARMASI. Oleh

Penyakit Jantung Koroner

Farmakoterapi Obat pada Gangguan Kardiovaskuler

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit Acute Myocardial Infarction (AMI) merupakan penyebab

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. penelitian kohort selama 13 tahun di 3 wilayah di propinsi Jakarta ibukota

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit kardiovaskuler merupakan penyakit yang masih menjadi masalah

BAB I PENDAHULUAN. menurun sedikit pada kelompok umur 75 tahun (Riskesdas, 2013). Menurut

BAB 1 PENDAHULUAN. penyakit arteri koroner (CAD = coronary arteridesease) masih merupakan

BAB I PENDAHULUAN. 1.2 Rumusan Masalah. 1.3 Tujuan MAKALAH INFARK MIOKARD AKUT

BAB 1 PENDAHULUAN. SL, Cotran RS, Kumar V, 2007 dalam Pratiwi, 2012). Infark miokard

B A B I PENDAHULUAN. Diabetes mellitus (DM) dengan penyakit kardiovaskular sangat erat

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penyakit jantung koroner (PJK) adalah gangguan fungsi jantung dimana otot

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. negara-negara maju maupun di negara berkembang. Acute coronary syndrome

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada saat ini penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab kematian

BAB I PENDAHULUAN. penyempitan pembuluh darah, penyumbatan atau kelainan pembuluh

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Stroke merupakan penyebab kematian dan kecacatan yang utama. Hipertensi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Infark miokard akut (IMA) adalah nekrosis miokard akibat

Gambar 3.1 Skema Kerangka Konseptual

BAB I PENDAHULUAN. di masyarakat. Pola penyakit yang semula didomiasi penyakit-penyakit menular

BAB I PENDAHULUAN. dalam bidang kesehatan dan perekonomian dunia. Selama empat dekade terakhir

BAB I PENDAHULUAN. Penyebab terjadinya IMANEST dapat disebabkan oleh rupturnya plak. (Liwang dan Wijaya, 2014; PERKI, 2015).

SKRIPSI. Diajukan oleh : Enny Suryanti J

BAB I PENDAHULUAN. Aterosklerosis koroner adalah kondisi patologis arteri koroner yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sindrom Koroner Akut (SKA)/Acute coronary syndrome (ACS) adalah

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan jumlah penyandang diabetes cukup besar untuk tahun-tahun

BAB I PENDAHULUAN. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) adalah penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan

B A B I PENDAHULUAN. negara-negara maju maupun berkembang. Diantara penyakit-penyakit tersebut,

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan ada tiga bentuk diabetes mellitus, yaitu diabetes mellitus tipe 1 atau disebut IDDM (Insulin Dependent

Penyakit Jantung Koroner

ANGINA PECTORIS. Penyakit kronis CVS Nyeri dada menjalar ke bahu, punggung, tangan

I. PENDAHULUAN penduduk Amerika menderita penyakit gagal jantung kongestif (Brashesrs,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

INFARK MIOKARD TANPA ELEVASI SEGMEN ST (NSTEMI) SARI KEPUSTAKAAN. Oleh SARI HARAHAP

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. koroner. Kelebihan tersebut bereaksi dengan zat-zat lain dan mengendap di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sindrom koroner akut (SKA) atau serangan jantung mencakup angina tidak stabil atau unstable angina (UA) dan infark miokard akut. Berdasarkan perubahan elektrokardiografi, infark miokard dibagi menjadi dua yaitu non-st elevation myocardial infarction (NSTEMI) dan ST elevation myocardial infarction (STEMI). Insiden SKA berkurang, namun tetap menjadi penyebab umum kematian dini pada orang dewasa di Inggris dan di sebagian besar negara maju. Register nasional Inggris mencatat 60% kasus infark miokard akut merupakan NSTEMI (Timmis, 2015). Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan penyebab utama kematian yaitu sebesar 26,4%, empat kali lebih tinggi dibandingkan angka kematian akibat kanker (6%) (Depkes RI, 2006). Penyakit jantung kongenital, angina, aritmia, dan dekompensasi kordis dalam Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) dikelompokkan sebagai penyakit jantung. Berdasarkan riwayat didiagnosis tenaga kesehatan, prevalensi penyakit jantung di Indonesia 0,9%, sedangkan prevalensinya di provinsi Jawa Tengah 0,8%. Infark miokard juga termasuk dalam kelompok penyakit jantung iskemik yang menjadi penyebab kematian ke tiga kelompok usia 45 54 tahun (Depkes RI, 2008 a ). Besarnya biaya penanganan SKA tidak serta merta menggambarkan efektivitas pengobatannya. Idealnya dalam penanganan suatu penyakit, obat atau 1

2 tindakan yang diberikan biayanya seminimal mungkin dengan efektivitas yang maksimal. Keadaan ideal tersebut tidak selalu dapat dipenuhi, sehingga diperlukan metode untuk menggabungkan efektivitas obat atau tindakan dengan biaya untuk memilih obat atau tindakan yang terbaik. Salah satu metode farmakoekonomi yang dapat digunakan untuk mengukur efektivitas dan biaya adalah analisis efektivitas biaya. Efektivitas penanganan SKA berkaitan dengan pemilihan obat-obatan dan tindakan tertentu. Secara patofisiologi SKA STEMI terjadi karena oklusi komplit arteri koroner mayor oleh aterosklerosis, sehingga terjadi kerusakan otot jantung yang berat. Terapi pilihan untuk penanganan SKA STEMI adalah tindakan invasif berupa PCI atau CABG. Sedikit berbeda dengan SKA STEMI, secara patofisiologis oklusi SKA NSTEMI arteri koroner minor, sehingga kerusakan otot jantung hanya sebagian. Tidak semua pasien SKA NSTEMI memerlukan revaskularisasi invasif. Pasien NSTEMI yang mempunyai resiko tinggi memerlukan revaskularisasi invasif seperti halnya pasien STEMI. Pasien dengan resiko rendah dapat ditangani dengan obat-obatan tertentu. Penanganan SKA NSTEMI secara farmakologi membutuhkan antiiskemia, antikoagulan, dan antiplatelet. Aktivitas trombin di tempat ruptur mengakibatkan terlambat atau tidak komplitnya reperfusi oklusi pembuluh darah dan juga berperan terhadap terjadinya reoklusi. Trombin merupakan mediator utama pembentukan clot melalui aktivasi platelet, konversi fibrinogen menjadi fibrin, dan aktivasi faktor

3 XII. Selanjutnya terjadi cross-linking fibrin dan stabilisasi clot. Antikoagulan berperan dalam menghambat aktivitas trombin (Bassand et al., 2007). Beberapa antikoagulan yang dapat digunakan untuk penanganan konservatif NSTEMI diantaranya adalah heparin atau unfractionated heparin (UFH) dan fondaparinux. Kedua antikoagulan ini terdapat dalam daftar obat Formularium Nasional (Depkes RI, 2015). Kekurangan heparin adalah diperlukannya infus intravena kontinyu, penyesuaian dosis, dan komplikasi mayor berupa pendarahan. Heparin-induced thrombocytopenia (HIT) yang bersifat imunogenik merupakan efek samping yang jarang terjadi namun bersifat serius dan selanjutnya menyebabkan trombosis dan pendarahan (Braunwald, 2012). Penggunaan heparin memerlukan monitoring ketat terhadap nilai activated partial thromboplasin (aptt) untuk memastikan keamanannya. Heparin masih sering digunakan karena harganya yang murah dibandingkan fondaparinux. Heparin dengan merek dagang Inviclot tersedia dalam vial volume 5 ml dengan kekuatan 5.000 IU/ml harganya Rp. 55.000,- sedangkan Arixtra yang merupakan nama dagang fondaparinux harganya Rp. 655.000,-. Arixtra tersedia dalam bentuk prefilled syringe, per kemasan berisi 2 pre-filled syringe, mengandung fondaparinux 2,5 mg/0,5 ml. Arixtra juga tersedia kekuatan 7,5 mg/0,6 ml dengan harga Rp. 690.000,- per 2 pre-filled syringe (MIMS Drug Information System, 2016). Fondaparinux tidak menginduksi pembentukan komplek heparin-platelet factor 4, sehingga tidak menimbulkan HIT. Penggunaan fondaparinux tidak memerlukan

4 monitoring aptt, activated clotting time (ACT), prothrombin time (PT), dan thrombin time (TT) (Bassand et al., 2007). Beberapa penelitian yang dilakukan untuk membandingkan efektivitas dan biaya penggunaan heparin dan fondaparinux telah dilakukan. Maxwell et al. (2009) membandingkan heparin, enoxaparin, fondaparinux, dan bivalirudin. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa fondaparinux merupakan obat pilihan pada terapi konservatif NSTEMI. Raja (2013) melalui penelitiannya mengungkapkan bahwa fondaparinux lebih cost-effective dibandingkan heparin. Parameter efektivitas adalah banyaknya pasien NSTEMI yang mengalami kematian dan stroke salama dirawat di rumah sakit dan hingga hari ke-30 Fondaparinux juga diketahui lebih aman dibandingkan heparin. Efek samping berupa pendarahan mayor dan minor lebih sedikit terjadi pada pasien yang menggunakan fondaparinux. Heparin dan fondaparinux merupakan antikoagulan yang termasuk dalam daftar obat pada Formularium Nasional tahun 2015. RSUD Dr Adhyatma MPH Semarang merupakan rumah sakit milik pemerintah, sehingga penggunaan kedua antikoagulan tersebut bayak digunakan. Penelitian mengenai aspek farmakoekonomi seperti perbandingan efektifitas biaya terhadap kedua antikoagulan tersebut masih sangat terbatas. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka perlu dilakukan penelitian tentang efektifitas biaya

5 penggunaan heparin dan fondaparinux pada penderita SKA NSTEMI di RSUD Dr Adhyatma MPH Semarang. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah pada penelitian ini yaitu: 1. Bagaimana karakteristik pasien SKA NSTEMI yang menggunakan antikoagulan heparin dan fondaparinux di RSUD Dr Adhyatma MPH Semarang periode 2013? 2. Bagaimana gambaran penggunaan heparin dan fondaparinux pada pasien SKA NSTEMI di RSUD Dr Adhyatma MPH Semarang periode 2013? 3. Berapa besar biaya terapi pasien SKA NSTEMI yang menggunakan antikoagulan heparin dan fondaparinux di RSUD Dr Adhyatma MPH Semarang periode 2013? 4. Apakah terdapat perbedaan efektivitas penggunaan antikoagulan heparin dan fondaparinux pada pasien SKA NSTEMI di RSUD Dr Adhyatma MPH Semarang periode 2013? 5. Antikoagulan manakah yang lebih cost-effective? 6. Apakah terdapat perbedaan aspek keamanan antikoagulan heparin dan fondaparinux berdasarkan kejadian efek samping pada pasien SKA NSTEMI di RSUD Dr Adhyatma MPH Semarang periode 2013?

6 C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui karakteristik pasien SKA NSTEMI yang menggunakan antikoagulan heparin dan fondaparinux di RSUD Dr Adhyatma MPH Semarang periode 2013 2. Mengetahui gambaran penggunaan heparin dan fondaparinux pada pasien SKA NSTEMI di RSUD Dr Adhyatma MPH Semarang periode 2013 3. Mengetahui besarnya biaya terapi pada pasien SKA NSTEMI yang menggunakan antikoagulan heparin dan fondaparinux di RSUD Dr Adhyatma MPH Semarang periode 2013 4. Mengetahui ada tidaknya perbedaan efektivitas penggunaan antikoagulan heparin dan fondaparinux pada pasien SKA NSTEMI di RSUD Dr Adhyatma MPH Semarang periode 2013 5. Mengetahui antikoagulan yang lebih cost-effective 6. Mengetahui ada tidaknya perbedaan aspek keamanan antikoagulan heparin dan fondaparinux berdasarkan kejadian efek samping pada pasien SKA NSTEMI di RSUD Dr Adhyatma MPH Semarang periode 2013 D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberi manfaat bagi semua pihak, antara lain: 1. Sebagai salah satu sumber informasi tentang penggunaan dan keamanan antikoagulan pada pasien rawat inap di RSUD Dr Adhyatma MPH Semarang. 2. Sebagai bahan pertimbangan bagi komite farmasi dan terapi saat menyusun formularium rumah sakit dan penyusunan pedoman penggunaan antikoagulan.

7 3. Sebagai bahan pertimbangan dokter dalam pemilihan antikoagulan pada penanganan SKA NSTEMI dalam rangka peningkatan mutu pelayanan pengobatan di RSUD Dr Adhyatma MPH Semarang. 4. Bagi peneliti, untuk menambah ilmu pengetahuan serta pengalaman yang besar manfaatnya bagi kepentingan profesionalisme di masa yang akan datang. E. Tinjauan Pustaka 1. Farmakoekonomi Farmakoekonomi digambarkan sebagai uraian dan analisis biaya-biaya terapi obat pada sistem pelayanan kesehatan dan masyarakat. Empat jenis evaluasi farmakoekonomi yang dikenal adalah cost minimization analysis (CMA), cost effectiveness analysis (CEA), cost benefit analysis (CBA), dan cost utility analysis (CUA). Ruang lingkup riset farmakoekonomi meliputi identifikasi biaya dan konsekuensi penggunaan obat dan jasa. Biaya adalah konsekuensi penggunaan sumber daya. Konsekuensi penggunaan obat dan jasa dapat berupa outcome klinik, ekonomi, dan humanistik (Bootman et al., 2005). a. Cost Minimization Analysis (CMA) CMA adalah tipe analisis yang menentukan biaya program terendah dengan asumsi besarnya manfaat yang diperoleh sama. Analisis ini digunakan untuk menguji biaya relatif yang dihubungkan dengan intervensi yang sama dalam bentuk hasil yang diperoleh. Kekurangan yang nyata dari CMA adalah pada asumsi biaya yang tidak benar dan kesimpulan dapat menjadi tidak akurat, sehingga pada akhirnya studi

8 menjadi tidak bernilai. CMA hanya digunakan untuk prosedur hasil pengobatan yang sama (Bootman et al., 2005). b. Cost Effectivenes Analysis (CEA) CEA adalah pendekatan yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, serta membandingkan biaya dan konsekuensi-konsekuensi pilihan dalam unit natural kesehatan. Pilihan terapi dapat berjumlah dua atau lebih tergantung perbedaan dan golongan obat. Tujuan CEA adalah untuk membandingkan dua atau lebih macam obat dengan indikasi pengobatan yang sama. Terdapat dua tipe yang dihasilkan dari suatu intervensi yaitu outcome kesehatan dan outcome ekonomi serta sumber daya. Outcome kesehatan mengarah pada perubahan morbiditas, mortalitas, dan kualitas hidup. Outcome sumber daya mengarah pada meningkatnya penghematan sumber daya pada biaya penyakit yang dapat dihindari dan menurunnya efek samping intervensi yang diberikan (Bootman et al., 2005). Efektivitas biaya tidak selalu mengindikasikan biaya termurah atau opsi yang paling efektif. Seharusnya definisi komprehensif efektivitas biaya bersifat multi dimensi. Suatu intervensi bisa disebut biaya yang efektif jika memenuhi syarat lebih murah atau setidaknya sama efektifnya dengan terapi alternatif, lebih mahal dan lebih efektif daripada terapi alternatif, atau lebih murah dan kurang efektif (Afdhal, 2011).

9 c. Cost Benefit Analysis (CBA) CBA adalah suatu metode yang membandingkan nilai sumber daya yang digunakan dalam menyelenggarakan suatu program dengan nilai hasil (keuntungan) yang didapat dari program tersebut. Metode CBA dilakukan dengan cara mengukur dan membandingkan biaya penyelenggaraan dua atau lebih program kesehatan yang outcome dari kedua program tersebut berbeda (Afdhal, 2011). Kelebihan CBA adalah beberapa outcome yang berbeda dapat dibandingkan, dengan outcome yang diukur dalam nilai mata uang. Kekurangan CBA adalah menempatkan nilai ekonomi pada outcome medik bukan hal yang mudah dan tidak ada kesepakatan bersama pada satu metode standar untuk memenuhinya (Afdhal, 2011). d. Cost Utility Analysis (CUA) CUA merupakan tipe analisis yang membandingkan biaya terhadap program kesehatan yang diterima dihubungkan dengan peningkatan kesehatan yang diakibatkan perawatan kesehatan. Peningkatan kesehatan dalam metode CUA diukur dalam bentuk penyesuaian kualitas hidup dan hasilnya ditunjukkan dengan biaya per penyesuaian kualitas hidup (Afdhal, 2011).

10 2. Sindrom Koroner Akut a. Gambaran Umum SKA mencakup tanda dan gejala yang terjadi akibat iskemia miokardial akut, termasuk UA, NSTEMI, dan STEMI. Ketiga kondisi tersebut mempunyai patogenesis yang hampir sama. Secara patofisiologi UA, NSTEMI, dan STEMI berhubungan dengan ketidak stabilan dan rupturnya plak aterosklerosis yang rapuh (Sami dan Willerson, 2010). Penyebab utama SKA adalah stenosis koroner akibat trombus non oklusif yang terjadi pada plak aterosklerosis yang mengalami erosi, fisur, dan atau ruptur (Depkes RI, 2006). b. Etiologi Etiologi SKA melibatkan pembentukan plak aterosklerosis. Proses pembentukan plak aterosklerosis dimulai pada usia muda. Awalnya aterosklerosis hanya dianggap sebagai bentuk kelebihan kolesterol. Kini secara jelas diketahui bahwa inflamasi memainkan peranan penting dalam genesis, perkembangan, dan komplikasi SKA. Tahap awal pembentukan plak aterosklerosis, induksi dan atau represi beberapa gen terjadi sebagai respon terhadap penekanan aliran darah akibat plak aterosklerosis di lapisan endotel arteri. Akibat induksi dan represi gen, sel endotelial menurunkan pembentukan nitrit oksida, meningkatkan oksidasi lipoprotein dan memfasilitasi masuknya ke dinding arteri, membantu pelekatan monosit ke dinding pembuluh darah dan deposisi matrik ekstraseluler, menyebabkan proliferasi sel otot polos, dan melepaskan vasokonstriktor

11 lokal serta substansi protrombotik dalam darah, kemudian menimbulkan respon inflamasi. Faktor-faktor tersebut di atas berkontribusi terhadap terjadinya disfungsi endotelial yang mengarah ke pembentukan fatty streak di arteri koroner, berlanjut menjadi plak aterosklerosis. Beberapa faktor yang secara langsung bertanggung jawab terhadap pembentukan dan perkembangan disfungsi endotel serta aterosklerosis adalah hipertensi, usia, jenis kelamin laki-laki, kebiasaan merokok, diabetes mellitus, obesitas, dan dislipidemia (Spinler dan Danus, 2008). c. Patofisiologi SKA NSTEMI dikarakterisasi dengan tidak seimbangnya suplai dan kebutuhan oksigen miokardial. Penyebab umum UA atau NSTEMI adalah berkurangnya perfusi jantung yang terjadi karena menyempitnya arteri koroner oleh trombus yang terbentuk dari pecahan plak aterosklerotik dan biasanya bersifat non oklusif. Mikroembolisasi agregat platelet dan kompunen pecahan plak dipercaya sebagai penyebab terlepasnya penanda miokardial pada kebanyakan pasien. Patofisiologi molekular dan selular yang mendasari rupturnya plak aterosklerosis adalah inflamasi arteri karena penyebab non infeksi (contohnya lipid teroksidasi) dan dapat juga karena stimulus infeksi yang menyebabkan plak aterosklerosis menjadi tidak stabil, ruptur, erosi, dan trombogenesis. Makrofag dan limfosit T yang berada di bahu plak (the shoulder of a plaque) meningkatkan ekspresi enzim metalloproteinase yang menyebabkan penipisan dan pecahnya plak, sehingga terjadi UA atau

12 NSTEMI. Penyebab lain yang tidak sering terjadi adalah obstruksi dinamis yang dapat dipicu oleh spasme lokal yang intensif pada segmen arteri koroner epikardial (angina Prinzmetal). Spasme lokal tersebut disebabkan hiperkontraktilitas otot halus vaskuler oleh disfungsi endotel. Penyumbatan koroner dinamis dapat juga disebabkan oleh disfungsi mikrovaskular difus karena disfungsi endotel atau konstriksi abnormal pembuluh darah resisten intramural. Penyebab ke tiga UA atau NSTEMI adalah beratnya penyempitan pembuluh darah tanpa spasme atau trombus. Hal ini terjadi pada beberapa pasien dengan aterosklerosis progresif atau dengan restenosis setelah PCI. Pembedahan pada arteri koroner juga dapat menjadi penyebab UA atau NSTEMI. UA sekunder dapat dicetuskan oleh kondisi intrinsik pada arteri koroner. Pasien dengan UA sekunder biasanya mengalami penyempitan koroner karena aterosklerosis yang membatasi perfusi jantung, kemudian menjadi angina stabil. UA sekunder dipicu oleh kondisi yang meningkatkan kebutuhan oksigen jantung seperti demam, takikardi, atau tirotoksikosis, menurunnya aliran darah ke jantung seperti pada keadaan hipotensi, serta berkurangnya pasukan oksigen ke jantung yang dapat terjadi karena anemia atau hipoksemia (Anderson et al., 2007). d. Presentasi Klinik 1) Gejala dan pemeriksaan fisik Gejala klasik SKA adalah rasa tidak nyaman di dada atau angina, paling sering saat istirahat. Peningkatan angina setidaknya terjadi selama 20 menit. Ketidak nyamanan di dada mungkin menyebar

13 ke bahu, lengan kiri bawah, ke belakang, atau ke rahang. Gejala yang terkait yang mungkin menyertainya termasuk mual, muntah, dan sesak napas. Semua profesional perawatan kesehatan harus mewaspadai gejala dengan pasien berisiko tinggi untuk penyakit jantung koroner. Berdasarkan pemeriksaan fisik, tidak ada gejala yang spesifik dari SKA (Spinler and Denus, 2008). 2) Elektrokardiogram (EKG) EKG memainkan peranan yang penting pada penilaian awal, penanganan di unit gawat darurat, prognosis, dan penentuan keputusan terapi pada pasien yang dicurigai mengalami SKA. EKG mempunyai spesifitas yang tinggi untuk penegakan diagnosis SKA, sehingga menjadi pilihan pertama pemeriksaan SKA (Sami dan Willerson, 2010). Pemeriksaan EKG yang dilakukan pada saat nyeri dada akan sangat membantu. Hasil pemeriksaan EKG dapat membantu menentukan jenis iskemik SKA yaitu elevasi segmen-st, depresi segmen-st, atau gelombang T inversi. Perubahan segmen-st dan atau perubahan gelombang T membantu untuk mengidentifikasi lokasi koroner arteri yang merupakan penyebab iskemia atau infark. Selain itu, penampilan left bundle branch block baru disertai dengan ketidak nyamanan merupakan penanda yang sangat spesifik untuk infark miokard akut (Spinler dan Denus, 2008). Hasil pemeriksaan EKG 12 sadapan dengan ciri depresi segmen-st dengan atau tanpa inversi gelombang T, kadang-kadang

14 elevasi segmen-st sewaktu nyeri, dan tidak dijumpainya gelombang Q mengarah ke UA. Infark miokard non-q berciri depresi segmen ST dan inversi gelombang T dalam (Depkes RI, 2006). 3) Penanda Biokimia Iskemia yang berlanjut menimbulkan nekrosis miokardial dan hilangnya integritas membran miositik. Enzim jantung dan substansi lain akan terlepas ke aliran darah, sehingga peningkatannya dalam darah merupakan penanda infark miokard akut. Saat ini troponin jantung merupakan standar emas biomarker penegakan diagnosa infark miokard akut (Sami dan Willerson, 2010). Creatin kinase myocardial band (CKMB) meningkat tajam dan turun lebih cepat sebagai penanda biokimia terjadinya nekrosis miokard. Troponin dan CKMB meningkat dalam darah setelah timbulnya oklusi arteri koroner lengkap diikuti kematian sel miokard (Spinler and Denus, 2008). Kadar troponin dan CKMB diukur dengan cara pengambilan darah dari pasien setidaknya tiga kali, sekali dalam keadaan darurat dan dua kali tambahan selama 12 sampai 24 jam berikutnya. Satu kali pengukuran penanda biokimia tidak cukup untuk menyingkirkan diagnosis infark miokard karena hingga 15% nilai-nilai yang berada di bawah tingkat deteksi awalnya (tes negatif) bisa berada di atas tingkat deteksi (tes positif) pada jam-jam berikutnya. Infark miokard diidentifikasi jika setidaknya nilai troponin melampaui nilai normal atau hasil CKMB melampaui nilai normal. Nilai normal troponin dan

15 CKMB ditetapkan oleh laboratorium rumah sakit. Kadar troponin dan CKMB meningkat dalam darah dalam waktu 6 jam dari awal infark, troponin tetap tinggi dalam darah sampai 10 hari, sedangkan CKMB kembali ke nilai normal dalam waktu 48 jam. Oleh karena itu jika terjadi peningkatan konsentrasi troponin dan CKMB serta beberapa hari kemudian mengalami ketidaknyamanan dada berulang, maka troponin akan kurang sensitif untuk mendeteksi adanya kerusakan miokard baru karena kadarnya masih akan tetap tinggi. Jika dicurigai terjadi reinfarction, maka penentuan konsentrasi CKMB lebih disukai sebagai test diagnostik (Spinler dan Denus, 2008). Tes kimia darah yang perlu mendapatkan perhatian adalah pemeriksaan kalium dan magnesium yang dapat mempengaruhi irama jantung. Serum kreatinin diukur untuk mengidentifikasi pasien yang mungkin perlu penyesuaian dosis untuk beberapa obat, serta mengidentifikasi pasien yang berisiko tinggi terhadap morbiditas dan mortalitas. Complete blood count (CBC) atau hitung darah lengkap dan tes koagulasi (aptt dan rasio normalisasi internasional) harus dilakukan karena sebagian besar pasien akan menerima terapi antitrombotik yang dapat meningkatkan risiko perdarahan (Spinler and Denus, 2008). e. Stratifikasi Resiko Tanda dan gejala, riwayat medis, EKG, dan troponin atau CKMB digunakan untuk stratifikasi resiko terhadap kematian, infark miokard,

16 penentuan farmakoterapi yang diberikan, atau kebutuhan akan PCI dan CABG. Penentuan tingkat resiko pada SKA dapat ditetapkan dengan thrombolysis in myocardial infarction (TIMI) risk score yang terdiri dari 2 jenis yaitu riwayat medis dan presentasi klinik. Riwayat medis terdiri dari 4 variabel yaitu usia 65 tahun, adanya 3 atau lebih faktor resiko SKA (hiperkolesterolemia, hipertensi, diabetes mellitus, merokok, dan riwayat keluarga mengalami penyakit jantung koroner dini), dan penggunaan aspirin dalam 7 hari terakhir. Presentasi klinik dalam TIMI risk score yaitu depresi segmen-st ( 0,5 mm), terjadinya rasa ketidak nyamanan di dada lebih atau sama dengan 2 selama 24 jam terakhir, serta hasil positif adanya penanda biokimia infark. Setiap variabel poinnya satu. Banyaknya variabel yang dialami pasien akan menentukan tingkat resiko. Pasien dikategorikan beresiko tinggi bila risk score TIMI-nya 5 7 poin, resiko sedang bila score-nya 3 4, dan resiko rendah bila score-nya 0 2 poin (Braunwald et al., 2000). f. Penatalaksanaan Capaian jangka pendek yang diinginkan pada penatalaksanaan SKA jangka pendek adalah pulihnya aliran darah ke arteri yang terkena infark untuk mencegah perluasan infark pada kasus infark miokard atau mencegah terjadinya oklusi komplit pada kejadian UA. Pencegahan kematian dan komplikasi, pencegahan reoklusi pada arteri koroner, mengurangi rasa ketidak nyamanan di dada, dan memelihara keadaan

17 normoglikemia merupakan capaian penatalaksanaan SKA jangka pendek yang lain (Spinler dan Denus, 2008). Pendekatan umum terapi SKA baik STEMI maupun NSTEMI meliputi hospitalisasi, pemberian oksigen apabila saturasi oksigen < 90%, monitoring kontinyu terhadap segmen-st untuk aritmia dan iskemia, kontrol glukosa darah, pengukuran tanda-tanda vital, tirah baring selama 12 jam pada pasien yang stabil secara hemodinamis, menghindari mengejan dengan pemberian laksansia jenis stool softener, dan upaya pengurangan nyeri. Berdasarkan stratifikasi resikonya, pasien dengan resiko tinggi harus segera diberi terapi untuk stabilisasi kembali perfusi jantung diikuti pemberian obat-obatan. Pasien resiko tinggi harus menjalani angiografi koroner dalam 24 48 jam dan revaskularisasi dengan PC atau CABG apabila ditemukan stenosis arteri koroner. Pasien beresiko sedang dengan biomarker positif terhadap infark juga harus menjalani angiografi dan revaskularisasi selama hospitalisasi. Pasien beresiko sedang tanpa penanda biokimia infark seharusnya juga menjalani angiografi dan revaskularisasi atau dapat juga terlebih dahulu melakukan pemeriksaan stres non invasif (noninvasive stress test). Apabila hasil pemeriksaan stres non invasif positif, barulah dilakukan angiografi. Kebutuhan revaskularisasi pada pasien beresiko rendah dapat dipertimbangkan selama pasien berada di unit gawat darurat. Beberapa pemeriksaan terhadap biomarker penanda infark jantung dilakukan sebagai

18 pertimbangan pemberian tindakan revaskularisasi (Spinler dan Denus, 2008). g. Terapi Farmakologi Terapi farmakoterapi pada SKA NSTEMI dibedakan menjadi dua yaitu terapi awal dan terapi jangka panjang. Secara umum, terapi awal SKA NSTEMI hampir sama dengan STEMI. Berbeda dengan pasien SKA STEMI, pasien NSTEMI tidak memerlukan fibrinolitik dan penghambat reseptor GP IIb/IIIa hanya diberikan pada pasien resiko tinggi (Spinler dan Denus, 2008). Golongan obat yang diberikan pada terapi awal adalah antiiskemia, antiplatelet, dan antikoagulan. 1) Antiiskemia Antiiskemia menurunkan konsumsi oksigen miokardial dengan cara menurunkan detak jantung, tekanan darah, dan menekan kontraktilitas ventrikel kiri (Bassand et al., 2007). Jenis antiiskemia yang diberikan pada pasien SKA yaitu nitrat, morfin sulfat, penyekat beta, dan calcium channel blocker (CCB). Nitrogliserin (NTG) yang termasuk golongan nitrat berefek vasodilatasi pada endotel. Efek utama NTG adalah menurunkan preload dengan efek afterload yang lebih sedikit, sehingga menurunkan stress dinding miokardial dan kebutuhan oksigen. Efek vasodilatasi arteri koroner NTG berhubungan dengan peningkatan aktivitas endotelial guanilat, konsekuensinya adalah peningkatan guanosin monofosfat siklik. NTG juga mengatasi

19 spasme koroner di lokasi aterosklerosis dan meningkatkan kapasitas oksigen ke subendotel (Sami dan Willerson, 2010). Bila tidak ada kontraindikasi, NTG diberikan secara sublingual (SL) dilanjutkan intravena pada semua pasien SKA NSTEMI tanpa kontraindikasi. NTG intravena biasanya dilanjutkan selama ± 24 jam setelah berkurangnya iskemia. Satu tablet SL NTG harus diberikan setiap 5 menit sampai tiga dosis untuk meringankan iskemia miokard. Pemberian NTG merupakan kontraindikasi pada pasien yang telah mengkonsumsi phosphodiesterase-5 inhibitor, seperti sildenafil dan vardenafil dalam 24 jam terakhir, dan tadalifil dalam 48 jam terakhir (Spinler and Denus, 2008). Morfin sulfat merupakan analgetik dan ansiolitik poten yang berefek hemodinamik. Penggunaan morfin sulfat memerlukan monitor tekanan darah yang seksama. Morfin sulfat direkomendasikan pada pasien dengan keluhan menetap atau berulang setelah pemberian antiiskemia. Dosis morfin sulfat yang direkomendasikan dengan bolus intravena adalah 2 5 mg. Dosis morfin sulfat ulangan dapat diberikan dengan hati-hati bila dosisnya lebih dari 10 mg. Pemberian morfin sulfat ulangan diberi bersamaan dengan antiemetik intravena. Efek samping utama penggunaan morfin sulfat diantaranya adalah hipotensi terutama pada pasien yang kekurangan cairan, mual, muntah, dan depresi pernafasan. Overdosis morfin dapat diatasi dengan antidotum naloxone dosis 0,4 2 mg intravena (Depkes RI, 2006).

20 Penyekat beta menghambat secara kompetitif efek katekolamin pada membran sel reseptor beta yang lokasi utamanya di miokardium. Aksi penghambatan katekolamin menurunkan kontraktilitas jantung, kecepatan sinus nodus, dan kecepatan konduksi nodus AV. Melalui mekanisme tersebut, penyekat beta mengurangi denyut jantung dan kontraktilitasnya, menurunkan tekanan darah sistol, sehingga mengurangi kebutuhan oksigen. Keuntungan utama penggunaan penyekat beta pada pasien UA dan NSTEMI berhubungan dengan efek pada reseptor beta 1 yang menurunkan kerja jantung dan kebutuhan oksigen. Perlambatan denyut jantung tidak hanya menurunkan kebutuhan oksigen, namun juga meningkatkan durasi diastol dan diastolic pressure time sebagai faktor penentu aliran darah koroner dan kolateral (Braunwald et al., 2000). Penyekat beta direkomendasikan pada semua pasien SKA tanpa kontraindikasi. Penyekat beta secara per oral seharusnya diberikan dalam 24 jam. Penyekat beta dikontraindikasikan pada pasien yang hipotensi, pasien dengan gangguan pernafasan aktif, dan blok aterioventrikular derajat 2 (Sami dan Willerson, 2010). Penyekat beta yang lebih disukai adalah penyekat beta tanpa aktivitas simpatomimetik seperti metoprolol, atenolol, esmolol, atau bisoprolol (Depkes RI, 2006). CCB adalah sekelompok obat yang bekerja dengan cara menghambat secara selektif masuknya ion Ca² + melewati slow channel yang terdapat pada membran sel (sarkolema) otot jantung dan

21 pembuluh darah. CCB mendilatasi arteri utama jantung dan meningkatkan pengiriman oksigen ke otot jantung dengan menghambat spasme arteri koroner. Terhambatnya ion Ca 2+ mengakibatkan membukannya pembuluh darah dan menurunkan tekanan darah (Harun dan Alwi, 2006). CCB dibagi menjadi dua kelas yaitu dihidropiridin dan non dihidropiridin. CCB kelas dihidropiridin contohnya nifedipin dan amlodipin, sedangkan obat yang termasuk CCB kelas non dihidropiridin diantaranya adalah ditiazem dan verapamil. CCB tidak selalu diberikan pada pasien SKA NSTEMI atau UA karena kurangnya bukti efek pengurangan resiko kematian. CCB merupakan terapi lini ke tiga setelah nitrat dan penyekat beta. CCB digunakan apabila pasien termasuk kontraindikasi penggunaan penyekat beta (Sami dan Willerson, 2010). 2) Antiplatelet Terjadinya aktivasi platelet pada patofisiologi SKA NSTEMI menyebabkan terapi dengan antiplatelet menjadi komponen penting penatalaksanaan SKA NSTEMI. Antiplatelet digolongkan menjadi tiga yaitu aspirin, penghambat reseptor P2Y 12, dan antagonis GP IIb/IIIa (Braunwald, 2012). Aspirin secara ireversibel menghambat siklooksigenase (COX 1) yaitu enzim pertama pada urutan reaksi yang menyebabkan pembentukan tromboksan A2 (TXA2) dan protasiklin (PGI2). TXA2 diproduksi oleh trombosit dan merupakan suatu aktifator kunci trombosit, sementara itu protasiklin yang dihasilkan

22 endotel akan menginhibisi aktivasi dan agregasi trombosit dengan meningkatkan cyclic adenosine monophosphate (CAMP) (Gumiwang et al., 2006). Aspirin menurunkan resiko kematian sekitar 50% dibandingkan pasien NSTEMI yang tidak diberi antiplatelet. Aspirin menjadi pokok terapi pada semua jenis SKA. Aspirin dikontraindikasikan pada pasien yang hipersensitif terhadap aspirin, mengalami pendarahan aktif, atau pasien yang beresiko mengalami pendarahan berat (Spinler dan Denus, 2008). Penghambat reseptor P2Y 12 dibagi menjadi dua kelas yaitu tienopiridin (tiklodipin, klopidogrel, dan prasugrel) dan triazolopirimidin (ticaglerol). Tiklodipin merupakan generasi pertama tienopiridin. Kombinasi tiklodipin dengan aspirin berhubungan dengan penurunan kematian vaskuler dan infark miokard hingga 46% pada pasien SKA NSEMI. Tiklodipin lebih baik dibandingkan antikoagulan oral dalam mencegah komplikasi trombotik setelah penggantian stent koroner. Tiklodipin agak jarang digunakan karena potensi terjadinya efek samping yang besar seperti rash, mual, neutropenia, dan trombositopenia (Sami dan Willerson, 2010). Klopidogrel merupakan derivat tienopiridin yang lebih baru, bekerja dengan menekan aktivitas kompleks GPIIb/IIIa reseptor oleh ADP dan menghambat agregasi trombosit secara efektif. Klopidogrel mempunyai efek samping lebih sedikit dibanding tiklopidin. Klopidogrel dapat dipakai pada pasien yang tidak toleran terhadap

23 aspirin dan dalam jangka pendek dapat dikombinasi dengan aspirin untuk pasien yang menjalani pemasangan stent (Depkes RI, 2006). Prasurgel merupakan prodrug. Prasurgel membutuhkan dua tahapan metabolisme untuk menghasilkan metabolit aktif yang mirip dengan metabolit aktif klopidogrel. Tahap pertama membutuhkan esterase plasma, selanjutnya tahap kedua dilakukan di hati yang dipengaruhi enzim cytochrome P450 (CYP 450). Prasurgel menghasilkan efek yang lebih cepat dan konsisten dalam menghambat pembentukan platelet dibandingkan dengan klopidogrel (Hamm et al., 2011). Prasurgel merupakan penghambat reseptor P2Y 12 yang lebih kuat dibandingkan klopidogrel (Braunwald, 2012). Ticagrelor termasuk siklopentinil triazopirimidin yang aktif secara oral, merupakan penghambat reseptor P2Y 12 yang reversibel, onset cepat, dan mampu menghambat reseptor hampir komplit. Waktu paruh plasma ticagrelor sekitar 12 jam dan lebih cepat aksinya dibandingkan tienopiridin. Keuntungan pemakaian ticagrelor terlihat pada pasien STEMI dan NSTEMI, begitu pula pada pasien yang direncanakan menjalani terapi invasif atau konservatif (Braunwald, 2012). Tiga jenis obat antagonis GP IIb/IIIa yang sudah diterima secara klinik yaitu abciximab, eptifibatide, dan tirofiban (Bassand et al., 2007). Aksi penghambatan agregasi platelet tahap akhir menjadikan penghambat reseptor GP IIb/IIIa menjadi inhibitor

24 agregasi platelet yang poten terhadap semua jenis stimulus (seperti adenosin difosfat, serotonin, kolagen, dan trombin) (Sami dan Willerson, 2010). Abciximab adalah sebuah fragmen antibodi monoklonal. Eptifibatin merupakan peptida siklik, sedangkan tirofiban adalah sebuah molekul peptidomimetik. Penggunaan obat ini dapat meningkatkan perdarahan mayor, tetapi tidak signifikan terhadap peningkatan perdarahan intrakranial (Spinler and Denus, 2008). 3) Antikoagulan Seperti halnya antiplatelet, antikoagulan memainkan peranan yang penting dalam penatalaksanaan pasien SKA. Proses pembentukan trombus dapat terjadi di arteri maupun vena. Trombosis arteri merupakan penyebab umum SKA. Antikoagulan dalam penanganan SKA NSTEMI digunakan untuk menghambat aktivitas trombin, sehingga mengurangi terbentuknya trombus (Hamm et al., 2011). Berdasarkan target kerjanya, antikoagulan dapat dibedakan menjadi empat yaitu antikoagulan yang berkerja pada trombin, faktor Xa, trombin dan faktor Xa, dan target kerja yang lain. Antikoagulan yang targetnya trombin dan faktor Xa adalah low molecular weight heparin (LMWH) dan heparin. Antikoagulan dalam penanganan SKA dengan target kerja trombin diantaranya adalah bivalirudin. Fondaparinux merupakan antikoagulan yang bekerja terhadap faktor Xa (Bande et al., 2014).

25 a) Heparin Heparin merupakan campuran heterogen molekul polisakarida dengan berat molekul antara 2 30 kda, umumnya 15 18 kda. Sepertiga dari molekul heparin terdiri dari sekuen pentasakarida yang berikatan dengan antitrombin dan meningkatkan kemampuan antitrombin menghambat faktor Xa. Heparin juga menghambat faktor IIa melalui ikatan trombin dengan antitrombin (Hamm et al., 2011). Antitrombin merupakan sebuah kofaktor heparin dalam plasma, disintesis di hati, dan terdapat dalam sirkulasi plasma pada konsentrasi 2,6 ± 0,4 µm. Heparin diisolasi dari jaringan mamalia yang banyak mengandung sel mast. Heparin secara komersial diperoleh dari ekstrak paru-paru sapi atau mukosa intestinal porcine yang mengandung residu D-glucoronic dan N-acethyl D- glucosamine (Cannon dan Braunwald, 2012). Heparin berikatan pada lisin yang terdapat pada molekul antitrombin, menyebabkan terjadinya perubahan konformasi pada arginine reactive center, sehingga mengubah efek antitrombin yang semula menginhibisi pembentukan trombin secara perlahanlahan menjadi sangat cepat. Selain itu, arginine reactive center yang terdapat pada molekul antitrombin juga berikatan secara kovalen dengan active center serine thrombin dan enzim-enzim

26 koagulasi lainnya, sehingga menghambat aktivitas prokoagulasinya (Hillman et al., 2011). Komplek heparin dan antitrombin menginaktivasi faktor trombin IIa, faktor Xa, IXa, XIa, dan XIIa. Trombin dan faktor Xa yang paling sensitif dihambat oleh kompleks heparin-antitrombin dan trombin sepuluh kali lipat lebih sensitif dibanding faktor Xa. Heparin dengan molekul besar yang setidaknya terdiri dari 18 residu sakarida memiliki kemampuan menghambat pembentukan trombin, sedangkan fragmen heparin yang lebih kecil memiliki efek yang kecil terhadap trombin, tetapi memiliki potensi menghambat faktor Xa (Hillman et al., 2011). Heparin hanya dapat diberikan secara intravena atau subkutan. Absorbsi heparin melalui pemberian secara injeksi subkutan kurang baik, sehingga pemberiannya lebih efektif secara infus intravena. Efek antikoagulan heparin secara intravena dapat segera tercapai, namun heparin memiliki indek terapi yang sempit, sehingga diperlukan monitoring aptt dengan target optimal 50 75 detik, 1,5 2,5 kali di atas normal. Nilai aptt yang tinggi menyebabkan risiko komplikasi perdarahan meningkat tanpa peningkatan manfaat antitrombotik. Jika aptt <50 detik, efek antitrombotik menjadi terbatas. Keadaan tersebut memerlukan penyesuaian dosis heparin (Hamm et al., 2011).

27 Penggunaan heparin dalam penanganan venous thromboembolism dimulai dengan dosis 80 U/kg bolus, dilanjutkan 18 U/kg/jam secara infus. Dosis heparin pada penanganan coronary thrombosis syndrome lebih rendah. American College of Cardiology (ACC) merekomendasikan dosis heparin untuk penanganan UA/NSTEMI adalah bolus 60 70 U/kg (maksimum 5000 U), dilanjutkan pemberian infus dengan dosis 12 15 U/kg/jam (maksimum 1.000 U/jam) (Hamm et al., 2011). Harga heparin lebih murah dibandingkan antikoagulan lain, tetapi membutuhkan infus intravena kontinyu, monitoring berulang, perlu penyesuaian dosis, dan mempunyai komplikasi mayor pendarahan. HIT imunogenik merupakan komplikasi yang jarang terjadi, namun serius, menyebabkan trombosis dan pendarahan (Braunwald, 2012). b) Low Molecular Weight Heparin (LMWH) LMWH menghambat faktor Xa dan IIa, sehingga menghambat pembentukan dan aksi trombin. LMWH mempunyai aksi penghambatan faktor Xa relatif lebih besar dibandingkan heparin. Bila dibandingkan dengan heparin, LMWH mengikat protein plasma dan sel endotel lebih sedikit, bioavailabilitasnya lebih terprediksi, dapat diberikan secara injeksi subkutan berdasarkan berat badan, dan biasanya tidak memerlukan penyesuaian dosis. Insiden HIT pada penggunaan LMWH lebih

28 sedikit dibandingkan pengguna heparin. LMWH dieliminasi melalui ginjal, sehingga perlu pengurangan dosis (Braunwald, 2012; Sami dan Willerson, 2010). Enoxaparin merupakan LMWH yang paling banyak dipelajari, terbukti ekuivalen dengan heparin pada penanganan NSTEMI, dan mempunyai keuntungan lain yang lebih banyak dibandingkan heparin. Dosis enoxaparin adalah 1 mg/kg, dua kali sehari, diberikan secara subkutan. Durasi terapi enoxaparin selama 8 hari. Perpanjangan durasi terapi terbukti tidak memberikan keuntungan tambahan (Braunwald, 2012). Dibandingkan heparin, enoxaparin terlihat lebih unggul mengurangi kejadian iskemia pada pasien NSTEMI yang diberi terapi konservasi awal. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penggunaan enoxaparin menyebabkan pendarahan sedikit lebih banyak dibandingkan heparin (Sami dan Willerson, 2010). c) Bivalirudin Bivalirudin merupakan polipeptida yang menghambat trombin secara langsung dengan waktu paruh plasma pendek, sekitar 25 menit. Efikasi heparin dan bivalirudin mirip, namun efek pendarahan bivalirudin lebih sedikit. Bivalirudin diberikan dengan dosis 0,75 mg/kg bolus diikuti infus 1,75 mg/kg/jam selama PCI dan dihentikan sesudah prosedur PCI. Eliminasi bivalirudin tidak

29 melalui ginjal, sehingga dapat digunakan pada pasien dengan disfungsi ginjal (Braunwald, 2012). d) Fondaparinux Fondaparinux adalah pentasakarida sintetik yang bertindak sebagai antikoagulan dengan cara inaktivasi faktor Xa oleh antitrombin secara ireversibel dan dengan afinitas yang tinggi. Fondaparinux diberikan secara subkutan dengan dosis 2,5 mg/hari dan dieliminasi hampir sepenuhnya melalui ginjal. Bioavabilitas fondaparinux 100 % dan waktu paruh eliminasi 17 jam sehingga dapat diberikan satu kali sehari. Fondaparinux tidak mengakibatkan HIT sehingga tidak diperlukan monitoring jumlah platelet, penyesuaian dosis, dan monitor aktivitas anti Xa. Fondaparinux tidak signifikan mempengaruhi variabel monitor aktivitas antikoagulan seperti aptt, ACT, PT, dan TT (Hamm et al., 2011; Braunwald, 2012). Pasien NSTEMI yang menjalani PCI, pemberian fondaparinux memiliki resiko pembentukan trombin yang terkait dengan kateterisasi tiga kali lebih tinggi, demikian juga pada pasien STEMI. Fondaparinux merupakan alternatif bagi pasien UA/NSTEMI terutama berhubungan dengan resiko perdarahan yang kecil, sehingga direkomendasikan khususnya bagi pasien yang memiliki resiko perdarahan yang tinggi (Cannon dan Braunwald, 2012).

30 Tujuan terapi jangka panjang PJK adalah mengontrol faktor resiko tang dapat dimodifikasi, mencegah terjadinya gagal jantung, mencegah infark miokard ulangan, serta mencegah kematia, termasuk kematian jantung mendadak. Farmakoterapi yang terbukti menurunkan mortalitas, gagal jantung, atau stroke harus dimulai setelah pasien keluar dari rumah sakit. Guideline dari American College of Cardiology dan American Heart Association (ACC/AHA) merekomendasikan terapi jangka panjang setelah infark miokard baik STEMI maupun NSTEMI dengan aspirin, penyekat beta, dan angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI). Semua pasien diberi NTG SL atau spray beserta petunjuk penggunaannya untuk digunakan bila terjadi nyeri dada berulang. Klopidogrel diberikan pada hampir seluruh pasien, namun durasi pemberiannya disesuaikan dengan jenis SKA-nya dan rencana dilakukannya implantasi stent intrakoroner. Vaksin influenza diberikan pada semua pasien dengan frekuensi setahun sekali. Beberapa pasien mungkin membutuhkan antikoagulan warfarin jangka panjang. Semua pasien SKA harus mengontrol faktor resiko yang dapat dimodifikasi seperti hipertensi, dislipidemia, dan diabetes mellitus. Kebanyakan pasien PJK memerlukan terapi untuk mengatasi dislipidemia, biasanya digunakan statin (Spinler dan Denus, 2008). 3. Rumah Sakit Umum Daerah Dr Adhyatma MPH Semarang Rumah sakit adalah salah satu sarana dari sarana kesehatan tempat menyelenggarakan upaya kesehatan. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, bertujuan untuk mewujudkan

31 derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Upaya kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan (Siregar dan Amalia, 2003). RSUD Dr Adhyatma MPH Semarang merupakan rumah sakit kelas B milik pemerintah propinsi Jawa Tengah yang terletak di Semarang bagian barat. Rumah sakit ini berada pada ruas jalur utama Semarang Jakarta yang merupakan jalur utama pantai utara Jawa antara Semarang Kendal, tepatnya pada jalan raya Walisongo. Posisi rumah sakit ini sangat strategis karena terletak di jalur padat dengan potensi rawan kecelakaan cukup tinggi, dikelilingi lingkungan pemukiman dan perumahan yang padat, serta dilingkupi beberapa kawasan industri (Website RS Tugurejo, 2016). Melalui pendekatan manajemen mutu, RSUD Dr Adhyatma MPH Semarang selalu meningkatkan dan mengembangkan mutu pelayanan di seluruh jajaran rumah sakit dengan upaya dan kerja keras dari seluruh jajaran rumah sakit. Setelah melalui perjalanan dan perjuangan yang panjang, RSUD Dr Adhyatma MPH berubah dari rumah sakit yang memberikan pelayanan umum rumah sakit umum kelas C pada akhir tahun 2000, dan saat ini menjadi rumah sakit kelas B non pendidikan (Website RS Tugurejo, 2016). Motto dari RSUD Dr Adhyatma MPH Semarang yaitu kesembuhan dan kepuasan anda adalah kebahagiaan kami. RSUD Dr Adhyatma MPH Semarang mempunyai misi sebagai berikut (Website RS Tugurejo, 2016):

32 a. Meningkatkan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia melalui program pengembangan mutu. b. Meningkatkan sarana dan prasarana sehingga memberikan kenyamanan kepada pasien, keluarga, dan karyawan. c. Meningkatkan citra rumah sakit serta menghilangkan stigma terhadap penyakit kusta. d. Menjadi pusat rujukan pelayanan kesehatan. e. Menjadi pusat rujukan dan pendidikan penyakit kusta. 4. Rekam Medik Rekam medik adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien. Rekam medik harus dibuat secara tertulis, lengkap, dan jelas, atau secara elektronik. Rekam medik dapat dipakai sebagai catatan pemeliharaan kesehatan dan pengobatan pasien, alat bukti dalam proses penegakan hukum, disiplin kedokteran dan kedokteran gigi, serta penegakan etika kedokteran dan kedokteran gigi (Depkes RI, 2008 b ). Rekam medik juga dapat digunakan sebagai dasar perhitungan biaya. Berdasarkan data pada rekam medis, bagian keuangan dapat menetapkan besarnya biaya pengobatan pasien (Siregar dan Amalia, 2003). Rekam medik mempunyai empat bagian yaitu bagian administratif, data legal, data finansial, dan data klinik. Bagian administratif berisi data demografi dan sosioekonomi seperti nama pasien, jenis kelamin, tempat dan tanggal lahir, alamat pasien, dan nomor rekam medik. Data legal terdiri dari lembar persetujuan terapi yang

33 ditanda tangani dokter dan pasien atau keluarga pasien serta autorisasi pemberian informasi. Data keuangan terkait dengan pembayaran pelayanan medis dan akomodasi rumah sakit. Data klinik mencakup gambaran pasien ketika masuk rumah sakit atau dirawat sebagai pasien rawat jalan atau di unit gawat darurat (WHO, 2006). F. Landasan Teori Maxwell et al. (2009) membandingkan heparin, enoxaparin, fondaparinux, dan bivalirudin. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa fondaparinux merupakan obat pilihan pada terapi konservatif NSTEMI. Raja (2013) melalui penelitiannya mengungkapkan bahwa fondaparinux lebih cost-effective dibandingkan heparin. Parameter efektivitas adalah banyaknya pasien NSTEMI yang mengalami kematian dan stroke selama dirawat di rumah sakit dan hingga hari ke-30. Fondaparinux juga diketahui lebih aman dibandingkan heparin. Efek samping berupa pendarahan mayor dan minor lebih sedikit terjadi pada pasien yang menggunakan fondaparinux. Aspek keamanan fondaparinux telah diteliti oleh Mehta et al. (2008). Melalui penelitian tersebut disimpulkan bahwa dibandingkan heparin, fondaparinux mengurangi mortalitas, kejadian iskemia, dan pendarahan mayor pada semua bentuk SKA. Outcome klinik lebih baik pada pasien SKA yang diberi fondaparin baik pada terapi invasif maupun konservatif. Hasil penelitian yang telah dilakukan Schiele et al. (2010) mengungkapkan penggantian pemakaian heparin ke enoxaparin atau fondaparinux mengalami peningkatan. Pasien yang akan menjalani angioplasti dan diterapi dengan

34 fondaparinux diberi tambahan heparin bolus 60 IU/kg. Setelah 30 hari, mortalitas dan pendarahan mayor lebih tinggi pada pasien yang diterapi dengan heparin. Berdasarkan beberapa penelitian, Crowther dan Warkentin (2008) menyampaikan review yang menunjukkan bahwa insiden pendarahan mayor akibat pemakaian antikoagulan pada SKA. Insiden pendarahan mayor karena heparin sebesar 4,5 %, lebih tinggi dibandingkan fondaparinux (2,2 %). G. Keterangan Empiris Melalui penelitian ini diharapkan dapat diketahui antikoagulan yang lebih baik efektivitasnya berupa lama rawat inap dan lebih murah antara fondaparinux dan heparin. Analisis efektivitas biaya diharapkan dapat menginformasikan antikoagulan yang lebih cost effective. Penelitian ini juga diharapkan dapat mengungkapkan aspek keamanan fondaparinux dan heparin berdasarkan kejadian pendarahan.