Observasi Klinik Jamu Sebagai Dasar Ilmiah Terapi Kedokteran Modern

dokumen-dokumen yang mirip
PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN UJI KLINIK OBAT HERBAL

Obat tradisional 11/1/2011

OBSERVASI KLINIK JAMU SEBAGAI DASAR ILMIAH TERAPI KEDOKTERAN MODERN

Sejarah perkembangan konsep penilaian pemakaian obat dalam kedokteran

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG PENGELOMPOKAN OBAT BAHAN ALAM

BAB 8: UJI KLINIS SEDIAAN OBAT

BAB VIII UJI KLINIS SEDIAAN OBAT

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

A. Guntur H. Subbagian Alergi-Imunologi Tropik Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fak. Kedokteran UNS Solo

Biodiversitas adalah berbagai variasi yang ada di antara makhluk hidup dan lingkungannya Sekitar 59% daratan Indonesia merupakan hutan hujan tropis

Penggunaan Jamu untuk Terapi Kedokteran Modern

BAB I PENDAHULUAN. apoteker Indonesia, masih belum dapat menerima jamu dan obat herbal terstandar

Pengobatan herbal berbeda dengan pengobatan secara konvensional namun terdapat sisi penilaian efikasi yg sama dari uji secara klinis.

KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN PRODUK HERBAL BERBASIS RISET

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. khasiat sebagai obat. Bahkan, sekitar 300 spesies dimanfaatkan sebagai bahan

pengolahan, kecuali pengeringan. Standarisasi simplisia dibutuhkan karena kandungan kimia tanaman obat sangat bervariasi tergantung banyak faktor

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian (galenika) atau campuran dari bahanbahan

Toksisitas yang berhubungan dengan pemberian obat akut atau kronis Kerusakan genetik Pertumbuhan tumor Kejadian cacat waktu lahir.

RENCANA STRATEGIS KLINIK SAINTIFIKASI JAMU PMI KABUPATEN SRAGEN TAHUN

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 003/MENKES/PER/I/2010 TENTANG SAINTIFIKASI JAMU DALAM PENELITIAN BERBASIS PELAYANAN KESEHATAN

PERATURAN OBAT ASLI INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

TANAMAN BERKHASIAT OBAT. By : Fitri Rahma Yenti, S.Farm, Apt

Disampaikan oleh: Dirjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada Rakernas GP Jamu 2016

BAB I PENDAHULUAN. Obat tradisional telah dikenal dan banyak digunakan secara turun. temurun oleh masyarakat. Penggunaan obat tradisional dalam upaya

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Kontroversi Pemakaian Obat Alami Untuk Diabetes

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Resep Alam, Warisan Nenek Moyang. (Jamu untuk Remaja, Dewasa, dan Anak-anak)

Regulasi Penggunaan Jamu untuk Terapi Kedokteran Modern

STANDARISASI BAHAN BAKU HERBAL DENGAN DUKUNGAN LABORATORIUM TERAKREDITASI

BAB I PENDAHULUAN. melalui pasal 28 huruf H ayat (1), Undang undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. terhadap pelayanan kesehatan yang bermutu adil dan merata baik di pusat daerah,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Indonesia memiliki sumber daya hayati dan merupakan salah satu negara

BAB I PENDAHULUAN. bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian atau galenik, atau

BAB I PENDAHULUAN. Pengertian jamu dalam Permenkes No. 003/Menkes/Per/I/2010 adalah bahan atau

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan kekayaan hayati terbesar di

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER (RPS) PROGRAM STUDI KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

OUTLINE. Drs. Hary Wahyu T., Apt. Direktur Standardisasi Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen A. PENDAHULUAN

instansi yang belum maksimal. Hal tersebut menyebabkan jamu masih saja belum menjadi produk unggulan.

ANALISIS STRATEGI PEMASARAN OBAT HERBAL BIOMUNOS PADA PT. BIOFARMAKA INDONESIA, BOGOR

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KEBIJAKAN DAN PROGRAM PENGEMBANGAN PUSAT PENGOLAHAN PASCA PANEN TANAMAN OBAT DAN PUSAT EKSTRAK DAERAH UNTUK MENDUKUNG KEMANDIRIAN BAHAN BAKU OBAT

BAB I PENDAHULUAN. melakukan aktifitas dengan baik dibutuhkan badan yang sehat. Pola hidup sehat,

RANCANGAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016 TENTANG PENGAWASAN SUPLEMEN KESEHATAN

2 obat tradisional asli Indonesia. Berdasarkan riset tersebut 95,60% (sembilan puluh lima koma enam puluh persen) merasakan manfaat jamu. Dari berbaga

KEBIJAKAN PENERAPAN FORMULARIUM NASIONAL DALAM JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN)

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 66 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN REGISTRI PENELITIAN KLINIK

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan (rehabilitatif) serta peningkatan kesehatan (promotif). Berbagai cara

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/068/I/2010 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Obat-obat modern walaupun telah mendominasi dalam pelayanan

BAB I PENDAHULUAN. antara lain jamu, obat herbal terstandar dan fitofarmaka. Jamu sebagai obat bahan alam,

BAB I PENDAHULUAN. tradisional dan obat tradisional sebagai bagian yang tidak dapat diabaikan dalam

BAB II LANDASAN TEORI A. TINJAUAN PUSTAKA. pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna dengan menyediakan pelayanan

Pengembangan Obat Tradisional Indonesia Menjadi Fitofarmaka*

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA. Nomor : HK T e n t a n g

BAB I PENDAHULUAN jenis pengobatan tradisional dari desa. Pengobatan

PENGEMBANGAN OBAT BARU

BPOM. Uji Klinik. Persetujuan. Tata Laksana. Pencabutan.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. lebih dikenal dengan istilah back to nature (Sari, 2006). Namun demikian,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PELAKSANAAN P4TO - PED KOTA PEKALONGAN. Disampaikan Dalam Acara Rakontek Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Kefarmasian Makasar, 24 April 2014

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang penelitian

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : HK TENTANG

III. METODE PENELITIAN. Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif retrospektif non analitik

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. bermutu serta pemerataan pelayanan kesehatan yang mencakup tenaga, sarana dan

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 760/MENKES/ PER/ lx/1992 TENTANG FITOFARMAKA

BAB I PENDAHULUAN. tanaman sebagai upaya penyembuhan jauh sebelum obat-obatan modern yang

PASAL 6 PERMENKES No.1109/MENKES/PER/IX/2007

Khasiatnya diketahui dari penuturan orang-orang tua atau dari pengalaman (Anonim, 2009). Salah satu tanaman yang telah terbukti berkhasiat sebagai

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2017 TENTANG PELAYANAN KESEHATAN TRADISIONAL INTEGRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Sejak zaman nenek moyang sampai sekarang, masyarakat banyak

BAB I PENDAHULUAN UKDW. meningkatkan kesehatan. Salah satu jenis tanaman obat yang potensial, banyak

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya alam yang tinggi. Kekayaan hayati yang dimiliki Indonesia diperkirakan

I. PENDAHULUAN. perhatian adalah buah luwingan (Ficus hispida L.f.). Kesamaan genus buah

I. PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan ditujukan untuk rnewujudkan kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia nomor 36 tahun 2014, tentang Kesehatan, adalah. setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan 1

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

JAMU DAN OBAT TRADISIONAL CINA DALAM PRESPEKTIF MEDIK DAN BISNIS

BAB I PENDAHULUAN. asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah

REGULASI DI BIDANG KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN UNTUK MENDUKUNG JKN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

semua masalah kesehatan dapat diatasi oleh pelayanan pengobatan modern (BPOM, 2005). Tumbuhan obat Indonesia atau yang saat ini lebih dikenal dengan

KISI UJI KOMPETENSI 2013 PROGRAM STUDI KEAHLIAN KESEHATAN

Kotamadya Surabaya, di Jawa Timur, dan di seluruh Indonesia diperhitungkan sebesar Rp. 1,5 milyar per hari.

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah

M E M U T U S K A N : Menetapkan : PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG PEREDARAN OBAT TRADISIONAL IMPOR BAB I KETENTUAN UMUM.

Transkripsi:

Observasi Klinik Jamu Sebagai Dasar Ilmiah Terapi Kedokteran Modern dr. Danang Ardiyanto Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional Tawangmangu, Badan Litbangkes Kementeriann Kesehatan RI Pendahuluan Saat ini meskipun obat tradisional cukup banyak digunakan oleh masyarakat dalam usaha pengobatan sendiri ( self-medication), profesi kesehatan/dokter umumnya masih enggan untuk meresepkan ataupun menggunakannya. Hal tersebut berbeda dengan di beberapa negara tetangga seperti Cina, Korea, dan India yang mengintegrasikan cara dan pengobatan tradisional di dalam sistem pelayanan kesehatan formal. Alasan utama keengganan profesi kesehatan untuk meresepkan atau menggunakan obat tradisional karena bukti ilmiah mengenai khasiat dan keamanan obat tradisional pada manusia masih kurang. Obat tradisional Indonesia merupakan warisan budaya bangsa sehingga perlu dilestarikan, diteliti dan dikembangkan. Penelitian obat tradisional Indonesia mencakup penelitian obat herbal tunggal maupun dalam bentuk ramuan. Jenis penelitian yang telah dilakukan selama ini meliputi penelitian budidaya tanaman obat, analisis kandungan kimia, toksisitas, farmakodinamik, formulasi, dan uji klinik. Dari jenis penelitian di atas, uji klinik masih sangat kurang dilakukan dibandingkan jenis penelitian lainnya, sehingga data khasiat dan keamanan obat herbal pada manusia masih sangat jarang. Hal tersebut antara lain karena biaya penelitian untuk uji klinik sangat besar dan uji klinik hanya dapat dilakukan bila obat tradisional/obat herbal tersebut telah dibuktikan aman dan memperlihatkan efek yang jelas pada hewan coba. Ketentuan umum bahwa setiap tanaman obat dan obat tradisional yang akan digunakan dalam pelayanan kesehatan harus memenuhi persyaratan mutu dan memiliki bukti ilmiah atas khasiat dan keamanannya, merupakan ketentuan universal yang dimiliki hampir di setiap negara. Untuk itu tanaman obat dan obat tradisonal sebelum digunakan dalam pelayanan kesehatan harus memenuhi standar dan serangkaian uji yang dipersyaratkan guna menjamin, mutu keamanan dan khasiatnya Pemanfaatan tanaman obat & obat tradisional dalam pelayanan kesehatan membutuhkan upaya integrasi yang didukung 4 pilar utama, meliputi ketersediaan informasi yang evidence-based, ketersediaan sumber bahan baku terstandarisasi, adanya regulasi yang mengatur implementasi penggunaan tanamann obat dan OT dalam pelayanan kesehatan serta upaya promosi kepada masyarakat dan semua stakeholder. Guna mencapai tujuan dari pemanfaatan penggunaan obat tradisional yang sebesar-besarnya bagi kesehatan masyarakat maka dibutuhkan bukti ilmiah atas mutu, keamanan dan khasiatnya. Sehubungan dengan itu sangat diperlukan penelitian dan kajian tentang keamanan, mutu dan khasiat tanaman obat dan obat tradisional yang telah digunakan masyarakat dan telah secara turun temurun memberikan manfaat bagi kesehatan masyarakat. 12

Pembuktian Ilmiah Secara ilmiah dan berdasarkan pedoman metodologi untuk riset dan evaluasi pengobatan tradisional (WHO, 2000) tingkat pembuktian uji klinik dapat dilihat pada Tabel 1 berikut. Tabel 1. Tingkat pembuktian khasiat (uji klinik) obat tradisional Tingkat pembuktian Tingkat I a Tingkat I b Tingkat II a Tingkat II b Tingkat III Tingkat IV Jenis bukti Bukti yang diperoleh dari meta analisis beberapa uji klinik, atau large RCT (uji klinik acak terkontrol dengan jumlah subyek mencapai ribuan orang) Bukti yang diperoleh dari paling kurang RCT (uji klinik acak terkontrol) Bukti diperoleh dari paling kurang satu studi terkontrol yang dirancang secara baik (well-designed study), tanpa randomisasi Bukti diperoleh dari paling kurang satu studi tipe quasi eksperimental yang dirancang secara baik, atau studi tanpa kontrol Bukti diperoleh dari studi-studi deskriptif yang dirancang secara baik (well- studi komparatif, studi korelasi, kasus kontrol designed studies) seperti (epidemiologi) Bukti yang diperoleh dari laporan ahli, pendapat ahli atau pengalaman klinik ahli ternama Makalah Utama MU.4 Perbedaan Obat Tradisional Indonesia dengan Obat Modern Berbeda dengan obat modern yang mengandung satu atau beberapa zat aktif yang jelas identitas dan jumlahnya, obat tradisional/jamu mengandung banyak kandungan kimia dan umumnya tidak diketahui atau tidak dapat dipastikan zat aktif yang berperan dalam menimbulkan efek terapi atau menimbulkan efek samping. Selain itu kandungan kimia jamu ditentukan oleh banyak faktor. Hal itu disebabkan tanaman merupakan organisme hidup sehingga letak geografis/tempat tumbuh tanaman, iklim, cara pembudidayaan, cara dan waktu panen, cara perlakuan pasca panen (pengeringan, penyimpanan) dapat mem - pengaruhi kandungan kimia obat herbal. Simposium Penelitian Bahan Obat Alami XV Solo, 9-10 November 2011 13

Kandungan kimia tanaman obat ditentukan tidak saja oleh jenis (spesies) tanaman obat, tetapi juga oleh anak jenis dan varietasnya. Pada tanaman obat, kandungan kimia yang memiliki kerja terapeutik termasuk pada golongan metabolit sekunder. Umumnya metabolit sekunder pada tanaman bermanfaat sebagai mekanisme pertahanan terhadap berbagai predator seperti serangga dan mikroorganisme dan hanya dihasilkan oleh tanaman tertentu termasuk tanaman obat. Kandungan aktif tanaman obat antara lain berupa alkaloid, flavonoid, minyak esensial, glikosida, tanin, saponin, resin, dan terpen. Lemak, protein, karbohidrat merupakan metabolit primer yang dihasilkan oleh semua jenis tanaman Uji Klinik Obat Tradisional Untuk dapat menjadi fitofarmaka maka obat tradisional/obat herbal harus dibuktikan khasiat dan keamanannya melalui uji klinik. Seperti halnya dengan obat modern maka uji klinik berpembanding dengan alokasi acak dan tersamar ganda ( randomized double-blind controlled clinical trial) merupakan desain uji klinik baku emas ( gold standard). Uji klinik pada manusia hanya dapat dilakukan apabila obat tradisional/obat herbal tersebut telah terbukti aman dan berkhasiat pada uji preklinik. Pada uji klinik obat tradisional seperti halnya dengan uji klinik obat modern, maka prinsip etik uji klinik harus dipenuhi. Sukarelawan harus mendapat keterangan yang jelas mengenai penelitian dan memberikan informed-consent sebelum penelitian dilakukan. Standardisasi sediaan merupakan hal yang penting untuk dapat menimbulkan efek yang terulangkan ( reproducible). Uji klinik dibagi empat fase yaitu: Fase I Fase II awal Fase II akhir Fase III Fase IV Dilakukan pada sukarelawan sehat, untuk menguji keamanan dan tolerabilitas obat tradisional Dilakukan pada pasien dalam jumlah terbatas, tanpa pembanding Dilakukan pada pasien jumlah terbatas, dengan pembanding Uji klinik definitif Pasca pemasaran,untuk mengamati efek samping yang jarang atau yang lambat timbulnya Pada dasarnya uji klinik, harus mengikuti kaidah yang tertuang dalam Pedoman Cara Uji Klinik yang Baik (Badan POM, 2000). Saat ini belum banyak uji klinik obat tradisional yang dilakukan di Indonesia meskipun nampaknyaa cenderung meningkat dalam lima tahun belakangan ini. Kurangnya uji klinik yang dilakukan terhadap obat tradisional antara lain karena: 14

1. Besarnya biaya yang dibutuhkan untuk melakukan uji klinik 2. Uji klinik hanya dapat dilakukan bila obat tradisional telah terbukti berkhasiat dan aman pada uji preklinik 3. Perlunya standardisasi bahan yang diuji 4. Sulitnya menentukan dosis yang tepat karena penentuan dosis berdasarkan dosis empiris, selain itu kandungan kimia tanaman tergantung pada banyak faktor 5. Kekhawatiran produsen akan hasil yang negatif terutama bagi produk yang telah laku di pasaran Prosedur penelitian obat herbal seyogyanya sama dengan obat konvensional, mengacu pada uji klinis terstandar. Obat herbal atau jamu yang melewati tahapan uji klinis standar disebut fitofarmaka. Namun untuk obat herbal seperti jamu sulit dilakukan uji klinis terstandar sebab senyawa aktif jamu yang diklaim berkhasiat terhadap penyakit tertentu belum diketahui jenis dan kadarnya. Jamu tidak bisa dilakukan uji klinik terstandar, karena kandungannya beragam. Memahami kenyataan sifat fisik dan kimia TO/OT, maka Uji klinik fase I, untuk uji farmakokinetik, tidak dapat diterapkan. Berdasarkan data efikasi dan keamanan studi praklinik sebenarnya dapat langsung menuju fase II, namun kesiapan formulasi dana posologi seringkali menjadi kendala pula. Badan POM mengeluarkan Pedoman Penelitian Obat Bahan Alam, termasuk ketentuan uji klinik yang harus dipenuhi oleh industri OT yang akan memproduksi dan mengedarkan produk OT di pasar Indonesia. Sementara itu, sebenarnya diperlukan pedoman studi untuk konfirmasi kemanfaatan dan keamanan ramuan TO/OT yang sudah dikenal masyarakat. Observasi Klinik Jamu Latar Belakang Makalah Utama MU.4 Kementerian Kesehatan melalui Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan mengakui keberadaan pengobatan tradisional dan obat tradisional sebagai bagian yang tidak dapat diabaikan dalam pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan tradisional adalah pengobatan dan/atau perawatan dengan cara dan obat yang mengacu pada pengalaman dan keterampilan turun temurun secara empiris yang dapat dipertanggungjawabkan dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Data Riskesdas 2010 menunjukkan secara nasional 59% penduduk Indonesia menyatakan minum jamu, dan 94% masyarakat yang pernah minum jamu menyatakan bahwa minum jamu memberikan manfaat bagi tubuh. Simposium Penelitian Bahan Obat Alami XV Solo, 9-10 November 2011 15

Penyelenggaraan pengobat tradisional diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan No. 1076/Menkes/SK/VII/2003. Selain itu, Kementerian Kesehatan juga mengatur penyeleng- garaan pengobatan komplementer alternatif di fasilitas pelayanan kesehatan dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1109/ /Menkes/Per/IX/2007. Tenaga pengobatan komplementer alternatif terdiri dari dokter, dokter gigi, dan tenaga kesehatan lainnya yang memiliki pendidikan terstruktur dalam bidang pengobatan komplementer alternatif, termasuk pengobatan dengan jamu. Praktek pemanfaatan jamu/obat tradisional untuk pengobatan, meskipun masih terbatas, sudah dilakukan sebagai pelayanan komplementer oleh dokter di beberapa klinik/rs pemerintah dan swasta, bahkan pemanfaatan jamu juga dilakukan oleh pengobat tradisional dari luar negeri. Namun di pihak lain, selama ini dokter enggan/belum memanfaatkan jamu di pelayanan kesehatan formal karena mereka berpegang pada terapi yang telah mempunyai bukti dan landasan ilmiah (evidence-based). Kemenkes menyusun grand strategy pengembangan obat herbal. Isinya antara lain penyusunan kebijakan nasional dan kerangka regulasi dalam mengintegrasikan obat tradisional dengan pelayanan kesehatan formal, meningkatkan keamanan, mutu, dan efikasi obat herbal. Untuk memperoleh data-data ilmiah tersebut, Menkes melakukan program Saintifikasi Jamu. Sebagai dasar hukum telah diterbitkan Permenkes No. 003/2010 tentang Saintifikasi Jamu, yang di dalamnya mengatur tentang perlunya pembuktian ilmiah obat tradisional melalui penelitian berbasis pelayanan ( dual system), serta pemanfaatan obat tradisional untuk tujuan promotif dan preventif (pemeliharaan kesehatan dan kebugaran), kuratif (mengobati penyakit), dan paliatif (meningkatkan kualitas hidup). Tujuan Observasi Klinik Jamu Berbeda dengan uji klniik TO/OT standar yang berdasar pada kajian ilmiah literatur, metode dalam studi ini berbasis pada pengalaman empirik masyarakat yang dikonfirmasi dengan studi epidemiologi yang komprehensif. Studi epidemiologi dimulai dari eksplorasi terhadap praktek penggunaan jamu di masyarakat, dilanjutkan dengan observasi terhadap praktek ramuan jamu yang menjanjikan. Hasil eksplorasi dan observasi mendapatkan jenis ramuan TO/OT untuk keadaan sakit tertentu. Pada ramuan TO/OT yang menjanjikan tersebut, dilakukan standarisasi secar farmasi untuk mendapatkan keseragaman sediaan jika akan dilakukan observasi lebih lanjut. Jika kondisi masyarakat memungkinkan, observasi dapat diperdalam dan menerapkan kaidah uji klinik khususnya dalam penentuan indikasi penyakit tertentu, seleksi subyek (kriteria inklusi dan eksklusi ), parameter outcome. Observasi ini disebut observasi klinik jamu karena menerapkan kaidah-kaidah uji klinik dan menggunakan bahan uji yang terstandar yang disiapkan secara terstandar pula. Observasi klinik jamu pada dasarnya pelaksanaan assessment untuk konfirmasi terhadap manfaat dan keamanan ramuan jamu, pencarian/penetapan dosis optimal penggunaan ramuan TO/OT ( dose ranging study). Outcome kegiatan observasi klinik jamu ini baik sebagai alternatif maupun 16

komplemen adalah efikasi dan keamanan ramuan TO/OT pada dosis tertentu, dengan cara penyiapan tertentu dengan subyek subyek minimal yang dapat diterima secara statistik. Tata Laksana Observasi Klinik Pelaksanaan observasi klinik jamu memiliki peranan untuk: 1. Assesment terhadap kemanfaatan suatu pengobatan tradisional yang sudah dipraktekkan untuk indikasi penyakit tertentu, misalnya hipertensi, diabetes, asam urat 2. Assement keamanan dari suatuu pengobatan tradisional yang telah dipraktekan di masyarakat. Hal ini diperlukan untuk dikembangkannya suatu sistem monitoring keamanan penggunaan obat dan pengobatan tradisional 3. Assement ilmiah pada praktek pengobatan tradisional Tata laksana observasi klinik tetap mengikuti alur kaidah penelitian secara ilmiah yang mencantumkan: Latar belakang harus menerangkan alasan utama dilakukan study ini, pemilihan indikasi dan manfaat yang akan diperoleh, Tujuan harus dijelaskan secara umum maupun secara khusus untuk mendapatkan informasi manfaat, keamanan atau keduanya, Desain observasi yang digunakan dapat berupa kasus kontrol, tersamar atau terbuka, Penetapan subjek penelitian dan indikasi penyakit yang diteliti: Dimulai dengan menentukan kriteria untuk membatasi karakteristik populasi terjangkau yang memenuhi persyaratan. Penetapan subjek penelitian membutuhkan kriteri inklusi dan eksklusi secara jelas dan logis mengapa subjek yang tidak memenuhi kriteria inklusi tidak dapat masuk sebagai subjek. Penetapan indikasi ditentukan: berdasarkan pengakuan pengobat, masyarakat yang memanfaatkan pengobat tradisional kemudahan dalam pengukuran klinik secara objektif Selanjutnya dicatat juga karakteristik subjek, demografi, periode waktu, cara, alat, dan metode yang digunakan. Jumlah sampel, pada observasi awal diperlukan jumlah pasien cukup besar, kira- sulit didapat makan waktu sangat lama. Jika kira 100 orang. Jumlah ini sangat sudah menunjukkan kemanfaatan berarti dapat digunakan desain uji klinik skala kecil dengan kriteria yang lebih ketat. Pengukuran variabel, dilakukan sesuai dengan parameter yang telah ditetapkan. Instrumen yang digunakkan merupakan modifikasi dari case report form yang digunakan dalam uji klinik. Analisis data menggunakan statistik yang sesuai. Makalah Utama MU.4 Simposium Penelitian Bahan Obat Alami XV Solo, 9-10 November 2011 17

Penutup Obat tradisional memiliki peran yang strategis dalam mendukung upaya pelayanan kesehatan masyarakat. Penggunaan obat tradisional merupakan bagian dari upaya peningkatan pemanfaatan sumber daya lokal untuk kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Maka sudah selayaknya perlu dilakukan suatu langkah terobosan dalam pembuktian khasiat dan keamanannya agar bisa benar-benar dimanfaatkan dalam pelayanan kesehatan. Persyaratan pembuktian khasiat dan keamanan obat tradisional yaitu melalui uji klinik layaknya obat modern dirasakan terlalu membatasi upaya pengembangan OT dalam sistem pelayanan kesehatan. Untuk itu maka perlu dilakukan langkah terobosan dengan mengembangkan suatu pedoman atau metodee pengujian atas khasiat dan keamanannya agar benar-benar dapat dimanfaatkan dalam pelayanan kesehatan. Studi observasi klinik ini dapat digunakan untuk melakukan suatu upaya memberikan dukungan ilmiah atas khasiat dan keamanan obat tradisional guna dimanfaatkan dalam pelayanan kesehatan masyarakat ataupun jika akan dikembangkan sebagai produk komersial. Daftar Pustaka UU Kesehatan RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063) WHO, 2000. General guideliens for methodologies on research and evaluation of traditional medicine Direktorat Pengawasan Obat Tradisional, 2000. Pedoman Pelaksanaan Uji Klinik Obat Tradisional, Direktrorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta Badan POM RI, 2001. Pedoman Cara Uji Klinik yang Baik di Indonesia, Jakarta Moeloek FA, 2006. Herbal and traditional medicine: National perspectives and policies in Indonesia. Jurnal Bahan Alam Indonesia, 5(1): 293-97 Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 003/Menkes/Per 2010 tentang Saintifikasi Jamu dalam Pelayanan Kesehatan, 2010. Kementerian Kesehatan RI, Jakarta Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1076/Menkes/SK/VII/2003 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional, 2003. Departemen Kesehatan, Jakarta Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1109/Menkes/Per/IX/2007 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Komplementer dan Alternatif, 2007. Departemen Kesehatan, Jakarta 18