KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG- UNDANG TENTANG PERKAWINAN 1

dokumen-dokumen yang mirip
PENGGUNAAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA. Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2. Abstrak

REORIENTASI KEBIJAKAN FORMULASI SANKSI PIDANA PENJARA TERHADAP PEREMPUAN PELAKU TINDAK PIDANA DALAM RANCANGAN KUHP (RKUHP)

kejahatan ekonomi di bidang perbankan dalam hukum pidana yang akan datang.

BAB I PENDAHULUAN. resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan

BAB I PENDAHULUAN. langsung merugikan keuangan Negara dan mengganggu terciptanya. awalnya muncul Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

BAB I. Hakim sebagai salah satu penegak hukum bertugas memutus perkara yang. diajukan ke Pengadilan. Dalam menjatuhkan pidana hakim berpedoman pada

BAB II PIDANA PENJARA MENURUT KUHP DAN KONSEP KUHP BARU. pencabutan kemerdekaan khususnya pidana penjara. Pidana pencabutan

BAB I PENDAHULUAN. Pidana yang berupa pembayaran sejumlah uang dinamakan pidana denda. Kedua

I.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana,

Kebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36

UPAYA PENEGAKAN HUKUM NARKOTIKA DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

I.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana,

II. TINJAUAN PUSTAKA

PERKARA PIDANA DI PENGADILAN AGAMA. Oleh: Ahsan Dawi Mansur. Bagi sebagian orang judul di atas terasa aneh, atau bahkan

PENGATURAN DELIK KESUSILAAN DALAM KUHP DAN RUU KUHP

PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEJAHATAN EKONOMI DI BIDANG PERBANKAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

Bahan Diskusi Sessi Kedua Implementasi Konvensi Hak Sipil Politik dalam Hukum Nasional

PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI DALAM KUHP SEBAGAI UPAYA KESELARASAN SISTEM PEMIDANAAN ATURAN HUKUM DENGAN UNDANG UNDANG KHUSUS DI LUAR KUHP

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup)

POLITIK HUKUM PIDANA DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

RELEVANSI PIDANA KERJA SOSIAL DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA

I. PENDAHULUAN. dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Pemidanaan

I. PENDAHULUAN. karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kebijaksanaan ( policy) merupakan kata istilah yang digunakan sehari-hari, tetapi karena

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal

I. PENDAHULUAN. dari masyarakat yang masih berbudaya primitif sampai dengan masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan.

BAB IV PENUTUP. diajukan dalam tesis dapat disimpulkan sebagai berikut :

PERKEMBANGAN PIDANA DENDA DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA

PENDEKATAN NON-PENAL DALAM UPAYA MENCEGAH TERJADINYA TINDAK PIDANA ANTARA KEPALA DESA DAN BPD. Oleh: M. Arief Amrullah 1

POLITIK HUKUM PEMERINTAH DALAM PENYUSUNAN RUU KUHP. Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H.,M.Hum. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum.

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

KEBIJAKAN FORMULASI PIDANA MATI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA. Abstrak

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

DISPARITAS PIDANA DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PENCURIAN BIASA DI PENGADILAN NEGERI KOTA SEMARANG

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

BAB II PENGATURAN SANKSI PIDANA DALAM PERATURAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. dihukum 5 (lima) tahun penjara. Pembandingnya adalah para koruptor di republik

RANCANGAN. : Ruang Rapat Komisi III DPR RI : Pembahasan DIM RUU tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). KESIMPULAN/KEPUTUSAN

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI DISPARITAS PUTUSAN PENGADILAN. lembaga yang berwenang kepada orang atau badan hukum yang telah

KEBIJAKAN FORMULASI ASAS SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIEL DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

I. PENDAHULUAN. terhadap tindak pidana pencurian, khususnya pencurian dalam keluarga diatur didalam

I. PENDAHULUAN. mengisi kemerdekaan dengan berpedoman pada tujuan bangsa yakni menciptakan

BAB V PENUTUP. pembahasan, maka telah didapat pokok-pokok kesimpulan dalam penulisan

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

hukum terhadap tindak pidana pencurian, khususnya pencurian dalam keluarga diatur

PIDANA PENGAWASAN DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA. Oleh : I Made Ardian Prima Putra Marwanto

Catatan Koalisi Perempuan Indonesia terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Jalan, Bagian Jalan, & Pengelompokan Jalan

adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang

KEBIJAKAN PENERAPAN SANKSI PIDANA DALAM PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI TENTANG PAJAK DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sorotan masyarakat karena diproses secara hukum dengan menggunakan

Kebijakan Hukum Pidana Perlindungan Korban Perkawinan Terhadap. Kasus : Perkawinan Pujiono Cahyo Widianto. Dengan Lutviana Ulfah)

SUATU TINJAUAN TENTANG PIDANA DENDA DALAM HUKUM PIDANA POSITIF INDONESIA DAN RANCANGAN KUHP. Oleh : Ferdricka Nggeboe

PEMIDANAAN SERTA POLITIK HUKUM PIDANA DALAM KUHP/RKUHP DAN PERBANDINGAN DENGAN ISLAM

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan

Pasal 48 yang berbunyi :

Kata kunci : Kebijakan Hukum Pidana, perlindungan, korban perkosaan

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

Lex Privatum, Vol. IV/No. 7/Ags/2016

BAB III ZINA LAJANG DALAM PERSPEKTIF RKUHP (RKUHP) Tahun 2012 Bagian Keempat tentang Zina dan Perbuatan

BAB I PENDAHULUAN. supremasi hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) berlandaskan keadilan dan. kebenaran adalah mengembangkan budaya hukum di semua lapisan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Penahanan dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 21 KUHAP yang

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, tetapi dapat juga

I. PENDAHULUAN. seseorang (pihak lain) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

I. PENDAHULUAN. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sekarang diberlakukan di

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

BAB I PENDAHULUAN. perzinaan dengan orang lain diluar perkawinan mereka. Pada dasarnya

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak merupakan aset dan sebagai bagian dari generasi bangsa. Anak

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional,

I. PENDAHULUAN. dan lembaga penegak hukum. Dalam hal ini pengembangan pendekatan terhadap

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI TRANSAKSI TUNAI DAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG. UU Nomor 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang,

PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN DAN PENGEDARAN UANG PALSU SKRIPSI

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

PROSPEK PIDANA KERJA SOSIAL DI INDONESIA

I. PENDAHULUAN. Manusia didalam pergaulan sehari-hari tidak dapat terlepas dari interaksi dengan

KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA DALAM RANGKA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PENCABULAN DENGAN PELAKU ANAK

PEMBERLAKUAN ASAS RETROAKTIF DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

PEMBERLAKUAN ASAS RETROAKTIF DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini

BAB I PENDAHULUAN. pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran larangan 1. Masalah pertama

BAB II PENGATURAN TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM PECANDU NARKOTIKA. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan

Transkripsi:

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG- UNDANG TENTANG PERKAWINAN 1 Oleh: Dr. M. Arief Amrullah, S.H., M.Hum. 2 A. PENDAHULUAN Undang-undang tentang Perkawinan sebagaimana diatur dalam Undangundang Nomor: 1 Tahun 1974 (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor: 1), sebenarnya termasuk dalam kelompok peraturan-peraturan hukum administratif. Pada umumnya, yang sering ditulis dalam beberapa literatur adalah peraturanperaturan hukum administratif yang bersanksi pidana (hukum pidana administrasi), seperti misalnya antara lain: Undang-undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal; Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana dirubah dengan Undang-undang Nomor: 10 Tahun 1998. Namun, kali ini yang semula dalam Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 tidak diatur mengenai ketentuan pidananya, ternyata dalam perkembangannya sudah dirasa perlu atau penting untuk mencantumkan ketentuan pidana dalam Undang-undang tentang Perkawinan yang akan datang. Hal itu ditunjukan sehubungan dengan adanya Rancangan Undangundang tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974, yaitu sebagaimana yang diusulkan oleh Badan Legislasi DPR-RI. Kebijakan yang hendak memasukan ketentuan pidana ke dalam Undangundang tentang Perkawinan yang akan datang, pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari kecenderungan kebijakan legislatif yang selalu mencantukan ketentuan pidana dalam hukum administrasi. Hukum administrasi pada dasarnya merupakan hukum mengatur atau hukum pengaturan, yaitu hukum yang dibuat dalam melaksanakan kekuasaan mengatur atau kekuasaan pengaturan, sehingga penggunaan istilah hukum pidana administrasi sering pula disebut dengan hukum 1 Disampaikan sebagai bahan masukan atas Rancangan Perubahan Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 yang diusulkan oleh Badan Legislasi DPR-RI, tanggal 17 Desember 2002 di Universitas Jember. 2 Ketua Jurusan/bagian Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Jember. 1

pidana mengenai pengaturan atau hukum pidana dari aturan-aturan. Dengan demikian, hukum pidana administrasi itu merupakan perwujudan dari kebijakan menggunakan hukum pidana sebagai sarana untuk menegakkan atau melaksanakan norma yang ada dalam hukum administrasi tersebut. 3 Sehubungan dengan telah adanya Rancangan Undang-undang tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 tersebut, maka yang menjadi pertanyaan: apakah relevan memfungsikan hukum pidana sebagai sarana untuk menegakkan norma dalam Undang-undang tentang Perkawinan yang akan datang. Pertanyaan ini mengemuka, karena apabila dikaitkan dengan hukum administrasi yang bersanksi pidana, seperti Undang-undang tentang Pasar Modal, Undangundang tentang Perlindungan Konsumen, Undang-undang tentang Perbankan, Undang-undang tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dan masih banyak lagi. Kesemuanya lebih banyak mengatur mengenai kegiatan di bidang ekonomi. Sedangkan yang menyangkut perkawinan, apakah tidak sebaiknya cukup jika diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Karena, di dalam Rancangan Undang-undang (RUU) tentang KUHP 1999-2000 telah diatur mengenai hal tersebut dalam Bab XIV tentang Tindak Pidana terhadap Asal-usul dan Perkawinan (Pasal 406 sampai dengan Pasal 410), dan Bab XXIX tentang Tindak Pidana Jabatan (Pasal 576, Pasal 577, Pasal 580). B. KEBIJAKAN HUKUM PIDANA Masalah penggunaan hukum pidana atau sanksi pidana dalam Undangundang tentang Perkawinan, pada dasarnya merupakan bagian dari kebijakan hukum pidana. Dikaitkan dengan diskusi ini, Barda Nawawi Arief mempertanyakan: 4 apakah penggunaan hukum pidana dalam bidang administrasi di Indonesia dapat disamakan dengan administratif penal law. 3 Barda Nawawi Arief, Penggunaan Sanksi Pidana Dalam Hukum Administrasi, Makalah yang disampaikan pada Penataran Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi, Diselenggarakan oleh ASPEHUPIKI bekersama dengan Fakultas Hukum Universitas Surabaya, Hotel Surya Prigen Pasuruan, Tanggal 13 19 Januari 2002, hal.. 2-3. 4 Ibid., hal. 3-4. 2

Sehubungan dengan permasalahan tersebut, Andi Hamzah pernah menulis 5 bahwa di Indonesia perkembangan perundang-undangan pidana di luar KUHP berbeda dengan Belanda. Di Belanda, pada umumnya perundang-undangan pidana di luar KUHP itu dibagi dua, yaitu perundang-undangan pidana dan perundangundangan administrasi yang bersanksi pidana. Menurut Andi Hamzah perundangundangan administrasi yang bersanksi pidana itu, biasanya berupa delik pelanggaran saja. Di Indonesia lanjut Andi Hamzah menjadi lain, karena ada perundang-undangan administrasi yang sanksinya sampai pidana mati. Contoh yang dikemukakan, adalah seperti Undang-undang tentang Tenaga Atom (Undangundang Nomor: 31 Tahun 1964). Dengan demikian, apabila dibandingan dengan Belanda, di Indonesia dalam mengimplementasikan kebijakan hukum pidana (penal policy) di bidang hukum administrasi dapat dikatakan tidak ada perbedaan dengan perundang-undangan pidana. Bahkan sekarang ada kecenderungan untuk mencantumkan ketentuan ancaman pidana yang tinggi, baik pidana penjara maupun denda. Jadi, lebih berorientasi kepada potential victim daripada actual victim. Atau dengan kata lain lebih ditujukan kepada perlindungan masyarakat dan pelaku daripada ditujukan kepada perlindungan korban nyata atau direct victim. Untuk ke depan, maka sehubungan dengan akan dilakukannya rencana perubahan atas Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Badan Legislasi DPR-RI telah mencantumkan ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 9, Pasal 16, dan Pasal 20, yang sebelumnya tidak ada ketentuan seperti itu. Kebijakan demikian, adalah sebagai upaya untuk mendukung norma yang ada dalam Undang-undang tentang Perkawinan. Dengan adanya kebijakan legislatif tersebut menunjukkan, seolah tanpa dukungan hukum pidana dalam hukum administrasi, termasuk Undang-undang tentang Perkawinan, dirasakan belum kuat untuk menegakkan undang-undang dimaksud. Padahal, apabila memperhatikan ketentuan pidana yang diatur dalam 5 Andi Hamzah, Hukum Pidana Khusus (Economic Crime), Bahan Penataran Nasional: Hukum Pidana dan Kriminologi, Hotel Gracia, Semarang, 23-30 Nopember 1998, hal. 1. 3

Pasal 407 misalnya, pada intinya mengancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Kategori IV (Rp 7.500.000,--) bagi setiap orang yang melangsungkan perkawinan, sedang perkawinannya yang ada menjadi penghalang yang sah untuk melangsungkan perkawinan tersebut, atau perkawinan dari pihak lain menjadi penghalang yang sah untuk dilangsungkannya perkawinan tersebut. Penjelasan Pasal 407 ini menyebutkan: yang dimaksud dengan perkawinan yang ada menjadi penghalang yang sah adalah perkawinan yang dapat digunakan sebagai alasan untuk mencegah atau membatalkan perkawinan berikutnya yang dilakukan oleh salah satu pihak yang terikat oleh perkawinan tersebut sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kemudian, Pasal 576 menentukan: (1) setiap orang yang berwenang mengawinkan orang menurut hukum yang berlaku bagi kedua belah pihak, melangsungkan perkawinan seseorang, padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang sudah ada pada waktu itu menjadi halangan yang sah baginya untuk kawin lagi, dipidana dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun; (2) setiap orang yang berwenang mengawinkan orang menurut hukum yang berlaku bagi kedua belah pihak, melangsungkan perkawinan seseorang, padahal mengetahui bahwa perkawinan tersebut ada halangan yang sah selain halangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak kategori III (Rp 3.000.000,--). Apabila memperhatikan ketentuan pidana yang dirumuskan dalam pasal-pasal di atas, nampaknya para konseptor RUU tidak menganut pola minimal-maksimal. Namun, jika menyimak bunyi dari Penjelasan Umum Buku I RUU tentang KUHP 1999-2000, dapatlah diketahui bahwa RUU menganut pola minimal-maksimal. Hal ini telah ditegaskan dalam Penjelasan Umum tersebut bahwa: Dalam Kitab Undangundang Hukum Pidana ini dianut sistem pemidanaan baru yang berupa ancaman pidana khusus. Pengaturan sistem pemidanaan yang baru ini dilakukan berdasarkan pokok pikiran : guna menghindari adanya disparitas pidana yang sangat mencolok untuk tindak pidana yang secara hakiki tidak berbeda kualitasnya; 4

untuk lebih mengefektifkan pengaruh prevensi umum, khususnya bagi tindak pidana yang dipandang membahayakan dan meresahkan masyarakat; apabila dalam hal-hal tertentu maksimum pidana dapat diperberat, maka sebagai analog dipertimbangkan pula bahwa untuk minimum pidana pun dalam hal-hal tertentu dapat diperberat. Oleh karena tindak pidana yang berkaitan dengan perkawinan telah diatur dalam RUU tentang KUHP 1999-2000, maka sebagaimana telah dikemukakan di atas: relevankah jika dalam Undang-undang tentang Perkawinan yang akan datang mengatur sendiri ketentuan pidananya? Sehubungan dengan hal itu, maka perlu mempertimbangkan persyaratanpersyaratan tertentu, antara lain sebagai berikut : 6 1. Keharusan adanya academic draft yang secara komprehensif dapat meyakinkan pengundang-undang tentang betapa pentingnya proses tersebut atas dasar kebutuhan hukum yang berkaitan dengan substansinya. Untuk itu, perlu didengar tidak hanya suprastruktur dan infrastruktur masyarakat serta pakar, tetapi juga perbandingan hukum dengan negara lain dalam rangka harmonisasi hukum. 2. Adanya kerugian atau korban, baik aktual maupun potensial yang signifikan dari perbuatan tersebut. Ketentuan hukum pidana harus dapat dioperasionalkan dan adanya keyakinan, bahwa tidak ada sarana lain yang dapat mengatasinya. 3. Perlu menghindari adanya kondisi kriminalisasi yang berlebihan atau inflasi pengaturan yang mengakibatkan turunnya nilai hukum pidana di mata masyarakat, sehingga bersifat counter productive. Berdasarkan persyaratan-persyaratan tersebut, dan dikaitkan dengan Undangundang Nomor: 1 Tahun 1974, yang merupakan perundang-undangan administrasi yang rencananya akan dikawal dengan sanksi pidana, maka penggunaan hukum pidana dalam Undang-undang tentang Perkawinan, tentu perlu disertai dengan pertimbangan yang rasional (jangan emosional yang didasarkan atas kenyataan bahwa dalam setiap perundang-undangan administrasi selalu ada ketentuan pidananya). Karena, sebagaimana yang pernah dikemukakan oleh Mardjono 6 Muladi, Prospek Pengaturan Cyber Crime di Indonesia, Disampaikan dalam Seminar Nasional mengenai: Money Laundering dan Cyber Crime dalam Perspektif Penegakan Hukum di Indonesia, Diselenggarakan oleh Laboratorium Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Surabaya, 24 Februari 2001, hal. 1. 5

Reksodiputro bahwa pendekatan penal belum tentu harus dengan penjatuhan pidana, tapi dapat juga dilakukan dengan cara lain yang lebih bermanfaat, seperti melalui jalur Alternative Dispute Resolution (ADR). 7 Namun demikian, sehubungan dengan penyebutan ADR tersebut, maka perlu dikemukakan apa yang pernah ditulis oleh Mas Achmad Santosa 8 bahwa di Amerika Serikat sebagai negara tempat pertama kali dibangunnya ADR, dalam perkembangannya, telah merubah konsep dari ADR menjadi DR, sehingga kata alternative dihilangkan. Alasan penanggalan kata alternative itu, karena dengan ADR seolah dalam penyelesaian sengketa secara konsensual hanya dapat dilakukan di luar pengadilan. Padahal, kebutuhan pengembangan penyelesaian sengketa secara konsensual saat ini, juga diperlukan di dalam pengadilan. Alasan berikutnya, lanjut Mas Achmad Santosa : Penggantian istilah ADR menjadi DR, didasarkan atas pertimbangan psikologis, yaitu dalam upaya untuk mendapatkan dukungan dari kalangan pengadilan (bukan sebaliknya menentang pengadilan). Sebab, dengan istilah ADR terkesan, bahwa ADR merupakan jawaban atas kegagalan pengadilan dalam memberikan akses masyarakat pada keadilan, sehingga pemasyarakatan istilah ADR mengundang rasa tidak aman dan kecemburuan bagi insan pengadilan, sehingga penggunaan istilah ADR dianggap tidak taktis bagi upaya pemasyarakatan dan pencarian dukungan dari berbagai kalangan. Sebagai bahan perbandingan dan alternatif pilihan paradigma, maka dalam kaitan ini perlu dikemukakan sehubungan dengan adanya dua kelompok dalam kriminologi yang berbeda pendapat dalam memandang penyelesian masalah melalui jalur hukum pidana, yaitu kelompok abolisionis dan kelompok reformis. Menurut kelompok abolisionis peradilan pidana dalam prakteknya hanya memaksa putusannya, atas dasar interpretasi norma dan nilai yang dihasilkan dari konsensus. Padahal, tidak ada organisasi yang mampu mendefinisikan mana yang benar dan mana yang salah, dan hanya mereka yang berselisihlah yang dapat menentukan secara tepat bagi diri mereka. Caranya, dengan melakukan civilization peradilan 7 M. Arief Amrullah, Politik Hukum Pidana Dalam Rangka Perlindungan Korban Kejahatan Ekonomi di bidang Perbankan, Disertasi, Pada Program Pascasarjana Universitas Airlangga, 04 Juli 2002, hal. 263. 8 Mas Achmad Santosa, Perkembangan Pelembagaan ADR di Indonesia, Materi Pelatihan tentang Pilihan Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution/ADR) di Bidang Lingkungan, Kerjasama PPLH Lemlit UNDIP, ICEL, Asia Foundation dan Depkeh, Semarang, 10-13 April 1999, hal. 1-2. 6

pidana, yakni sedapat mungkin menggunakan pendekatan hukum perdata sebagai sarana penyelesaian konflik. Itu sebabnya menurut mereka, penyelesaian melalui sarana hukum pidana tidak dapat mengatasi kriminalitas. Untuk itu, maka keseluruhan sistem represif perlu diganti dengan sarana non-represif. Sedangkan menurut kelompok reformis, sistem represif itu masih bisa dipertahankan, tetapi perlu dengan penyempurnaan gunanya untuk mengurangi kelemahan-kelemahannya. 9 Kaitannya dengan upaya membangun hukum pidana yang prospektif, termasuk dalam bidang perkawinan, maka menurut hemat penulis kita sulit untuk menerima argumen dari pandangan kaum abolisionis. Dalam konteks ini, penulis sependapat dengan pandangan kaum reformis bahwa sebenarnya pendekatan dengan menggunakan sarana hukum pidana tidak dapat ditinggalkan begitu saja, akan tetapi perlu melakukan evaluasi atau meninjau kembali atas kekurangankekurangannya dan kemudian memperbaikinya. Dengan cara begitu, apabila dikaitkan dengan kebijakan hukum pidana, pada dasarnya merupakan langkah yang bijak untuk menyeimbangkan antara pendekatan melalui jalur hukum pidana dengan jalur non-hukum pidana dalam menyelesaikan suatu permasalahan hukum atau dalam menyelesaikan kasus-kasus pidana, termasuk dalam masalah perkawinan. Dalam hukum pidana yang akan datang, yaitu sebagaimana tercermin dalam Penjelasan Pasal 54 ayat (1) RUU tentang KUHP 1999-2000 yang memberi kemungkinan kepada hakim untuk tidak menjatuhkan pidana penjara, yaitu dengan syarat sebagai berikut : terdakwa melakukan tindak pidana yang hanya diancam dengan pidana penjara; hakim berpendapat tidak perlu menjatuhkan pidana penjara setelah mempertimbangkan : a. tujuan pemidanaan; b. pedoman pemidanaan; c. pedoman penjatuhan pidana penjara; kemungkinan yang diberikan kepada hakim untuk menjatuhkan pidana denda sebagai pengganti pidana penjara terhadap terdakwa yang melakukan tindak 9 Muladi, Grakan Abolisionis dalam Sistem Peradilan Pidana, Penataran Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi, Bandungan, Ambarawa, 14 30 Nopember 1994, hal. 3-5. 7

pidana yang hanya diancam dengan pidana penjara, dimaksudkan untuk mengatasi sifat kaku dari perumusan pidana yang bersifat tunggal yang seolaholah mengharuskan hakim untuk hanya menjatuhkan pidana penjara. Disamping itu, dimaksudkan pula untuk menghindari penjatuhan pidana penjara yang pendek. C. PENUTUP Untuk menegakkan norma hukum yang ada dalam Undang-undang tentang Perkawinan (yang akan datang), tidak selalu harus mencantumkan ketentuan pidana. Karena, dalam RUU tentang KUHP 1999-2000 kesemua itu telah diatur lebih lengkap dibanding dengan yang diusulkan oleh Badan Legislasi DPR-RI. Namun demikian, suatu hal yang perlu dipertimbangkan: adanya kondisi kriminalisasi yang berlebihan akan mengakibatkan turunnya nilai hukum pidana di mata masyarakat. Untuk itu, pendekatan penal belum tentu harus dengan penjatuhan pidana, tapi dapat juga dilakukan dengan cara lain yang lebih bermanfaat. Jadi, dilihat sesuai dengan konteksnya. Akan tetapi, jika Badan Legislasi DPR-RI tetap hendak mencantumkan ketentuan pidana dalam Undang-undang Perkawinan yang akan datang, maka perlu ada pengkajian yang mendalam, terutama kaitannya dengan RUU tentang KUHP 1999-2000. Hal itu perlu dilakukan, guna menghindari adanya ketentuan yang tumpang-tindih, sehingga akan menyulitkan dalam tahap pelaksanaannya. Untuk itu, seyogyanya RUU tentang KUHP sudah saatnya segera diundangkan. 8