WALIKOTA SINGKAWANG. PROVINSI KALIMANTAN BARAT.

dokumen-dokumen yang mirip
PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG

LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 1 TAHUN 2015

GUBERNUR BENGKULU PERATURAN DAERAH PROVINSI BENGKULU NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI SELATAN,

PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 35/Permentan/OT.140/7/2011 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK RUMINANSIA BETINA PRODUKTIF

PERATURAN MENTERI PERTANIAN Nomor : 35/permentan/OT.140/7/2011 PENGENDALIAN TERNAK RUMINANSIA BETINA PRODUKTIF

-1- QANUN ACEH NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PENGENDALIAN SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF

QANUN ACEH NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PENGENDALIAN SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 48/Permentan/OT.140/9/2011 TENTANG PEWILAYAHAN SUMBER BIBIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 2 TAHUN 2010

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2011 TENTANG SUMBER DAYA GENETIK HEWAN DAN PERBIBITAN TERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2011 TENTANG SUMBER DAYA GENETIK HEWAN DAN PERBIBITAN TERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 48/Permentan/OT.140/9/2011 TENTANG PEWILAYAHAN SUMBER BIBIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN,

PERATURAN DAERAH KOTA PEKANBARU NOMOR : 7 TAHUN 2003 TENTANG RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKANBARU,

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 117/Permentan/SR.120/10/2014 TENTANG PENETAPAN DAN PELEPASAN RUMPUN ATAU GALUR HEWAN

2 Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5015); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PEDOMAN PELAKSANAAN PENETAPAN RUMPUN ATAU GALUR TERNAK TAHUN 2015

PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 071 TAHUN 2013 TENTANG PENGELUARAN TERNAK DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 62 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENGELUARAN BIBIT SAPI BALI SENTRA TERNAK SOBANGAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PEDOMAN PELAKSANAAN OPTIMALISASI FUNGSI UNIT PEMBIBITAN DAERAH TAHUN 2015

WALIKOTA SINGKAWANG PROVINS! KALIMANTAN BARAT

BUPATI MALANG BUPATI MALANG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIKKA NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN TERNAK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIKKA,

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

2013, No.6 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan: 1. Pemberdayaan Peternak adalah segala upaya yang dila

PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 51/Permentan/OT.140/9/2011 TENTANG

2017, No Menteri Petanian tentang Penyediaan, Peredaran, dan Pengawasan Ayam Ras dan Telur Konsumsi; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 16 Tah

PERATURAN BUPATI KABUPATEN TANAH LAUT NOMOR 18 TAHUN 2014 TENTANG PEMOTONGAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANAH LAUT,

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 52/Permentan/OT.140/9/2011 TENTANG

- 1 - BUPATI BANYUWANGI PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 44 TAHUN 2011 TENTANG

WALIKOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG RUMAH POTONG UNGGAS

WALIKOTA SINGKAWANG PROVINS! KALIMANTAN BARAT

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PENGAWASAN LALU LINTAS TERNAK DAN PEREDARAN BAHAN ASAL HEWAN DI KABUPATEN BULUKUMBA

L E M B A R A N D A E R A H PERATURAN DAERAH KABUPATEN BALANGAN NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN TERNAK DAERAH

-3- BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48/Permentan/PK.210/10/2016

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2012, No.72 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Alat dan mesin peternakan dan kesehatan hewan yang

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG RETRIBUSI PEMERIKSAAN KESEHATAN DAN PEMOTONGAN HEWAN TERNAK

Edisi Agustus 2013 No.3520 Tahun XLIII. Badan Litbang Pertanian

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 54 TAHUN 2016 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2010 NOMOR 5

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 14 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PENYEBARAN DAN PENGEMBANGAN TERNAK PEMERINTAH DI KABUPATEN SITUBONDO

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEBUMEN,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

iei a. bahwa dalam rangka menunjang keberhasilan dibidang 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2074 tentang

WALIKOTA SINGKAWANG PERATURAN WALIKOTA SINGKAWANG NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG RETRIBUSI PEMERIKSAAN KESEHATAN DAN PEMOTONGAN HEWAN TERNAK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR SUMATERA BARAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI MUSI RAWAS PERATURAN BUPATI MUSI RAWAS NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG

PEMERINTAH KOTA KEDIRI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG SISTEM BUDIDAYA PERTANIAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG

BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 42 TAHUN 2011 TENTANG PENJABARAN TUGAS DAN FUNGSI DINAS PETERNAKAN KABUPATEN BLITAR BUPATI BLITAR,

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 63 TAHUN 2016 TENTANG

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI

PERATURAN WALIKOTA SURAKARTA NOMOR 19-P TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN URAIAN TUGAS JABATAN STRUKTURAL PADA DINAS PERTANIAN WALIKOTA SURAKARTA,

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG KETAHANAN PANGAN

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PELAYANAN PEMERIKSAAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEDOMAN PELAKSANAAN PENGELOLAAN DAN PENETAPAN RUMPUN ATAU GALUR TERNAK TAHUN 2014

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 2841/Kpts/LB.430/8/2012 TENTANG PENETAPAN RUMPUN SAPI PERANAKAN ONGOLE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 07/Permentan/OT.140/1/2008 TENTANG

PEMERINTAH KOTA PASURUAN SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA PASURUAN NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN

WALIKOTA MALANG PROVINSI JAWA TIMUR

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2018, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 56, Tamb

SALINAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 60 TAHUN 2011 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN KETAHANAN PANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA SINGKAWANG PROVINS! KALIMANTAN BARAT PERATURAN WALIKOTA SINGKAWANG NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG ANALISIS DAMPAK LALU LINTAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA KUPANG NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI RUMAH POTONG HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KUPANG,

PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN NOMOR 2389/Kpts/LB.430/8/2012 TENTANG PENETAPAN RUMPUN DOMBA SAPUDI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN,

GUBERNUR JAWA TENGAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG HORTIKULTURA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/Permentan/PK.230/12/2016 TENTANG PENYEDIAAN, PEREDARAN, DAN PENGAWASAN AYAM RAS

Transkripsi:

WALIKOTA SINGKAWANG. PROVINSI KALIMANTAN BARAT. PERATURAN WALIKOTA SINGKAWANG NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI BETINA PRODUKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SINGKAWANG, Menimbang a. bahwa temak sapi betina produktif merupakan sumber daya genetik untuk mengembangbiakan temak, maka harus dijaga kelestarian dan ketersediaannya; ". Men'gingat -:,,.1"- -u-.. ;...---; ~1;/ _;. b. bahwa dalam rangka mencukupi ketersediaan bibit temak sapi dan mencegah berkurangnya temak sapi betina produktif, perlu dilakukan pengendalian terhadap temak sapi betina produktif; / c.... -.. bahwa.!:,berdasarkan. pertimbangan sebagaimana dimaksud :~~t:llam ~ hurur a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Walikota tentang Pengendalian Ternak Sapi Betina Produktif; L Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Singkawang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4119); 2. Undang - Undang Norrior 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang - Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua, Atas Undang - Undang Nomor 32 Tahlin 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844) ; 3. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Noinor 5015);

4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2000 tentang Karantina Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 161, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4002); 6. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4 737); 7. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2011 tentang Sumber Daya Genetik Hewan dan Perbibitan Temak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5260); 8. Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2012 Nomor 214, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5356); < <. 9. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 35 / Permentan / OT.140 / 8 / 2006 tentang Pedoman Pelestarian dan Pemanfaatan Sumber Daya Genetik Temak ; 10. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 35 / Permentan / OT.140 / 9 / 7 / 2011 ten tang Pengendalian Temak Ruminansia Betina Produktif ; 11. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 48 / Permentan / OT.140 / 9 / 2011 tentang Perwilayahan Sumber Bibit; 12. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah ; 13. Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pembentukan dan Susunan Organisasi Perangkat Daerah di Lingkungan Pemerintah Kata Singkawang (Lembarari Daerah~ Kata Singkawang Tahun 2008 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Kata Singkawang Nomor 14); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN WALIKOTA TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI BETINA PRODUKTIF.

BABI KETENTUAN UMUM Pasal 1 ~alam Peraturan W alikota ini, yang dimaksud dengan : 1. Daerah adalah Kata Singkawang. 2. Pemerintah Daerah adalah Walikota dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah. 3. Walikota adalah Walikota Singkawang. 4. Dinas adalah Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Singkawang 5. Kepala Dinas adalah Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Singkawang. 6. Petugas berwenang adalah dokter hewan yang berwenang atau petugas lain yang ditunjuk oleh Kepala Dinas. 7. Pengendalian ternak sapi betina produktif adalah serangkaian kegiatan untuk mengelola penggunaan ternak sapi betina produktif melalui identifikasi status reproduksi, seleksi, penjaringan dan pembibitan. 8. Ternak adalah hewan peliharaan yang produknya diperuntukkan sebagai penghasil pangan, bahan baku industri, jasa dan/ atau ikutannya yang terkait dengan pertanian. 9. Ternak lokal adalah ternak hasil persilangan atau introduksi dari luar negeri yang telah dikembangbiakkan di Indonesia sampai generasi kelima atau lebih yang telah beradaptasi pada lingkungan dan/ atau manajemen setempat. 10. Rumpun ternak yang selanjutnya disebut rumpun adalah segolongan ternak dari suatu spesies yang mempunyai ciri - ciri fenotipe yang khas dan dapat diwariskan pada keturunannya. 11. Pemuliaan adalah rangkaian kegiatan untuk mengubah komposisi genetik pada sekelompok hewan dari suatu rumpun atau galur guna mencapai tujuan tertentu. 12. Pembudidayaan adalah rangkaian kegiatan pemeliharaan hewan agar dapat berkembang biak secara natural / alami. 13. Sumber daya genetik ternak sapi adalah substansi yang terdapat dalam individu suatu rumpun ternak sapi yang secara genetik, unik terbentuk dalam proses demestikasi dari masing - masing spesies, yang merupakan sumber sifat keturunan yang mempunyai nilai potensial maupun nyata serta dapat dimanfaatkan dan dikembangbiakkan atau dirakit untuk menciptakan rumpun atau galur unggul baru. 14. Penyeleksian adalah serangkaian kegiatan memilih ternak sapi betina produktif, dari populasi sesuai kriteria bibit. 15. Penjaringan adalah serangkaian kegiatan untuk memperoleh ternak sapi betina produktif yang akan dijadikan ternak bibit dari hasil seleksi. 16. Pembibitan adalah serangkaian kegiatan pembudidayaan untuk menghasilkan bibit sapi sesuai pedoman pembibitan ternak yang baik. 17. Bibit ternak yang selanjutnya disebut bibit adalah ternak yang mempunyai sifat unggul dan mewariskan serta memenuhi persyaratan tertentu untuk dikembangbiakkan.

18. Rumah Potong Hewan yang selanjutnya disingkat RPH adalah suatu bangunan atau kompleks bangunan dengan desain dan syarat tertentu yang digunakan sebagai tempat inemotong hewan bagi konsumsi masyarakat umum. 19. Kartu Identitas Temak adalah kartu yang dikeluarkan oleh Walikota atau pejabat yang ditunjuk yang digunakan dalam pengaturan temak untuk mencatat keterangan - keterangan yang perlu tentang seekor ternak dan status kepemilikannya. 20. Kesejahteraan hewan adalah segala urusan yang berhubungan dengan keadaan fisik dan mental hewan menurut ukuran prilaku alami hewan yang perlu diterapkan dan ditegakkan untuk melindungi hewan dari perlakuan setiap orang yang tidak layak terhadap hewan yang dimanfaatkan manusia. BAB II MAKSUD DAN TUJUAN Pasal 2 ( 1) Pengendalian temak sapi betina produktif dimaksudkan untuk memperkuat pondasi budidaya temak melalui ketersediaan bibit temak yang berkualitas secara mandiri, berkelanjutan dan pengembangan sumber daya lokal. (2) Pengendalian ternak sapi betina produktif bertujuan untuk mempertahankan ketersediaan bibit dan meningkatkan populasi ternak sapi betina produktif di Kota Singkawang. BAB III RUANG LINGKUP Pasal 3 Ruang lingkup yang diatur dalam Peraturan Walikota ini meliputi : a. identifikasi status reproduksi; b. penyeleksian; c. penjaringan; d. perbibitan; e. pengendalian pemotongan; f. kesejahteraan temak; g. kartu identitas temak; h. sertifikasi; i. pengendalian lalu lintas dan larangan ekspor; J. pembinaan dan pengawasan; k. koordinasi dan kerjasama; 1. pembiayaan; m. peran serta masyarakat; dan n. ketentuan penutup.

BAB IV IDENTIFIKASI STATUS REPRODUKSI Pasal 4 (1) Identifikasi dilakukan untuk menetapkan ternak sapi betina produktif dari populasi sapi betina. (2) Identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan di kelompok peternak, kawasan peternakan, pasar hewan, RPH atau tempat budidaya dan tempat pembibitan lainnya. (3) Identifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh petugas yang berwenang. Pasal 5 Identifikasi ternak sapi betina produktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a dilakukan dengan kriteria : a. ternak sapi betina yang melahirkan kurang dari 5 (lima) kali atau berumur di bawah 8 (delapan) tahun; b. tidak cacat fisik; c. fungsi reproduksi normal dan/ atau tidak cacat permanen; dan d. memenuhi persyaratan kesehatan hewan Pasal 6 (1) Hasil identifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 diperoleh ternak sapi betina tidak produktif dan ternak sapi betina produktif. (2) Ternak sapi betina tidak produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan penggemukan untuk dijadikan ternak potong. (3) Ternak sapi betina produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan seleksi untuk dijadikan ternak bibit. BABV PENYELEKSIAN Pasal 7 ( 1) Penyeleksian ternak sapi betina produktif dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dilakukan untuk mendapatkan ternak sapi betina produktif sesuai dengan kriteria bibit. (2) Kriteria bibit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu semua hasil pemuliaan, hasil pengujian dan pengkajian temak yang memenuhi persyaratan untuk dikembangbiakkan dan/atau untuk meningkatkan produksi sesuai dengan jenis ternaknya. Pasal 8 ( 1) Penyeleksian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dilaksanakan oleh pengawas bibit temak. (2) Pengawas bibit temak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh Walikota atas usulan Kepala Dinas.

Pasal 9 (1) Penyeleksian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dilakukan sesuai persyaratan: a. ternak asli dan/ atau lokal; b. sehat dan bebas dari penyakit hewan menular yang dinyatakan dengan surat keterangan dokter hewan; dan c. performa memenuhi kriteria bibit. (2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c didasarkan pada rumpun, umur dan subur. Pasal 10 Hasil seleksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 diperoleh ternak sapi betina produktif yang sesuai dengan kriteria bibit akan dilakukan penjaringan yang tidak sesuai dengan kriteria bibit dibudidayakan. BAB VI PENJARINGAN Pasal 11 (1) Penjaringan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dilakukan dengan cara pemeriksaan terhadap : a. dokumen kepemilikan ternak yang dikeluarkan oleh lurah; b. surat keterangan dokter hewan; dan c. performa ternak sesuai dengan surat keterangan dari pengawas bibit ternak. (2) Ternak sapi dan kerbau betina produktif hasil penjaringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan penandaan untuk dilakukan pembibitan di UPI'. Kesmavet dan/ atau kelompok pembibit. (3) Pembibitan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui pemuliaan serta mengacu pada pedoman pembibitan ternak yang baik. (4) Dalam pelaksanaan penjaringan diperlukan peran dari: a. RPH; b. kelompok budidaya ternak; dan c. Pemerintah Daerah dalam rangka memberikan pembinaan dan pengawasan bagi kelompok budidaya dan atau pembibitan secara berkelanjutan. Pasal 12 Ternak sapi betina produktif hasil penjaringan ditampung pada Dinas atau langsung didistribusikan kepada masyarakat di kawasan peternakan melalui sentra pembibitan ternak kelurahan. BAB VII PERBIBITAN Pasal 13 Pemerintah Daerah melakukan penjanngan terhadap ternak sapi betina produktif yang berpotensi menjadi bibit.

Pasal 14 (1) Pemerintah Daerah melindungi usaha perbibitan dan budidaya ternak sapi betina produktif. (2) Untuk perbibitan dan budidaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah dapat membentuk kawasan peternakan. Pasal 15 Pemerintah Daerah melakukan inventarisasi dan dokumentasi atas Sumber Daya Genetik hewan yang sebaran asli geografisnya Kata Singkawang. Pasal 16 Inventarisasi dan dokumentasi Sumber Daya Genetik Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dilakukan atas kekayaan keanekaragaman Sumber Daya Genetik Hewan dan pengetahuan tradisional serta kearifan lokal. BAB VIII PENGENDALIAN PEMOTONGAN Pasal 17 Usaha pengendalian pemotongan ternak sapi betina produktif dilakukan dengan cara: a. sosialisasi kepada pelaku pemotongan dan tata niaga ternak; b. komunikasi, informasi dan edukasi; dan c. intensifikasi pemeriksaan sapi betina yang akan dipotong. Pasal 18 ( 1) Setiap pemilik ternak sapi yang akan memo tong ternak sapi betina, wajib melaporkan kepada petugas yang berwenang. (2) Sebelum diadakan pemotongan ternak sapi betina harus dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu oleh petugas yang berwenang. (3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dikandang penampungan RPH paling singkat 1 (satu) hari dan paling lama 3 (tiga) hari sebelum dipotong. (4) Pemilik ternak sapi betina diberi Surat Keterangan Hasil Pemeriksaan Ternak Sapi Betina oleh petugas yang berwenang. (5) Ternak sapi betina yang masih produktif segera dikeluarkan dari RPH dan diselamatkan melalui program penyelamatan dan penjaringan ternak sapi betina produktif. (6) Temak sapi betina produktif yang sesuai dengan kriteria bibit akan dilakukan penjaringan untuk perbibitan sedangkan yang tidak sesuai dengan kriteria bibit untuk dibudidayakan. Pasal 19 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dikecualikan terhadap pemotongan ternak untuk keperluan upacara keagamaan dan/ atau upacara adat.

Pasal 20 (1) Dalam rangka mencukupi ketersediaan bibit temak sapi betina produktif. diseleksi untuk pembibitan, sedangkan temak sapi betina tidak produktif dijadikan ternak potong. (2) Temak sapi betina produktif dilarang dipotong kecuali untuk keperluan. penelitian, perbibitan, atau untuk pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan. (3) Pemotongan temak sapi betina produktif hanya diperbolehkan jika : a. temak sapi betina tersebut cacat sejak lahir, yang dinyatakan dengan pemeriksaan pada kartu temak; b. mengalami kecelakaan berat; c. menderita penyakit hewan menular; d. membahayakan keselamatan manusia; dan e. ternak sapi betina terse but tidak memenuhi standar bibit dan/ atau apabila populasi ternak betina telah mencukupi ketersediaan bibit temak pada tingkat populasi yang a.man. (4) Tingkat populasi yang a.man sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e diatur lebih lanjut oleh Kepala Dinas. (5) Apabila terjadi pemotongan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus diadakan pemeriksaan oleh petugas yang berwenang, serta wajib memberikan laporan kepada Kepala Dinas. Pasal 21 Temak sapi betina produktif dilarang dibuat sakit atau cacat untuk tujuan menghindar dari larangan pemotongan. Pasal 22 (1) Tata cara pelaksanaan pemotongan temak sapi dilaksanakan berdasarkan syariat agama Islam untuk memenuhi standar kehalalan dan kesejahteraan hewan guna menjamin terwujudnya keamanan pangan dan ketentraman batin masyarakat. (2) Juru sembelih hewan harus bersertifikat untuk menjamin terlaksananya penyembelihan halal. BABIX KESEJAHTERAAN TERNAK Pasal 23 ( 1) Setiap usaha pengendalian temak sapi betina produktif harus mengindahkan aspek kesejahteraan ternak. (2) Untuk kepentingan kesejahteraan temak sapi sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) dilakukan tindakan yang berkaitan dengan penanganan, penempatan dan pengandangan, pemeliharaan dan perawatan, pengangkutan, pemotongan dan penyembelihan, serta perlakuan dan pengayoman yang wajar terhadap ternak sapi. (3) Ketentuan mengenai kesejahteraan ternak sapi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara manusiawi yang meliputi: a. penempatan dan pengandangan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga memungkinkan ternak sapi dapat mengekspresikan perilaku ala.min ya;

b. pemeliharaan, pengamanan, perawatan, dan pengayoman temak sapi clilakukan dengan sebaik baiknya sehingga temak sapi bebas clari rasa lapar clan haus, rasa sakit, penganiayaan clan penyalahgunaan, serta rasa takut clan tertekan; c. pengangkutan temak sapi dilakukan clengan sebaik-baiknya sehingga temak sapi be bas clari rasa takut clan. tertekan serta be bas dari penganiayaan; d. penggunaan dan pemanfaatan temak sapi dilakukan dengan sebaikbaiknya sehingga temak sapi bebas clari penganiayaan clan penyalahgunaan; e. pemotongan dan pembunuhan temak sapi dilakukan dengan sebaikbaiknya sehingga ternak sapi bebas dari rasa sakit, rasa takut dan tertekan, penganiyaan, dan penyalahgunaan; clan f. perlakuan terhadap ternak sapi harus dihindari dari tindakan penganiayaan dan penyalahgunaan. BABX KARTU IDENTITAS TERNAK Pasal 24 (1) Setiap kepemilikan dan/atau penguasaan ternak yang telah berumur 3 (tiga) bulan ke atas diwajibkan untuk memiliki kartu identitas temak. (2) Kartu identitas temak hanya berlaku untuk tiap ekor temak. (3) Ketentuan lebih lanjut tentang kartu identitas temak diatur oleh Kepala Dinas. BAB XI SERTIFIKASI Pasal 25 (1) Sertifikasi dilakukan setelah clilakukan inventarisasi pada ternak sap1 betina produktif yang layak menjacli bibit temak. (2) Sertifikat kelayakan menjadi bibit temak dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi benih atau bibit yang terakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan.perundang-undangan. (3) Dalam hal lembaga sertifikasi yang terakreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum terbentuk, W alikota menunjuk Dinas yang mempunyai kompetensi dalam bidang perbenihan atau perbibitan temak untuk menerbitkan sertifikat layak benih atau bibit. BAB XII PENGENDALIAN LALU LINTAS DAN LARANGAN EKSPOR Pasal 26 (1) Temak sapi betina produktif dilarang dikeluarkan dan wilayah Kota Singkawang kecuali untuk dibudidayakan. (2) Temak sapi betina produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. mendapatkan rekomendasi pengeluaran temak betina produktif dari Kepala Dinas;

b. ketersediaan bibit di Kota Singkawang cukup; c. Kabupaten/Kota tujuan memiliki lokasi/unit untuk pembibitan/ budidaya temak; dan d. Kabupaten/Kota tujuan menjamin bahwa bibit temak dari Kota Singkawang akan dibudidayakan dan tidak dipotong. BAB XIII PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Pasal 27 Walikota melakukan pembinaan dalam pelaksanaan pengendalian temak sapi betina produktif melalui kegiatan sosialisasi dan peran serta masyarakat. Pasal 28 (1) Walikota melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pengendalian temak sapi betina yang dilakukan melalui koordinasi bersama Ca.mat dan instansi terkait lainnya. (2) Pengawasan terhadap pelaksanaan pengendalian ternak sapi betina juga dilakukan melalui pelaporan.. (3) Pelaporan terhadap pelaksanaan pengendalian ternak sapi betina sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh Kepala Dinas kepada W alikota secara berkala setiap tiga bulan dengan tembusan disampaikan kepada Kepala Dinas Petemakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Kalimantan Barat. BAB XIV KOORDINASI DAN KERJASAMA Pasal 29 Pengendalian temak sapi betina produktif dilaksanaj,{an oleh W alikota dengan melakukan koordinasi bersama Ca.mat. Pasal 30 Pengendalian ternak sapi betina produktif dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah dalam bentuk kerjasama dengan Pemerintah Daerah Provinsi dan/ atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota lainnya. BAB XV. PEMBIAYAAN Pasal 31 (1) Pemerintah Daerah wajib mengalokasikan anggaran untuk pelaksanaan pengendalian ternak sapi betina produktif dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. (2) Pengalokasian anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan prioritas ternak sapi betina produktif yang akan dijaring sesuai kondisi spesifik lokasi.

BAB XVI PERAN SERTA MASYARAKAT Pasal 32 ( 1) Peran serta masyarakat dalam pengendalian temak sapi betina produktif dapat dilakukan sejak identifikasi status reproduksi, seleksi, penjaringan dan/ atau pembibitan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Keputusan Kepala Dinas. BAB XVII KETENTUAN PENUTUP Pasal 33 Peraturan Walikota ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Walikota ini dengan penempatannya dalam Berita Daerah Kota Singkawang. Ditetapkan di Singkawang pada tanggal 4 Juni 2014 WALIKOTA SINGKAWANG, TID Diundangkan di Singkawang Padatanggal4Juni2014 SEKRETARIS DAERAH no AWANGISHAK SYECH BANDAR SERITA DAERAH KOTA SINGKAWANG TAHUN 2014 NOMOR 13 SALINAN SESUAI DENGAN ASLINYA Kabag. Hukum dan Perundang-undangan Pembina NIP.196810161998031004