PENCEGAHAN PENYAKIT FILARIASIS OLEH KELUARGA DI DESA RUMPIN KECAMATAN RUMPIN KABUPATEN BOGOR

dokumen-dokumen yang mirip
UPAYA KELUARGA DALAM PENCEGAHAN PRIMER FILARIASIS DI DESA NANJUNG KECAMATAN MARGAASIH KABUPATEN BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan infeksi cacing filaria yang ditularkan melalui gigitan

BAB 1 : PENDAHULUAN. Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing filaria yang

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang disebabkan oleh berjangkitnya penyakit-penyakit tropis. Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular yang

DESCRIPTION OF KNOWLEDGE, ATTITUDE AND BEHAVIOR OF THE PEOPLE AT NANJUNG VILLAGE RW 1 MARGAASIH DISTRICT BANDUNG REGENCY WEST JAVA ABOUT FILARIASIS

BAB 1 PENDAHULUAN. kaki gajah, dan di beberapa daerah menyebutnya untut adalah penyakit yang

BAB I PENDAHULUAN. menetap dan berjangka lama terbesar kedua di dunia setelah kecacatan mental (WHO,

BAB I PENDAHULUAN. Tenggara. Terdapat empat jenis virus dengue, masing-masing dapat. DBD, baik ringan maupun fatal ( Depkes, 2013).

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Deklarasi Milenium yang merupakan kesepakatan para kepala negara dan

ABSTRAK. Pembimbing I : Dr. Felix Kasim, dr., M.Kes Pembimbing II : Budi Widyarto L, dr., MH

Fajarina Lathu INTISARI

Bab I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

ABSTRAK. Pembimbing I : Rita Tjokropranoto, dr., M.Sc Pembimbing II : Hartini Tiono, dr.,m. Kes

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles,

BAB I PENDAHULUAN. menular (emerging infection diseases) dengan munculnya kembali penyakit menular

BAB I PENDAHULUAN.

Promotif, Vol.5 No.1, Okt 2015 Hal 09-16

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk.

BAB I PENDAHULUAN. 1

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penyakit Filariasis Limfatik atau penyakit Kaki Gajah merupakan salah

BAB 1 PENDAHULUAN. agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat

Proses Penularan Penyakit

BAB I PENDAHULUAN. Akibat yang paling fatal bagi penderita yaitu kecacatan permanen yang sangat. mengganggu produktivitas (Widoyono, 2008).

PENGARUH PENGGUNAAN KELAMBsU, REPELLENT,

BAB I. Pendahuluan. A. latar belakang. Di indonesia yang memiliki iklim tropis. memungkinkan nyamuk untuk berkembang biak dengan baik

BAB I PENDAHULUAN. yang masuk ke peredaran darah manusia melalui gigitan snyamuk dari genus Aedes,

PERILAKU MINUM OBAT ANTI FILARIASIS DI KELURAHAN RAWA MAMBOK Anti-filariasis Medicine Drinking Behavior in Rawa Mambok Village

BAB 1 PENDAHULUAN. Filariasis atau yang dikenal juga dengan sebutan elephantiasis atau yang

BAB 4 HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh. virus Dengue yang ditularkan dari host melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti.

GAMBARAN PERILAKU KELUARGA TENTANG UPAYA PENCEGAHAN DBD DI DESA LUHU KECAMATAN TELAGA KABUPATEN GORONTALO TAHUN Ade Rahmatia Podungge

Kata Kunci : Kelambu, Anti Nyamuk, Kebiasaan Keluar Malam, Malaria

BAB I PENDAHULUAN. dengue, yang ditularkan oleh nyamuk. Penyakit ini ditemukan di daerah

BAB I PENDAHULUAN. Prioritas pembangunan kesehatan dalam rencana strategis kementerian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

FAKTO-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI PUSKESMAS TIRTO I KABUPATEN PEKALONGAN

BAB I PENDAHULUAN. penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang penularannya melalui

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh virus dengue. Virus dengue merupakan famili flaviviridae

GAMBARAN CAKUPAN PROGRAM KELAMBUNISASI DALAM MENCEGAH KEJADIAN MALARIA DI DESA TUNGGULO KECAMATAN LIMBOTO BARAT KABUPATEN GORONTALO TAHUN 2012.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah salah. satu penyakit yang menjadi masalah di negara-negara

BAB I PENDAHULUAN. sosial dan ekonomi (Depkes, 2007). Para penderita kusta akan cenderung

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhage Fever (DHF) banyak

BAB 1 PENDAHULUAN. sejak lama tetapi kemudian merebak kembali (re-emerging disease). Menurut

SKRIPSI. Penelitian Keperawatan Komunitas

BAB I PENDAHULUAN. semakin besar. Keadaan rumah yang bersih dapat mencegah penyebaran

BAB 1 : PENDAHULUAN. yang akan memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial ekonomis.

BAB I PENDAHULUAN. terkena malaria. World Health Organization (WHO) mencatat setiap tahunnya

BAB 1 RANGKUMAN Judul Penelitian yang Diusulkan Penelitian yang akan diusulkan ini berjudul Model Penyebaran Penyakit Kaki Gajah.

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN UPAYA PENCEGAHAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) PADA IBU RUMAH TANGGA DI KELURAHAN KRAMAS KOTA SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN. menyerang paru dan dapat juga menyerang organ tubuh lain (Laban, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. Chikungunya merupakan penyakit re-emerging disease yaitu penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. (Harijanto, 2014). Menurut World Malaria Report 2015, terdapat 212 juta kasus

ABSTRAK TINGKAT PENGETAHUAN DAN SIKAP TENTANG HEPATITIS B PADA DOKTER GIGI DI DENPASAR UTARA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Filariasis merupakan penyakit zoonosis menular yang banyak

BAB I PENDAHULUAN. miliar atau 42% penduduk bumi memiliki risiko terkena malaria. WHO mencatat setiap tahunnya

PERANAN LINGKUNGAN TERHADAP KEJADIAN MALARIA DI KECAMATAN SILIAN RAYA KABUPATEN MINAHASA TENGGARA

BAB I PENDAHULUAN. lebih dari 2 miliar atau 42% penduduk bumi memiliki resiko terkena malaria. WHO

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorhagic Fever

Gambaran Pengobatan Massal Filariasis ( Studi Di Desa Sababilah Kabupaten Barito Selatan Kalimantan Tengah )

LAMPIRAN I DOKUMENTASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes

GAMBARAN PERILAKU MASYARAKAT DALAM PENCEGAHAN PENYAKIT Chikungunya DI KOTA PADANG. Mahaza, Awaluddin,Magzaiben Zainir (Poltekkes Kemenkes Padang )

GAMBARAN PENGETAHUAN IBU TENTANG DEMAM BERDARAH DENGUE DI RW III DESA PONCOREJO KECAMATAN GEMUH KABUPATEN KENDAL ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. Menurut laporan World Health Organitation tahun 2014, kasus penularan

BAB I PENDAHULUAN. gigitan nyamuk dari genus aedes misalnya Aedes aegypti atau Aedes albovictus.

ABSTRAK. Pembimbing II : Kartika Dewi, dr., M.Kes., Sp.Ak

BAB I PENDAHULUAN. 2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes Volume VIII Nomor 1, Januari 2017 ISSN (p) -- ISSN (e)

HASIL DAN PEMBAHASAN

GAMBARAN FAKTOR KEBERHASILAN KELURAHAN KRAMAS KOTA SEMARANG DALAM PROGRAM KAWASAN BEBAS JENTIK

*Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi Manado. Kata kunci: Status Tempat Tinggal, Tempat Perindukkan Nyamuk, DBD

Kata kunci: Status Tempat Tinggal, Tempat Perindukkan Nyamuk, DBD, Kota Manado

PROFIL TINGKAT PENGETAHUAN PENDERITA KUSTA TENTANG PENYAKIT KUSTA DI PUSKESMAS KEMUNINGSARI KIDUL KABUPATEN JEMBER

TINGKAT PENGETAHUAN MASYARAKAT TENTANG PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI DESA LEMAH IRENG KECAMATAN KARANGMALANG KABUPATEN SRAGEN 2011

BAB 1 PENDAHULUAN. menyebabkan kematian (Peraturan Menteri Kesehatan RI, 2013). Lima ratus juta

BAB I PENDAHULUAN. Demam Berdarah Dengue merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi

SARANG NYAMUK DALAM UPAYA PENCEGAHAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DI DESA KLIWONAN MASARAN SRAGEN

BAB 1 : PENDAHULUAN. Berdarah Dengue (DBD). Jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya

HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN PERILAKU PEMBERANTASAN SARANG NYAMUK DI RT 3 RW 4 DESA KEMBANGBAHU KECAMATAN KEMBANGBAHU KABUPATEN LAMONGAN

GAMBARAN PEMBERIAN OBAT MASAL PENCEGAHAN KAKI GAJAH DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS WELAMOSA KECAMATAN WEWARIA KABUPATEN ENDE TAHUN ABSTRAK

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah penyakit batuk pilek disertai nafas sesak atau nafas cepat,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN DAN SIKAP DENGAN TINDAKAN PENCEGAHAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KELURAHAN MALALAYANG 2 LINGKUNGAN III

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Gambaran Umum Padukuhan VI Sonosewu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu

BAB 1 PENDAHULUAN. Gambaran epidemiologi..., Lila Kesuma Hairani, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

BAB 1 : PENDAHULUAN. fenomena penyakit yang terjadi pada sebuah kelompok masyarakat, yang berhubungan,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

FAKTOR DOMINAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI KOTA PADANG TAHUN

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit demam berdarah dengue merupakan penyakit yang disebabkan oleh

masyarakat, bangsa dan negara yang ditandai oleh penduduknya yang hidup dalam lingkungan sehat, berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), mempunyai

ABSTRAK. Feti Andriani, Pembimbing : Donny Pangemanan, Drg., SKM.

GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU MASYARAKAT DI RW 1 DESA NANJUNG KECAMATAN MARGAASIH KABUPATEN BANDUNG JAWA BARAT TENTANG FILARIASIS TAHUN

BAB 1 PENDAHULUAN. selalu diusahakan peningkatannya secara terus menerus. Menurut UU No.36 Tahun 2009 tentang kesehatan, dalam pasal 152

BAB I : PENDAHULUAN. menular yang disebabkan oleh virus dengue, virus ini ditularkan melalui

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

1 PENCEGAHAN PENYAKIT FILARIASIS OLEH KELUARGA DI DESA RUMPIN KECAMATAN RUMPIN KABUPATEN BOGOR Asri Dwi Widiastuti 1 Wiwin Wiarsih 2 Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. Kampus FIK UI, Jl. Prof. Dr. Bahder Djohan, Depok, Jawa Barat 16424 e-mail : asri.dwi11@ui.ac.id Abstrak Penelitian bertujuan untuk mengetahui gambaran upaya keluarga dalam pencegahan penyakit filariasis. Desain penelitian adalah deskriptif, menggunakan sampel keluarga di wilayah Rumpin sebanyak102 responden, dipilih dengan teknik proportionate random sampling. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner untuk mengukur upaya pencegahan penyakit filariasis pada aspek promosi kesehatan dan perlindungan khusus. Hasil penelitian univariat didapatkan bahwa upaya pencegahan penyakit filariasis pada aspek promosi kesehatan 54,9% baik dan 45,1% tidak baik. Pada aspek perlindungan khusus 54,9% baik dan 45,1% tidak baik. Hasil penelitian memberikan informasi upaya keluarga dalam pencegahan penyakit filariasis dan diharapkan menjadi data dasar dalam upaya mengembangkan program promosi kesehatan pencegahan penyakit menular. Kata kunci: filariasis, pencegahan penyakit, promosi kesehatan, perlindungan khusus Abstract This study aimed to have description on family effort in filariasis prevention at Rumpin Village. This is a descriptive study which took 102 people as the sample, selected by proportionate random sampling. The data was collected by using questionnaire to measure filariasis disease prevention on health promotion aspects and specific protection. The result of this study was almost half of the respondents (54,9%) did good and 45,1% of respondents are didn t good in doing health promotion. On specific protection, almost half of the respondents (54,9%) did well and 45,1% of respondents didn t well in doing on the specific protection. Keywords: filariasis, disease prevention, health promotion, specific protection Pendahuluan Filariasis atau elephantiasis atau penyakit kaki gajah adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria. Penyakit ini ditularkan kedalam tubuh manusia oleh berbagai jenis nyamuk, diantaranya yaitu nyamuk Culex, Aedes, dan Anopheles. Setelah masuk kedalam tubuh manusia, cacing ini akan hidup dalam saluran limfe serta kelenjar limfe manusia dan merusaknya hingga menimbulkan kecacatan yang permanen bila tidak dicegah (Soedarto, 2000). Di dunia terdapat 1,3 miliar penduduk yang berisiko tertular penyakit filariasis di lebih dari 83 negara dan 60% kasus berada di Asia Tenggara (Kemenkes, 2010). Menurut WHO (2009) urutan negara dengan kasus filariasis terbanyak adalah Asia Selatan (India dan Bangladesh), Afrika, Pasifik dan Amerika, serta diikuti oleh Thailand dan Indonesia.

2 Hampir seluruh wilayah Indonesia mempunyai resiko untuk terjangkit filariasis, karena cacing penyebab dan nyamuk penularnya tersebar luas. Di Indonesia, terdapat lebih dari 8000 orang menderita filariasis kronis yang tersebar di seluruh propinsi. Secara epidemiologi, data ini mengindikasikan lebih dari 60 juta penduduk Indonesia berada di daerah yang berisiko tinggi tertular filariasis, dengan 6 juta penduduk diantaranya telah terinfeksi. Berdasarkan ketentuan WHO (2009), jika ditemukan Mikrofilarial rate (Mf rate) > 1% pada suatu wilayah maka daerah tersebut dinyatakan endemis filariasis. Situasi prevalensi mikrofilaria di Indonesia berkisar dari 1% hingga 38,57%. Prevalensi mikrofilaria di pulau Jawa berkisar 1% hingga 9,2 %. Hasil ini menunjukkan bahwa tingkat penularan masih cukup tinggi dibandingkan dengan standar nasional dimana Mf rate yang diharapkan dibawah 1% (Kemenkes RI, 2010). Menurut data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor, terdapat penderita filariasis yang sudah tersebar di 18 Kecamatan dan dengan hasil Mikrofilarial rate (Mf rate) masih diatas 1%, salah satunya adalah kecamatan Rumpin. Di wilayah Rumpin terdata ada tujuh kasus kronis filariasis dengan Mf rate 2,4%. Pada tahun 2000, WHO menetapkan kesepakatan global untuk mengeliminasi filariasis yang dinamakan The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health by The Year 2020. Indonesia termasuk salah satu negara yang sepakat untuk melakukan program eliminasi filariasis yang dilaksanakan secara bertahap mulai tahun 2002. Kegiatan yang harus dilaksanakan dalam rangka mengeliminasi penyakit filariasis yaitu memutus mata rantai penularan dengan melaksanakan pengobatan massal dan penatalaksanaan kasus klinis untuk mencegah kecacatan. Menurut penelitian Suherni (2008), adanya efek samping obat filariasis menyebabkan responden yang menerima obat filariasis tidak mau minum obat filariasis yang diberikan. Ketidakpatuhan individu dalam program pengobatan massal dapat menyebabkan individu tersebut menjadi reservoir yang memungkinkan timbulnya infeksi berulang. Upaya lain yang harus dilakukan untuk menunjang keberhasilan eliminasi penyakit kaki gajah adalah meningkatkan pengetahuan, sikap, perilaku, dan kualitas kesehatan lingkungan. Pemerintah dalam hal ini Kementrian Kesehatan Republik Indonesia telah menetapkan program eliminasi filariasis menjadi salah satu prioritas nasional program pemberantasan penyakit menular. Kegiatan pokok eliminasi filariasis adalah meningkatkan promosi kesehatan untuk mencegah penyebaran filariasis antar kabupaten, propinsi dan negara.

3 Puskesmas Rumpin telah melaksanakan program pengobatan massal filariasis untuk mencegah penyakit filariasis, dan melakukan upaya pencegahan penyakit filariasis melalui promosi kesehatan, namun masih ditemukannya penderita baru filariasis peneliti bertujuan untuk mengetahui upaya apa yang telah dilakukan keluarga dalam pencegahan penyakit filariasis di Desa Rumpin Kecamatan Rumpin. Metode Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan cross sectional design dengan populasi adalah seluruh keluarga yang berdomisili di RW 03 Desa Rumpin, yaitu berjumlah 395 keluarga, dengan alasan pemilihan tempat adalah ditemukannya penderita baru filariasis di RW tersebut. Dari jumlah tersebut diambil sampel sebanyak 102 responden kemudian ditentukan jumlah masing-masing sampel secara proportionate random sampling (Ridwan, 2007). Kriteria inklusi responden adalah suami atau istri yang ada di rumah, mampu membaca dan menulis, mampu berkomunikasi dengan baik dan bersedia menjadi responden yang dibuktikan dengan mengisi informed consent. Instrumen penelitian ini berupa kuesioner yang dikembangkan oleh peneliti berdasarkan literatur review, serta modifikasi dari hasil penelitian Yohannie Vicky Putri, Mamat Lukman, dan Raini Diah Susanti, 2012). Kuesioner penelitian yaitu data karakteristik responden dan upaya pencegahan penyakit filariasis yang terdiri dari upaya promosi kesehatan dan tindakan perlindungan khusus. Uji validitas dan reliabilitas instrumen telah dilakukan pada 30 orang yang mempunyai karakteristik sama dengan responden dengan nilai >0,364 pada derajat kepercayaan 95% (tingkat kemaknaan 5%) dan nilai cronbach alpha >0.6. Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa univariat. Hasil Penelitian Karakteristik responden yang diteliti terdiri dari usia, jenis kelamin, pekerjaan, dan pendidikan. (Tabel 1). Tabel 1. Karakteristik responden penelitian Karakteristik Total Usia n % 18 25 32 31,4 26 40 44 43,1 41 64 26 25,5 Jenis Kelamin Laki-laki 17 16,7 Perempuan 85 83,3 Pekerjaan Bekerja 25 24,5 Tidak Bekerja 77 75,5 Pendidikan SD 63 61,8 SMP 30 29,4 SMA 8 7,8 Sarjana 1 1,0 Data pada tabel 2. menjelaskan upaya pencegahan penyakit filariasis Tabel 2. Upaya pencegahan penyakit filariasis Upaya Pencegahan Kategori n % Baik 56 54,9 Tidak Baik 46 45,1

4 Baik Tidak Baik Sub variabel n % n % Promosi kesehatan 56 54,9 46 45,1 Perlindungan Khusus 56 54,9 46 45,1 Data pada tabel 3. menjelaskan upaya pencegahan penyakit filariasis pada aspek promosi kesehatan dan perlindungan khusus. Tabel 3. Upaya Promosi Kesehatan dan Tindakan Perlindungan Khusus Berdasarkan Karakteristik Responden Karakteristik Baik f % Upaya Pencegahan Tidak Baik f % Usia 18 25 15 46,9 17 53,1 26 40 24 54,5 20 45,5 41 64 17 65,4 9 34,6 Jenis Kelamin Laki-laki 9 52,9 8 47,1 Perempuan 47 55,3 38 44,7 Pekerjaan Bekerja 7 41,2 10 58,8 Tidak Bekerja 49 57,6 36 42,4 Pendidikan SD 34 54 29 46 SMP 17 56,7 13 43,3 SMA 4 50 4 50 Sarjana 1 100 0 0 Data pada tabel 4.1 menjelaskan upaya pencegahan penyakit filariasis pada aspek promosi kesehatan yang meliputi upaya menciptakan rumah sehat, menciptakan lingkungan sehat, kesadaran akan gizi keluarga, dan upaya mencari informasi mengenai filariasis, didapatkan hasil sebagai berikut. Tabel 4. Upaya pencegahan pada aspek promosi kesehatan berdasarkan jenis kegiatan Kegiatan Promkes Sll Srg Jrg TP Menciptakan rumah sehat Tidak menggantungkan pakaian 36,3 17,6 15,7 30,4 Membuka jendela di pagi hari 8,8 7,8 8,8 74,5 Menciptakan lingkungan sehat Membersihkan semak 2 13,7 19,6 64,7 Memangkas tanaman rimbun 12,7 30,4 44,1 12,7 Membersihkan parit/selokan 12,7 29,4 31,4 26,5 Kesadaran akan gizi keluarga Makan 3 kali sehari 91,2 3,9 4,9 0 Makanan beraneka ragam 90,2 6,9 2,9 0 Menu nasi, lauk, sayur, buah 65,7 24,5 9,8 0 Membiaakan sarapan 86,3 6,9 6,9 0 Menggunakan garam yodium 84,3 8,8 5,9 1 Minum air putih 8 gelas sehari 62,7 23,5 11,8 2 Mencari informasi filariasis Mengikuti penyuluhan filariasis 14,7 9,8 59,8 15,7 Bertanya ke petugas kesehatan 31,4 16,7 36,3 15,7 Mencari informasi filariasis 2,0 2,9 10,8 84,3 Membaca info filariasis 14,7 40,2 35,3 9,8 Data tabel 5. menjelaskan upaya pencegahan penyakit filriasis pada aspek perlindungan khusus yang meliputi memberantas sarang nyamuk, menghindari gigitan nyamuk dan pengobatan massal filariasis, didapatkan data sebagai berikut. Tabel 5. Upaya Pencegahan pada aspek perlindungan khusus berdasarkan jenis kegiatan Perlindungan Khusus Sll Srg Jrg TP Memberantas sarang nyamuk Menutup penampungan air 5,9 3,9 90,2 0 Menguras penampungan air 1,0 10,8 38,2 50 Menyingkirkan barang bekas 3,9 5,9 24,5 65,7 Menaburkan bubuk abate 23,5 68,6 3,9 3,9 Menghindari gigitan nyamuk Menggunakan kelambu saat tidur 38,2 2 7,8 52 Menggunakan anti nyamuk 76,5 2,9 11,8 8,8 Mematikan lampu saat tidur 41,2 25,5 1 32,4 Pengobatan massal filariasis Mengikuti sosialisasi program pengobatan massal filariasis 19,6 61,8 1 17,6 Menganjurkan anggota keluarga untuk menelan obat filariasis 39,2 8,8 35,3 16,7 Bersedia minum obat filariasis 16,7 23,5 6,9 52,9

5 Pembahasan Dari karakteristik usia responden, didapatkan bahwa upaya pencegahan penyakit filariasis yang termasuk dalam kategori baik paling banyak pada responden dengan rentang usia 41 60 tahun yaitu sebanyak 69,2%. Hal ini kemungkinan terjadi karena pada usia tersebut adalah tahap seseorang individu sudah mencapai tahap usia dewasa tua, dimana berkaitan erat dengan tingkat kematangan seseorang. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Potter dan Perry (2005) bahwa karakteristik individu pada masa dewasa memiliki peningkatan kebiasaan dalam berfikir rasional, memiliki pengalaman hidup dan pendidikan yang memadai serta secara psikososial dianggap lebih mampu dalam mengatasi masalah pribadi dan sosial. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin meningkatnya usia seseorang maka akan meningkat pula kedewasaan atau kematangan jiwanya baik secara teknis maupun psikologis. Sehingga diharapkan dapat melakukan upaya pencegahan penyakit dengan lebih baik. Menurut penelitian Indah (2008) mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku pencegahan penyakit, bahwa ada hubungan yang bermakna antara usia dengan perilaku pencegahan penyakit. Sementara menurut penelitian Reni (2008) hubungan antara umur dengan praktik minum obat filariasis sebagai upaya pencegahan penyakit filariasis secara statistik tidak bermakna (p=0,575 dengan 95% CI=0,371-1,625). Hal ini kemungkinan karena tidak dirasakan adanya hak dan kewajiban yang berbeda untuk mendapatkan pelayanan kesehatan berupa pengobatan massal filariasis sebagai upaya pencegahan penyakit filarisis. Berdasarkan karakteristik jenis kelamin responden didapatkan bahwa lebih dari separuh responden, baik jenis kelamin lakilaki maupun perempuan termasuk dalam kategori baik dalam upaya pencegahan penyakit filariasis. Hal ini sejalan dengan penelitian Indah (2008), bahwa perbedaan jenis kelamin dan pengalaman tidak berhubungan dengan perilaku pencegahan penyakit (p=0,432) Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa upaya pencegahan penyakit filariasis yang termasuk dalam kategori baik yaitu pada responden dengan tingkat pendidikan sarjana yaitu sebanyak 100%. Sementara pada tingkat pendidikan SMA, SMP, dan SD juga menunjukkan lebih dari separuhnya melakukan upaya pencegahan penyakit filariasis dalam kategori baik. Menurut Liliweri (2007), bahwa pengetahuan atas keluasan wawasan seseorang sangat ditentukan oleh tingkat pendidikan. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin mudah diberikan pengertian mengenai suatu informasi. Selain itu tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan yang mereka peroleh, pada umumnya semakin

6 tinggi pendidikan seseorang semakin baik pula pengetahuannya. Hal ini sejalan dengan penelitian Ketut, S. (2012) bahwa ada hubungan yang bermakna antara faktor pendidikan dengan perilaku masyarakat terhadap tindakan pencegahan penyakit. Status pekerjaan secara tidak langsung juga mempengaruhi praktik kesehatan seseorang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa upaya pencegahan penyakit filariasis yang termasuk dalam kategori baik dilakukan pada responden yang tidak bekerja, yaitu sebanyak 57,6%. Pada dasarnya ibu-ibu yang tidak bekerja mempunyai waktu yang lebih banyak untuk mengurus keluarga. Selain itu, ibu yang tidak bekerja memungkinkan untuk berperilaku lebih baik dalam hal pencegahan penyakit dengan cara menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan rumah, karena kegiatan bersih-bersih rumah dapat dilakukan setiap hari tanpa ada kendala karena harus bekerja keluar rumah. Hal ini sejalan dengan penelitian Ketut (2012), bahwa ada hubungan yang bermakna antara status pekerjaan dengan perilaku pencegahan penyakit (p=0,051) Berdasarkan hasil penelitian mengenai upaya pencegahan penyakit filariasis dalam aspek promosi kesehatan yang meliputi upaya menciptakan rumah sehat, menciptakan lingkungan sehat, kesadaran gizi anggota keluarga, dan mencari informasi tentang filariasis didapatkan bahwa sebanyak 56 responden (54,9%) melakukan upaya promosi kesehatan dalam kategori baik dan sebanyak 46 responden (45,1%) melakukan promosi kesehatan dalam kategori tidak baik. Berdasarkan hasil penelitian upaya pencegahan penyakit filariasis dalam aspek promosi kesehatan dalam menciptakan rumah sehat menunjukkan bahwa masih banyak responden (36,3%) mempunyai kebiasaan selalu menggantungkan pakaian bekas pakai dibelakang pintu, dan 18 responden (17,6%) sering menggantungkan pakaian bekas pakai dibelakang pintu. Hal ini kemungkinan karena pakaian biasanya digunakan lebih dari satu kali sehingga kebiasaan menggantungkan pakaian bekas sering dilakukan oleh keluarga padahal hal ini dapat dijadikan sebagai tempat hunian nyamuk. Selain itu hasil penelitian bahwa sebanyak 76 responden (74,5%) mempunyai kebiasaan tidak pernah membuka jendela di pagi hari, hanya 9 responden (8,8%) yang selalu membuka jendela pada pagi hari. Hal ini kemungkinan terjadi karena keluarga belum mengetahui manfaat dari pengaturan pertukaran udara dalam rumah dan manfaat sinar matahari masuk kedalam rumah Berdasarkan hasil penelitian upaya keluarga dalam menciptakan lingkungan yang sehat menunjukkan bahwa 64,7% responden tidak pernah membersihkan semak disekitar rumah, 44,1% jarang memangkas tanaman yang terlalu rimbun, dan 31,4% responden jarang

7 membersihkan parit/selokan. Hal ini kemungkinan terjadi karena dilingkungan tersebut jarang atau tidak pernah mengadakan kegiatan kerja bakti. Padahal dengan melakukan modifikasi lingkungan berarti mengubah, memelihara, atau membersihkan sarana fisik yang sudah ada supaya tidak terbentuk tempat perindukan atau tempat istirahat nyamuk. Menurut penelitian Nasrin (2008) mengenai faktor-faktor lingkungan dan perilaku yang berhubungan dengan kejadian filariasis di Kabupaten Bangka Barat disebutkan bahwa orang yang tinggal dekat dengan keberadaan kolam/parit disekitar rumah akan beresiko terkena filariasis 1,871 kali dibandingkan dengan responden yang tinggal tidak ada kolam/parit. Selain itu didapatkan bahwa ada hubungan antara keberadaan tanaman air dengan kejadian filariasis (OR=3,222 Cci 95%=0,769-13,504) dan ada hubungan keberadaan ikan predator dengan kejadian filariasis (OR=1 CI 95%=0,323-3,101). Hal ini didukung oleh penelitian Welly (2011), yang menyatakan bahwa faktor yang paling dominan yang berhubungan dengan kejadian filariasis adalah faktor lingkungan. Berdasarkan hasil penelitian kesadaran akan gizi anggota keluarga menunjukkan bahwa sebagian besar responden sudah memiliki kesadaran akan pentingnya gizi anggota keluarga dalam menjaga dan memelihara kesehatan, sehingga tentunya akan berdampak baik bagi kesehatan. Berdasarkan hasil penelitian upaya keluarga dalam mencari informasi tentang filariasis menunjukkan bahwa sebagian besar responden sudah memiliki keinginan untuk mengetahui informasi kesehatan khususnya penyakit filariasis. Sehingga diharapkan setelah mengetahui informasi tentang penyakit filariasis timbul kesadaran akan pentingnya perilaku dan tindakan pencegahan penyakit filariasis. Hal ini kemungkinan terjadi karena keluarga sudah mendapatkan informasi tentang filariasis baik penyuluhan dari petugas kesehatan, informasi dari kader kesehatan, dan leaflet atau poster yang disediakan puskesmas. Pada upaya pencegahan penyakit filariasis dalam aspek tindakan perlindungan khusus yang meliputi upaya pemberantasan sarang nyamuk, menghindarkan diri dari gigitan nyamuk, dan mengikuti program pengobatan massal filariasis, didapatkan hasil sebanyak 56 responden (54,9%) melakukan tindakan perlindungan khusus dalam kategori baik dan 46 responden (45,1%) termasuk dalam kategori tidak baik. Pada aspek perlindungan khusus dalam upaya pemberantasan sarang nyamuk menunjukkan bahwa hampir sebagian besar responden masih jarang melakukan pemberantasan sarang nyamuk, padahal melakukan pemberantasan sarang nyamuk merupakan

8 salah satu cara memutus rantai penularan penyakit filariasis. Seperti yang dikemukakan oleh Maxwell dan Mohammed, Khalfan (2002) di Tanzania, dalam penelitiannya bahwa pengendalian vektor nyamuk merupakan tindakan yang efektif untuk mencegah penyakit filariasis. Berdasarkan hasil penelitian upaya pencegahan filariasis dalam menghindarkan diri dari gigitan nyamuk menunjukkan bahwa sebagian besar responden tidak pernah menggunakan kelambu. Padahal menurut penelitian Nasrin (2008) menyatakan ada hubungan antara kebiasaan menggunakan kelambu waktu tidur dengan kejadian filariasis (OR=1,909, CI 95%=0,698-5,221). Orang yang tidur tidak biasa menggunakan kelambu akan beresiko terkena filariasis sebesar 1,909 kali dibandingkan dengan responden yang biasa menggunakan kelambu pada waktu tidur. Hal ini kemungkinan terjadi karena keluarga menganggap tidak menggunakan kelambu sudah biasa dilakukan, atau menganggap penggunaan kelambu sebagai hal yang sudah kuno atau tidak modern. Berdasarkan hasil penelitian juga didapatkan bahwa masih ada responden (11,8%) yang jarang menggunakan obat anti nyamuk seperti obat nyamuk bakar, obat nyamuk semprot, obat nyamuk elektrik, atau lotion anti nyamuk agar terhindar dari gigitan nyamuk. Hal ini mungkin disebabkan karena keluarga menganggap tidak menggunakan obat anti nyamuk sudah biasa padahal penggunaan obat anti nyamuk juga merupakan salah satu cara mencegah penularan penyakit filariasis. Seperti yang dinyatakan pada penelitian Nasrin (2008) bahwa ada hubungan antara kebiasaan menggunakan obat anti nyamuk dengan kejadian filariasis (p=0,016, OR=5,063, CI 95%=1,255-20,424). Orang yang tidak biasa menggunakan anti nyamuk akan beresiko terkena filariasis sebesar 5,063 kali dibandingkan dengan responden yang biasa menggunakan anti nyamuk. Selain itu didapatkan bahwa sebanyak 42 responden (41,2%) selalu mematikan lampu kamar saat tidur. Menurut Centers for Control and Prevention, CDC (2010), menghindarkan diri dari gigitan nyamuk merupakan salah satu cara untuk memutus mata rantai penularan dari arthropodborne disease. Nyamuk sangat menyukai tempat yang gelap. Oleh karena itu menjaga ruangan agar tetap terang dapat meminimalkan populasi nyamuk di dalam rumah. Dari hasil penelitian upaya pencegahan penyakit filariasis dalam mengikuti program pengobatan massal didapatkan bahwa sebanyak 54 responden (52,9%) responden tidak pernah bersedia menelan obat filariasis. Hal ini kemungkinan karena keluarga khususnya orang tua mendapatkan informasi yang keliru mengenai efek samping obat sehingga merasa takut untuk menelan obat yang dibagikan. Hal ini sejalan dengan

9 penelitian Suherni (2008), bahwa responden tidak menerima obat filariasis karena tidak tahu ada pengobatan massal, adanya efek samping obat filariasis menyebabkan responden yang menerima obat filariasis tidak mau minum obat filariasis yang diberikan. Kesimpulan Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa upaya pencegahan penyakit filariasis pada aspek promosi kesehatan sebagian responden (54,9%) sudah melakukan upaya promosi kesehatan dalam kategori baik, namun 45,1% responden belum melakukan upaya promosi kesehatan dengan baik. Begitu juga halnya pada aspek tindakan perlindungan khusus sebanyak 54,9 % responden sudah melakukan tindakan perlindungan khusus dalam kategori baik dan 45,1% dalam kategori tidak baik. Secara umum upaya pencegahan penyakit filariasis pada aspek promosi kesehatan dan tindakan perlindungan khusus dapat dikatakan masih kurang karena hanya sekitar setengahnya saja yang sudah melakukan upaya promosi kesehatan dengan baik, sementara sebagian masih belum baik. Padahal upaya promosi kesehatan dan tindakan perlindungan khusus sangat penting dilakukan untuk mencegah terjadinya penyakit. Dari hasil penelitian ini diharapkan masyarakat tetap terus menerus diberikan informasi mengenai upaya pencegahan penyakit menular khususnya filariasis oleh tenaga kesehatan, karena dengan adanya penyuluhan dan kontak sosial dengan para petugas kesehatan, diharapkan dapat menstimulasi masyarakat untuk tetap terus melakukan upaya pencegahan penyakit, selain itu diharapkan partisipasi lembaga terkait untuk dapat menggerakkan peran serta masyarakat dalam memelihara lingkungan, seperti melakukan kerjabakti secara rutin seminggu sekali. Referensi Athanasius, Amasiatu; Alawari, Mathias Bentina (2012). Knowledge and Prevention of Filariasis in Okigwe. Diperoleh dari http://connection.ebscohost.com/c/articles/ 80132670 Centers for Disease Control and Prevention (2010). Prevention and Controlling of Lymphatic Filariasis. Diperoleh dari http://cdc.org Kemenkes RI (2010). Rencana Nasional Program Akselerasi Eliminasi Filariasis di Indonesia 2010-2014. Diperoleh dari http://www.pppl.depkes.go.id Ketut, S., (2012). Hubungan sosiodemografi masyarakat terhadap perilaku pencegahan DBD di Desa Tibubeneng Kecamatan Kuta Utara Kabupaten Bandung. Thesis. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Universitas Udayana. Maxwell, C.A.; Mohammed, Khalfan (2002). Can vector control play a useful supplementary role against bancroftian filariasis. Diperoleh dari http://connection.ebscohost.com Nasrin (2008). Faktor-Faktor Lingkungan dan Perilaku Yang Berhubungan Dengan Kejadian Filariasis Di Kabupaten Bangka Barat. Thesis. Universitas Diponegoro. Semarang Notoatmodjo, S. (2002). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta

10 Ogoma, Sheila B., et all (2010). Screening Mosquito House Entry Points as a Potential Method for Integrated Control of Endophagic Filariasis, Arbovirus and Malaria Vectors. Diperoleh dari http://connection.ebscohost.com/c/articles/ 60638947 Ridwan (2007). Belajar Mudah Penelitian untuk Peneliti Pemula. Bandung : CV Alfabeta Soedarto, (2000). Penyakit-Penyakit Infeksi di Indonesia. Jakarta : Widya medika. Stanhope and Lancaster (2004). Community and Public Health Nursing. New York: Mosby Year Book Suherni (2008). Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Minum Obat Filarasis Pada Kegiatan Pengobatan Massal Filariasis di Kabupaten Subang, Jawa Barat. FKM. UI WHO (2009), Global Programme to Eliminate Lymphatic Filariasis, WHO weekly epidemiological record, Diperoleh dari http://www.who.org Welly (2011) Faktor Dominan yang Berhubungan Dengan Kejadian Filariasis di Kota Padang Tahun 2011. Tesis. Fakultas Keperawatan Universitas Andalas. Padang Yohannie, Vicky P., Mamat,L., dan Raini, D.S. (2012). Upaya Keluarga Dalam Pencegahan Primer Filariasis Di Desa Nanjung Kecamatan Margaasih Kabupaten Bandung. FIK. Universitas Padjajaran Bandung