Pharmacoinvasive Strategy in Acute STEMI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) adalah penyakit

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. secara global, termasuk Indonesia. Pada tahun 2001, World Health Organization

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. penyakit jantung dan pembuluh darah telah menduduki peringkat pertama sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah salah satu manifestasi klinis

BAB 1 PENDAHULUAN. tersering kematian di negara industri (Kumar et al., 2007; Alwi, 2009). Infark

BAB I PENDAHULUAN. segmen ST yang persisten dan peningkatan biomarker nekrosis miokardium.

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. negara-negara maju maupun di negara berkembang. Acute coronary syndrome

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sindrom Koroner Akut (SKA)/Acute coronary syndrome (ACS) adalah

Tatalaksana Sindroma Koroner Akut pada Fase Pre-Hospital

BAB I. Pendahuluan. I.1 Latar Belakang. Angina adalah tipe nyeri dada yang disebabkan oleh. berkurangnya aliran darah ke otot jantung.

BAB I PENDAHULUAN. data statistik yang menyebutkan bahwa di Amerika serangan jantung. oleh penyakit jantung koroner. (WHO, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. jantung koroner yang utama dan paling sering mengakibatkan kematian (Departemen

Informed Consent Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang. Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan masalah kesehatan dunia yang

BAB 1 PENDAHULUAN. terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit negara-negara industri (Antman

BAB 1 PENDAHULUAN. dan mortalitas yang tinggi di dunia. Menurut data World Health Organization

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) merupakan suatu

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. infark miokard akut (IMA) merupakan penyebab utama kematian di dunia.

BAB I. PENDAHULUAN. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) didefinisikan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. penting dari pelayanan kesehatan termasuk hasil yang diharapkan dengan berbasis

BAB 1 PENDAHULUAN. darah termasuk penyakit jantung koroner, gagal jantung kongestif, infark

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab nomor satu kematian di

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan problem kesehatan utama yang

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan usia harapan hidup penduduk dunia membawa dampak

BAB I PENDAHULUAN. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. maju, dan negara berkembang termasuk di Indonesia. Diperkirakan

Panduan Registri Online

A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Profesor Shahryar A. Sheikh, MBBS dalam beberapa dasawarsa terakhir

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit Acute Myocardial Infarction (AMI) merupakan penyebab

BAB 1 PENDAHULUAN. SL, Cotran RS, Kumar V, 2007 dalam Pratiwi, 2012). Infark miokard

BAB I PENDAHULUAN. Penyebab terjadinya IMANEST dapat disebabkan oleh rupturnya plak. (Liwang dan Wijaya, 2014; PERKI, 2015).

BAB I PENDAHULUAN. jantung yang utama adalah sesak napas dan rasa lelah yang membatasi

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan pembunuh nomor satu di seluruh dunia. Lebih dari 80% kematian

BAB I PENDAHULUAN. kardiovaskuler secara cepat di negara maju dan negara berkembang.

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit kardiovaskuler memiliki banyak macam, salah satunya adalah

Intervensi Koroner Perkutan Primer

BAB 1 PENDAHULUAN. angka morbiditas penderitanya. Deteksi dini masih merupakan masalah yang susah

PERBEDAAN ANTARA TERAPI FIBRINOLITIK DAN HEPARINISASI TERHADAP PERUBAHAN ST-ELEVASI PADA PENDERITA INFARK MIOKARD AKUT DI RSUD MOEWARDI

B A B I PENDAHULUAN. Diabetes mellitus (DM) dengan penyakit kardiovaskular sangat erat

PREVALENSI FAKTOR RESIKO MAYOR PADA PASIEN SINDROMA KORONER AKUT PERIODE JANUARI HINGGA DESEMBER 2013 YANG RAWAT INAP DI RSUP.

BAB I PENDAHULUAN. utama pada sebagian besar negara-negara maju maupun berkembang di seluruh

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. arrhythmias, hypertension, stroke, hyperlipidemia, acute myocardial infarction.

BAB 1 PENDAHULUAN. Jantung merupakan suatu organ yang berfungsi memompa darah ke

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penyakit jantung koroner merupakan penyakit yang sangat menakutkan

B A B I PENDAHULUAN. negara-negara maju maupun berkembang. Diantara penyakit-penyakit tersebut,

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

Keywords: STEMI, reperfusion therapy, complication.

HUBUNGAN PEMBERIAN TROMBOLITIKDENGAN PENURUNAN ST ELEVASI PADA PASIEN INFARK MIOCARD AKUT DI RUMAH SAKIT ISLAM KLATEN. Saifudin Zukhri* ABSTRAC

BAB I PENDAHULUAN. menggambarkan pasien yang datang dengan Unstable Angina Pectoris. (UAP) atau dengan Acute Myocard Infark (AMI) baik dengan elevasi

sebesar 0,8% diikuti Aceh, DKI Jakarta, dan Sulawesi Utara masing-masing sebesar 0,7 %. Sementara itu, hasil prevalensi jantung koroner menurut

BAB 1 PENDAHULUAN. fungsi aorta dan cabang arteri yang berada di perifer terutama yang memperdarahi

Bayu Budi Laksono Poltekkes RS dr. Soepraoen Malang. Abstrak

HUBUNGAN TEKANAN DARAH SISTOLIK PADA PENDERITA INFARK MIOKARD AKUT SEGMEN ST ELEVASI ONSET < 12 JAM SAAT MASUK DENGAN MORTALITAS DI RSUP H.

BAB I PENDAHULUAN. menimpa populasi usia di bawah 60 tahun, usia produktif. Kondisi ini berdampak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. gangguan kesehatan yang semakin meningkat di dunia (Renjith dan Jayakumari, perkembangan ekonomi (Renjith dan Jayakumari, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan oksigen miokard. Biasanya disebabkan ruptur plak dengan formasi. trombus pada pembuluh koroner (Zafari, 2011).

BAB 1 PENDAHULUAN. yang merajarela dan banyak menelan korban. Namun demikian, perkembangan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. urutan kedua pada usia diatas 60 tahun dan urutan kelima pada usia 15-59

Introduction to Cardiology and Vascular Medicine. Cardiology and Vascular Medicine

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit jantung dan pembuluh darah (PJPD) merupakan penyebab utama

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Kardiovaskuler adalah penyebab utama kematian pada orang

BAB 1 PENDAHULUAN. koroner. Kelebihan tersebut bereaksi dengan zat-zat lain dan mengendap di

Ns. Furaida Khasanah, M.Kep Medical surgical department

BAB I PENDAHULUAN. paling sering adalah berupa angina pektoris stabil (Tardif, 2010; Montalescot et al.,

BAB I PENDAHULUAN. banyak dengan manifestasi klinis yang paling sering, dan merupakan penyebab

BAB 1 PENDAHULUAN. Peningkatan pelayanan di sektor kesehatan akan menyebabkan usia harapan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PENGUATAN RANTAI SURVIVAL PASIEN STEMI

BAB I PENDAHULUAN. seluruh dunia. Fenomena yang terjadi sejak abad ke-20, penyakit jantung dan UKDW

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Hubungan antara Kadar Creatine Kinase-MB dengan Mortalitas Pasien Infark Miokard Akut Selama Perawatan di RS. Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makasar

BAB I PENDAHULUAN. memfokuskan diri dalam bidang life support atau organ support pada pasienpasien

BAB I PENDAHULUAN. adanya peningkatan tekanan pengisian (backward failure), atau kombinasi

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan laporan World Health Organitation (WHO), di tahun 2008 tercatat

BAB I PENDAHULUAN. tidak menular yang lebih dikenal dengan sebutan transisi epidemiologi. 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit jantung koroner atau penyakit kardiovaskuler saat ini merupakan

I. PENDAHULUAN penduduk Amerika menderita penyakit gagal jantung kongestif (Brashesrs,

Peri-procedural myocardial injury pada multi vessel disease: Hubungan dengan skor SYNTAX.

DEFINISI OPERASIONAL Formulir Data Indonesia STEMI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sindroma Koroner Akut (SKA) merupakan manifestasi klinis akut penyakit

BAB I PENDAHULUAN. (dipengaruhi oleh susunan saraf otonom) (Syaifuddin, 2006). Pembuluh

PERAN ASPIRIN DI BIDANG KARDIOVASKULAR

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Tingkat morbiditas dan mortalitas penyakit jantung. iskemik masih menduduki peringkat pertama di dunia

KARDIOMIOPATI TAKOTSUBO

TUGAS E-LEARNING KRITIS 2 NAMA : BESTYA NURIMA M.A NIM : KELAS : A-11 B

BAB 1 PENDAHULUAN. Salah satu penyakit tidak menular (PTM) yang meresahkan adalah penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

ANGKA KEJADIAN SINDROMA KORONER AKUT DAN HUBUNGANNYA DENGAN HIPERTENSI DI RSUP H. ADAM MALIK, MEDAN PADA TAHUN 2011 KARYA TULIS ILMIAH

BAB I PENDAHULUAN. di negara-negara barat. Penyakit jantung koroner akan menyebabkan angka

DIAGNOSIS 1. Anamnesis 2. Pemeriksaan Fisik

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. penelitian kohort selama 13 tahun di 3 wilayah di propinsi Jakarta ibukota

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

Transkripsi:

Jurnal Kardiologi Indonesia J Kardiol Indones. 2011;32:266-71 ISSN 0126/3773 Review Article Pharmacoinvasive Strategy in Acute STEMI Isman Firdaus Department of Cardiology and Vascular Medicine, Faculty of Medicine, University of Indonesia, and National Cardiovascular Center Harapan Kita, Jakarta Recently, primary percutaneous coronary intervention (PCI) is the best option for reperfusion in STEMI patients, in clinical trials has lower rates of reinfarction, stroke and mortality than fibrinolytic therapy. Because of system delays in routine practice, prehospital administration of fibrinolytic therapy may lead to similar clinical outcomes, especially in those patients who present in early onset after symptom. Assessment of failed reperfusion for rescue PCI and invasive strategy after fibrinolitic therapy leading similar outcome with primary PCI. This review focuses on the timing of, and indications for, an invasive strategy after fibrinolytic therapy, including that for failed pharmacological reperfusion. (J Kardiol Indones. 2012;33:266-71) Keywords: Acute Myocardial Infarction, Pharmacoinvasive 266

Tinjauan Pustaka Jurnal Kardiologi Indonesia J Kardiol Indones. 2011;32:266-71 ISSN 0126/3773 Strategi Farmako-invasif pada STEMI Akut Isman Firdaus Intervensi koroner perkutan primer (IKKP) saat ini masih menjadi pilihan reperfusi yang ideal pada pasien STEMI akut karena dapat menurunkan angka kejadian re infark, stroke dan kematian dibandingkan dengan terapi reperfusi menggunakan fibrinolitik. Namun kenyataan praktek sehari-hari menunjukkan bahwa terjadi keterlambatan dalam hal administrasi, finansial maupun system rujukan. Namun demikian beberapa laporan studi klinik menunjukkan bahwa pemberian terapi fibrinolitik prahospital pada pasien STEMI onset dini masih memberikan luaran yang baik. Penilaian kegagalan fibrinolitik yang dilanjutkan dengan intervensi koroner perkutan penyelamatan (rescue PCI) atau melakukan tindakan invasif pasca fibrinolitik dalam 24 jam ternyata memberikan luaran yang hampir sama dengan tindakan intervensi koroner perkutan primer. Tulisan ini akan membahas tentang indikasi dan waktu yang tepat untuk tindakan invasif pasca fibrinolitik dan intervensi koroner perkutan penyelamatan. Kata kunci: Infark miokard akut, farmako-invasif (J Kardiol Indones. 2012;33:266-71) Sindroma koroner akut merupakan salah satu subset akut dari penyakit jantung koroner (PJK) dan saat ini telah menempati angka prevalensi 7,2 % pada tahun 2007 di Indonesia (data Riskesdas 2007). Walaupun angka prevalensi PJK tidak setinggi penyakit lain seperti penyakit infeksi, PJK masih dianggap sebagai penyumbang angka kematian tertinggi di Indonesia. 1 ST elevation myocardial infarction (STEMI) merupakan salah satu spektrum sindroma koroner akut yang paling berat. Strategi pengobatan STEMI sangat berkaitan dengan masa awitan (time onset) dan Alamat Korespondensi: dr. Isman Firdaus, SpJP, Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI dan Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta. E-mail: ismanf@yahoo.com memerlukan pendekatan yang berbeda di masing-masing senter pelayanan kardiovaskular demi mendapatkan tatalaksana yang tepat, cepat dan agresif. 2 STEMI terjadi sebagian besar disebabkan karena oklusi total trombus kaya fibrin di pembuluh koroner epikardial. Oklusi ini akan mengakibatkan berhentinya aliran darah (perfusi) ke jaringan miokard. Tujuan pengobatan pasien miokardinfark akut dengan STEMI (termasuk mereka yang diduga mengalami onset baru blok berkas cabang kiri (LBBB) adalah untuk memulihkan oksigenasi dan suplai substrat metabolik akibat oklusi trombotik persisten di arteri koroner. Sumbatan ini dapat mengurangi kelangsungan hidup dan performa ventrikel kiri. 3 Gambaran rekaman elektrokardiogram(ekg) secara akurat akan memberikan ramalan lokasi sumbatan dan prognosis jangka panjang sehingga memandu seorang Kardiolog (Sp.JP) dalam melakukan pengobatan yang cepat dan tepat. 267

Jurnal Kardiologi Indonesia Reperfusi merupakan pilihan strategi utama dalam tatalaksana STEMI di menit-menit awal kontak pasien pertamakali ke unit pelayanan medis terdekat. 2 Hingga saat ini laporan-laporan uji coba klinik reperfusi awal jam-jam pertama serangan STEMI menunjukkan bahwa reperfusi koroner secara intervensi koroner perkutan (selanjutnya disingkat IKP) mampu mengurangi angka kejadian re-infark, stroke dan mortalitas lebih baik dibandingkan reperfusi koroner dengan menggunakan fibrinolitik. 4 Beberapa strategi reperfusi koroner yang sudah lama kita kenal yaitu reperfusi farmakologik (dengan obatobatan fibrinolitik), intervensi koroner perkutan primer (selanjutnya disingkat IKPP), intervensi koroner perkutan fasilitasi (fascilitated PCI), intervensi koroner perkutan penyelamatan (rescue PCI), dan stretegi reperfusi yang baru-baru ini mulai dijalankan di beberapa senter adalah strategi farmako-invasif. 5 IKPP didefinisikan sebagai tindakan reperfusi berupa tindakan intervensi perkutan (IKP) tanpa didahului pemberian fibrinolitik sebelumnya.ikp fasilitasi didefinisikan sebagai tindakan IKP setelah pemberian reperfusi farmakologik (dengan obat fibrinolitik) yang bersifat jembatan reperfusi untuk menghindari keterlambatan reperfusi koroner. Strategi terkini yang menjadi topik dalam tulisan ini yaitu strategi farmako-invasif yang didefinisikan sebagai suatu tindakan reperfusi farmakologik (dengan obatobatan fibrinolitik) kemudian dilanjutkan dengan tindakan invasif berupa non-urgent angiografi koroner atau IKP penyelamatan jika terjadi kegagalan fibrinoltik. 5 Namun demikian tidak semua RS dapat melayani intervensi koroner perkutan primer (IKPP) selama 24 jam 7 hari (24/7). Keterlambatan klinis dalam praktek klinis sehari-hari dan keterbatasan fasilitas inilah yang dilaporkan sering menyebabkan keterlambatan dalam melakukan IKPP sehingga waktu emas (golden period) tindakan reperfusi tidak tercapai. Protokol tatalaksana STEMI yang sudah baku mengharuskan tindakan reperfusi bagi pasien STEMI onset kurang dari 12 jam saat tiba di Instalasi Gawat Darurat (IGD). Beberapa laporan dan publikasi menunjukkan bahwa triase pasien STEMI prehospital disertai pemberian fibrinolitik prehospital ternyata memberikan hasil yang sama baiknya dengan tindakan IKPP. 6,7 Data registri ACS di RS Jantung Harapan Kita menunjukkan bahwa pasien STEMI yang dirujuk ke Rumah Sakit (RS) Jantung Harapan Jakarta sebagian besar (61,3 %) tidak mendapatkan terapi reperfusi akibat kedatangan melewati waktu lebih dari 12 jam. 8 Kenyataan di Indonesia ternyata tidak jauh berbeda dengan di Inggris dan sebagian besar negara di dunia yang melaporkan keterlambatan klinis dan teknis pra-rumah sakit. Atas dasar inilah maka beberapa senter melakukan triase STEMI diluar RS disertai pemberian fibrinolitik pra-rumah sakit yang ternyata memberikan luaran klinis yang hampir sama dengan IKPP, terutama pada pasien yang datang dengan awitan angina kurang dari 2 jam. 9 Tindakan angiografi koroner pasca keberhasilan fibrinolitik dengan atau tanpa IKP (farmako-invasif) dan IKP penyelamatan telah dilaporkan secara luas memberikan hasil yang sama dengan tindakan IKPP. IKP penyelamatan harus dilakukan jika diketahui adanya kegagalan fibrinolitik yang diketahui melalui pengamatan pemulihan segmen ST, keluhan pasien, dan peningkatan enzim jantung. Pedoman ESC terbaru dalam tatalaksana STEMI salah satunya adalah melakukan tindakan reperfusi koroner dalam 3-24 jam pasca keberhasilan fibrinolitik. Keberhasilan fibrinolitik diketahui berdasarkan klinis (nyeri dada berkurang), Elektrokardiogram (ST elevasi turun > 50% dan terdapat aritmia reperfusi), dan laboratorium (enzim jantung cepat mencapai kadar puncak). Tulisan ini akan membahas pendekatan farmako-invasif pada pengobatan STEMI dan penyelamatan intervensi koroner perkutan primer. Fibrinolitik pra-rumah sakit Pemberian fibrinolitik di ambulanspra-rs akan mengurangi tingkat kematian bila dibandingkan dengan pemberian fibrinolitik di RS, sehingga strategi reperfusi ini telah di adopsi sebagai strategi yangbaik. Pendekatan strategi ini dalam praktek rutin sehari-hari telah dilakukan di Perancis dan dicatat dalam registri USIC. Registri USIC ini melaporkan bahwa pasien yang diterapi dengan fibrinolitik pra-rs mempunyai angka survival yang lebih baik dibandingkan dengan kelompok yang menjalani intervensi koroner perkutan primer. 10 Penelitian CAPTIM (Comparison of Angioplasty and Prehospital Thrombolysis In Myocardial infarction) yang dilakukan secara acak pada pasien STEMI yang mendapat terapi fibrinolitik pra-rumah sakit atau pasien yang mendapat terapi IKP penyelamatan pasca kegagalan fibrinolitik, ternyata dilaporkan mempunyai tingkat keberhasilan yang sama baiknya dan bahkan lebih baik bila dibandingkan dengan pasien STEMI yang menjalani IKKP (salah satunya 268

Firdaus I: Strategi famakoinvasif pada STEMI mengurangi kejadian syok kardiogenik). 11 Presentase pasien uji klinis CAPTIM yang dirawat dengan terapi fibrinolitik kemudian mendapatkan IKP penyelamatan dan intervensi koroner perkutan di rumah sakit adalah 26% dan 60%. Demikian halnya dengan 20 persen pasien uji coba ASSENT-4 (ASsessment of the Safety and Efficacy of New Treatment strategy-4 trial) yang secara acak mendapatkan fibrinolitik dosis penuh (tenecteplase) di ambulans pra-rs yang dilanjutkan dengan facilitated PCI dan intervensi koroner perkutan primer ternyata mempunyai luaran yang sama dengan mereka yang mengikuti uji CAPTIM. Angka mortalitas dalam 30 hari facilitated PCI versus IKPP yaitu 3,1% vs 3,7%. Pasien yang memiliki awitan gejala angina kurang dari 2-3 jam, maka pra-rumah sakit fibrinolitik yang disertai IKP penyelamatan dapat menurunkan angka kematian sampai < 4%. 12 Pencapaian tersebut menyerupai pencapaian menggunakan intervensi koroner perkutan primer. Pelaksanaan EKG pra-rumah sakit baru-baru inijuga telah direkomendasikan oleh American Heart Association. 13 Angioplasti Penyelamatan Pemanfaatan IKP penyelamatan pascafibrinolitik pada STEMImasih diperdebatkan selama tahun 1990an tetapi Ellis dkk, 14 tahun 2000 menunjukkan bahwa pasien dengan aliran TIMI0-1 memiliki hasil yang lebih baik setelah IKP penyelamatan dibandingkan dengan pengobatan konservatif. Sebuah meta analisis yang lebih baru membandingkan IKP penyelamatan dengan perawatan konservatif yang dilakukan diinggris menunjukkan peningkatan hasil yang lebih baik dan cenderung IKP penyelamatan menurunkan angka kematian terkait dengan IKP penyelamatan. 15 Penelitian besar pertama IKP penyelamatan,the Middlesbrough Early Revascularisation to Limit InfarctioN (MERLIN), secara acak307pasienyang mengalami kegagalan fibrinolitik dilakukan dua strategi yaitu IKP penyelamatan dan pengobatan konservatif (mengulang administrasi terapi fibrinolitik tidak dianjurkan). Secara keseluruhan, tidak ada perbedaan dalam hasil kematian atau fungsi ventrikel kiri dalam 30 hari. 16 Penelitian lain yang melibatkan 427 Pasien Rescue Angioplastyversus Konservatif Therapy (REACT) menunjuk kan bahwa tindakan IKP penyelamatan pasca kegagalan fibrinolitik menunjukkan penurunan 50% komposit kematian jantung, stroke, gagal jantung dan infarkmiokard berulang dalam enam bulan, lebih baik dari re-administrasi fibrinolitik atau pengobatan konservatif. 17 Risiko perdarahan serius telah menjadi isu penting performa strategi farmako-invasif, termasukikp penyelamatan dalam jam-jam pertama setelah dosis penuh fibrinolitik. Wijeya sundera melaporkan bahwa terdapat peningkatan risiko perdarahan minor, namun studi REACT tidak menemukan perbedaan bermakna terjadinya perdarahan mayor antara strategi IKP penyelamatan vs konservatif. Hal ini dimungkinkan karena strategi IKP transradial dilaporkan lebih banyak digunakan dan disukai karena dapat menurunkan angka perdarahan dan tranfusi. 17 Dalam membuat keputusan triase IKP penyelamatan, waktu merupakan hal yang sangat esensial termasuk di dalamnya evaluasi non-invasif secara bedside. Melalui studi awal menggunakan streptokinase intrakoroner pada pasien STEMI telah mampu menjelaskan empat petanda keberhasilan recanalisation IRA (infarct related artery) yaitu: nyeri dada yang menghilang, adanya aritmia reperfusi, resolusi elevasi segmen ST elevasi (dikenal sebagai pemulihan ST) dan peningkatan kadar marker biokimia. 18 Resolusi segera nyeri dada harus menjadi perhatian penting pada semua pasien pasca tindakan fibrinolitik. Tingkat pemulihan segmen ST juga terbukti berhubungan dengan patensi aliran IRA, dengan pemulihan elevasi ST> 70% terkait dengan probabilitas 90-95% pencapaian patensi IRA. Kurangnya resolusi ST dapat menunjukkan kegagalan perfusidi tingkat miosit/mikrovaskuler, hal ini berkaitan dengan kerusakan miokard lebih luas dan mortalitas jangka panjang lebih tinggi. 19 Reperfusi IRA yang tersumbat akan memberikan dampak kenaikan tiba-tiba kadar petanda biokimia jantung selama beberapa jam pertama setelah terapire perfusi, hal ini berkaitan dengan aliran TIMI IRA pada 90 menit. Laboratorium untuk mengukur tingkat petanda biokimia jantung jarang digunakan dalam triase karena dibutuhkan waktu yang mendesak untuk revaskularisasi. Selain IKP penyelamatan, indikasi khusus untuk angiografi segera adalah pasien dengan syok kardiogenik. Pasien-pasien syok kardiogenik dalam studi SHOCK yang mendapat pengobatan fibrinolitik kemudian dilakukan pemasangan balon intra aortic balloon pump(iabp) ternyata menurunkan angka kematian dan tidak menungkatkan kejadian perdarahan. 20 269

Jurnal Kardiologi Indonesia Kapan angiografidan intervensi koroner perkutan dilakukan pasca keberhasilan fibrinolitik? Di Eropasaat ini merekomendasikan strategi farmakoinvasif yaitu angiografi koroner rutin dan IKP pada semua pasien sukses fibrinolitik. 21 Dalam studi registri perawatan fibrinolitik pasien-pasien di Eropa Barat, melaporkan tingginya tingkat perawatan angiografi dan IKP. Survey di Australia baru-baru ini juga melaporkan bahwa 87 persen pasien telah menjalani angiografi pasca fibrinolitikin-hospital dan 65 persen diantara nya menjalani prosedur IKP pasca fibrinolitik. Studi the WEST (Which Early ST elevation myocardial infarction Therapy) mendukung pendekatan urgensi strategi farmako invasive ini, namun tidak untuk melakukan prosedur IKP segera pasca-fibrinolitik. 22 Dalam studi ini sebanyak 304 pasien diacak menjadi tiga kelompok perlakuan: (A) tenecteplase dan perawatan biasa, (B) tenecteplase dan wajib studi invasif dalam 24 jam (strategi farmako-invasif), termasuk penyelamatan IKP untuk kegagalan fibrinolitik dan (C) IKP primer. Walaupun ada perbedaan yang signifikan dalam tingkat kematian dan reinfarka ntara AdanC(13,0% vs4,0%,p=0,021), namun tidak ada perbedaan antara B dan C (6,7% vs 4,0%, p=0,378). 22 Regionalisasi pendekatan terpadu farmako-invasif perawatan STEMI dua pusat pelayanan kardiovaskular di Minnesota Amerika Serikat dan North Carolina telah melaporkan penggunaan terapi fibrinolitik dini ketika IKP primer tidak segera tersedia. 23 Saat ini studi farmako-invasif ini masih berlangsung. Terapi Reperfusi Farmako Invasif STEMI di Indonesia Sesuai rekomendasi dari guideline STEMI terkini yang dikeluarkan oleh European Society of Cardiology maupun American College Cardiology yaitu mewajibkan (rekomendasi kelas I) untuk melakukan reperfusi bagi pasien-pasien STEMI onset kurang dari 12 jam. Kardiolog atau SpJP di Indonesia harus mempunyai pemahaman dan konsep yang sama dalam melakukan strategi reperfusi STEMI. Seperti kita ketahui bersama bahwa laboratorium kateterisasi hanya ada di kota-kota ibukota propinsi seperti Jakarta dan Surabaya, masih banyak RS di daerah yang tidak memiliki laboratorium kateterisasi (cathlab). Walaupun demikian bukan berarti Rumah Sakit tanpa cathlab tidak melakukan reperfusi, strategi reperfusi farmakologik dengan fibrinolitik haruslah dilakukan. Pasca reperfusi dengan pemberian fibrinolitik di RS tanpa cathlab harus dilanjutkan dengan strategi invasif dalam 24 jam, inilah yang kita sebut sebagai strategi farmako-invasif. Tindakan invasif pasca fibrinolitik idealnya dikerjakan minimal 2 jam setelah fibrinolik tersebut. Rumah sakit (RS) yang tidak mempunyai cathlab (non PCI capable) harus memiliki hubungan jejaring dengan RS yang memiliki dan menyediakan cathlab 24/7 agar strategi farmako invasif dapat dijalankan.tapi sangat juga disayangkan sebagian besar RS yang mempunyai fasilitas cathlab beberapa belum siap pelayanan 24/7 untuk melakukan IKPP. Kesimpulan Strategi reperfusi farmakologi (dengan fibrinolitik) di RS yang mampu melayani ketersediaan cath lab untuk tindakan IKPP 24 jam dalam 7 hari tidak direkomendasikan. IKPP harus menjadi strategi reperfusi lini pertama untuk pasien-pasien STEMI yang datang kurang dari 12 jam dengan pencapaian doorto-balloon time yang dapat diterima yaitu kurang dari 90 menit. Namun karena berbagai alasan, terutama dalam pengaturan pra-rumah sakit, jarak tempuh, dan kurangnya fasilitas maka pemberian fibrinolitik sangat direkomendasikan pada pasien-pasien STEMI yang datang < 12 jam. Kebutuhan untuk penyelamatan IKP harus ditentukan pada 60-90 menit pertama pada semua pasien setelah terapi fibrinolitik. Prediksi kegagalan reperfusi fibrinolitik, termasuk penilaian klinis dan pemulihan elevasi ST harus menjadi langkah triase untuk melakukan angiografi segera atau bahkan IKP penyelamatan.untuk mencegah keterlambatan reperfusi pada pasien-pasien STEMI maka tindakan invasif sebaiknya dikerjakan demi mencapai luaran yang sama dengan tindakan IKPP, strategi ini kita sebut sebagai strategi farmako-invasif. Daftar Pustaka 1. Data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) di Indonesia. In: Kesehatan K, ed.; 2007. 2. Amit Kumar C, Cannon,. Acute Coronary Syndromes: Diagnosis and Management. Mayo Clin Proc 2009;84 (11). 3. French JK, Andrews J, Manda SO, Stewart RA, McTigue JJ, White HD. Early ST-segment recovery, infarct artery blood flow, 270

Firdaus I: Strategi famakoinvasif pada STEMI and long-term outcome after acute myocardial infarction. Am Heart J 2002;143:265-71. 4. Keeley EC, Boura JA, Grines CL. Primary angioplasty versus intravenous thrombolytic therapy for acute myocardial infarction: a quantitative review of 23 randomised trials. Lancet 2003;361:13-20. 5. Tofield A. Pharmaco-invasive vs. facilitated percutaneous coronary intervention strategies for ST-segment-elevation acute myocardial infarction patients in the new ESC Guidelines. Eur Heart J 2009;30:2817. 6. Edmond JJ, Juergens CP, French JK. The pharmaco-invasive approach to STEMI: when should fibrinolytic-treated patients go to the cath lab? Postgrad Med J 2009;85:331-4. 7. Edmond JJ, Juergens CP, French JK. The pharmaco-invasive approach to STEMI: when should fibrinolytic-treated patients go to the cath lab? Heart 2009;95:358-61. 8. Surya Dharma, Irmalita, Daniel Tobing, Dafsah A Juzar, Isman Firdaus. ACS Registry In: Kita NCCH, ed.; 2009. 9. Nallamothu BK, Bradley EH, Krumholz HM. Time to treatment in primary percutaneous coronary intervention. N Engl J Med 2007;357:1631-8. 10. Danchin N, Blanchard D, Steg PG, et al. Impact of prehospital thrombolysis for acute myocardial infarction on 1-year outcome: results from the French Nationwide USIC 2000 Registry. Circulation 2004;110:1909-15. 11. Bonnefoy E, Lapostolle F, Leizorovicz A, et al. Primary angioplasty versus prehospital fibrinolysis in acute myocardial infarction: a randomised study. Lancet 2002;360:825-9. 12. Primary versus tenecteplase-facilitated percutaneous coronary intervention in patients with ST-segment elevation acute myocardial infarction (ASSENT-4 PCI): randomised trial. Lancet 2006;367:569-78. 13. Ting HH, Krumholz HM, Bradley EH, et al. Implementation and integration of prehospital ECGs into systems of care for acute coronary syndrome: a scientific statement from the American Heart Association Interdisciplinary Council on Quality of Care and Outcomes Research, Emergency Cardiovascular Care Committee, Council on Cardiovascular Nursing, and Council on Clinical Cardiology. Circulation 2008;118:1066-79. 14. Ellis SG, Da Silva ER, Spaulding CM, Nobuyoshi M, Weiner B, Talley JD. Review of immediate angioplasty after fibrinolytic therapy for acute myocardial infarction: insights from the RESCUE I, RESCUE II, and other contemporary clinical experiences. Am Heart J 2000;139:1046-53. 15. Wijeysundera HC, Vijayaraghavan R, Nallamothu BK, et al. Rescue angioplasty or repeat fibrinolysis after failed fibrinolytic therapy for ST-segment myocardial infarction: a meta-analysis of randomized trials. J Am Coll Cardiol 2007;49:422-30. 16. Sutton AG, Campbell PG, Graham R, et al. A randomized trial of rescue angioplasty versus a conservative approach for failed fibrinolysis in ST-segment elevation myocardial infarction: the Middlesbrough Early Revascularization to Limit INfarction (MERLIN) trial. J Am Coll Cardiol 2004;44:287-96. 17. Gershlick AH, Stephens-Lloyd A, Hughes S, et al. Rescue angioplasty after failed thrombolytic therapy for acute myocardial infarction. N Engl J Med 2005;353:2758-68. 18. Ganz W, Ninomiya K, Hashida J, et al. Intracoronary thrombolysis in acute myocardial infarction: experimental background and clinical experience. Am Heart J 1981; 102:1145-9. 19. Califf RM, O Neil W, Stack RS, et al. Failure of simple clinical measurements to predict perfusion status after intravenous thrombolysis. Ann Intern Med 1988;108:658-62. 20. French JK, Feldman HA, Assmann SF, et al. Influence of thrombolytic therapy, with or without intra-aortic balloon counterpulsation, on 12-month survival in the SHOCK trial. Am Heart J 2003;146:804-10. 21. Silber S, Albertsson P, Aviles FF, et al. Guidelines for percutaneous coronary interventions. The Task Force for Percutaneous Coronary Interventions of the European Society of Cardiology. Eur Heart J 2005;26:804-47. 22. Armstrong PW. A comparison of pharmacologic therapy with/ without timely coronary intervention vs. primary percutaneous intervention early after ST-elevation myocardial infarction: the WEST (Which Early ST-elevation myocardial infarction Therapy) study. Eur Heart J 2006;27:1530-8. 23. Henry TD, Sharkey SW, Burke MN, et al. A regional system to provide timely access to percutaneous coronary intervention for ST-elevation myocardial infarction. Circulation 2007;116:721-8. 271