BAB II DASAR TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka

dokumen-dokumen yang mirip
Gambar 4.1. Hasil pengamatan struktur mikro.

BAB II KERANGKA TEORI

BAB II DASAR TEORI 2.1. Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Gambar 2.1. Proses pengelasan Plug weld (Martin, 2007)

BAB I PENDAHULUAN. Kekuatan tarik adalah sifat mekanik sebagai beban maksimum yang terusmenerus

Gambar 1.1. Rear Axle Shaft pada mobil diesel disambung dengan pengelasan. (

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Seperti diketahui bahwa, di dalam baja karbon terdapat ferrite, pearlite, dan

BAB II LANDASAN TEORI. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh arus pengelasan

Pengaruh Jenis Elektroda Pada Pengelasan Dengan SMAW Terhadap Sifat Fisis dan Mekanis Pada Baja Profil IWF

Ir Naryono 1, Farid Rakhman 2

Jl. Menoreh Tengah X/22, Sampangan, Semarang *

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengembangan teknologi di bidang konstruksi yang semakin maju tidak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kekuatannya yang besar dan keliatannya yang tinggi. Keliatan (ductility) ialah

Analisa Kekuatan Tarik Baja Konstruksi Bj 44 Pada Proses Pengelasan SMAW dengan Variasi Arus Pengelasan

BAB III METODE PENELITIAN. Mulai

SKRIPSI / TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. dalam penyambungan batang-batang terutama pada bahan besi tuang

Pembebanan Batang Secara Aksial. Bahan Ajar Mekanika Bahan Mulyati, MT

BAB II DASAR TEORI Tinjauan Pustaka

BAB IV DATA DAN ANALISA

BAB II PENGELASAN SECARA UMUM. Ditinjau dari aspek metalurgi proses pengelasan dapat dikelompokkan

PENGARUH VARIASI KUAT ARUS PENGELASAN TUNGSTEN INERT GAS

ANALISIS KEKUATAN TARIK BAJA ST37 PASCA PENGELASAN DENGAN VARIASI MEDIA PENDINGIN MENGGUNAKAN SMAW. Yassyir Maulana

PERLAKUAN PEMANASAN AWAL ELEKTRODA TERHADAP SIFAT MEKANIK DAN FISIK PADA DAERAH HAZ HASIL PENGELASAN BAJA KARBON ST 41

LAS BUSUR LISTRIK ELEKTRODE TERBUNGKUS (SHIELDED METAL ARC WELDING = SMAW)

MAKALAH PELATIHAN PROSES LAS BUSUR NYALA LISTRIK (SMAW)

I. PENDAHULUAN. selain jenisnya bervariasi, kuat, dan dapat diolah atau dibentuk menjadi berbagai

KARAKTERISTIK HASIL PENGELASAN PIPA DENGAN BEBERAPA VARIASI ARUS LAS BUSUR LISTRIK

Sifat Sifat Material

PENGARUH PENGELASAN TUNGSTEN INERT GAS TERHADAP KEKUATAN TARIK, KEKERASAN DAN MIKRO STRUKTUR PADA PIPA HEAT EXCHANGER

TUGAS AKHIR. PENGARUH JENIS ELEKTRODA PADA HASIL PENGELASAN PELAT BAJA St 32 DENGAN KAMPUH V TUNGGAL TERHADAP STRUKTUR MIKRO DAN KEKUATAN TARIKNYA

BAB XX DEFORMASI PADA KONSTRUKSI LAS

Pengaruh variasi kampuh las dan arus listrik terhadap kekuatan tarik dan struktur mikro sambungan las TIG pada aluminium 5083

I. PENDAHULUAN. sampah. Karena suhu yang diperoleh dengan pembakaran tadi sangat rendah maka

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB IV SIFAT MEKANIK LOGAM

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan dibeberapa tempat, sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. logam dengan cara mencairkan sebagian logam induk dan logam pengisi

PENGARUH POSISI PENGELASAN TERHADAP KEKUATAN TAKIK DAN KEKERASAN PADA SAMBUNGAN LAS PIPA

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI PENGARUH TERHADAP KEKUATAN TARIK PADA LAS SMAW (SHIELDED METAL ARC WELDING) DENGAN METODE EKSPERIMEN

DASAR-DASAR PENGELASAN

BAB IV PERUBAHAN BENTUK DALAM PENGELASAN. tambahan untuk cairan logam las diberikan oleh cairan flux atau slag yang terbentuk.

I. PENDAHULUAN. berperan dalam proses manufaktur komponen yang dilas, yaitu design,

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. masing-masing benda uji, pada pengelasan las listrik dengan variasi arus 80, 90,

Pengaruh Kondisi Elektroda Terhadap Sifat Mekanik Hasil Pengelasan Baja Karbon Rendah

I. PENDAHULUAN. rotating bending. Dalam penggunaannya pengaruh suhu terhadap material

BAB I PENDAHULUAN. memiliki andil dalam pengembangan berbagai sarana dan prasarana kebutuhan

PENGARUH VARIASI KUAT ARUS LAS LISTRIK PADA SUDUT KAMPUH V GANDA TERHADAP KEKUATAN TARIK DAN KETANGGUHAN IMPACT DARI MATERIAL ST 37

WELDABILITY, WELDING METALLURGY, WELDING CHEMISTRY

TEKNIKA VOL.3 NO.2 OKTOBER_2016

PERUBAHAN SIFAT MELALUI STRUKTUR ATOM

Heat Treatment Pada Logam. Posted on 13 Januari 2013 by Andar Kusuma. Proses Perlakuan Panas Pada Baja

Alasan pengujian. Jenis Pengujian merusak (destructive test) pada las. Pengujian merusak (DT) pada las 08/01/2012

PENGARUH SUHU NORMALIZING TERHADAP SIFAT FISIS DAN MEKANIS PENGELASAN BAJA PLAT KAPAL. Sutrisna*)

I. PENDAHULUAN. Dalam dunia konstruksi, pengelasan sering digunakan untuk perbaikan dan

PENGARUH HEAT TREATMENT

TUGAS PENYAMBUNGAN MATERIAL 5 RACHYANDI NURCAHYADI ( )

HASIL DAN PEMBAHASAN. dengan menggunakan kamera yang dihubungkan dengan komputer.

II. TINJAUAN PUSTAKA

DASAR TEKNOLOGI PENGELASAN

PENGARUH HASIL PENGELASAN GTAW DAN SMAW PADA PELAT BAJA SA 516 DENGAN KAMPUH V TUNGGAL TERHADAP KEKUATAN TARIK, KEKERAAN DAN STRUKTUR MIKRO

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

KAPAL JURNAL ILMU PENGETAHUAN & TEKNOLOGI KELAUTAN

BAB I LAS BUSUR LISTRIK

I. PENDAHULUAN. keling. Ruang lingkup penggunaan teknik pengelasan dalam konstruksi. transportasi, rel, pipa saluran dan lain sebagainya.

BAB III TEKNOLOGI PENGELASAN PIPA UNTUK PROSES SMAW. SMAW ( Shielded Metal Arc Welding ) salah satu jenis proses las busur

STUDI KARAKTERISTIK PENGELASAN SMAW PADA BAJA KARBON RENDAH ST 42 DENGAN ELEKTRODA E 7018

BAB I PENDAHULUAN. dimana logam menjadi satu akibat panas las, dengan atau tanpa. pengaruh tekanan, dan dengan atau tanpa logam pengisi.

MATERIAL TEKNIK 5 IWAN PONGO,ST,MT

HEAT TREATMENT. Pembentukan struktur martensit terjadi melalui proses pendinginan cepat (quench) dari fasa austenit (struktur FCC Face Centered Cubic)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian struktur mikro dilakukan untuk mengetahui isi unsur kandungan

Las busur listrik atau las listrik : Proses penyambungan logam dengan menggunakan tegangan listrik sebagai sumber panas.

BAB II LANDASAN TEORI

PENGARUH TEBAL PELAT BAJA KARBON RENDAH LAMA PENEKANAN DAN TEGANGAN LISTRIK PADA PENGELASAN TITIK TERHADAP SIFAT FISIS DAN MEKANIS

Pengaruh Variasi Arus terhadap Struktur Mikro, Kekerasan dan Kekuatan Sambungan pada Proses Pengelasan Alumunium dengan Metode MIG

ANALISIS PENGARU ARUS PENGELASAN DENGAN METODE SMAW DENGAN ELEKTRODA E7018 TERHADAP KEKUATAN TARIK DAN KETANGGUHAN PADA BAJA KARBON RENDAH ABSTRAK

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Deskripsi Data

PENGARUH KELEMBABAN FLUKS ELEKTRODA E 6013 LAS SMAW PADA KEKUATAN SAMBUNGAN TUMPUL BAJA PADUAN BERKEKUATAN TARIK TINGGI AISI 4340

BAB I PENDAHULUAN. logam menjadi satu akibat adanya energi panas. Teknologi pengelasan. selain digunakan untuk memproduksi suatu alat, pengelasan

PENGARUH HASIL PENGELASAN TERHADAP KEKUATAN, KEKERASAN DAN STRUKTUR MIKRO BAJA ST 42

PENGARUH HASIL PENGELASAN GTAW DAN SMAW PADA PELAT BAJA SA 516 DENGAN KAMPUH V TUNGGAL

EFFECT OF POST HEAT TEMPERATURE TO HARDNESS AND MACROSTRUCTURE IN WELDED STELL ST 37

Frekuensi yang digunakan berkisar antara 10 hingga 500 khz, dan elektrode dikontakkan dengan benda kerja sehingga dihasilkan sambungan la

bermanfaat. sifat. berubah juga pembebanan siklis,

Proses Annealing terdiri dari beberapa tipe yang diterapkan untuk mencapai sifat-sifat tertentu sebagai berikut :

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Jurnal Dinamis Vol.II,No.14, Januari 2014 ISSN

PENGARUH MEDIA PENDINGIN TERHADAP HASIL PENGELASAN TIG PADA BAJA KARBON RENDAH

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu material yang sangat penting bagi kebutuhan manusia adalah

PENGARUH PREHEAT TERHADAP STRUKTUR MIKRO DAN KEKUATAN TARIK LAS LOGAM TAK SEJENIS BAJA TAHAN KARAT AUSTENITIK AISI 304 DAN BAJA KARBON A36

PENGARUH PENDINGINAN CAIRAN RADIATOR COOLANT (RC) AHM TERHADAP KEKUATAN TARIK HASIL PENGELASAN SMAW PADA PLAT BAJA ST 37

Peningkatan Kualitas Sambungan Las Baja Karbon Rendah Dengan Metode Taguchi

PENGARUH POLA GERAKAN ELEKTRODE DAN POSISI PENGELASAN TERHADAP KEKERASAN HASIL LAS PADA BAJA ST60

PENGARUH BESAR ARUS LISTRIK DAN PANJANG BUSUR API TERHADAP HASIL PENGELASAN.

PENGARUH FILLER DAN ARUS LISTRIK TERHADAP SIFAT FISIK-MEKANIK SAMBUNGAN LAS GMAW LOGAM TAK SEJENIS ANTARA BAJA KARBON DAN J4

Transkripsi:

8 BAB II DASAR TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka Proses pengelasan tentu akan mengakibatkan timbulnya tegangan sisa. Tegangan sisa timbul karena distribusi panas yang tidak merata saat pengelasan, dengan nilai tertinggi di daerah lasan dan daerah terpengaruh panas (HAZ). Salah satu parameter yang cukup menentukan adalah geometri pengelasan. Penelitian terkait geometri pengelasan telah dilakukan Widyanto (2014) yang meneliti pengaruh variasi arus dan sudut kampuh pengelasan SMAW terhadap timbulnya tegangan sisa pengelasan pada sambungan baja karbon rendah dengan Las SMAW. Elektroda yang dipakai adalah E6013 berdiameter 2.6 mm, dangan pemakaian arus 80A, 90A, dan 100A, pada posisi pengelasan down hand. Jenis kampuh yang digunakan jenis kampuh V, dengan variasi sudut 40, 45, 60. Sementara itu, dari hasil pengukuran tegangan sisa disimpulkan bahwa semakin besar arus yang digunakan semakin besar pula tegangan sisa yang ditimbulkan. Kemudian semakin besar sudut kampuh yang dipakai tegangan sisa yang timbul juga semakin besar. Dimana nilai tegangan sisa terkecil terjadi pada sudut kampuh 40 dengan arus 80 A yang bernilai 27.06 MPa. Tegangan sisa terbesar terjadi pada sudut kampug 60 dengan arus 100A, sebesar 344.80 MPa. Lebih lanjut, Sujatmika, dkk (2011) meneliti pengaruh groove dan gap terhadap hasil pengelasan SMAW. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh groove dan gap terhadap struktur mikro dan tegangan sisa setelah proses pengelasan. Material yang dipakai adalah baja karbon rendah AISI 1020, setelah pengelasan dilakukan uji kekerasan ( hardness), uji metalografi, dan uji X-Ray Diffraction (XRD) untuk pengukuran tegangan sisa. Variasi spesimen untuk groove dibuat kemiringan sudut 60, 75, dan tanpa groove. Besar gap dibuat 2 mm dan 4 mm. Penelitian menunjukkan bahwa gap 2 mm hasilnya paling efektif dengan nilai tegangan sisa yang kecil. Perlu diketahui besar gap menentukan lebar daerah HAZ, dan weld metal, dan berpengaruh terhadap tegangan sisa. Sampel dengan gap 2 mm dihasilkan tegangan sisa terkecil terjadi pada sampel tanpa 8

9 groove sebesar 6.099473 GPa. Sementara tegangan sisa terbesar ada pada sampel dengan sudut kemiringan 75 sebesar 8.581149 GPa. Jenis tegangan sisa sendiri tergantung pembebanan yang diterapkan, bisa positif dan negatif, dimana tegangan sisa positif dianggap lebih merugikan. Karena berdampak terhadap kekuatan, fatigue, korosi, dan ketahanan aus. Price, dkk (2006) melakukan pengukuran tegangan sisa akibat proses pengelasan pada material pelat baja karbon rendah berdimensi 200 100 12 mm, pengelasan dilakukan di tengah pelat setebal 1,5 mm. Elektroda yang dipakai berdiameter 1.6 mm dengan arus listrik 260-280 A, sedangkan untuk tegangan sebesar 28-30 V, dan kecepatan pengelasan 360 mm/min. Pengukuran tegangan sisa dilakukan menggunakan hamburan neutron dengan panjang gelombang 1,40 Ǻ. Hasil pengukuran menunjukkan di daerah lasan serta HAZ mengalami tegangan sisa tarik dan pada logam induk hingga bagian tepi spesimen mengalami tegangan sisa tekan. Tegangan sisa maksimum ada di dekat garis tengah pengelasan dengan nilai 350-360 MPa pada sampel 1, dan 470-490 MPa untuk sampel 2. Tegangan sisa dapat mempengaruhi batas kekuatan lelah, hal tersebut dibuktikan dengan pengujian yang dilakukan Kohler, dkk (2012). Penelitian itu bertujuan untuk mengetahui nilai tegangan sisa akibat proses pelapisan menggunakan induksi laser. Perlu diketahui pelapisan ini dimaksudkan agar material yang dilapisi tahan terhadap korosi. Hasil pengujian utamanya menunjukkan bahwa ada korelasi antara uji kekuatan lelah dengan lokasi crack initiation terhadap bidang tegangan sisa tarik tertinggi. Dimana tegangan sisa terbesar ada pada bagian tengah atau HAZ. 2.2 Dasar Teori 2.2.1 Tegangan Sisa Menurut Fitzpatrick dan Lodini (2003), evaluasi tegangan sisa penting dalam peningkatan performa material, mengontrol deformasi dari komponen dan memahami proses industri. Tegangan sisa muncul dari bermacam sumber, diantaranya proses mekanik (permesinan, shot peening), perlakuan panas ( heat treatment, laser treatment), thermomekanik ( forging, welding), atau termokimia (carburizing, nitriding). 9

10 Lebih lanjut Fitzpatrick dan Lodini (2003) menjelaskan definisi umum dari tegangan sisa ialah tegangan penyeimbang yang ada dalam material dan berlawanan dengan tegangan lain tanpa adanya tegangan dan gaya dari luar, dan material tersebut berada dalam kondisi temperatur konstan. Memahami prinsip tegangan sisa, sangat erat kaitannya dengan konsep tegangan dan regangan. Dimana tegangan pada suatu titik dapat dihitung setelah regangan diukur. Tegangan menurut Mott (2009) adalah tahanan dalam yang disediakan oleh suatu satuan luas (pascal) bahan terhadap beban luar, dimana tegangan normal (σ) dapat berupa tarik (positif) dan tekan (negatif). Shigley dan Mitchell (1986) mengungkapkan dalam suatu perancangan tegangan diasumsikan terbagi rata. Hasilnya sering disebut tegangan tarik murni, tegangan tekan murni, dan tegangan geser murni. Tegangan (σ) harganya dapat dihitung dari persamaan 2.1. σ = F / A (2.1) dimana, σ = tegangan rata-rata (Pa, MPa) F = pembebanan atau gaya luar (N, Kgf) A = luas penampang (m 2, mm 2 ). Secara teknis regangan atau deformasi adalah satuan tegangan yang digambarkan terhadap pertambahan panjang. Regangan sederhana didapat dari perubahan panjang (ẟ) dibagi panjang awal (l) (Singer dan Pytel, 1995). Menurut Shigley dan Mitchell (1986), regangan ialah pertambahan panjang, atau pemuaian, misalnya sebuah batang lurus diberi beban tarik maka batang itu akan bertambah panjang. Regangan sering digunakan untuk menyatakan satuan regangan. Sementara itu, regangan total untuk mengartikan perpanjangan total, dan perubahan bentuk suatu benda. ε = ẟ/l (2.2) dimana, ε = regangan ẟ = perubahan panjang (m) l = panjang awal (m). 10

11 Pada tegangan biaksial harga σ 1 dan σ 2 memiliki nilai, kemudian σ 3 dianggap nol. Formula tegangan utama dihitung berdasarkan persamaan 2.3, atau disebut poisson ratio yang menunjukkan regangan (lateral dan aksial) saling berbanding lurus, menurut batas-batas hukum hooke (Shigley dan Mitchell, 1986). ʋ = - regangan lateral/ regangan aksial (2.3) dimana, ʋ = poisson ratio Bila setiap tegangan utama tersebut bekerja sendiri-sendiri dan kemudian hasilnya digabungkan dengan melakukan super posisi akan tersaji pada persamaan 2.4. Lalu, tegangan triaksial terjadi apabila tiga tegangan utama tersebut sama dengan nol, regangan utamanya diekspresikan pada persamaan 2.5. ε 1 = (σ 1 /E) - (ʋσ 2 /E) ε 2 = (σ 2 /E) - (ʋσ 2 /E) ε 3 = - (ʋσ 1 /E) - (ʋσ 2 /E) (2.4) ε 1 + ʋε 2 = (σ 1 /E) - (ʋσ 2 /E) + (ʋσ 2 /E) - (ʋ 2 σ 1 /E) (2.5) Sehingga dalam menghitung σ1 dan σ2, dipakai persamaan 2.6, σ 1 = [E(ε 1 + ʋε 2 )] / 1-ʋ 2 σ 2 = [E(ε 2 + ʋε 1 )] / 1-ʋ 2 (2.6) Sementara itu, untuk regangan triaksialnya menjadi, ε 1 = (σ 1 /E) - (ʋσ 2 /E) - (ʋσ 3 /E) ε 2 = (σ 2 /E) - (ʋσ 1 /E) - (ʋσ 3 /E) ε 3 = (σ 3 /E) - (ʋσ 1 /E) - (ʋσ 2 /E) (2.7) Kemudian tegangan utamanya menjadi, σ 1 = [Eε 1 (1 - ʋ) + ʋe(ε 2 + ε 3 )] / [1 - ʋ - 2ʋ 2 ] σ 2 = [Eε 2 (1 - ʋ) + ʋe(ε 1 + ε 3 )] / [1 - ʋ - 2ʋ 2 ] σ 3 = [Eε 3 (1 - ʋ) + ʋe(ε 1 + ε 2 )] / [1 - ʋ - 2ʋ 2 ] (2.8) dimana, E = modulus elastisitas (Pa) ʋ = passion ratio ε = regangan σ = tegangan (Pa) 11

12 2.2.2 Hamburan Neutron Metode hamburan neutron merupakan pengukuran tegangan sisa yang didapat dari pengukuran jarak antar regangan. Menurut Muslih (2013) jarak antar atom merupakan pengukur regangan internal suatu benda atau material. Dimana, perubahan jarak antar atom mengindikasikan terjadi regangan pada suatu material. Sehingga bila menggunakan persamaan hukum hooke menjadi, tegangan (σ) sama dengan stiffness tensor (c) dikali regangan (ε) yang terjadi. Stiffness tensor (c) dalam mode 1 dimensi adalah modulus elastisitas bahan. Metode hamburan neutron dipakai untuk mengukur tegangan makrostres tipe I, dan fase atau rata - rata butiran mikrostres tipe II. Biasanya digunakan untuk mengukur regangan dengan ketepatan 100 10-6 dalam satuan mm, dimana volume sampel lebih besar dari 1 mm 3. Hamburan neutron diaplikasikan untuk material kristaline dengan ukuran butiran kurang dari 100 mikron. Dimana, pemahaman geometri sampel dan lokasi adalah kunci dari pengukuran dibutuhkan sebelum melakukan pengukuran. Tiga komponen dari regangan dibutuhkan untuk menentukan tegangan di tiga sumbu pada tiap posisi, dan error yang terjadi pada tiap pengukuran regangan yang terkumpul saat berubah menjadi tegangan. Beberapa kasus tegangan utama bisa diambil dari tegangan arah simetrinya, tapi bila tidak diketahui maka dapat diambil dari 6 arah pengukuran regangan yang dibutuhkan pada tiap posisi. Volume pengukuran yang kecil meningkatkan waktu pengukuran. Bila mungkin, memperkirakan gradien tegangan dan memperbesar dimensi pengukuran dalam arah perubahan butir yang terjadi pada regangan. Sementara itu, Webster (2000) mengungkapkan tegangan sisa didapatkan dari pengukuran kisi-kisi tegangan. Secara umum, karena tegangan adalah tensor, pengukuran dilakukan pada 6 orientasi arah untuk benar-benar menentukan kondisi tegangan pada suatu titik. Namun, ketika arah utama diketahui cukup hanya menggunakan 3 orientasi arah. Dasar pengukuran hamburan neutron ditampilkan dengan dua instrumen sumber panjang gelombang yang konstan dan instrumen Time of Flight (TOF). Pengukuran difraksi neutron menggunakan jarak kisi-kisi sebagai pengukuran regangan, yang didapatkan dari hukum bragg: d = λ / 2 sin θ (2.9) 12

13 dimana, d = jarak kisi θ = sudut difraksi pada hkl tertentu sebagai area refleksi λ = panjang gelombang radiasi. Kemudian, regangan diukur pada arah hamburan vektor Q yang terbagi menjadi dua yaitu sudut datang dan sudut hamburan. Untuk melengkapi persamaan hukum bragg di atas, perubahan yang terjadi pada jarak kisi-kisi Δd = d-d 0, dimana d 0 adalah jarak kisi-kisi yang tidak mengalami regangan, akan berakibat pada perubahan λ dan θ, (Webster, 2000). ε = (d 1 - d 0 ) / d 0 = -cot (θ 0 ) (θ 1 -θ 0 ) (2.10) dimana, ε = regangan d 1 = jarak kisi sampel terukur d 0 = jarak kisi sampel bebas tegangan θ 1 = sudut hamburan θ 0 = sudut hamburan dari sampel tanpa tegangan. Menurut Webster (2000), Untuk orientasi aksial lebih mudah memilih bentuk menyerupai kubus. Untuk regangan radial dan hoop lebih tepat memilih bentuk volume balok, guna mengambil keuntungan dari kelemahan variasi regangan pada arah aksial. Sebelum melakukan pengukuran harus memperhatikan posisi dan meluruskan sampel pengujian dengan difraktometer. Resolusi spasial pengukuran neutron bergantung pada dimensi lubang/ celah/ slit yang membatasi berkas neutron dan juga mengatur sudut datang dan sudut hamburan berkas neutron. Slit tersebut mengurangi berkas neutron menjadi luasan yang memiliki penampang. Resolusi spasial optimal pada 2θ ada di sudut 90 o. Kemudian, untuk prinsip pengukuran dan arah pengukuran difraksi neutron diilusterasikan pada Gambar 2.1 dan Gambar 2.2. Pengukuran dengan panjang gelombang radiasi monokromatik tunggal didapat dengan mengarahkan berkas yang berisi berbagai macam panjang gelombang neutron ke monokromator kristal. Berkas yang dipantulkan dari monokromator inilah yang akan digunakan, dengan panjang gelombang (λ) ditentukan melalui persamaan 2.9. 13

14 Gambar 2.1. Prinsip difraksi neutron pada pengukuran regangan. (Webster, 2000) Gambar 2.2. Ring plug dengan geometri aktual dari berkas neutron. (Webster, 2000) Webster (2000) menjelaskan monokromator yang biasa digunakan Cu-220, PG-002, Ge-311, Si-331 and Be-110. Karena adanya hambatan dalam memilih monokromator sudut difraksi, sudut 2θ akan bevariasi untuk tiap laboratorium berkisar antara 2θ 42 dan 2θ 97. Refleksi (hkl) akan disesuaikan dengan bidang (111), (002), (022), atau (311) yang disesuaikan dengan material uji. Prosedur pengukuran aktual untuk eksperimen gelombang konstan dilakukan dengan sinar neutron dari panjang gelombang (λ) tetap yang diarahkan pada spesimen sehingga menghasilkan berkas difraksi. Sebuah detektor neutron sudut sensitif digunakan untuk mengamati berkas di sudut 2θ. Sebuah contoh profil yang sudah direkam ditunjukan pada Gambar 2.3. 14

15 Gambar 2.3. Profil puncak intensitas neutron untuk refleksi (111) (Webster, 2000) Pola hamburan yang diamati dilengkapi dengan profil Gaussian/ Lorentzian yang simetris. Perubahan posisi puncak Δθ dari nilai regangan nol digunakan dengan persamaan 2.9, untuk menghitung regangan dari persaman 2.11. ε = Δθ cot θ 0 (2.11) dimana, ε = regangan θ = sudut hamburan θ 0 = sudut hamburan dari sampel tanpa tegangan. Regangan yang diperoleh selanjutnya diubah menjadi tegangan dengan memakai persamaan hokum hooke, seperti diekspresikan pada persamaan 2.12. σ θ = [E / (1+ʋ). (1-2ʋ)] [(1-ʋ ε θ + v (ε r + ε z )] σ r = [E / (1+ʋ). (1-2ʋ)] [(1-ʋ) ε r + v (ε θ + ε z )] σ z = [E / (1+ʋ). (1-2ʋ)] [(1-ʋ) ε z + v (ε θ + ε r )] (2.12) dimana, σ = tegangan E = modulus elastisitas ε = regangan ʋ = poisson ratio θ, r, z = arah vektor tegangan. 15

16 2.2.3 Proses Pengelasan Pengelasan menurut Wiryosumarto dan Okumura (2000) didefinisikan sebagai sambungan setempat dari beberapa batang logam dengan menggunakan energi panas. Selain untuk pembuatan dan perakitan, las biasa dipakai untuk proses perbaikan konstruksi dan struktur mesin. Pengelasan juga harus didasari berbagai macam masalah dan pengetahuan yang perlu dipahami, meski prosesnya terlihat sederhana. Lebih lanjut Wiryosumarto dan Okumura (2000) menyebutkan pengelasan pada baja karbon harus diperhatikan kelompok serta kandungan karbon dalam baja. AISI 1020 yang masuk pada kelompok karbon rendah pada daerah terpengaruh panas/ Heat Affected Zone (HAZ) sangat mudah menjadi keras, sehingga peka terhadap retak lasan. Mengatasi retak las, dapat dengan pemanasan awal serta memilih elektroda dengan kandungan hidrogen rendah. Daerah lasan terdiri dari tiga bagian, (1) logam lasan yaitu bagian dari logam yang pada saat pengelasan mencair kemudian membeku. (2) daerah HAZ, merupakan daerah logam dasar yang bersebelahan dengan logam las, dimana saat pengelasan mengalami siklus pemanasan dan pendinginan yang cepat. (3) logam induk adalah daerah yang tidak terpengaruh karena pada logam induk ini panas dan temperatur pengelasan tidak menyebabkan perubahan struktur dan sifat. 2.2.3.1 Pengelasan SMAW Pengelasan Shielded Metal Arc Welding (SMAW) adalah pengelasan dengan menggunakan busur nyala listrik sebagai sumber panas untuk mencairkan elektroda las. Pengelasan ini menggunakan elektroda yang terbungkus dengan fluks. Panas busur nyala listrik akan mencairkan logam induk dan ujung elektroda, kemudian terjadi proses pembekuan. Penyambungan dan pencairan logam sangat dipengaruhi oleh besar kecilnya arus. Saat proses pengelasan fluks akan membungkus cairan logam sebagai mekanisme pelindung logam cair terhadap oksidasi. Selain metode pengelasan yang baik, faktor suksesnya penyambungan adalah suatu material memiliki kemampuan derajat kesukaran yang rendah terhadap sambungan las serta memungkinkan konstruksi dibuat dengan jalan 16

17 pengelasan sesuai tujuan, dimana hal tersebut menurut Surdia dan Saito (1 999) dinamakan mampu las. Pada pengelasan SMAW bahan fluks dan jenis listrik merupakan hal yang penting. Fluks memegang peranan untuk memantapkan nyala busur dan pemindahan butir-butir cairan logam stabil. Sehingga, bahan penyusun fluks memiliki kemampuan deoksidasi, pembentuk terak, penghasil gas, penambah unsur paduan, dan penstabilan busur. Misalnya untuk elektroda E6013 jenis fluks berbahan kalium titania tinggi. Elektroda ini dipakai pada semua posisi pengelasan, baik datar ( down hand) vertical, over head, dan horizontal. Kawat logam yang dipakai pada inti elektroda dibuat dari baja lunak. Pengelasan SMAW dapat dilakukan dengan tangan, atau pun secara otomatis dengan memasangkan elektroda pada pemegang yang terikat pada peluncur. Mesin las sendiri mampu menghasilkan busur yang timbul dari listik arus bolak balik (AC) dan listrik arus searah (DC). Kemudian, Wiryosumarto dan Okumura (2000) mengungkapkan dalam logam las dapat terjadi cacat las seperti, pemisahan, lubang halus, serta pembekuan, dimana cacat las tersebut dipengaruhi oleh kecepatan pembekuan. 2.2.3.2 Sambungan Las Tabel 2.1. Pembuatan alur pengelasan Jenis Alur Tebal Posisi pengelasan Dimensi G 0 D 1 2 T R T-(D 30 F, H, dan O 1 +D 2 ) D 2 T α 1 60 α 2 60 G 0 D 1 2 T R T-(D 30 F, H, dan O 1 +D 2 ) D 2 T α 1 60 α 2 60 Sambungan las pada konstruksi secara umum terbagi menjadi sambungan tumpul, sambungan T, sambungan sudut, serta sambungan tumpang. Dimana, sambungan las tumpul merupakan sambungan las yang paling efisien. Jenis alur 17

18 yang dapat dipakai seperti V-tunggal, tirus tunggal, U-tunggal, V-ganda, tirus ganda, dan U-ganda. Penetrasinya terdiri dari penetrasi penuh dan sebagian. Sehingga membuat alur las dilakukan melalui beberapa pertimbangan seperti, tebal bahan, bentuk sambungan, penetrasi dan jenis alur. Tabel 2.1 menunjukkan prosedur dalam pembuatan alur Double V Groove dan Double Bevel Groove. 2.2.3.3 Parameter Pengelasan 1. Tegangan busur las Nilai tegangan tergantung panjang busur serta jenis elektroda. Wiryosumarto dan Okumura ( 2000) memetakan panjang busur ideal kira-kira seukuran dengan diameter elektroda. Tegangan yang diperlukan untuk elektroda berdiameter 3 sampai 6 mm, kira-kira 20 sampai 30 volt. Busur listrik yang terlalu panjang dapat mengganggu kesetabilan busur. Bagi welder berpengalaman mereka dapat menerka kesetabilan busur hanya dari suaranya, namun pada konteks tersebut sangat sulit mempertahankan panjang busur untuk tetap konstan. 2. Arus pengelasan Wiryosumarto dan Okumura ( 2000) menjelaskan dalam menentukan arus pengelasan diperoleh dari jenis bahan, ukuran, geometri sambungan, posisi pengelasan, jenis dan diameter elektroda. Pada baja sedang, daerah HAZ akan cepat mengeras, maka harus diusahakan pendinginan yang pelan, arus yang besar, lalu bila perlu dilakukan perlakukan panas. 3. Kecepatan pengelasan Pertimbangan dalam menentukan kecepatan pengelasan tergantung jenis dan diameter elektroda, bahan, geometri sambungan, dan ketelitian sambungan. Kecepatan pengelasan tidak berhubungan dengan tegangan las, namun berbanding lurus dengan arus las. Karena pengelasan yang cepat memerlukan arus las yang tinggi. 2.2.3.4 Tegangan Sisa Pengelasan Tegangan sisa diduga dapat menjadi salah satu faktor patah getas, deformasi atau perubahan bentuk, serta konsentrasi tegangan pada pengelasan, hal-hal yang perlu dihindari seperti, (1) memilih bahan dengan ketangguhan tinggi. (2) menghindari sambungan yang terlalu dekat. (3) menghindari perencanaan sambungan las dengan banyak penahan. (4) menentukan tahapan pengelasan yang 18

19 tepat, kemudian (5) dilakukan perlakukan panas lanjutan untuk menurunkan nilai tegangan sisa. 2.2.3.5 Struktur Metalografi Baja mempunyai beberapa fasa yaitu austenit, ferit, perlit, bainit, martensit. Misal, pada temperatur 722 C baja memiliki fasa berbentuk ferit dan pearlit, lalu diatas 722 C fasanya berupa campuran austenit dan ferit. Pada temperatur 843 C fasanya berupa austenit. Variasi laju pendingan dari austenit ini dapat mengatur fasa dari baja. Pendinginan cepat akan didapat baja martensit, pendinginan lambat baja berbentuk ferrite dan perlite, untuk pendinginan menengah berbentuk bainite (Jokosisworo, 2006). Pengamatan struktur mikro penting untuk mempelajari sifat-sifat bahan setelah proses pengelasan. Menurut Setiawan dan Wardana (2006), struktur mikro yang terbentuk ditentukan oleh proses pendinginan. Beberapa faktor yang mempengaruhi struktur mikro, seperti komposisi akhir logam las, jenis kawat las, serta kondisi udara saat pengelasan. Wiryosumarto dan Okumura (2000) menyampaikan proses pendinginan umumnya berlangsung secara cepat sehingga untuk menganalisa struktur mikro hasil pengelasan tidak dapat digunakan diagram fasa. Karena itu untuk analisa struktur mikro hasil pengelasan dapat menggunakan diagram Continuous Cooling Transformation (CCT), atau yang ditunjukan Gambar 2.4. Dimana, struktur mikro yang dihasilkan berubah sesuai kecepatan pendinginan, dari ferrite dan peralite menjadi ferrite-pearlite-bainite-martensite, ferrite-bainite-martensite, bainitemartensite, kemudian martensite untuk kecepatan pendinginan cepat. Aisyah (2010) pada penelitiannya menyebutkan pengelasan pada baja karbon merubah struktur mikro dan sifat mekanik. Pada daerah lasan terbentuk struktur ferrite widmanstatten, ferrite acicular, dan ferrite batas butir, sehingga daerah las menjadi keras, namun getas dibanding logam induk. Pendinginan yang cepat pada daerah las mengakibatkan tersimpan energi tegangan sisa tertinggi. Lalu, daerah HAZ memiliki struktur mikro bainite yang merupakan agregat dari ferrite dan cementite. Perlu diketahui, menurut Rochim (1993) struktur metalografi berkaitan dengan kemampuan suatu komponen mencegah kerusakan. Gaya yang bereaksi 19

20 akan membuat bagian-bagian komponen terjadi tegangan. Tegangan itu akan terakumulasi bersama tegangan sisa, yang bila harganya melebihi kekuatan material akan menimbulkan retak mikro. Apabila beban berfluktuasi dalam jangka waktu yang lama retak mikro akan membesar dan terjadi kerusakan akibat kelelahan (fatique). Gambar 2.4. Diagram Continuous Cooling Transformation (CCT) baja karbon (Callister, 2001). 2.2.4 Material Teknik 2.2.4.1 Sifat-Sifat Mekanik Material teknik menurut Vlack dan Djaprie (1992), berkorelasi erat dengan parameter-parameter sifat mekanik bahan, dimana deformasi terjadi apabila bahan (material) mengalami gaya. Parameter sifat mekanik bahan adalah sebagai berikut: 1. Regangan ( strain) adalah besar deformasi persatuan panjang. Regangan awal juga berbanding lurus dengan nilai tegangan, serta memiliki sifat mampu balik (reversible), bila tegangan ditiadakan regangan hilang, fenomena ini disebut regangan elastis. Sementara itu, regangan plastis terjadi bila regangan tetap ada pada material saat tegangan ditiadakan. 2. Tegangan (stress) adalah gaya persatuan luas. Dimana, selama deformasi suatu material menyerap energi terhadap gaya yang bekerja sepanjang jarak deformasi. 20

21 3. Kekuatan ( strength) adalah ukuran besar gaya yang diperlukan hingga bahan rusak atau patah. Lalu, ketahanan suatu bahan terhadap deformasi palstis disebut kekuatan luluh. 4. Keuletan (ductility) nilai regangan plastis sebelum terjadi patah atau kegagalan. Deformasi plastis umumnya terletak pada daerah susut, dimana persentase perpanjangan tergantung pada panjang ukur. 5. ketangguhan ( toughness) adalah jumlah energi yang mampu diserap suatu bahan hingga terjadi patahan. 2.2.4.2 Struktur Kristal Menurut Callister ( 2001), Kristal merupakan susunan atom-atom secara teratur dalam pola tiga dimensi. Struktur kristal berhubungan serta berpengaruh terhadap sifat-sifat suatu bahan. Deskripsi struktur kristal didekati dengan bentuk bola padat dengan ukuran dan diameter tertentu sebagai unit sel. Struktur kristal pada konteks pengukuran tegangan sisa dengan metode hamburan neutron dipakai untuk menentukan arah bidang kristal. Unit sel pada struktur kristal secara umum diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Face Centered Cubic (FCC) Gambar 2.5. (a) Struktur kristal face centered cubic, (b) FCC dalam unit sel, (c) susunan FCC dalam banyak atom. (Callister, 2001) 21

22 Struktur kristal tipe FCC banyak ditemukan pada material logam, dengan atom terletak di setiap sudut-sudut dan pusat di semua sisi-sisi kubus. Mateial logam dengan struktur kristal FCC seperti, tembaga, alumunium, perak, serta emas. Gambar struktur kristal FCC tersaji pada Gambar 2.5. 2. Body Centered Cubic (BCC) BCC adalah unit sel dengan atom yang terletak pada sudut sudut kubus dan atom tunggal di pusat kubus. Jadi BCC terdiri dari dua atom ditiap sel, satu atom di delapan sudut, dan satu yang lainnya pada pusat atom tunggal. Material yang memiliki struktur kristal BCC seperti kromium, besi, dan tungsten. Gambar 2.6 merupakan citra dari unit sel BCC. Gambar 2.6. (a) Struktur kristal body centered cubic, (b) BCC dalam unit sel, (c) susunan BCC dalam banyak atom. (Callister, 2001) 3. Hexagonal Close Packed (HCP) Gambar 2.7. (a) HCP dalam unit sel, (b) susunan HCP dalam banyak atom (Callister, 2001). Unit sel struktur kristal tidak semuanya berbentuk kubus. Gambar 2.7 menunjukkan struktur kristal berbentuk Hexagonal Close Packed (HCP). Sisi bagian atas dan bawah terdiri dari enam atom membentuk segi enam yang 22

23 mengelilingi atom tunggal ditengah. Lalu ada tambahan tiga atom diantara bagian atas dan bawah, jadi total ada 17 atom tunggal. Material dengan struktur kristal HCP meliputi, kadmium, magnesium, titanium, dan seng. 2.2.4.3 Arah dan Bidang Kristalografi Menurut Callister (2001), a rah kristalografi didefinisikan sebagai garis antara dua titik atau unit vektor berdasarkan aksisnya. Arah suatu kristal ditulis dengan tanda kurung [ ], misal arah [100], [110], atau [111]. Berikut ini langkah-langkah menentukan tiga bidang kristalografi: 1. Sebuah vektor diposisikan hingga melewati sistem koordinat 2. Panjang vektor dari tiga sumbu masing-masing telah ditentukan menurut dimensi unit satuan a, b, dan c. 3. Ketiga vektor dikali atau dibagi dengan faktor umum sehingga didapat nilai integer terkecil. 4. Ketiga indeks disajikan dalam persegi kurung [uvw], dengan u, v, dan w adalah bilangan bulat sesuai proyeksi sepanjang x, y, dan z. Arah kristalografi pada unit sel disajikan pada Gambar 2.8. Gambar 2.8. Arah unit sel [100], [110], dan [111]. (Callister, 2001) Sementara itu bidang kristalografi adalah objek dua dimensi, garis normal dari bidang irisan digunakan untuk mendeskripsikan bidang ini. unit sel dipakai sebagai dasar, pada sistem koordinat tiga sumbu. Kecuali sistem kristal heksagonal, bidang kristalografi dijelaskan dengan tiga indeks miller (hkl), ditulis dalam tanda kurung, (Callister, 2001). 23

24 Prosedur yang dipakai dalam menentukan nomor indeks h, k, dan l, adalah sebagai berikut: 1. Bidang dibuat pada unit sel, bidang baru dibuat dari sudut unit sel yang lain. 2. Bidang kristalografi berpotongan atau parallel dari tiap-tiap tiga sumbu, panjang potongan untuk setiap sumbu ditentukan dalam parameter kisi a, b, dan c. 3. Sebuah bidang sejajar dengan sumbu memiliki indeks nol. 4. Tiga angka indeks dibuat menjadi ukuran terkecil dengan bilangan bulat, perkalian dan pembagian dengan faktor umum. 5. Indeks disajikan tanpa koma dalam kurung, seperti pada Gambar 2.9, (hkl). Gambar 2.9. Representasi bidang krisalografi, a. (001), b. (110), dan c. (111). (Callister, 2001) 2.2.5 Frekuensi Natural (Getaran) Getaran terdiri dari getaran bebas dan paksa. Getaran bebas terjadi apabila sistem berosilasi akibat gaya dalam sistem dan tidak terdapat gaya dari luar. Sistem ini akan mengalami getaran dengan satu frekuensi natural atau lebih, akibat distribusi massa dan kekakuannya. Getaran paksa terjadi akibat gaya luar, 24

25 dimana sistem dibuat bergetar sesuai frekuensi rangsangan. Apabila frekuensi rangsangan sama dengan frekuensi natural sistem maka terjadi resonansi dan osilasi yang berlebih (Mustafa, 2011). Meningkatnya frekuensi natural sistem dapat menyebabkan getaran berlebih, yang mampu mengakibatkan kerusakan suatu elemen mesin. Solusi mengurangi getaran dapat dengan cara membuat redaman hingga level tertentu. Model matematika Yongyi dan Lichuan (1996) terkait hub ungan tegangan sisa dengan frekuensi natural menyebutkan bahwa makin tinggi tegangan sisa akibat pengelasan maka frekuensi natural komponen akan meningkat. Jason, dkk (2014) juga menyebutkan tegangan sisa akibat pengelasan dapat berpengaruh terhadap nilai frekuensi natural sistem. Besarnya modulus kekakuan ditentukan oleh nilai pertambahan panjang Δl, dimana semakin kecil Δl berakibat semakin kaku sebuah sistem. Sementara itu, rumus umum yang dipakai untuk menentukan frekuensi pribadi seperti diekspresikan persamaan 2.16. Pada konteks pengelasan logam perubahan struktur mikro dan timbulnya tegangan sisa telah meningkatkan nilai modulus kekakuan pada massa benda yang sama. Perubahan parameter kisi sebagai pembanding dalam menentukan tegangan sisa dapat identik dengan pertambahan panjang Δl untuk mencari regangan (ε). F = k. Δx (2.13) Δl = l 1 - l 0 (2.14) k = F / Δl (2.15) ω n = (k/m) (2.16) dimana, F = gaya yang bekerja (N) Δx = perpindahan (m) l = panjang (m) ω n = frekuensi natural k = modulus kekakuan (N/m) m = massa/ berat (kg) 25