Kritikan terhadap Bunyi Beberapa Pasal Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, membayar pajak merupakan salah satu kewajiban dalam. mewujudkan peran sertanya dalam membiayai pembangunan secara

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 254/PMK.03/2014 TENTANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 254/PMK.03/2014

Kini PBB Menjadi Pajak Daerah!

MENGENAL SEKILAS TENTANG KEBIJAKAN PEDAERAHAN PAJAK PUSAT

Perpajakan / Elearning BPHTB Dosen: VED.,SE.,MSi

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

BUPATI MALANG BUPATI MALANG,

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 111/PMK.03/2009 TENTANG

DEFINISI PAJAK BUMI DAN BANGUNAN

PERATURAN BERSAMA MENTERI KEUANGAN DAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 15/PMK.07/2014 NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG

2 menyelesaikan berbagai permasalahan pengalihan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaks

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PEDESAAN DAN PERKOTAAN

BAB III IMPLIKASI TIDAK DITERBITKANNYA SURAT PEMBERITAHUAN PAJAK TERHUTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DALAM MASA

BUPATI KARANGASEM PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEUANGAN. Tata Cara. PBB. Penghapusan Sanksi. Pengurangan. Pembatalan.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

MODUL PERPAJAKAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN ATAU BANGUNAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2016 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK DAERAH

BUPATI BANDUNG BARAT

Keterangan Bebas (SKB) Pemungutan PPh Pasal 22 Impor. 7 Pelayanan Penyelesaian Permohonan a. KPP Pratama dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan

BUPATI POLEWALI MANDAR PROVINSI SULAWESI BARAT

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26/PMK.03/2015 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG,

Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3091) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26/PMK.03/2015 TENTANG

Penghitungan Wajib Pajak dalam SSB (Rp) BPHTB yang seharusnya terutang ,00 Pengurangan ( ,00) ( ,00) BPHTB terutang setelah

2017, No tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan Pajak Bumi dan Bangunan; Mengingat : Peraturan Menteri Keuangan Nomor 253/PMK.03

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT TAHUN 2011 NOMOR 1

BUPATI SUKAMARA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI SUKAMARA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 46 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN PENAGIHAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN

-1- RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KOTA SINGKAWANG

BUPATI BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 40 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 27 TAHUN 2018 TENTANG TATA CARA PENERBITAN

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 118/PMK.03/2016 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

NO. PERDA NOMOR 2 TAHUN 2011 PERDA NOMOR 17 TAHUN 2016 KET 1. Pasal 1. Tetap

PERAN DAN TANGGUNG JAWAB PPAT DALAM MENGOPTIMALKAN PENERIMAAN BPHTB

PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG

2011, No Indonesia Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3312) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No

BUPATI MALANG BUPATI MALANG,

2017, No tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tenta

Pasal 26 UU No.6/1983 s.t.d.t.d. UU No. 16/2009. Pasal 36 ayat (1) huruf a, UU No.6/1983 s.t.d.t.d. UU No. 16/2009.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Pajak Bumi Bangunan

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KLUNGKUNG,

PEMERINTAH KABUPATEN NUNUKAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

-1- PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 253/PMK.03/2014 TENTANG

BUPATI ACEH TIMUR PERATURAN BUPATI ACEH TIMUR NOMOR 18 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENELITIAN DAN PEMERIKSAAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 39 TAHUN 2013 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK DAERAH

BAB II BAHAN RUJUKAN

BUPATI JEMBRANA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN

PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KOTA BANJARMASIN NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG

BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 tanggal 29 Mei 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Tanah sebagai salah satu sumber daya alam merupakan karunia Tuhan Yang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR : 16 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI KULON PROGO PERATURAN BUPATI KULON PROGO NOMOR 61 TAHUN 2010 TENTANG

5/3/2011 DASAR HUKUM BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) OBJEK BEA PEROLEHAN HAK ATAS PENGERTIAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN DAERAH KOTA SUKABUMI

BUPATI PAKPAK BHARAT PROVINSI SUMATERA UTARA

WALIKOTA DENPASAR PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN

BUPATI INDRAGIRI HULU

BUPATI BANDUNG PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI BANDUNG NOMOR 70 TAHUN 2016 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DI KABUPATEN BANDUNG

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER- 05/PJ/2013 TENTANG

2 c. bahwa untuk memberikan pedoman pelaksanaan, meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak, serta memberikan kepastian hukum, perlu diatur ketentuan m

PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANGERANG,

UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TANGGAL 1 JULI 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG

BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB)

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK

BUPATI LOMBOK TIMUR PERATURAN BUPATI LOMBOK TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA PANGKALPINANG

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 141/PMK.03/2016 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

1. BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak. 2. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah

LEMBARAN DAERAH KOTA CILEGON TAHUN : 2013 NOMOR : 4 PERATURAN DAERAH KOTA CILEGON NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Landasan Filosofi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah sebagai berikut:

PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 126 TAHUN 2017 TENTANG

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULELENG NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 198/PMK.03/2013 TENTANG

Transkripsi:

Kritikan terhadap Bunyi Beberapa Pasal Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Darwin Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pajak Jl. Sakti Raya No.1 Kemanggisan, Jakarta Barat 11480 (Diterima 22 November 2015; Diterbitkan 04 Desember 2015) Abstrak: Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah telah berusia kurang lebih 7 (tujuh) tahun dan pengelolaan PBB Perdesaan dan Perkotaan telah dilaksanakan oleh seluruh Pemerintah Daerah di Indonesia. Ada beberapa Pasal di dalam Undang-undang tersebut yang masih terasa janggal dan perlu penyempurnaan. Kata Kunci: Pasal 78, Pasal 81, Pasal 90, Pasal 101 UU PDRD Corresponding author: Darwin, E-mail: hendradarwin@yahoo.com Telp/HP. 08159512016 Pendahuluan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) yang berlaku mulai 1 Januari 2010 telah hampir genap 7 (tujuh) tahun. Seiring dengan berjalannya waktu penulis yakin bahwa Pemerintah Daerah telah dapat melaksanakan amanat UU PDRD tersebut dengan sebaik-baiknya terutama yang berkenaan dengan Bagian Keenam Belas (Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan) yang berisi 8 (delapan) Pasal yaitu mulai Pasal 77 sampai dengan Pasal 84 dan Bagian Ketujuh Belas (Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan) yang berisi 9 (Sembilan Pasal) yaitu mulai Pasal 85 sampai dengan Pasal 93. Walaupun ke dua pajak tersebut merupakan pajak baru yang dikelola oleh Pemerintah Daerah yang tadinya merupakan pajak pusat dan dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak namun sedikit banyak Pemerintah Daerah telah mengetahui dan menjalankan sebagian kecil dari pajak tersebut sebelumnya melalui kemitraan dengan Kantor Pajak Bumi dan Bangunan (KP PBB) maupun dengan Kantor Pelayanan Pajak Pratama (KPP Pratama). Dalam tulisan ini Penulis tidak akan menguraikan secara keseluruhan mengenai Bagian Keenam Belas dan Bagian Ketujuh Belas dari UU PDRD tersebut. Yang ingin penulis kritisi adalah bunyi beberapa Pasal didalam kedua bagian tersebut yang penulis rasa janggal dan dapat memberikan penafsiran yang salah dalam pelaksanaannya, walaupun penulis yakin bahwa pelaksanaannya mungkin sudah memenuhi ketentuan yang diinginkan oleh Pemerintah Daerah. Disamping itu penulis juga mengkritisi masalah pembayaran pajak yang ada di dalam Pasal 101 dan tulisan ini juga sekaligus mungkin merupakan usulan untuk perbaikan UU PDRD yang konon katanya juga sedang dalam proses untuk di revisi. 10

Pasal 78 UU PDRD Pasal 78 Undang-undang PDRD terdiri dari 2 (dua) ayat yang berbunyi sebagai berikut: (1) Subjek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan. (2) Wajib Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaaan dan Perkotaan adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan. Apabila kita cermati bunyi dari ke dua ayat tersebut maka sama sekali tidak ada perbedaan antara Subjek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan dan Wajib Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan. Hal ini membawa konsekwensi bahwa baik Subjek Pajak maupun Wajib Pajak atas Pajak Bumi Bangunan Perdesaan dan Perkotaan versi UU PDRD ini dapat terdiri dari beberapa Subjek Pajak dan Wajib Pajak. Sebagai contoh seseorang yang memiliki sebidang tanah dengan bukti sertifikat Hak Milik merupakan Subjek Pajak dan sekaligus juga merupakan Wajib Pajak. Apabila kemudian bidang tanah tersebut disewakan kepada orang lain maka si penyewa juga menjadi Subjek Pajak dan sekaligus merupakan Wajib Pajak. Sehingga atas suatu bidang tanah, menurut Pasal 78 ini, dapat mempunyai 2 (dua) Subjek Pajak dan 2 (dua) Wajib Pajak, karena kembali menurut Pasal ini tidak ada perbedaan antara Subjek Pajak dan Wajib Pajak. Namun penulis yakin bahwa di dalam prakteknya hanya ada 1 (satu) Subjek Pajak atau hanya ada 1 (satu) Wajib Pajak. Karena undang-undang adalah merupakan bahasa hukum, walaupun penulis bukan seorang sarjana hukum atau ahli hukum maka bunyi Pasal 78 tersebut dapat memberikan penafsiran yang berbeda antara individu di dalam masyarakat. Untuk memberikan suatu kepastian hukum siapa yang menjadi Subjek Pajak dan Wajib Pajak seharusnya bunyi ayat (2) dari UU PDRD tersebut cukup sebagai berikut. Subjek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan seperti disebut pada ayat (1) yang dikenakan kewajiban membayar pajak, menjadi Wajib Pajak menurut Undang-undang ini Menurut penulis bunyi tersebut di atas akan meberikan kepastian hukum bahwa yang menjadi Wajib Pajak PBB Perdesaaan dan Perkotaan hanya 1 (satu) orang yaitu yang dikenakan kewajiban membayar pajak. Jadi walaupun terdapat 2 (dua) Subjek Pajak misalnya, yaitu pemilik tanah yang dibuktikan dengan sertifikat Hak Milik dan penyewa tanah yang dibuktikan dengan perjanjian sewa menyewa, namun Wajib Pajaknya cuma satu yaitu siapa diantara kedua Subjek Pajak tersebut yang dikenakan kewajiban membayar Pajak Bumi dan Bangunan. Di dalam prakteknya nama Wajib Pajak tersebut dicantumkan di dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang PBB (SPPT PBB). Disamping itu, menurut hemat penulis Pasal 78 tersebut sebaiknya juga ditambah 1 (satu) ayat lagi yaitu ayat (3) yang penulis kutip dari Undang-undang PBB Nomor 12 Tahun 1985 tentang PBB yang berbunyi sebagai berikut: dalam hal suatu objek pajak belum jelas 11

diketahui siapa wajib pajaknya, maka Bupati/Walikota dapat menetapkan subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebagai wajib pajak. Tambahan ayat ini merupakan suatu ketegasan bahwa apabila ada lebih dari satu Subjek Pajak atas satu Objek Pajak yang sama namun mereka saling mengelak untuk menjadi Wajib Pajak, maka Pemerintah Daerah, dalam hal ini Bupati/Walikota ataupun pejabat Pemerintah Daerah yang diberi kewenangan (melalui pendelegasian kewenangan), dapat menentukan siapa yang menjadi Wajib Pajak atas Objek Pajak tersebut. Muara dari ketentuan ini adalah tidak akan ada objek pajak yang terlewati untuk dipajaki sepanjang subjek pajaknya atau wajib pajaknya ada. Jadi walaupun terdapat 2 (dua) Subjek Pajak misalnya, yaitu pemilik tanah yang dibuktikan dengan sertifikat Hak Milik dan penyewa tanah yang dibuktikan dengan perjanjian sewa menyewa, namun Wajib Pajaknya cuma satu yaitu siapa diantara kedua Subjek Pajak tersebut yang dikenakan kewajiban membayar Pajak Bumi dan Bangunan. Di dalam prakteknya nama Wajib Pajak tersebut dicantumkan di dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang PBB (SPPT PBB). Disamping itu, menurut hemat penulis Pasal 78 tersebut sebaiknya juga ditambah 1 (satu) ayat lagi yaitu ayat (3) yang penulis kutip dari Undang-undang PBB Nomor 12 Tahun 1985 tentang PBB yang berbunyi sebagai berikut: dalam hal suatu objek pajak belum jelas diketahui siapa wajib pajaknya, maka Bupati/Walikota dapat menetapkan subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebagai wajib pajak. Tambahan ayat ini merupakan suatu ketegasan bahwa apabila ada lebih dari satu Subjek Pajak atas satu Objek Pajak yang sama namun mereka saling mengelak untuk menjadi Wajib Pajak, maka Pemerintah Daerah, dalam hal ini Bupati/Walikota ataupun pejabat Pemerintah Daerah yang diberi kewenangan (melalui pendelegasian kewenangan), dapat menentukan siapa yang menjadi Wajib Pajak atas Objek Pajak tersebut. Muara dari ketentuan ini adalah tidak akan ada objek pajak yang terlewati untuk dipajaki sepanjang subjek pajaknya atau wajib pajaknya ada. Pasal 81 UU PDRD Pasal 81 UU PDRD berbunyi: Besaran pokok Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam pasal 80 ayat (2) dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 79 setelah dikurangi Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 77 ayat (5). Di dalam penjelasan pasal ini tercantum contoh jawaban perhitungan sebagai berikut: 1. NJOP Bumi : 800 x Rp300.000 = Rp240.000.000 2. NJOP Bangunan a. Rumah dan garasi: 400 x Rp350.000 = Rp140.000.000 b. Taman: 200 x Rp50.000 = Rp 10.000.000 c. Pagar: (120 x 1,5) x Rp175.000 = Rp 31.500.000 + Total NJOP Bangunan = Rp181.500.000 12

Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak = Rp 10.000.000 - Nilai Jual Bangunan Kena Pajak = Rp171.500.000 + 3. Nilai Jual Objek Pajak Kena Pajak = Rp411.500.000 4. Tarif Pajak yang efektif yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah misal 0,2% 5. PBB terutang: 0,2% x Rp411.500.000,- = Rp823.000,- Apabila dilihat dari jawaban contoh perhitungan tersebut ternyata bahwa yang mendapat pengurangan NJOPTKP hanya terhadap NJOP bangunan saja. Hal ini dapat menimbulkan tafsiran bahwa apabila objek pajak PBB tersebut berupa tanah kosong maka tidak mendapat pengurangan NJOPTKP. Memang di dalam praktek selama ini, ketika PBB Perdesaan dan Perkotaan masih dikelola Direktorat Jenderal Pajak, dasar pengenaan PBB atas tanah kosong tidak dikurangi dengan NJOPTKP, karena diasumsikan bahwa sipemilik tanah kosong tentunya memiliki objek PBB lainnya yang ditempati, dan tanah kosong yang menjadi miliknya hanya sebagai sarana untuk investasi. Namun hal tersebut agak bertentangan dengan bunyi pasal 81 UU PDRD tersebut di atas. Bunyi pasal 81 jelas bahwa besarnya PBB terutang adalah dengan cara mengalikan tarif (dalam contoh di atas 0,2%) dengan dasar pengenaan pajak PBB (NJOP) setelah dikurangi dengan NJOPTKP (dalam contoh diatas sebesar Rp10.000.000). Perlu diingat bahwa NJOP yang menjadi dasar pengenaan PBB adalah NJOP Bumi dan Bangunan apabila terdapat dua objek tersebut (bumi dan bangunan), bukan objek bumi saja atau objek bangunan saja. Seharusnya bunyi pasal tersebut adalah: Besaran pokok Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam pasal 80 ayat (2) dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 79 setelah dikurangi Nilai Jual Objek Pajak Bangunan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 77 ayat (5). Sehingga bunyi pasal 81 UU PDRD tersebut sesuai dengan contohnya. Dalam hal ini kita juga harus mengubah bunyi Pasal 77 ayat (4) dan ayat (5) agar sesuai dengan contoh perhitungan tersebut di atas. Bunyi Pasal 77 ayat (4) menjadi: Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Bangunan Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp10.000.000.00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak. Dan Pasal 77 ayat (5) berbunyi: Nilai Jual Objek Pajak Bangunan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Namun apabila kita tidak ingin mengubah bunyi pasal-pasal yang berkenaan dengan contoh perhitungan yang ada maka contohnya yang harus diubah menjadi sebagai berikut. 1. NJOP Bumi : 800 x Rp300.000 = Rp240.000.000 2. NJOP Bangunan a. Rumah dan garasi: 400 x Rp350.000 = Rp140.000.000 b. Taman: 200 x Rp50.000 = Rp 10.000.000 13

c. Pagar: (120 x 1,5) x Rp175.000 = Rp 31.500.000 + NJOP Bumi dan Bangunan = Rp421.500.000 Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak = Rp 10.000.000 - Nilai Jual Objek Pajak Kena Pajak = Rp411.500.000 Tarif Pajak yang efektif yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah misal 0,2% PBB terutang: 0,2% x Rp411.500.000,- = Rp823.000,- Pasal 90 ayat (1) huruf d UU PDRD Pasal 90 ayat (1) UU PDRD berbunyi sebagai berikut: (1) Saat terutangnya pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan ditetapkan untuk: a. b. c. d. hibah wasiat adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta. Menurut pendapat penulis bunyi Pasal 90 ayat (1) huruf d tersebut di atas merupakan kopi paste dari huruf c, hanya mengganti kata-kata hibah dengan hibah wasiat. Konsekwensi dari bunyi huruf d tersebut adalah bahwa penerima hibah wasiat harus melunasi pajak yang terutang pada saat tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta. Menurut ketentuan undangundang baik KUH Perdata maupun Kompilasi Hukum Islam (KIH) pelaksanaan hibah wasiat tersebut baru dilakukan apabila pemberi hibah wasiat telah meninggal dunia. Seharusnya bunyi pasal terebut seperti di dalam Undang-undang BPHTB ( Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000) yaitu saat terutang pajak untuk hibah wasiat adalah pada saat yang bersangkutan yaitu penerima hibah wasiat mendaftarkan peralihan hak ke Kantor Pertanahan. Apabila bunyi Pasal 90 ayat (1) huruf d tetap seperti tersebut di atas maka akan timbul beberapa permasalahan antara lain sebagai berikut: 1. Apabila penerima hibah wasiat meninggal dunia terlebih dahulu, maka hibah wasiat tidak dapat dilaksanakan atau batal demi hukum, lantas bagaimana dengan BPHTB yang telah dibayar apabila Pasal 90 ayat (1) tersebut dilaksanakan? Dalam hal ini Wajib Pajak telah membayar pajak yang seharusnya tidak terutang dan akan dilakukan pengembalian pajak (restitusi) 2. Pada saat dibuatnya Akta Hibah Wasiat belum terjadi perolehan hak, karena Akta Hibah Wasiat bukan merupakan dasar perolehan hak. Jika BPHTBnya harus dibayar, maka belum tentu penerima hibah wasiat bersedia membayarnya karena belum memperoleh Hak atas tanah yang dihibahwasiatkan tersebut. 3. Hibah Wasiat dapat dicabut sewaktu-waktu oleh pemberi Hibah Wasiat. Seandainya hal tersebut terjadi dan sudah dilakukan pembayaran BPHTB, berarti Wajib Pajak 14

membayar pajak yang seharusnya tidak terutang pajak karena Hibah Wasiat di cabut, sehingga pembayaran pajak yang tidak terutang pajak tersebut juga harus dikembalikan sebagai restitusi seperti tersebut pada angka (1) di atas. Pasal 101 UU PDRD Pasal 101 ayat (1) UU PDRD berbunyi: Kepala Daerah menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah saat terutangnya pajak dan paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh Wajib Pajak. Bunyi ayat ini jelas bahwa untuk pajak-pajak daerah lainnya selain PBB, jatuh tempo pembayarannya paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah saat terutangnya pajak. Namun di dalam Pasal 101 ayat (2) terdapat kontroversi dimana SPPT sebagai salah satu dasar penagihan pajak harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan. Di dalam memori penjelasan UU PDRD, pada Pasal 101 mencantumkan kata-kata cukup jelas padahal masih perlu diklarifikasi lagi mengenai SPPT sebagai dasar penagihan pajak yang jatuh temponya satu bulan sejak diterbitkan. Klarifikasi setidak-tidaknya berisi penjelasan apakah yang dimaksud dengan SPPT pada ayat (2) tersebut merupakan SPPT asli hasil olah data dari SPOP dan LSPOP atau data lain yang ada di dalam basis data yang jatuh temponya tetap 6 (enam) bulan sejak diterimanya SPPT tersebut oleh Wajib Pajak. Ataukah merupakan SPPT Pembetulan atau hasil pengajuan keberatan yang jatuh temponya sebenarnya tidak mengubah jatuh tempo SPPT yang pertama? Menurut hemat penulis, sebaiknya di dalam Pasal 101 ayat (2) tidak perlu dicantumkan katakata SPPT sehingga tidak rancu dengan bunyi Pasal 101 ayat (1). Penutup Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ( UU PDRD ) yang telah berjalan selama lebih kurang 6 (enam) tahun kemungkinan perlu mendapat revisi untuk menuju kepada kesempurnaan dan diharapkan tidak menimbulkan multi tafsir bagi para pembacanya. Daftar Pustaka Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang BPHTB Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 jo. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang PBB 15