PEMAHAMAN GURU TERHADAP PENDEKATAN SAINTIFIK (SCIENTIFIC APPROACH) DALAM PEMBELAJARAN GEOGRAFI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. B. Perumusan Masalah

KONSEP PENDEKATAN SAINTIFIK

PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (IPS) BERDASARKAN KURIKULUM 2013 KELAS VIII DI SMP NEGERI 31 PADANG JURNAL EFRIJONI

KONSEP PENDEKATAN SCIENTIFIC

KURIKULUM 2013 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN 2015

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2003 Bab I Pasal I Ayat 1 menjelaskan bahwa pendidikan adalah usaha

Usulan Penelitian Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Akuntansi. Diajukan Oleh: Wahyu Setyoasih

I. PENDAHULUAN. Koballa dan Chiappetta (2010: 105), mendefinisikan IPA sebagai a way of

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Penerapan kurikulum 2013 harus diterapkan untuk memfasilitasi siswa agar terlatih

PELAKSANAAN PENDEKATAN SAINTIFIK BERBASIS ICE BREAKER PADA PEMBELAJARAN IPA BAGI ANAK TUNAGRAHITA RINGAN DISLB C YPAC SEMARANG

PENERAPAN MODEL DISCOVERY LEARNING UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI PERUBAHAN WUJUD BENDA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Lokakarya School Community Tahun 2014 PENDEKATAN SAINTIFIK DALAM MATEMATIKA

IMPLEMENTASI PENDEKATAN SAINTIFIK (SCIENTIFIC APPROACH) DALAM PEMBELAJARAN DI SEKOLAH DASAR

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran matematika pada umumnya identik dengan perhitungan

PADA KURIKULUM (Mulida Hadrina Harjanti) Abstrak

BAGAIMANA IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013 PAUD?

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

IMPLEMENTASI PENDEKATAN SAINTIFIK PADA PEMBELAJARAN TEMA 2 SELALU BERHEMAT ENERGI DI KELAS IV B SDN NO. 34/1 TERATAI. Oleh : LUSY TANIA PURWANI

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan yang penting dalam mempersiapkan

Ruri SMA Negeri 9 Kota Tangerang Selatan-Banten. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hakekat interaksi pembelajaran adalah suatu kegiatan komunikasi yang dilakukan secara timbal balik antara siswa,

DESAIN DAN PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN SAINTIFIK PROBLEM SOLVING TEORI SEMIKONDUKTOR

239 Prosiding Seminar Nasional KSDP Prodi S1 PGSD Konstelasi Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia di Era Globalisasi

I. PENDAHULUAN. Ilmu kimia merupakan bagian dari IPA yang mempelajari fenomena dan hukum

PENERAPAN PENDEKATAN SAINTIFIK DENGAN MEDIA GRAFIS DALAM PENINGKATAN HASIL BELAJAR IPS PADA SISWA KELAS IV SDN 2 JEMBANGAN TAHUN AJARAN 2014/2015

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan yang penting dalam mempersiapkan

Penerapan Pendekatan Saintifik dalam Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Mata Pelajaran Fiqih Siswa Kelas V MI Darussalam Palembang

BAB I PENDAHULUAN. menyampaikan informasi atau mengkomunikasikan ide-ide melalui lisan, tulisan,

PENERAPAN PENDEKATAN SAINTIFIK DENGAN MEDIA REALIA DALAM PENINGKATAN PEMBELAJARAN IPA TENTANG GAYA PADA SISWA KELAS V SDN 2 BANJURPASAR TAHUN AJARAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembelajaran IPA terpadu merupakan salah satu model implementasi kurikulum 2013 dimana pembelajaran ini dikemas

BAB I PENDAHULUAN. belajar untuk mengamati, menentukan subkompetensi, menggunakan alat dan

Naskah Publikasi Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Program Studi Pendidikan Matematika

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pembelajaran IPA Biologi Berbasis Scientific Approach Di SMP Muhammadiyah 2 Depok Sleman

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah scaffolding memang tidak terlalu asing akhir-akhir ini. Hammond

PENERAPAN PENDEKATAN SAINTIFIK DALAM PEMBELAJARAN KURIKULUM Oleh: M. Lazim

melibatkan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran. Pada saat ini pemerintah telah berupaya untuk meningkatkan mutu pendidikan,

Siti Nurlailiyah 1, H. Winarto 2, Sugiyanto 3

PENERAPAN DISCOVERY LEARNING DENGAN PENDEKATAN SAINTIFIK UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR RUANG DIMENSI TIGA PADA SISWA SMAN 8 MATARAM

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Nurgana (1985) bahwa keefektivan pembelajaran mengacu pada: 75% dari jumlah siswa telah memperoleh nilai = 65 dalam

BAB I PENDAHULUAN. masalah itu sendiri sehingga pembelajaran akan lebih terpusat pada siswa untuk

DIMENSI RASA INGIN TAHU SISWA MELALUI PENDEKATAN SAINTIFIK BERBANTUAN ALAT PERGA PENJERNIHAN AIR

KAJIAN FILSAFAT PENDIDIKAN DALAM KURIKULUM 2013 Oleh : Is Yuli Gunawan

BAB II LANDASAN TEORI

PENGARUH PENERAPAN MODEL CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING TERHADAP KEMAMPUAN PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIS SISWA SMP PADA MATERI GARIS DAN SUDUT

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Pada tahun pelajaran 2013/2014, pemerintah sudah menerapkan kurikulum yang

INOVASI PENDIDIKAN Bunga Rampai Kajian Pendidikan Karakter, Literasi, dan Kompetensi Pendidik dalam Menghadapi Abad 21

2015 IMPLEMENTASI PENDEKATAN ILMIAH (SCIENTIFIC APPROACH) DALAM MATA PELAJARAN PPKN UNTUK MENINGKATKAN MOTIVASI BELAJAR SISWA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

UPAYA MENINGKATKAN PARTISIPASI DAN HASIL BELAJAR SAINS PADA MATERI SIFAT DAN PERUBAHAN WUJUD SUATU BENDA MELALUI PENERAPAN METODE DISCOVERY LEARNING

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan. Hidayat (2013:111) mengemukakan bahwa kurikulum di Indonesia telah

PENERAPAN PENDEKATAN SAINTIFIK MELALUI METODE EKSPERIMEN PADA PEMBELAJARAN FISIKA SISWA KELAS X MIA 3 SMA NEGERI 1 TENGGARONG (Materi Suhu dan Kalor)

BAB I PENDAHULUAN. hlm Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar, ( Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), Cet. 7,

BAB I PENDAHULUAN. Fisika merupakan bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang berkaitan

I. PENDAHULUAN. terbangunnya sebuah peradaban suatu bangsa. Pendidikan di Indonesia banyak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB III METODE PENELITIAN. metode yang dianggap tepat adalah metode Penelitian Tindakan Kelas (Action

Oleh: Musringah SD Negeri 2 Durenan Kabupaten Tranggalek

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam Pengembangan Kurikulum 2013 merupakan langkah lanjutan Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi

BAB I PENDAHULUAN. yang kondusif bagi lahirnya pribadi yang kompetitif. (Tilaar, 2004)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas dan mempunyai daya saing tinggi sangat diperlukan dalam

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan Penelitian Tindakan Kelas (classroom action

BAB I PENDAHULUAN. pendidikannya. Dengan kata lain, peran pendidikan sangat penting untuk. pendidikan yang adaptif terhadap perubahan zaman.

BAB III METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan satu dari sekian banyak hal yang tidak dapat dipisahkan

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Pendidikan membekali manusia akan ilmu pengetahuan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

III. METODE PENELITIAN. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Penelitian

hidup, baik secara formal, maupun non-formal.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. minggu pertama semester gasal tahun pelajaran 2016/2017, SMK Negeri 1

Kata kunci: pendekatan saintifik, pembelajaran, siswa kelas IV SD Negeri Pujokusuman 1

PROBLEMATIKA GURU MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X SMA NEGERI SE-KECAMATAN WONOGIRI DALAM PELAKSANAAN PEMBELAJARAN BERDASARKAN KURIKULUM 2013

KOMPETENSI PROFESIONAL GURU SOSIOLOGI SMA NEGERI KOTA BANDUNG

BAB II. Tinjauan Pustaka. perantara atau pengantar pesan dari pengirim kepada penerima pesan (Arsyad,

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Oleh: Drs.NANA DJUMHANA M.Pd PRODI PGSD FIP UPI

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap percaya diri. 1

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. menggambarkan apa adanya tentang suatu variabel, gejala atau keadaan (Arikunto,

BAB III METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Kurikulum 2013 menghendaki pembelajaran yang diterapkan di sekolah adalah

BAB III METODE PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA. A. Model Pembelajaran Inkuiri dalam Pembelajaran IPA. menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan.

BAB III METODE PENELITIAN

Metodi DIdaktik Vol. 10, No. 2, Januari 2016

BAB III METODE PENELITIAN. dari latar alami dengan memanfaatkan diri peneliti sebagai instrumen kunci.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Etty Twelve Tenth, 2013

IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013 PADA MATA PELAJARAN MATEMATIKA DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. disampaikan oleh guru matematika, kesulitan siswa dalam menalar dan

Transkripsi:

Fifhri Nuru Ayuni, Pemahaman Guru 1 PEMAHAMAN GURU TERHADAP PENDEKATAN SAINTIFIK (SCIENTIFIC APPROACH) DALAM PEMBELAJARAN GEOGRAFI Fithri Nuru Ayuni Program Studi Pendidikan Geografi, SPs, UPI, email: fitrinuruayuni@gmail.com ABSTRAK Kegiatan pembelajaran scientific akan berjalan baik apabila guru telah memahami apa itu pendekatan scientific. Karena itu, permasalahan penelitian diarahkan pada bagaimana pemahaman guru geografi tehadap pendekatan scientific? Penelitian ini menggunakan metode penelitian survei dan populasi penelitiannya seluruh guru geografi di SMA Negeri di Kota Bandung, berjumlah 55 orang. Teknik analisis data menggunakan perhitungan prosentase, chi kuadrat (x 2 ), dan korelasi Pearson Product Moment. Hasil penelitian menunjukkan tingkat pemahaman guru terhadap pendekatan scientific sebagian besar tergolong sedang sampai tinggi. Sisanya berada pada tingkat pemahaman rendah. Tingkat pemahaman cukup tinggi tersebut sebagian besar dipengaruhi oleh pengalaman guru selama mengajar. Selain itu, kemampuan dan pengetahuan guru dalam memanfaatkan dan mengoptimalkan informasi yang sangat baik mengenai pendekatan scientific, baik informasi melalui internet, sosialisasi, dan lain-lain. Selain pemahaman, respon guru terhadap penerapan pendekatan scientific mendapat respon sangat positif. Pemahaman dan respon yang sangat baik tersebut, dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu tingkat pendidikan, latar belakang keilmuan, lama dan beban mengajar, keikutsertaan dalam pelatihan, penguasaan metode dan media, intensitas membaca, dan etos kerja guru. Faktor-faktor tersebut memberikan pengaruh signifikan pemahaman guru terhadap pendekatan scentific. Kata kunci : pemahaman guru, pendekatan scientifik. PENDAHULUAN Guru sebagai tenaga yang profesional secara signifikan akan berpengaruh terhadap kegiatan pembelajaran. Dalam kegiatan pembelajaran, guru memiliki tugas dan peran dalam membantu siswa mengembangkan potensi yang dimilikinya. Peran guru menentukan efektivitas dan efisiensi kegiatan pembelajaran. Guru memiliki banyak peran dalam pelaksanaan pembelajaran. Menurut Ningrum (2009, hlm. 31), guru memiliki peran sebagai pengajar, motivator, mediator, pengelola kelas, partisipan, dan evaluator. Dalam menjalankan tugas dan perannya, seorang guru harus memiliki kemampuankemampuan tersebut. Apabila guru dapat menjalankan tugas dan perannya dengan baik, maka guru dapat dikatakan profesional. Guru memegang peranan penting dalam perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk meningkatkan kreatifitas, kualitas, dan profesionalisme guru. Profesionalisme guru di Indonesia masih terbilang rendah. Hal tersebut berdasarkan pernyataan yang dikemukakan oleh Mulyasa (2012, hlm. 7), profesionalisme guru di Indonesia masih sangat rendah, hal tersebut disebabkan karena belum adanya perubahan pola mengajar dan sistem konvensional ke sistem kompetensi, beban kerja guru yang tinggi, dan masih banyak guru yang belum melakukan penelitian tindakan kelas. Berdasarkan wacana di atas, ternyata masih banyak guru yang belum bisa dikatakan profesional. Dalam mengatasi permasalahan tersebut, dilakukan usaha-

2 Gea, Jurnal Pendidikan Geografi, Volume 15, Nomor 2,Oktober 2015, hlm 1-7. usaha untuk meningkatkan kualitas guru agar dapat dikatakan profesional, misalnya dengan melaksanakan pelatihan-pelatihan, workshop, seminar dan lain-lain. Kegiatan tersebut diharapkan dapat di implementasikan oleh guru dalam pembelajaran di kelas, dengan cara menerapkan metode atau pendekatan baru dalam pembelajaran. Guru profesional akan terlihat dari bagaimana mereka melaksanakan tugastugasnya dengan baik. Kusnandar (2007, hlm. 46) menyatakan bahwa, guru profesional akan tercermin dalam pelaksanaan pengabdian tugas-tugas yang ditandai dengan keahlian, baik dalam materi maupun metode, juga melalui tanggung jawabnya dalam melaksanakan seluruh pengabdiannya. Guru profesional sejatinya memiliki latar belakang pendidikan yang relevan, baik dengan peran sebagai pendidik maupun dengan mata pelajaran yang diampunya. Guru geografi adalah mereka yang memiliki latar belakang pendidikan berasal dari lembaga pendidikan yang memiliki kewenangan menghasilkan tenaga kependidikan, khususnya pada mata pelajaran geografi. Daldjoeni (1991, hlm. 115) mengemukakan lima kompetensi yang harus dimiliki oleh guru geografi, sebagai berikut: 1) mempunyai perhatian yang cukup banyak kepada permasalahan kemanusiaan; 2) memiliki kemampuan untuk menentukan sendiri faktor-faktor lokatif, pola-pola regional dan relasi keruangan yang terkandung oleh ataupun tersembunyi di belakang gejala sosial; 3) mampu dan menyenangi kegiatan observasi secara mandiri di lapangan; 4) memiliki kemampuan mensintesakan data yang berasal dari berbagai sumber; 5) mampu membedakan serta memisahkan kasualitas yang sungguh, dari hal-hal yang sifatnya kebetulan belaka. Guru geografi profesional adalah guru geografi yang memiliki kelima kompetensi tersebut. Apabila guru geografi tidak memilikinya, berarti guru harus mengembangkan dan meningkatkan kompetensinya, karena dengan kemampuankemampuan tersebut, guru dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Peningkatan kompetensi bukanlah satu-satunya permasalahan yang dialami oleh guru. Masalah lain yang dialami oleh guru geografi antara lain kurangnya pengembangan dalam kegiatan pembelajaran, pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar masih terbatas, kurang terampilnya guru dalam mengadakan kegiatan observasi, minimnya budaya membaca sehingga kurangnya informasi yang didapat, atau bahkan berkaitan dengan kebijakan kurikulum baru. Permasalahan yang dialami oleh guru saat ini mengenai kebijakan Kurikulum 2013 yang menerapkan pendekatan scientific dalam pembelajaran. Tidak jarang kegagalan dalam implementasi kurikulum baru itu disebabkan oleh kurangnya pemahaman guru. Penyebab kurangnya pemahaman guru dapat disebabkan oleh proses sosialisasi kurikulum baru yang belum dilakukan secara menyeluruh, pembinaan dan pengembangan sumber daya guru belum memadai, atau bahkan kegiatan dalam MGMP Geografi tidak berjalan dengan baik. Sebagai guru geografi, sudah seharusnya memiliki pemahaman tentang pembelajaran geografi itu sendiri. Mulai dari pemahaman materi, model, metode, pendekatan/strategi, dan penerapannya dalam kegiatan pembelajaran. Salah satu kebijakan dalam Kurikulum 2013 adalah menerapkan pendekatan scientific dalam pembelajaran. Menurut Majid (2014, hlm. 211), pendekatan scientific dalam pembelajaran adalah pendekatan yang meliputi menggali informasi melalui pengamatan, bertanya, percobaan, kemudian mengolah data atau informasi, dilanjutkan dengan mengana-lisis, menalar, menyimpulkan, dan mencipta. Pendekatan scientific ini bukanlah hal baru untuk diterapkan dalam proses pembelajaran. Pada hakikatnya, pendekatan scientific mengarahkan agar peserta didik mampu

Fifhri Nuru Ayuni, Pemahaman Guru 3 merumuskan masalah. Selain itu, peserta didik dilatih untuk berpikir analitis, yaitu peserta didik diajarkan untuk mengambil keputusan, bukan hanya mendengarkan dan menghapal materi pelajaran semata. Kegiatan pembelajaran dengan menerapkan pendekatan scientific akan berjalan dengan baik apabila seorang guru telah memahami apa itu pendekatan scientific. Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana pemahaman guru terhadap langkah-langkah pendekatan scientific (ilmiah) dalam pembelajaran geografi?. Pembelajaran Pendekatan Scientific Menurut Sudarwan (2013), pendekatan scientific memiliki ciri penonjolan dimensi pengamatan, penalaran, penemuan, pengabsahan, dan penjelasan tentang suatu kebenaran. Proses pembelajaran harus dilaksanakan dengan dipandu nilainilai, prinsip-prinsip, atau kriteria ilmiah. Dengan demikian, proses pembelajaran harus dilaksanakan dengan dipandu nilainilai, prinsip-prinsip, atau kriteria ilmiah. Pembelajaran scientific adalah pembelajaran yang menjadikan sains sebagai metode atau pendekatan dalam proses belajar mengajar sehingga pembelajaran akan membuat peserta didik lebih kreatif dan lebih aktif. Putra (2013:61-62) mengemukakan karakteristik pembelajaran scientific: 1) Peserta didik dilibatkan aktif dalam aktivitas yang didasari sains yang merefleksikan metode ilmiah dan keterampilan proses yang mengarah kepada discovery atau inkuiri terbimbing; 2) Peserta didik perlu didorong melakukan aktivitas yang melibatkan pencarian jawaban bagi masalah dalam masyarakat ilmiah dan teknologi; 3) Peserta didik perlu dilatih learning by doing, kemudian merefleksikannya. Ia harus secara aktif mengkonstruksi konsep, prinsip, dan generalisasi melalui proses ilmiah; 4) Guru menggunakan berbagai pendekatan/ model pembelajaran yang bervariasi dalam pembelajaran sains; 5) Peserta didik perlu dibantu untuk memahami keterbatasan/ ketentatifan sains, nilai-nilai, dan sikap yang dikembangkan melalui pembelajaran sains. Langkah-langkah Pendekatan Scientific Pendekatan ilmiah dalam pembelajaran sebagaimana dimaksud meliputi mengamati, menanya, mencoba, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, dan mencipta untuk semua mata pelajaran. Mengamati atau observasi merupakan kegiatan melihat, memperhatikan dengan teliti, kemudian memahami pengetahuan dari suatu fenomena yang ada. Menurut Riduwan (2012, hlm. 30), observasi yaitu melakukan pengamatan secara langsung ke objek penelitian untuk melihat dari dekat kegiatan yang dilakukan. Kemendikbud (2013, hlm. 212) merumuskan langkah-langkah kegiatan mengamati sebagai berikut: 1) Menentukan objek apa yang akan diobservasi; 2) Membuat pedoman observasi sesuai dengan lingkup objek yang akan diobservasi; 3) Menentukan secara jelas data-data apa yang perlu diobservasi, baik primer maupun sekunder; 4) Menentukan di mana tempat objek yang akan diobservasi; 5) Menentukan secara jelas bagaimana observasi akan dilakukan untuk mengumpulkan data agar berjalan mudah dan lancar; 6) Menentukan cara dan melakukan pencatatan atas hasil observasi, seperti menggunakan buku catatan, kamera, tape recorder, video perekam, dan alat-alat tulis lainnya. Menanya, dalam belajar pada hakikatnya adalah bertanya dan menjawab pertanyaan. Sa ud (2011, hlm. 170) mengemukakan bertanya dapat dipandang sebagai refleksi dari keingintahuan seorang individu, sedangkan menjawab pertanyaan mencerminkan kemampuan seseorang dalam berpikir. Ketika guru memberikan pertanyaan kepada peserta didik, pada saat itu guru sedang membimbing peserta didik untuk belajar

4 Gea, Jurnal Pendidikan Geografi, Volume 15, Nomor 2,Oktober 2015, hlm 1-7. dengan baik. Ketika guru menjawab pertanyaan, guru sedang mendorong peserta didik untuk menjadi penyimak dan pembelajar yang baik. Berikut adalah fungsi dan manfaat yang diperoleh dari kegiatan menanya: 1) Membangkitkan rasa ingin tahu, minat, dan perhatian peserta didik tentang suatu tema atau topik pembelajaran; 2) Mendorong dan menginspirasi peserta didik untuk aktif belajar, serta mengembangkan pertanyaan dari dan untuk dirinya sendiri; 3) Mendiagnosis kesulitan belajar peserta didik sekaligus menyampaikan ancangan untuk mencari solusinya; 4) Menstrukturkan tugas-tugas dan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menunjukkan sikap, keterampilan, dan pemahamannya atas substansi pembelajaran yang diberikan; 5) Membangkitkan keterampilan peserta didik dalam berbicara, mengajukan pertanyaan, dan memberi jawaban secara logis, sistematis, dan menggunakan bahasa yang baik dan benar. Menalar dalam pembelajaran dengan pendekatan ilmiah menggambarkan bahwa guru dan peserta didik merupakan pelaku aktif. Titik tekannya tentu dalam banyak hal dan situasi peserta didik harus lebih aktif daripada guru. Saminanto (2013, hlm. 29) mengemukakan bahwa penalaran adalah proses berfikir yang logis dan sistematis atas fakta-fakta empiris yang dapat diobservasi untuk memperoleh simpulan berupa pengetahuan. Penalaran di sini adalah proses pemikiran untuk memperoleh kesimpulan yang logis berdasarkan fakta yang relevan. Kemampuan menalar merupakan kemampuan untuk menarik kesimpulan yang tepat dari bukti-bukti yang ada dan menurut aturan-aturan tertentu. Terdapat dua cara menalar, yaitu penalaran induktif dan penalaran deduktif. Penalaran induktif merupakan cara menalar dengan menarik simpulan dari fenomena atau atribut-atribut khusus untuk hal-hal yang bersifat umum. Jadi, menalar secara induktif adalah proses penarikan simpulan dari kasus-kasus yang bersifat nyata secara individual atau spesifik menjadi simpulan yang bersifat umum. Penalaran deduktif merupakan cara menalar dengan menarik simpulan dari pernyataan-pernyataan atau fenomena yang bersifat umum ke khusus. Membentuk Jejaring dalam pembelajaran yang dimaksud adalah pembelajaran kolaboratif. Pembelajaran kolaboratif merupakan suatu filsafat personal, lebih dari sekadar sekadar teknik pembelajaran di kelas-kelas sekolah. Kolaborasi esensinya merupakan filsafat interaksi dan gaya hidup manusia yang menempatkan dan memaknai kerjasama sebagai struktur interaksi yang dirancang secara baik dan disengaja rupa untuk memudahkan usaha kolektif dalam rangka mencapai tujuan bersama. Ada empat sifat kelas atau pembelajaran kolaboratif. Dua sifat berkenaan dengan perubahan hubungan antara guru dan peserta didik. Sifat ketiga berkaitan dengan pendekatan baru dari penyampaian guru selama proses pembelajaran. Dalam Modul Implementasi Kurikulum 2013 (2013, hlm. 163-164) keempat sifat kelas dan pembelajaran kolaboratif, sebagai berikut: 1) Guru dan peserta didik saling berbagi informasi; 2) Berbagi tugas dan kewenangan; 3) Guru sebagai mediator; 4) Kelompok peserta didik yang heterogen. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode survei. Data-data diperoleh menggunakan kuesioner/angket. Penelitian dilaksanakan di seluruh SMA Negeri Kota Bandung yang berjumlah 27 sekolah. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh guru geografi di SMA Negeri Kota Bandung, mengingat sasaran dalam penelitian ini adalah guru mata pelajaran geografi. Seluruh populasi dalam penelitian ini dijadikan sampel penelitian, yaitu sebanyak 55 guru geografi. Penelitian ini menggunakan tiga jenis analisis data, yaitu analisis prosentase, chi

Fifhri Nuru Ayuni, Pemahaman Guru 5 kuadrat (x 2 ), dan korelasi pearson product moment. Analisis prosentase digunakan untuk mendeskripsikan faktor yang mempengaruhi pemahaman guru. Analisis chi kuadrat dan product moment untuk mengetahui seberapa besar pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap pemahaman dan respon guru terhadap pendekatan scientific. HASIL DAN PEMBAHASAN Indikator pertama dalam langkahlangkah pendekatan scientific adalah mengamati (observing). Berdasarkan grafik di atas, dapat dilihat bahwa pemahaman guru terhadap indikator pertama yaitu mengamati termasuk dalam kategori cukup. Dalam instrumen penelitian, pertanyaan mengenai tahap mengamati dalam pendekatan scientific meliputi kegiatan mengamati, langkah-langkah observasi, cara menafsirkan hasil pengamatan, jenis-jenis observasi, instrumen pengumpul data, dan cara menganalisis peristiwa. Dalam pembelajaran geografi, kegiatan observasi bukanlah menjadi sesuatu yang baru, mengingat objek kajian geografi yaitu geosfer yang mencakup seluruh objek yang ada di permukaan bumi serta kehidupan yang ada diatasnya. Pembelajaran geografi selalu menggunakan lingkungan sebagai sumber belajar. Memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar sangat bermanfaat bagi guru maupun peserta didik, karena dapat terlibat secara langsung di lapangan, melihat langsung fakta yang ada. Tingkat pemahaman pada indikator mengamati yang tergolong cukup perlu ditingkatkan agar menjadi lebih baik lagi, agar dalam pelaksanaannya pun dapat memperoleh hasil yang memuaskan. Indikator kedua yaitu menanya (questioning), kegiatan menanya bukanlah hal yang baru, tetapi seringkali kita lakukan dalam kegiatan pembelajaran. Kegiatan bertanya bertujuan untuk mengetahui tentang apa yang belum diketahui. Biasanya dalam pembelajaran, guru selalu memberikan kesempatan bertanya pada peserta didiknya mengenai hal atau materi yang kurang jelas, atau bahkan sebaliknya guru yang memberikan pertanyaan kepada peserta didik untuk mengetahui sejauh mana pemahaman mereka terhadap materi. Berdasarkan hasil penelitian, tingkat pemahaman dalam menanya masih tergolong dalam tingkatan sedang atau cukup. Bertanya mungkin sesuatu yang mudah, tetapi ada beberapa hal ayang perlu diperhatikan dalam bertanya, maupun mengajukan sebuah pertanyaan. Dalam mengajukan atau menyusun pertanyaan yang harus diperhatikan adalah kata kunci dalam bertanya, termasuk dalam tingkatan kognitif rendah, sedang, atau tinggi. Kemudian, bentuk pertanyaan yang dapat membangkitkan keingintahuan, dan jenis pertanyaan seperti apa yang akan diajukan. Selain itu, dalam mengajukan pertanyaan perlu diperhatikan pula agar dapat mengajukan pertanyaan yang efektif, tidak terlalu panjang dan bertele-tele. Hal-hal tersebutlah yang perlu diperhatikan dalam kegiatan menanya di kelas, agar kegiatan pembelajaran di kelas berlangsung dengan baik. Indikator ketiga dalam pendekatan scientific adalah menalar (associating). Menalar merupakan suatu proses berpikir logis untuk memperoleh pengetahuan. Kegiatan menalar di kelas dapat dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari menggunakan metode maupun media pembelajaran yang sesuai untuk memberikan penalaran terhadap peserta didik. Dalam kegiatan menalar, terdapat pengukuran kegiatan pembelajaran. Kegiatan tersebut bertujuan untuk mengetahui sejauh mana tujuan pembelajaran yang dirumuskan telah tercapai atau tidak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa guru sudah memahami dengan baik tentang bagaimana melakukan pengukuran dalam kegiatan pembelajaran. Selain itu, mengolah informasi pun dapat memberikan penalaran bagi peserta didik. Seperti yang kita ketahui bahwa informasi bisa didapatkan

6 Gea, Jurnal Pendidikan Geografi, Volume 15, Nomor 2,Oktober 2015, hlm 1-7. darimana saja, tidak selalu berasal dari guru, dengan kemajuan teknologi saat ini, kita dapat memperoleh setiap saat melalui internet. Indikator keempat, mencoba (experimenting). Mengeksperimen merupakan kegiatan mengumpulkan data melalui kegiatan uji coba dan mengeksplorasi lebih dalam tentang suatu masalah. Pertanyaan dalam instrumen penelitian menunjukkan tahap-tahap dalam kegiatan mencoba atau eksperimen. Sebagian besar guru sudah cukup memahami bagaimana memperoleh informasi dan mengolah informasi yang telah didapatkan. Memperoleh informasi dapat dilakukan dengan cara membaca buku, mengumpulkan data, obsevasi, uji coba, wawancara, dam lain-lain. Sedangkan, mengolah informasi dapat dilakukan dengan cara membuat ringkasan atau rangkuman dari pengamatan yang telah dilakukan di lapangan. Indikator kelima, yaitu membuat jejaring/mengkomunikasikan. Dalam tahap ini, kegiatan yang dilakukan adalah menyampaikan hasil temuannya setelah melalui proses-proses sebelumnya. Berdasarkan hasil penelitian, mengkomunikasikan sudah sering dilakukan dalam pembelajaran, yaitu dengan cara mempresentasikan tugas/hasil pengamatan di depan kelas. Kegiatan mengkomunikasikan ini ditujukan kepada orang lain, baik secara lisan maupun tulisan. Mengkomunikasikan secara lisan dapat dilakukan dengan melakukan presentasi di depan kelas, mengkomunikasikan secara tulisan yang paling mudah dan murah adalah dengan meng-upload hasil tulisan kita ke internet dalam bentuk blog. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian, pemahaman guru yang paling dominan terhadap pendekatan scientific tergolong pada tingkatan pemahaman sedang sampai dengan tinggi, yaitu sebanyak 69,1% tergolong dalam tingkatan tersebut, sedangkan sisanya tergolong dalam tingkatan pemahaman yang rendah, yaitu sebanyak 30,9%. Pemahaman yang cukup tinggi tersebut sebagian besar dipengaruhi oleh pengalaman guru selama mengajar, mengingat langkah-langkah dalam pendekatan scientific sudah sering dilakukan dalam pembelajaran. Selain itu, kemampuan guru dalam memanfaatkan dan mengoptimalkan informasi yang didapatkan melalui sosialisasi dapat membentuk pemahaman guru yang cukup tinggi pula. Sedangkan, pemahaman yang rendah dipengaruhi oleh kurangnya informasi dan sosialisasi mengenai penerapan pendekatan scientific dalam pembelajaran. Sehingga guru mencoba memahami pendekatan scientific dengan membaca referensi, buku dan modul, mengakses internet, dan saling bertukar informasi dengan teman sejawatnya. DAFTAR PUSTAKA Daldjoeni. (1991). Pengantar Geografi untuk Mahasiswa dan Guru Sekolah. Bandung: Penerbit Alumni. Kemendikbud. (2013). Materi Pelatihan Guru Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta: Kemendikbud. Kusnandar. (2007). Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Persiapan Menghadapi Sertifikasi Guru. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Majid, A. (2014). Pembelajaran Tematik Terpadu. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Mulyasa, E. (2009). Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Mulyasa, E. (2012). Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Ningrum, E. (2009). Kompetensi Profesional Guru dalam Konteks Strategi Pembelajaran. Bandung: Buana Nusantara. Putra, S.R. (2013). Desain Belajar Mengajar Kreatif Berbasis Sains. Yogyakarta: Diva Press. Riduwan. (2012). Skala Pengukuran Variabelvariabel Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Fifhri Nuru Ayuni, Pemahaman Guru 7 Saminanto. (2013). Panduan Praktis Mengembangkan RPP PAIKEM Scientific Kurikulum 2013. Semarang: Rasail Media Group. Sa ud, U.S. (2011). Inovasi Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Sudarwan. (2013). Pendekatan-Pendekatan Ilmiah dalam Pembelajaran. Makalah pada Workshop Kurikulum. Jakarta. Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Usman, U. (2009). Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya