ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.

dokumen-dokumen yang mirip
PENDAHULUAN. R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia, Suatu Penjelasan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993 hlm. 23

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia ada tata hukum yaitu tata tertib dalam pergaulan hidup

BAB I PENDAHULUAN. untuk selanjutnya dalam penulisan ini disebut Undang-Undang Jabatan

BAB I. Kehadiran profesi Notaris sangat dinantikan untuk memberikan

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Guna mendapatkan suatu putusan akhir dalam persidangan diperlukan adanya bahan-bahan mengenai

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432, Penjelasan umum.

Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN) disebutkan bahwa y

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG AKTA NOTARIIL. Istilah atau perkataan akta dalam bahasa Belanda disebut acte atau akta

BAB I PENDAHULUAN. satu cara yang dapat dilakukan adalah membuka hubungan seluas-luasnya dengan

NOTARIS TIDAK BERWENANG MEMBUAT SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (SKMHT), TAPI BERWENANG MEMBUAT AKTA KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (AKMHT)

BAB II AKTA NOTARIS DAPAT MENJADI BATAL OLEH SUATU PUTUSAN PENGADILAN

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Notaris sebagai pihak yang bersentuhan langsung dengan

BAB I PENDAHULUAN. Notaris adalah pejabat umum (openbaar ambtenaar) memiliki fungsi

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah mempunyai peran paling pokok dalam setiap perbuatan-perbuatan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS

BAB I PENDAHULUAN. dan ahli dalam menyelesaikan setiap permasalahan-permasalahan hukum.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. menemukan hukum yang akan diterapkan (rechtoepasing) maupun ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. (UUPT) modalnya terdiri dari sero-sero atau saham-saham.

BAB II PROSEDUR PENGAMBILAN FOTOKOPI MINUTA AKTA DAN PEMANGGILAN NOTARIS DI INDONESIA

Heru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa

BAB 1 PENDAHULUAN. Pengawasan majelis..., Yanti Jacline Jennifer Tobing, FH UI, Universitas Indonesia

PENGAMBILAN FOTO COPI MINUTA AKTA DAN PEMANGGILAN NOTARIS

ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I PENDAHULUAN. sumbangan nyata akan adanya kepastian hukum bagi penyelesaian perkara tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. Tinjauan yuridis..., Ravina Arabella Sabnani, FH UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. menjalankan strategi pembangunan hukum nasional. Profesionalitas dan

KEDUDUKAN AKTA OTENTIK SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA. Oleh : Anggun Lestari Suryamizon, SH. MH

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP AKTA SERTA KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA NOTARIS. A. Pengertian Akta dan Macam-Macam Akta

BAB III PERANAN NOTARIS DALAM PEMBAGIAN HARTA WARISAN DENGAN ADANYA SURAT KETERANGAN WARIS

BAB I PENDAHULUAN. otentik, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPerdata yaitu:

BAB II KEWENANGAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM MEMBATALKAN PUTUSAN MAJELIS PENGAWAS PUSAT

BAB II KEDUDUKAN HUKUM ATAS BATASAN TURUNNYA KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA NOTARIS BERDASARKAN UUJN NO. 2 TAHUN 2014

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti

PERANAN DAN FUNGSI MAJELIS PENGAWAS WILAYAH TERHADAP PELAKSANAAN TUGAS JABATAN NOTARIS RUSLAN / D

BAB I PENDAHULUAN. dengan perikatan yang terkait dengan kehidupan sehari-hari dan juga usaha

BAB I PENDAHULUAN. yang terikat di dalamnya. Menurut Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

BAB I PENDAHULUAN. tetapi hakikat profesinya menuntut agar bukan nafkah hidup itulah yang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lex Privatum, Vol. III/No. 2/Apr-Jun/2015

BAB I PENDAHULUAN. tersebut juga termasuk mengatur hal-hal yang diantaranya hubungan antar

BAB I PENDAHULUAN. untuk membuat akta otentik dan akta lainnya sesuai dengan undangundang

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Penerapan pasal..., Ita Zaleha Saptaria, FH UI, ), hlm. 13.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG JABATAN NOTARIS

BAB II KETENTUAN HUKUM DAN PELAKSANAAN PROSES PENYIDIKAN TERHADAP NOTARIS SEBAGAI SAKSI DAN TERSANGKA DALAM TINDAK PIDANA

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

BAB I PENDAHULUAN. hlm Hartanti Sulihandari dan Nisya Rifiani, Prinsip-Prinsip Dasar Profesi Notaris, Dunia Cerdas, Jakarta Timur, 2013, hlm.

BAB II TINJAUAN HUKUM TENTANG ALAT BUKTI SURAT ELEKTORNIK. ( )

BAB I PENDAHULUAN. Akta-akta yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris bersifat autentik dan

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. menentukan bahwa dalam menjalankan tugas jabatannya, seorang

BAB I PENDAHULUAN Pasal 1 ayat (3). Hukum merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan

ELIZA FITRIA

AKTA NOTARIS SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PENYELESAIAN PERKARA PERDATA MISSARIYANI / D ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah Negara Hukum. Prinsip dari negara hukum tersebut antara

BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERLINDUNGAN KARYAWAN NOTARIS SEBAGAI SAKSI DALAM PERESMIAN AKTA

UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta)

BAB I PENDAHULUAN. penggunaan jasa notaris, telah dibentuk Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN. dengan pemerintah. Prinsip negara hukum menjamin kepastian, ketertiban dan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam kegiatannya untuk memenuhi kehidupan sehari-hari tidak

BAB 1 PENDAHULUAN. Muhammad dan Idrus Al-Kaff, (Jakarta: Lentera, 2007), hal. 635.

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan tanah hak kepada pihak lain untuk selama-lamanya (hak atas tanah

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaanya kedua belah pihak mengacu kepada sebuah perjanjian layaknya

BAB I PENDAHULUAN. kebenaran yang harus ditegakkan oleh setiap warga Negara.

BAB I PENDAHULUAN. bukti dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. nama yang pada zaman Romawi diberikan kepada orang-orang yang

Lex Crimen Vol. VI/No. 2/Mar-Apr/2017. KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh : Nixon Wulur 2

BAB III TINJAUAN TERHADAP NOTARIS DAN KEWENANGANNYA DALAM UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS

BAB II. AKTA NOTARIS SEBAGAI AKTA OTENTIK YANG MEMILIKI KESALAHAN MATERIL A. Tinjauan Yuridis Tentang Akta dan Macam-Macam Akta

BAB I PENDAHULUAN. dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum. bukti yang sempurna berkenaan dengan perbuatan hukum di bidang

QUA VADIS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 49/PPU-X/2013 TERTANGGAL 28 MEI 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Penelitian. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum. 1. Hal itu

SANKSI TERHADAP NOTARIS YANG MENJADI PIHAK TERHADAP AKTA YANG DIBUATNYA SENDIRI

BAB I PENDAHULUAN. dirujuk untuk penyelesaian perselisihan itu. Perjanjian kontrak kerja dengan

HUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. mengatur hidup manusia dalam bermasyarakat. Didalam kehidupan

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TANGGUNG JAWAB NOTARIS SETELAH PUTUSAN MK NO. 49/PUU-X/2012. Dinny Fauzan, Yunanto, Triyono. Perdata Agraria ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. hukum maupun perbuatan hukum yang terjadi, sudah barang tentu menimbulkan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TINJAUAN HUKUM PENYELESAIAN PERKARA PEMBATALAN AKTA HIBAH. (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta)

BAB II PROSEDUR PEMBUATAN AKTA KEPUTUSAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM

BAB I PENDAHULUAN. penting dan sangat komplek dalam proses litigasi. Keadaan kompleksitasnya

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

PENUNJUK UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016 Website :

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam setiap hubungan hukum kehidupan masyarakat, baik dalam

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK

BAB II BATASAN PELANGGARAN YANG DILAKUKAN NOTARIS DALAM UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS DAN KODE ETIK NOTARIS

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

IMPLIKASI YURIDIS LEGALITAS KEWENANGAN (RECHTMATIGHEID) MAJELIS KEHORMATAN DALAM PEMBINAAN NOTARIS SEBAGAI PEJABAT PUBLIK

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia merupakan negara hukum (rechstaat) dimana

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB I PENDAHULUAN. tugas, fungsi dan kewenangan Notaris. Mereka belum bisa membedakan tugas mana

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Notaris sebagai pejabat umum yang diangkat oleh negara memiliki kewajiban dan kewenangan yang diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN) 1. Pasal 1 angka 1 UUJN menyatakan bahwa yang disebut sebagai Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Notaris berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN. Peran Notaris dalam membantu menciptakan kepastian dan perlindungan hukum bagi masyarakat lebih bersifat preventif atau bersifat pencegahan terjadinya masalah hukum dengan cara penerbitan akta otentik terkait status hukum, hak dan kewajiban seseorang dalam hukum dan lain sebagainya, yang 1 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Jabatan Notaris, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004, LN Nomor 117 Tahun 2004, TLN Nomor 4432

berfungsi sebagai alat bukti di Pengadilan jika terjadi sengketa. Hal ini berkaitan dengan produk hukum yang dihasilkan oleh Notaris yakni berupa Akta Otentik. Akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan terpenuh mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat. Melalui akta otentik yang menentukan secara jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian hukum, dan sekaligus diharapkan dapat pula dihindari terjadinya sengketa. Walaupun sengketa tersebut tidak dapat dihindari, namun dalam proses penyelesaian sengketa tersebut, akta otentik yang merupakan alat bukti tertulis terkuat dan terpenuh memberi sumbangan nyata bagi penyelesaian perkara secara murah dan cepat. 2 Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya tersebut, tidak jarang ditemui permasalahan permasalahan, baik terhadap akta yang dibuatnya maupun terhadap para pihak yang terlibat dalam pembuatan akta tersebut. Notaris seringkali diikutsertakan dalam sengketa yang terjadi antara para pihak oleh karena akta yang dibuatnya menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak. Timbulnya masalah yang tidak dapat diselesaikan secara musyawarah kemudian akan berlanjut sedemikian rupa hingga ke Pengadilan sebagai suatu lembaga yang diharapkan mampu memberikan penyelesaian atas masalah yang dihadapi. Jika kerugian tersebut diduga berasal dari pelanggaran atau kelalaian yang dilakukan Notaris, maka pihak yang merasa dirugikan tentu akan menuntut Notaris yang bersangkutan. Dalam hal adanya gugatan yang diajukan ke Pengadilan oleh pihak yang merasa dirugikan, maka digunakanlah Hukum Acara Perdata sebagai aturan Notaris 2 Bagian penjelasan umum Undang Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan

main dalam melaksanakan hukum perdata materiil terutama dalam hal adanya tuntutan hak. Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan Hakim. Lebih konkrit lagi dapatlah dikatakan bahwa hukum acara perdata mengatur tentang bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa, memutusnya serta pelaksanaan dari pada putusannya. 3 Berkaitan dengan keterlibatan Notaris dalam proses peradilan, Undang Undang Jabatan Notaris telah memberikan suatu prosedur khusus dalam penegakan hukum terhadap Notaris yang diatur dalam Pasal 66 UUJN, yaitu : (1) Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang : a. mengambil fotokopi Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris. (2) Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibuat berita acara penyerahan. Pasal tersebut dapat ditafsirkan bahwa proses peradilan yang dimaksud meliputi antara lain peradilan dalam lingkup perdata maupun pidana, dengan demikian Pasal 66 UUJN tidak hanya dimaksudkan untuk menggali kebenaran materiil dari suatu akta, tetapi juga dimaksudkan untuk mendapatkan kejelasan alat bukti yang berupa akta otentik. 4 Mengingat dalam ketentuan Pasal 66 tersebut tidak menjelaskan mengenai status Notaris ketika dipanggil oleh Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim, sehingga timbul persoalan mengenai pemberian 3 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia : Edisi Ketujuh, Liberty, Yogyakarta, 2006, h.2 4 Djoko Sukisno, Pengambilan Fotokopi Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris, Mimbar Hukum Volume 20, 2008, h.53.

persetujuan Majelis Pengawas Daerah terhadap pemanggilan Notaris yang dimaksudkan dalam pasal tersebut hanya sebatas dalam kedudukannya sebagai saksi, baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana, ataukah termasuk juga didalamnya sebagai tersangka dalam perkara pidana maupun sebagai tergugat atau turut tergugat dalam perkara perdata. Peran Majelis Pengawas Daerah dalam penerapan Pasal 66 UUJN dinilai sangat strategis, karena berkedudukan sebagai penilai apakah permintaan yang disampaikan oleh aparat penegak hukum (penyidik, penuntut umum, hakim) untuk mengambil fotokopi minuta akta atau memanggil Notaris dapat disetujui atau tidak. Pelaksanaan dari Pasal 66 UUJN kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.03.HT.03.10 Tahun 2007 tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris (selanjutnya akan disebut PerMenkum HAM). Namun PerMenkum HAM tersebut hanya mengatur mengenai prosedur pemanggilan Notaris dan pengambilan minuta akta dalam kedudukan Notaris sebagai saksi atau tersangka dalam perkara pidana, sedangkan kedudukan Notaris sebagai tergugat atau turut tergugat dalam suatu perkara perdata belum ada pengaturannya. Pasal 66 ayat (1) UUJN disamping memberi wewenang untuk mengambil fotokopi minuta akta dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah, juga memberi wewenang kepada hakim untuk memanggil Notaris dalam pemeriksaan sehubungan dengan akta yang dibuatnya (Pasal 66 ayat (1) huruf b). Pemanggilan Notaris dalam pasal tersebut dapat ditafsirkan memanggil Notaris sebagai saksi atau sebagai salah satu subyek yang diperiksa terkait akta yang dibuatnya. Dapat

dipahami bahwa tujuan pengambilan minuta akta dan pemanggilan Notaris adalah untuk menemukan fakta hukum yang mempunyai pengaruh penting dalam proses pemeriksaan perkara di pengadilan, sehingga pemanggilan tersebut diharapkan dapat membantu memperlancar proses peradilan. Pemanggilan Notaris sebagai saksi dalam pemeriksaan perkara perdata dapat terjadi, jika akta sebagai alat bukti dirasa tidak cukup, sehingga kehadiran Notaris dipandang perlu untuk memberikan keterangan terkait sengketa yang sedang terjadi. Apalagi jika keterangan yang diberikan Notaris sangat urgen dan relevan meneguhkan dalil penggugat atau bantahan tergugat. Pemanggilan oleh hakim terhadap saksi yang diperlukan didasarkan atas permintaan salah satu pihak berdasarkan Pasal 139 HIR, yakni dalam hal mereka tidak dapat menghadirkan saksi yang penting ke persidangan. 5 Kehadiran Notaris di persidangan untuk memberikan keterangan, baik dalam kedudukannya sebagai saksi ataupun tergugat tentu saja akan berbenturan dengan rahasia jabatan Notaris sebagaimana termuat dalam sumpah jabatan Notaris. Dalam sumpah jabatan Notaris dinyatakan bahwa, Notaris bersumpah akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan dan akan patuh pada UUJN. Disamping itu jabatan Notaris sebagai suatu jabatan kepercayaan berkewajiban merahasiakan semua apa yang diberitahukan kepadanya selaku Notaris. Notaris tidaklah bebas untuk memberitahukan apa yang diberitahukan kepadanya selaku Notaris oleh kliennya pada waktu diadakan 5 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, h. 213.

pembicaraan sebagai persiapan untuk pembuatan akta, sekalipun tidak semua yang dibicarakan itu dicantumkan dalam akta. Kewajiban Notaris untuk menjaga rahasia jabatannya juga diatur dalam Pasal 1909 ayat (2) angka 3e BW dan Pasal 170 KUHAP yakni mengenai pembebasan sebagai saksi karena pekerjaan atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia atau yang dikenal dengan hak ingkar. Hak ingkar merupakan pengecualian terhadap ketentuan umum yang menyatakan bahwa setiap orang yang cakap memberikan saksi berkewajiban memberikan kesaksian dimuka pengadilan, baik dalam proses perdata maupun dalam proses pidana. 1.2 Rumusan Masalah Dari uraian tersebut, maka penulis ingin mengemukakan permasalahan sebagai berikut : 1. Apakah dibutuhkan persetujuan Majelis Pengawas Daerah terkait pengambilan minuta akta dan pemanggilan Notaris dalam pemeriksaan perkara perdata di Pengadilan? 2. Bagaimana tanggung jawab Notaris saat memberikan keterangan di pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata, terkait hak ingkar dan rahasia jabatan Notaris? 1.3 Tujuan Penelitian 1. Untuk menganalisis batas kewenangan Majelis Pengawas Daerah terkait pengambilan minuta akta dan pemanggilan Notaris dalam pemeriksaan perkara perdata di Pengadilan.

2. Untuk menganalisis tanggung jawab Notaris saat memberikan keterangan di pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata dikaitkan dengan hak ingkar dan rahasia jabatan Notaris. 1.4 Manfaat Penelitian 1. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan bacaan tambahan bagi masyarakat agar mengetahui kedudukan Notaris dalam pemeriksaan perkara perdata di Pengadilan. 2. Diharapkan dapat menjadi sumbangan pemkiran dalam ilmu pengetahuan di bidang kenotariatan sehingga dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dan masukan bagi pihak-pihak terkait khususnya dalam hal pengambilan minuta akta dan pemanggilan Notaris dalam pemeriksaan perkara perdata di Pengadilan. 1.5 Metode Penelitian 1.5.1 Pendekatan Masalah Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach). Pendekatan perundang undangan (Statute Approach) dilakukan dengan mengkaji dan menganalisis berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah yang dibahas. 6 Peraturan perundang undangan tersebut diantaranya yang mengatur 6 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2005, h.96

kaidah-kaidah dalam hukum acara perdata, Burgerlijk Wetboek (B.W), Jabatan Notaris serta peraturan perundang-undangan lainnya. Pendekatan konsep (conseptual approach) beranjak dari pandanganpandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertianpengertian hukum, konsep hukum dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu hukum yang dibahas. 7 1.5.2 Sumber Bahan Hukum Bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian ini, yaitu : a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum yang diperoleh melalui peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan penulisan tesis ini yang meliputi Hukum Acara Perdata yang diatur dalam Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR), Rechtsreglement Buitengewesten (R.Bg.), Burgerlijk Wetboek (BW), Undang Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.03.HT.03.10 Tahun 2007 tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris, Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja Dan Tata Cara Pemeriksaan 7 Ibid, h.137

Majelis Pengawas, Keputusan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nomor M.39-PW.07.10. Tahun 2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Majelis Pengawas Notaris. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan Hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, yang terdiri dari pendapat para sarjana yang ada dalam buku-buku literatur, catatan perkuliahan, karya ilmiah, jurnal, maupun artikel-artikel dari media cetak maupun internet yang kesemuanya itu berkaitan isu hukum dalam penelitian ini. c. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum Dalam memperoleh bahan hukum yang relevan dengan permasalahan yang diteliti, maka dilakukan tahap penelitian yaitu penelitian kepustakaan yang diperoleh dari studi pustaka (inventarisasi) yang berkaitan dengan pembahasan dan peraturan perundang-undangan terkait jabatan Notaris, serta mengidentifikasi norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan tersebut, dengan pengolahan bahan hukum secara kualitatif yakni setelah bahan hukum terkumpul kemudian dituangkan dalam bentuk uraian logis dan sistematis, selanjutnya dianalisis untuk memperoleh kejelasan penyelesaian masalah.

1.6 Tinjauan Pustaka 1.6.1 Kewenangan Notaris Membuat Akta Otentik Pasal 1 angka 1 UUJN memberikan pengertian Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksued dalam undang-undang ini. Sedangkan pasal 15 ayat (1) UUJN mengatur tentang kewenangan umum Notaris yaitu membuat akta otentik mengenai suatu perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang ini. Notaris selain berwenang (bevoegd) juga membuat (verlijden) akta otentik. Verlijden disini mempunyai arti memprodusir akta dalam bentuk yang ditentukan undang-undang (in wettelijke vorm) oleh Notaris. 8 Pasal 1868 BW menyatakan bahwa akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang di tentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta itu dibuatnya. Pasal tersebut memberikan batasan secara unsur yang dimaksud akta otentik, yaitu : 9 8 A.A.Andi Prajitno, Pengetahuan Praktis tentang Apa dan Siapa Notaris di Indonesia, Putra Media Nusantara, Surabaya, 2010, h.26 9 Habib Adjie, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris,Refika Aditama,Bandung,2011, h.5

a. Akta itu harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) seorang Pejabat Umum b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undangundang. c. Pejabat umum oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut. Bahwa disebut akta Notaris, karena akta tersebut sebagai akta otentik yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris yang memenuhi syarat yang ditentukan UUJN. Akta Notaris sudah pasti akta otentik. Tetapi akta otentik dapat juga akta Notaris, akta Pejabat Pembuat Akta Tanah, risalah lelang Pejabat Lelang dan akta Catatan Sipil. 10 Akta yang dibuat oleh (door) Notaris dalam praktek Notaris disebut Akta Relaas atau Akta Berita Acara yang berisi berisi berupa uraian Notaris yang dilihat dan disaksikan Notaris sendiri atas permintaan para pihak, agar tindakan atau perbuatan para pihak yang dilakukan dituangkan ke dalam bentuk akta Notaris. Akta yang di hadapan (ten overstaan) Notaris, dalam praktek Notaris disebut Akta Pihak, yang berisi uraian atau keterangan, pernyataan para pihak yang diberikan atau yang diceritakan di hadapan Notaris. Para pihak berkeinginan agar uraian atau keterangannya dituangkan ke dalam bentuk akta Notaris. 11 Pembuatan akta Notaris, baik akta relaas maupun akta pihak, yang menjadi dasar utama atau inti dalam pembuatan akta Notaris, yaitu harus ada keinginan atau kehendak dan permintaan daru 10 Ibid, h.8 11 G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, 1983, h.51

para pihak. Jika keinginan dan permintaan para pihak tidak ada, maka Notaris tidak akan membuat akta yang dimaksud. Wewenang Notaris meliputi 4 (empat) hal, yaitu : 12 a. Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang harus dibuat itu Selain kewenangan umum, Notaris juga mempunyai kewenangan lainnya yang diatur dalam pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UUJN yaitu : (2) Notaris berwenang pula : a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftarkan ke dalam buku khusus; b. membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar ke dalam buku khusus; c. membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; f. membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau g. membuat akta risalah lelang (3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Wewenang ini merupakan suatu batasan, bahwa Notaris tidak boleh melakukan suatu tindakan di luar wewenang tersebut. Tindakan Notaris di luar wewenang yang sudah ditentukan tersebut, dapat dikategorikan sebagai perbuatan di luar wewenang Notaris. 13 12 Ibid, h.49 13 Habib Adjie, Kebatalan dan Pembatalan..., op.cit., h.14

b. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang (-orang) untuk kepentingan siapa akta itu dibuat Meskipun Notaris dapat membuat akta untuk setiap orang, tapi untuk menjaga netralitas Notaris, maka ada batasan pembuatan akta berdasarkan pasal 52 UUJN, yakni Notaris tidak diperkenankan membuat akta untuk diri sendiri, isteri/suami, atau orang lain yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Notaris, baik karena perkawinan maupun hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis ke samping sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri sendiri, maupun dalam suatu kedudukan atau perantaraan kuasa. c. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, dimana akta itu dibuat Pasal 18 ayat (1) UUJN menentukan bahwa Notaris harus berkedudukan di daerah kabupaten atau kota. Setiap Notaris sesuai dengan keinginannya mempunyai tempat kedudukan dan berkantor di daerah kabupaten atau kota (Pasal 19 ayat (1) UUJN). Notaris mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah propinsi dari tempat kedudukannya (Pasal 19 ayat (2) UUJN), dan dilarang menjalankan tugas jabatannya di luar propinsi (Pasal 17 huruf a UUJN). d. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya harus dalam keadaan aktif, artinya tidak dalam keadaan cuti atau diberhentikan

sementara waktu. Notaris yang sedang cuti, sakit atau sementara berhalangan untuk menjalankan tugas jabatannya. Agar tidak terjadi kekosongan, maka Notaris yang bersangkutan dapat menunjuk Notaris pengganti (Pasal 1 angka 3 UUJN). 1.6.2 Pemeriksaan Perkara Perdata di Pengadilan Dalam suatu proses perkara perdata, salah satu tugas hakim adalah untuk menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak. Apabila penggugat tidak berhasil untuk membuktikan dalil-dalil yang menjadi dasar gugatannya akan ditolak, sedangkan apabila berhasil, gugatannya akan dikabulkan. Pembuktian mengenai suatu peristiwa, mengenai adanya suatu hubungan hukum adalah suatu cara untuk menyakinkan hakim akan kebenaran dalil-dalil yang menjadi dasar gugatan, atau dalil-dalil yang telah dikemukakan oleh pihak lawan. Di dalam menjatuhkan beban pembuktian, hakim harus bertindak arif dan bijaksana, serta harus bersikap adil dan tidak memihak. 14 Tugas dan kewenangan badan peradilan di bidang perdata adalah menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan sengketa di antara para pihak yang berperkara. Hal ini sesuai dengan pendapat Wirjono Prodjodikoro yang menyatakan, bahwa Pengadilan Negeri pada prinsipnya harus menuruti hukum pembuktian yang termuat dalam Herzein Inlandsch Reglement (HIR) dan Recthsreglement Buitengewesten (RBg), tetapi bilamana perlu boleh memakai hukum pembuktian dalam Burgerlijk 14 Sudikno Mertokusumo, op.cit., h.15

Wetboek / Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 15 (selanjutnya disebut BW) sebagai pedoman yaitu apabila dalam suatu perkara perdata dan pelaksanaanya hanya dapat terjadi secara tepat dengan memakai hukum pembuktian dalam BW. 16 Pengertian Pemanggilan dalam hukum acara perdata adalah menyampaikan secara resmi (official) dan patut (properly) kepada pihakpihak yang terlibat dalam suatu perkara di Pengadilan, agar memenuhi dan melaksanakan hal-hal yang diminta dan diperintahkan majelis Hakim atau Pengadilan. 17 Hakim memegang peranan penting dari awal sampai akhir pemeriksaan di pengadilan. Berdasarkan Pasal 119 Herzien Indonesich Reglement atau 143 Rechreglemet Buitengewesten (Selanjutnya disingkat HIR/Rbg) hakim berwenang untuk memberikan petunjuk kepada pihak yang mengajukan gugatannya ke pengadilan dengan maksud agar sengketa tersebut menjadi jelas duduk sengketanya dan memudahkan hakim memeriksa sengketa itu. Dalam pemeriksaan sengketa, hakim betul-betul harus bersikap bebas dan tidak memihak siapapun. Di dalam persidangan, hakim juga harus mendengar keterangan kedua belah pihak dengan pembuktian masing-masing sehingga hakim dapat menemukan kebenaran sesungguhnya. Hakim dalam persidangan haruslah bersifat bebas tanpa memihak pihak siapapun yang bersengketa, dikarenakan hakim wajib bersikap 15 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang Undang Hukum Perdata (Burgerlijk wetboek), Pradnya Paramita, Jakarta. 2005 16 Rinduan Syahrani, Hukum Acara Perdata dalam Lingkungan Peradilan Umum, Pustaka Kartini, Jakarta, 1988, hal. 56. 17 M.Yahya Harahap, loc.cit.

profesional dalam mengemban tugasnya. Kewenangan tersebut tidaklah semata-mata disalahgunakan oleh hakim, kewenangan hakim dalam persidangan haruslah sesuai dengan Kekuasaan Kehakiman. Dalam undangundang tersebut mengatur segala bentuk kewenangan hakim dalam memutus suatu perkara. Hukum acara perdata merupakan hukum perdata formil yang dimaksudkan untuk menegakkan hukum perdata materiil. Hukum acara perdata ini menjamin ditaatinya hukum perdata materiil. Ketentuan hukum acara perdata dimaksudkan untuk melaksanakan dan mempertahankan kaidah hukum materiil perdata yang ada. 18 Hakim hanya terbatas menerima dan memeriksa sepanjang mengenai hal-hal yang diajukan penggugat dan tergugat. Oleh karena itu, fungsi dan peran hakim dalam proses perkara perdata, hanya terbatas mencari dan menemukan kebenaran formil, yang kebenaran itu diwujudkan sesuai dengan dasar alasan dan fakta-fakta yang diajukan oleh para pihak selama proses persidangan berlangsung. Hakim tidak dibenarkan mengambil putusan tanpa pembuktian. Kunci ditolak atau dikabulkannya gugatan, harus berdasarkan pembuktian yang bersumber dari fakta-fakta yang diajukan para pihak. Pembuktian hanya dapat ditegakkan berdasarkan dukungan fakta-fakta, sehingga pembuktian tidak dapat ditegakkan tanpa adanya fakta-fakta yang mendukungnya. 19 18 Bambang Waluyo, Implementasi Kekuasaan Kehakiman, Sinar Grafika, Jakarta, 1992,Hal 19 19 Putusan MA No.2775 K/Pdt/1983

1.7 Sistematika Penulisan Tesis ini terdiri dari 4(empat) bab yang masing masing menyajikan materi yang berlainan, tetapi antara yang satu dengan yang lainnya saling melengkapi sehingga merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Untuk memudahkan pemahaman terhadap tesis ini, maka disusun dengan sistematika sebagai berikut : Bab I Pendahuluan, berisi gambaran umum mengenai isi tesis, yaitu latar belakang masalah, rumusan masalah yang berkaitan dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah terkait pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris dalam pemeriksaan perkara perdata di Pengadilan dan tanggung jawab Notaris saat memberikan keterangan di Pengadilan dikaitkan dengan rahasia jabatan dan hak ingkar Notaris, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan. Bab II yaitu tentang pengambilan minuta akta dan pemanggilan Notaris dalam pemeriksaan perkara perdata di Pengadilan dengan sub-sub pembahasan yaitu mengenai tinjauan tentang Jabatan Notaris di Indonesia, pengawasan terhadap Jabatan Notaris, dan lingkup persetujuan Majelis Pengawas Daerah terkait pengambilan minuta akta dan pemanggilan Notaris dalam pemeriksaan perkara perdata di Pengadilan. Bab III yaitu tentang tanggung jawab Notaris terkait pemberian keterangan di Pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata dengan sub-sub bab Tinjauan tentang rahasia jabatan dan hak ingkar Notaris, peran Notaris dalam proses peradilan perdata dan tanggung jawab Notaris saat memberikan keterangan di Pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata.

Bab IV yaitu Penutup yang merupakan bagian akhir dari penulisan tesis ini, pada bagian ini akan disajikan kesimpulan-kesimpulan yang merupakan pernyataan singkat dari pembahasan bab-bab sebelumnya, yang sekaligus merupakan jawaban terhadap permasalahan yang dibahas serta ditambahkan saran-saran dari penulis.