BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB VI PEMBAHASAN. pseudohalitosis, halitophobia dan psychogenic halitosis. 6,7,8

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Halitosis adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan nafas tidak sedap

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Proses penuaan adalah perubahan morfologi dan fungsional pada suatu

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit periodontal adalah penyakit yang umum terjadi dan dapat ditemukan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perhatian. Penyakit gigi dan mulut dapat menjadi faktor resiko dan fokal infeksi

BAB I PENDAHULUAN. yang predominan. Bakteri dapat dibagi menjadi bakteri aerob, bakteri anaerob dan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dekade terakhir, sebanyak 80% orang didunia bergantung pada

BAB I PENDAHULUAN. dijual dipasaran, diantaranya adalah chlorhexidine. Chlorhexidine sendiri

BAB 1 PENDAHULUAN. Denture stomatitis merupakan suatu proses inflamasi pada mukosa mulut

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Kondisi ini dapat tercapai dengan melakukan perawatan gigi yang

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Subyek penelitian yang didapatkan pada penelitian ini adalah sebanyak 32

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu cermin dari kesehatan manusia, karena merupakan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada permukaan basis gigi tiruan dapat terjadi penimbunan sisa makanan

BAB I PENDAHULUAN. mamalia. Beberapa spesies Candida yang dikenal dapat menimbulkan penyakit

BAB I PENDAHULUAN. merupakan kelompok mikroba di dalam rongga mulut dan dapat diklasifikasikan. bakteri aerob, anaerob, dan anaerob fakultatif.

CLINICAL SCIENCE SESSION HALITOSIS. Disusun oleh: Nikkita Ike Ernawati

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. masih merupakan masalah di masyarakat (Wahyukundari, 2009). Penyakit

DAFTAR ISI. SAMPUL DALAM... i PRASYARAT... ii LEMBAR PENGESAHAN... iii LEMBAR PENGUJI... iv

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. anak-anak sampai lanjut usia. Presentase tertinggi pada golongan umur lebih dari

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan gigi dan mulut masyarakat Indonesia masih merupakan hal yang

BAB 1 PENDAHULUAN. pada kesehatan umum dan kualitas hidup (WHO, 2012). Kesehatan gigi dan mulut

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

PENDAHULUAN. sumber protein hewani selain daging. Telur tidak hanya dijual dalam keadaan. sekarang banyak olahan telur yang menggunakan telur puyuh.

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia saat ini sedang menggalakkan pemakaian bahan alami sebagai bahan obat,

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menimbulkan masalah kesehatan gigi dan mulut. Penyakit periodontal yang sering

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Flora mulut kita terdiri dari beragam organisme, termasuk bakteri, jamur,

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan terapi saluran akar bergantung pada debridement

BAB I PENDAHULUAN. Mulut memiliki lebih dari 700 spesies bakteri yang hidup di dalamnya dan. hampir seluruhnya merupakan flora normal atau komensal.

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Karies adalah penyakit jaringan keras gigi, yaitu enamel, dentin dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. maupun anaerob. Bakteri Streptococcus viridans dan Staphylococcus aureus

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. prevalensi masalah gigi dan mulut diatas angka nasional (>25,9%) dan sebanyak

BAB 1 PENDAHULUAN. yang buruk, kelainan berbicara apabila gigi yang hilang adalah gigi depan,

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan rongga mulut merupakan salah satu bagian yang tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. berjuang menekan tingginya angka infeksi yang masih terjadi sampai pada saat

BAB I PENDAHULUAN. Karies gigi merupakan salah satu penyakit kronis yang paling umum terjadi di

BAB I PENDAHULUAN. Candida albicans merupakan jamur yang dapat menginfeksi bagian- bagian

BAB I PENDAHULUAN. ata terbaru yang dikeluarkan Departemen Kesehatan (Depkes) Republik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dalam rongga mulut. Hasil survei Kesehatan Rumah Tangga (2006) menunjukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tubuh keseluruhan (Tambuwun et al., 2014). Kesehatan gigi dan mulut tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. imunitas gingiva yang salah satu penyebabnya adalah infeksi. Infeksi disebabkan oleh

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. dan akan berlanjut ke dalam lapisan gigi serta diikuti dengan kerusakan bahan

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan seseorang (Sari & Suryani, 2014). Penyakit gigi dan mulut memiliki

BAB I PENDAHULUAN. tidak diganti dapat menimbulkan gangguan pada fungsi sistem stomatognatik

BAB 1 PENDAHULUAN. tahun 0,1%, usia tahun 0,4 %, usia tahun 1,8%, usia tahun 5,9%

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. digunakan di kedokteran gigi adalah hydrocolloid irreversible atau alginat

BAB I PENDAHULUAN. Luka adalah kasus yang paling sering dialami oleh manusia, angka kejadian luka

BAB 1 PENDAHULUAN. RI tahun 2004, prevalensi karies gigi mencapai 90,05%. 1 Karies gigi merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. kelenjar saliva, dimana 93% dari volume total saliva disekresikan oleh kelenjar saliva

BAB I PENDAHULUAN. Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2007, prevalensi

BAB I PENDAHULUAN. Flora di rongga mulut pada dasarnya memiliki hubungan yang harmonis

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dunia setelah Brazil (Hitipeuw, 2011), Indonesia dikenal memiliki tanaman-tanaman

BAB I PENDAHULUAN. Plak gigi adalah deposit lunak yang membentuk biofilm dan melekat pada

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. rongga mulut. Kandidiasis oral paling banyak disebabkan oleh spesies Candida

BAB 1 PENDAHULUAN. Kesehatan gigi dan mulut tidak lepas dari peran mikroorganisme, yang jika

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dari harapan. Hal ini terlihat dari penyakit gigi dan mulut masyarakat Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan dalam bidang kedokteran gigi sejak ratusan tahun yang lalu. Pierre

I PENDAHULUAN. Bab ini akan membahas mengenai: (1.1) Latar Belakang Penelitian, (1.2)

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan hubungan oklusi yang baik (Dika et al., 2011). dua, yaitu ortodontik lepasan (removable) dan ortodontik cekat (fixed).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Madu adalah pemanis tertua yang pertama kali dikenal dan digunakan oleh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. masyarakat Indonesia. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2004 yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Hayati et al., 2010). Tanaman ini dapat tumbuh hingga mencapai tinggi 5-10

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. mulut dan bersama grup viridans lainnya umum terdapat di saluran pernapasan

BAB I PENDAHULUAN. virus, bakteri, dan lain-lain yang bersifat normal maupun patogen. Di dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mengandung mikroba normal mulut yang berkoloni dan terus bertahan dengan

BAB I PENDAHULUAN. 90% dari populasi dunia. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Departemen

BAB I PENDAHULUAN. menduduki peringkat kedua setelah karies (Amalina, 2011). Periodontitis

I. PENDAHULUAN. penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi, karena memiliki protein yang

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Kristen Maranahta

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Gigi tiruan sebagian lepasan (removable partial denture) adalah gigi tiruan

BAB I PENDAHULUAN. seperti kesehatan, kenyamanan, dan rasa percaya diri. Namun, perawatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kedokteran gigi adalah karies dan penyakit jaringan periodontal. Penyakit tersebut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Obat kumur sering digunakan untuk menjaga kebersihan dan kesehatan gigi

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu bagian tanaman pepaya yang dapat dimanfaatkan sebagai obat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dalam bidang kedokteran gigi, masalah kesehatan gigi yang umum terjadi di

BAB I PENDAHULUAN. mulut. Ketidakseimbangan indigenous bacteria ini dapat menyebabkan karies gigi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dijumpai pada masyarakat dengan prevalensi mencapai 50% (Wahyukundari,

BAB 1 PENDAHULUAN. nyeri mulut dan nyeri wajah, trauma dan infeksi mulut, penyakit periodontal,

BAB 1 PENDAHULUAN. gigitiruan dan sebagai pendukung jaringan lunak di sekitar gigi. 1,2 Basis gigitiruan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penyebab utama terjadinya kehilangan gigi. Faktor bukan penyakit yaitu sosiodemografi

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perawatan kelainan oklusal yang akan berpengaruh pada fungsi oklusi yang stabil,

BAB I PENDAHULUAN. Gigi yang sehat adalah gigi yang rapi, bersih, didukung oleh gusi yang kuat dan

BAB I PENDAHULUAN. Plak gigi merupakan komunitas mikroba yang melekat maupun berkembang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Resin akrilik merupakan bahan yang paling banyak digunakan di Kedokteran

BAB I PENDAHULUAN. diantaranya adalah dengan menggunakan obat kumur antiseptik. Tujuan berkumur

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. aktifitas mikroorganisme yang menyebabkan bau mulut (Eley et al, 2010). Bahan yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tuntutan dan kebutuhan akan perawatan ortodonti pada masa kini semakin

BAB I PENDAHULUAN. mereka yang bidang pekerjaannya sangat menuntut penampilan seperti pramugari

I. PENDAHULUAN. Bentuk jeruk purut bulat dengan tonjolan-tonjolan, permukaan kulitnya kasar

BAB I PENDAHULUAN. Aggregatibacter Actinomycetemcomitans adalah bakteri gram negatif, nonmotile,

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Halitosis 2.1.1 Definisi Halitosis adalah kebiasaan dan masalah yang umum yang bisa membawa kita pada kerenggangan sosial dan rasa malu. Terminologi halitosis berasal dari bahasa latin yaitu halitus berarti nafas dan bahasa Yunani osis yang berarti abnormal atau penyakit. 6 Halitosis adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan tanda nafas tidak sedap pada saat nafas dihembuskan. Halitosis merupakan istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan nafas tidak sedap yang berasal baik dari rongga mulut maupun diluar rongga mulut. Sedangkan, bau rongga mulut adalah istilah khusus yang digunakan untuk menggambarkan bau dari kavitas rongga mulut. 1 2.1.2 Klasifikasi Halitosis, nafas bau atau biasa yang disebut dengan nafas buruk dapat dibagi menjadi true halitosis, pseudohalitosis, dan halitophobia.

a. True halitosis True halitosis dapat dibagi menjadi halitosis fisiologis dan patologis. Halitosis fisiologis termasuk halitosis yang dapat disebabkan komponen makanan, kebiasaan yang buruk, nafas pagi hari, dan juga berdampak pada xerostomia yang juga disebabkan oleh factor fisiologis. Halitosis patologis terjadi karena kondisi patologik atau jaringan mulut seperti gingiva atau penyakit periodontal misalnya periodontitis, acute necrotizing ulcerative gingivitis, darah residu pascaoperasi, sisa makanan, lesi ulseratif pada rongga mulut, halitosis bisa juga berkaitan dengan lidah yang terlapis sisa makanan, dapat juga berefek sekunder berupa xerostomia yang disebabkan oleh penyakit glandula saliva dan tonsilolitis. 6,7,8 b. Pseudohalitosis Pasien yang menderita penyakit pseudohalitosis mengeluhkan atas adanya halitosis meskipun orang lain tidak merasakannya. Kondisi ini dapat diatasi dengan konseling (menggunakan dukungan literature, pengetahuan, dan penjelasan atas hasil pengujian) dan pengukuran kebersihan mulut sederhana. 6,7,8 c. Halitophobia Beberapa individu tetap ingin melanjutkan perawatan meskipun telah dirawat berdasarkan halitosis sejati ataupun halitosis semu. Individu seperti ini dikategorikan sebagai halitophobic. Halitophobia dapat dipertimbangkan sebagai penyakit ketika 7

tidak ada bukti fisik atau bukti sosial yang ada, yang membuktikan halitosis itu benarbenar ada. 6,7,8 d. Psychogenic Halitosis Psychogenic Halitosis adalah orang yang membayangkan. Orang ini percaya bahwa nafasnya berbau buruk meskipun itu tidak terjadi. Masalah ini terjadi pada orang yang cenderung melebih-lebihkan sensasi tubuhnhya yang normal. Terkadang hal ini dapat disebabkan oleh penyakit mental yang serius seperti schizophrenia. Orang ini terobsesi dengan pikiran yang selalu merasa kotor. Orang yang paranoid ini memiliki khayalan bahwa organ tubuhnya membusuk. Kebanyakan orang seperti ini merasa bau mulutnya busuk. Beberapa orang dapat ditolong dengan meminta pendapat dokter atau dokter gigi bahwa mulut mereka tidak berbau. Jika permasalahan berlanjut, orang seperti ini dapat berkonsultasi dengan psikoterapis. 6,7,8 2.1.3 Etiologi Faktor penyebab halitosis secara sederhana dapat dibagi dua, yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal antara lain adanya sisa makanan di dalam mulut, sedangkan faktor internal meliputi karies gigi, radang kronis pada saluran pernafasan, gangguan pencernaan dan lain-lain. Secara umum faktor penyebab halitosis dibagi atas faktor penyebab oral dan non-oral. Faktor penyebab oral meliputi kebersihan mulut yang buruk atau adanya penyakit periodontal 8

sedangkan faktor non-oral meliputi penyebab medis seperti kronis, serta gangguan saluran pencernaan. Meskipun beberapa penyebab halitosis dapat dihubungkan dengan bagian ekstra oral seperti saluran pernafasan atas dan bawah, saluran pencernaan, penyakit ginjal, dan hati, namun 85-90% masalah bau mulut berasal dari rongga mulut itu sendiri. Oleh karena itu, dokter gigi sebagai orang yang mengetahuinya perlu memperhatikan hal ini pada waktu perawatan gigi di klinik. Faktor lain yang dapat menyebabkan halitosis adalah faktor risiko seperti tembakau, alkohol, mulut kering, diet, makanan dan minuman, obat-obatan, dan gigi tiruan. a. Makanan dan Minuman Makanan-makanan tertentu yang dapat menimbulkan halitosis antara lain bawang putih, bawang merah dan lobak sedangkan minuman yang dapat menyebabkan halitosis antara lain minuman beralkohol, produk susu dan lain-lain. Pada keadaaan ini, permasalahannya bukan diawali pada saat makanan atau minuman berada di dalam rongga mulut tetapi terjadi setelah bahan makanan atau minuman ini diserap pada pembuluh darah. Bau makanan atau minuman yang tersebut selanjutnya akan ditransmisikan ke dalam paru-paru, yang kemudian keluar bersama dengan udara pernafasan melalui mulut, dan semua keadaan ini bersifat sementara. 6,8,9 9

b. Oral Hygiene Bila oral hygiene tidak dilakukan dengan baik, sisa-sisa makanan akan mengumpul diantara gigi. Cepat atau lambat makanan yang telah mengalami pembusukan akan terbentuk, dan hampir keseluruhan dari produk-produk yang disebabkan oleh pembusukan akan mengeluarkan bau yang tidak sedap. 6,8,9 c. Penyakit Periodontal Keadan periodontal mungkin merupakan keadaan patologi yang paling sering terlihat dan dapat menimbulkan halitosis. Penyebab utama dari keberadaan penyakit ini adalah plak. 6,8,9 d. Xerostomia Merupakan istilah untuk keadaan mulut yang kering. Xerostomia atau kekeringan di dalam rongga mulut dapat pula menyebabkan terjadinya bau mulut atau halitosis. 6,8,9 e. Kebiasaan Halitosis juga dapat disebabkan oleh penggunaan tembakau. Kebiasaan ini berkaitan dengan resiko yang besar untuk terjadinya penyakit periodontal dan kanker di dalam rongga mulut pada individu yang memiliki kebiasaan ini. 6,8,9 10

f. Penyakit Sistemik Beberapa penyakit yang dapat menyebabkan halitosis, diantaranya infeksi pada saluran nafas, diabetes, permasalahan pada saluran pencernaan, infeksi pada sinus dan kelainan hati serta ginjal. 10 g. Obat-obatan Beberapa obat dapat menimbulkan halitosis. Obat-obat tertentu dapat juga merubah rasa dan bau, obat-obat tertentu tersebut dapat menimbulkan berkurangnya produksi saliva yang menyebabkan terjadinya halitosis. 10 2.1.4 Mekanisme Terjadinya Halitosis Mekanisme terjadinya halitosis sangat dipengaruhi oleh penyebab yang mendasari keadaan tersebut. Pada halitosis yang disebabkan oleh makanan tertentu, bau nafas berasal dari makanan yang oleh darah ditransmisikan menuju paru-paru yang selanjutnya dikeluarkan melalui pernafasan. Secara khusus, bakteri memiliki peranan yang penting pada terjadinya bau mulut yang tak sedap atau halitosis. Bakteri dapat berasal dari rongga mulut sendiri seperti plak, bakteri yang berasal dari poket yang dalam dan bakteri yang berasal dari lidah memiliki potensi yang sangat besar menimbulkan halitosis. 1,6,11 VSC (Volatile Sulfur Compounds) merupakan unsur utama penyebab halitosis. Volatile Sulfur Compound merupakan hasil produksi dari aktivitas bekteri-bakteri 11

anaerob di dalam mulut yang berupa senyawa berbau yang tidak sedap dan mudah menguap sehingga menimbulkan bau yang mudah tercium oleh orang lain disekitarnya. Di dalam aktivitasnya di dalam mulut, bakteri anaerob bereaksi dengan protein-protein yang ada, protein di dalam mulut dapat diperoleh dari sisa-sisa makanan yang mengandung protein sel-sel darah yang telah mati, bakteri-bakteri yang mati ataupun sel-sel epitel yang terkelupas dari mukosa mulut. Seperti yang telah diketahui, di dalam mulut banyak terdapat bakteri baik gram positif maupun gram negatif. Kebanyakan bakteri gram positif adalah bakteri sakarolitik artinya di dalam aktivitas hidupnya banyak memerlukan karbohidrat, sedangkan kebanyakan bakteri gram negatif adalah bakteri proteolitik dimana untuk kelangsungan hidupnya banyak memerlukan protein. Protein akan dipecah oleh bakteri menjadi asam-asam amino. 1,6,11 Sebenarnya terdapat beberapa macam VSC serta senyawa yang berbau lainnya di dalam rongga mulut, akan tetapi hanya terdapat 3 jenis VSC penting yang merupakan penyebab utama halitosis, diantaranya metal mercaptan (CH3SH), dimetil mercaptan (CH3)2S, dan hidrogen sulfide (H2S). Ketiga macam VSC tersebut menonjol karena jumlahnya cukup banyak dan mudah sekali menguap sehingga menimbulkan bau. Sedangkan VSC lain hanya berpengaruh sedikit, seperti skatole, amino, cadaverin dan putrescine 1,6,11 12

2.1.5 Pengobatan Halitosis a. Chlorine Dioxide Chlorine Dioxide atau chlordioksida merupakan salah satu bahan anti halitosis yang paling banyak dan luas dipergunakan. Bahan ini pulalah yang telah diketahui mekanisme kerjanya terhadap VSC. Bentuk sebenarnya dari sebenarnya dari senyawa ini adalah gas oleh sebab itu cukup sulit digunakan untuk keperluan sehari-hari. Dalam kaitannya dengan perawatan halitosis agar dapat dipergunakan misalnya dalam bentuk bahan kumur mulut, perlu dilakukan stabilisasi agar tidak mudah menguap dan tidak menjadi aktif sebelum dipergunakan. Stabilisasi ini dapat dilakukan dalam berbagai cara, tetapi hanya beberapa yang sesuai untuk penggunaan secara oral. Chlorine dioxide di dalam bahan kumur mulut berada dalam keadaan stabil atau berbentuk tidak aktif oleh sebab itu dapat tetap stabil sebagai suatu produk sampai sekitar dua tahun. Bahan ini menjadi aktif pada ph rendah atau asam. Didalam mulut, keasaman dari permukaan plak dapat mengaktifkan bahan ini. Adanya bakteri menghasilkan banyak interaksi asam-basa, dengan demikian akan menyebabkan bahan chlorine dioxide dalam bentuk stabil ini menjadi aktif dan bekerja mengubah VSC. Dengan demikian, makin lama larutan bahan ini berada dalam mulut akan makin baik bekerjanya. Apabila bahan ini menjadi aktif, chlorine dioxide akan mengoksidasi ikatan sulfur melalui suatu reaksi oksidasi reduksi. Dengan 13

teroksidasinya senyawa yang mengandung ikatan sulfur tersebut makan senyawa yang tadinya mudah menguap dan menyebabkan bau akan diubah menjadi senyawa lain yang tidak berbau. 6,12 b. Baking Soda Baking soda atau natrium bikarbonat sebaiknya dipergunakan secara hati-hati, seperti diketahui di dalam suatu poket, misalnya pada penyakit periodontal, terdapat kondisi ph basa serta kondisi lingkungan anaerob. Penggunaan baking soda untuk membersihkan gigi geligi akan membuat saliva lebih bersifat basa sehingga membuat suasana lebih kondusif untuk terjadinya halitosis. Baking soda pada konsentrasi yang tinggi (0,5-1 mol/1) dapat menaikkan ph mulut dan dapat tetap bertahan lama. Pada konsentrasi yang rendah (lebih kecil dari 0,5 mol/1) baking soda dapat menaikkan ph mulut akan tetapi cepat turun kembali. Pada seseorang yang mempunyai periodontal pocket atau penyakit periodontal, penggunaan baking soda dapat memperberat penyakit periodontal tersebut. Hal ini terjadi karena adanya peningkatan aktivitas bakteri anaerob serta VSC yang dihasilkan pada suasan ph basa tersebut, kecuali baking soda tersebut dipergunakan dalam konsentrasi yang tinggi. Baking soda pada konsentrasi yang tinggi memang mempunyai aktivitas bakterisidal terhadap kuman-kuman periodontal tertentu, akan tetapi pada konsentrasi yang rendah tidak terlihat mempunyai daya bakterisidal tertentu. Baking soda mudah sekali larut oleh karenanya dapat dengan 14

cepat menjadi hilang dari sulkus gingival dan berkurang konsentrasinya sampai dibawah tingkat yang dapat mematikan bakteri. 11 c. Peroksida Peroksida seperti H2O2, misalnya yang banyak digunakan untuk perawatan gigi dan mulut dalam fungsinya akan mengeluarkan oksigen bebas. Hal ini tampaknya akan membantu untuk membuat kondisi mulut menjadi aerob sehingga aktivitas bakteri anaerob akan tertekan, akan tetapi efektifitasnya kurang dibandingkan chlorine dioxide dalam mengubah VSC. O nascens yang dihasilkan dari peroksida akan mengakibatkan oksigenisasi pada jaringan mulut sedangkan chlorine dioxide memberikan reaksi oksidasi dan reduksi khususnya terhadap VSC sehingga berubah menjadi bentuk senyawa laian yang tidak berbau. 6,12 d. Obat Kumur Obat-obatan atau bahan-bahan untuk umur mulut kebanyakan adalah bersifat antiseptik. Oleh sebab itu bahan-bahan tersebut dapat menekan semua pertumbuhan bakteri di dalam mulut, padahal bakteri-bakteri yang ada adalag merupakan flora normal mulut. Kebanyakan bakteri yang ada tetap diperlukan di dalam mulut, khususnya untuk membantu penvernaan dan tidak bersifat pathogen. Disamping itu bahan-bahan kumur mulut yang beredar di pasaran kebanyakan mengandung alcohol dengan kadar yang berbeda-beda. Alcohol mempunyai pengaruh membuat jaringan 15

lunak mulut menjadi kering sehingga permeabilitasnya berubah dan dapat meningkatkan sekresi protein keluar jaringan. Dengan demikian obat kumur mulut yang kebanyakan beredar dipasaran tidak mempunyai pengaruh terhadap VSC yang timbul di dalam rongga mulut. Efek antiseptiknya dalam membunuh bakteri juga hanya bertahan sebentar sehingga kurang berperan untuk mengurangi nafas tak sedak untuk jangka panjang. 12 e. Bahan-bahan lain Bahan-bahan lain yang dipergunakan untuk mengatasi halitosis dan telah beredar dipasaran antara lain adalah: Zn-Chloride, Anthium chloride, Thimol, dan Eucalyptus. 6,12 2.1.6 Penatalaksanaan Halitosis a. Oral Hygiene Telah lama diketahui bahwa tindakan-tindakan untuk meningkatkan oral hygiene seperti scaling, polishing, sikat gigi dan flossing, khususnya pembersihan lidah dapat mengurangi bau mulut. Prosedur-prosedur pemeliharaan oral hygiene pada dasarnya adalah untuk membersihkan sehingga mengurangi plak atau sisa-sisa makanan serta mengurangi jumlah bakteri. Dengan menjaga oral hygiene secara baik aktivitas bakteri dapat ditekan sehingga halitosis akan berkurang. 16

Kerusakan gigi dan susunan gigi perlu dilakukan perawatan apabila ingin memperbaiki kondisi halitosis. Apabila terdapat peradanga pada jaringan penyangga gigi atau jaringan mulut lainnya juga perlu dilakukan perawatan, akan tetapi satu hal perlu diingat bahwa halitosis tetap dapat terjadi pada seseorang dengan kesehatan gigi dan mulut yang baik sekalipun. 7,9,12 b. Obat Kumur Penggunaan obat kumur mulut dengan bahan antibakteri dapat mengurangi halitosis dengan cara mengurangi jumlah bakteri serta menghambat aktivitas bakteri. Penggunaan bahan ini juga biasanya efektif untuk sementara waktu saja karena efeknya terhadap flora normal mulut biasanya transitory. Beberapa bahan ini misalnya mengandung thymol, eucalyptus, chlorhexidine, povidone iodine dan sebagainya. 6,11,12 c. Herbal Disampung cara-cara yang telah dijelaskan diatas, pada sementara masyarakat dipergunakan pula cara-cara tradisional yang diyakini dapat menghilangkan halitosis akan tetapi mekanisme kerjanya belum jelas dan merupakan kebiasaan turun temurun. Cara-cara ini misalnya penggunaan jus tomat, anjuran mengunyah parsley, makan chlorophyll, pemakaian ragi, ekstrak teh, di Jepang masyarakiat menggunakan sejenis rempah-rempah yang disebut kampo, juga di Indonesia sendiri ada yang menggunakan ramuan dari daun mangkokan. 6,11,12 17

2.2 Kulit Kayu Manis 2.2.1 Morfologi Pohon kayu manis merupakan tumbuhan asli dari Asia Selatan, Asia Tenggara dan daratan Cina. Sampai sekarang ini Indonesia menjadi salah satu produsen dan pengekspor kayu manis ke beberapa negara. Menurut FAO pada tahun 2005 Indonesia merupakan negara produsen kayu manis terbesar kedua setelah Negara China. 13 Dalam perdagangan Internasional produk kayu manis dalam bentuk kulit kayu, minyak atsiri, dan oleoresin. Indonesia mengekspor kulit kayu manis dalam bentuk quill (kepingan tipis kulit kayu manis yang tergulung) sampai sekarang. Nilai jual minyak atsiri dan oleoresin lebih tinggi daripada kulit kayu manis dalam bentuk quill. Dalam industri pangan, minyak atsiri dan oleoresin kayu manis dimanfaatkan sebagai peningkat cita rasa atau aroma. 13 Kayu manis ditanam di daerah pegunungan sampai ketinggian 1.500 meter dan dibudi-dayakan untuk diambil kulit kayunya. Tinggi pohon kayu manis dapat mencapai 1-12 m. Tanaman ini berdaun lonjong atau bulat telur, warna hijau, daun muda berwarna merah, warna pucuknya kemerahan, sedangkan daun tuanya berwarna hijau tua. Kulit berwarna ke-labu, dijual dalam bentuk kering, setelah dibersihkan kulit bagian luar, dijemur dan di-golongkan menurut panjang asal kulit. Kulit dapat berasal dari dahan atau ranting. Bunganya berkeping dua atau bunga sempurna dengan warna kuning, ukurannya 18

kecil. Buahnya berbiji satu dan berdaging. Bentuknya bulat memanjang, buah muda berwarna hijau tua dan buah tua berwarna ungu tua. 5 2.2.2 Taksonomi Berdasarkan klasifikasinya, kayu manis berasal dari ; Kingdom Divisi Subdivisi Kelas Subkelas Ordo Famili Genus : Plantae : Gymnospermae : Spermatofita : Dikotil : Diapetal : Polikarpik : Laurasea : Cinnamomum Spesies : Cinnamomum burmanii 5 19

Gambar 2.1 Kayu Manis (Available from : http://ditjenbun.pertanian.go.id/tanregar/berita-269-simanis-dari-kerinci--yang-menjadi-idola-dunia-.html) 2.2.3 Kandungan a. Minyak Atsiri Minyak atsiri mengandung sinamat aldehid dan eugenol yang tergolong turunan senyawa fenol yang mempunyai efek antiseptic dan bekerja dengan merusak membran sel. Secara in vitro, minyak atsiri memiliki aktivitas untuk menghambat kolonisasi dengan cara mengganggu permeabilitas membrane dan proses transportasi. Sinamat aldehid termasuk golongan aldehid aromatik yang merupakan komponen utama dalam kayu manis dan memiliki efek antifungi dan anti bakteri yang paling kuat dibanding komponen lain dalam kayu manis. Aktivitas fungistatik ini tergantung pada lingkar aromatik atau fungsi aldehid di luar lingkar aromatik tersebut. Selain itu kemampuan sinamat aldehid dalam menghambat pertumbuhan koloni Candida albicans juga disebabkan oleh gugus bebas yaitu 3-phenyl yang dapat 20

mengikat enzim yang ada pada dinding sel dan juga mengikat oksigen yang dibutuhkan Candida albicans untuk metabolisme sel. Di samping itu, sinamat aldehid juga mampu mengadakan denaturasi protein dan menurunkan tegangan permukaan sehingga permeabilitas sel bakteri dan jamur meningkat sehingga mengakibatkan kematian mikroba. Sinamat aldehid termasuk dalam flavonoid. Sebagai antifungi, flavonoid dapat menghambat pertumbuhan jamur secara in-vitro. Flavonoid menunjukkan toksisitas rendah pada mamalia, sehingga beberapa flavonoid digunakan sebagai obat bagi manusia. Sinamat aldehid yang berperan sebagai antifungi merupakan flavonoid yang mekanisme kerjanya mengganggu proses difusi makanan ke dalam sel sehingga 13, 14 pertumbuhan jamur terhenti atau sampai jamur tersebut mati. Ekstrak kulit batang kayu manis mempunyai kadar transsinamaldehid yang cukup tinggi (68,65%) menjadi sumber senyawa antioksidan dengan kemampuannya menangkap radikal bebas atau radical scavenger. Minyak atsiri kayu manis sangat efektif dalam menghambat pertumbuhan beberapa bakteri antara lain B. cereus, S. aureus, E. coli, P. aeruginosa dan Klebsiella sp. Penghambatan bakteri dengan minyak atsiri kayu manis ini disebabkan oleh senyawa aktif seperti sinamaldehid dan asam sinnamat. 13,14 Komponen aktif lainnya yaitu eugenol yang merupakan golongan fenol dengan rumus kimia C 10 H 12 O 2. Satu gugus OH fenolik bebas pada lingkar aromatiknya dan satu gugus OH termetilasi berperan penting dalam aktivitas eugenol dalam 21

menghambat koloni Candida albicans. Aktifitas antifungi oleh golongan fenol juga tergantung pada besar gugusan alkil yang ditambahkan, yaitu semakin besar gugusan alkil tersebut maka aktivitas antifunginya pun semakin besar. Di samping itu, sistem kerja dari eugenol dalam agen antifungi yaitu menghambat kolonisasi Candida albicans dalam proses pembelahan sel. 14 b. Tannin Tannin bertindak seperti asam ringan berdasarkan banyak gugus-oh fenolik.asam tannic adalah bentuk yang paling sederhana hydrolysable tannin. Tannin kualitas tinggi mengandung 65-76% asam tannic. Salah satu sifat yang paling penting dari tannin dan asam tannic adalah kemampuannya untuk membentuk kompleks chelat dengan ionlogam. Kompleks logam- tannin dan asam tannic kini digunakan dalam celupan dan penyamakan tekstil tertentu. Meskipun asam tannin dapat berfungsi sebagai agen antimikroba alami, tetapi tidak aktif terhadap spektrum yang luas dari jamur dan bakteri. 15 Tanin bekerja dengan cara merusak dinding sel bakteri menyebabkan sel bakteri tanpa dinding yang disebut protoplasma. Kerusakan dinding bakteri yang menyebabkan kerusakan membrane sel yaitu hilangnya sifat permeabilitas membrane sel, sehingga keluar masuknya zat-zat antara lain, nutrisi, enzim-enzim, tidak terseleksi. Apabila enzim keluar dari dalam sel, maka akan terjadi hambatan metabolism sel dan selanjutnya akan mengakibatkan terhambatnya pembentukan 22

ATP yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan sel. Bila hal ini terjadi, maka akan terjadi hambatan pertumbuhan bahkan kematian sel. 16 c. Saponin Saponin menunjukkan aktifitas sebagai antibakteri dengan cara merusak membran sitoplasma dan membunuh sel. 16 d. Flavonoid Flavonoid akan berkaitan dengan membrane sel sehingga akan terjadi kerusakan membrane. Selain itu, flavonoid merupakan senyawa toksik yang mengakibatkan struktur tiga dimensi protein terganggu dan terbuka menjadi struktur acak tanpa adanya kerusakan pada kerangka kovalen. Hal ini menyebabkan protein denaturasi, namun aktifitas biologisnya menjadi rusak sehingga protein tidak dapat melakukan fungsinya. 16 23