SINERGI PEMBANGUNAN ANTAR SEKTOR DALAM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

I. PENDAHULUAN. negara Indonesia menyebabkan Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.38/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN,

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. semua makhluk baik manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Dari ketiga

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Kekayaan hayati tersebut bukan hanya

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

I. PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi di Indonesia menyebabkan terjadinya pergeseran

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

REVITALISASI KEHUTANAN

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PESISIR PANTAI UTARA DAERAH KABUPATEN CIREBON

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

BAB X PEDOMAN TRANSISI DAN KAIDAH PELAKSANAAN. roses pembangunan pada dasarnya merupakan proses yang berkesinambungan,

INTEGRASI PENGELOLAAN PESISIR TERPADU DALAM RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH (Sintesis Paska MCRMP dari Pengalaman Kep.Seribu)


DRAFT REKOMENDASI KEBIJAKAN

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BUPATI BANGKA TENGAH

BAB I. PENDAHULUAN. dalam lingkup daerah, nasional maupun internasional. Hutan Indonesia

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. kedua di dunia setelah Kanada, sehingga 2/3 luas wilayah Indonesia merupakan. untuk menuju Indonesia yang lebih maju dan sejahtera.

BAB IV STRATEGI PEMBANGUNAN DAERAH

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

BAB V ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH

PENGARUH AKTIVITAS PARIWISATA TERHADAP KEBERLANJUTAN SUMBERDAYA WISATA PADA OBYEK WISATA PAI KOTA TEGAL TUGAS AKHIR

I. PENDAHULUAN. keterbelakangan ekonomi, yang lebih dikenal dengan istilah kemiskinan, maka

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Penentuan Variabel Berpengaruh dalam Pengembangan Kawasan Strategis Ekonomi Pesisir Utara pada Bidang Perikanan di Kota Pasuruan

Rencana Strategis (RENSTRA)

BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD)

PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG NOMOR 08 TAHUN 2007 TENTANG

BUPATI ROKAN HULU PROVINSI RIAU

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan jumlah pulau sebanyak yang dikelilingi oleh laut seluas 7,7

REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004

Pelibatan Masyrakat Dalam Penanggulangan Kerusakan Lingkungan Pesisir dan Laut. Oleh: YUDI WAHYUDIN Divisi Kebijakan Pembangunan dan Ekonomi PKSPL-IPB

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

BAB II PENGATURAN PENGELOLAAN TERUMBU KARANG DAN LINGKUNGAN HIDUP DALAM HUKUM NASIONAL. D. Pengertian Pengelolaan Terumbu Karang dan Lingkungan Hidup

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Investasi memiliki peran yang sangat penting dalam mendorong

PROGRAM COREMAP DINILAI TAK EFEKTIF MASYARAKAT NELAYAN TIDAK DILIBATKAN DALAM MENENTUKAN BENTUK PENGELOLAAN KONSERVASI PESISIR.

BAB I PENDAHULUAN. dikembangkan menjadi lebih baik, wilayah pesisir yang memiliki sumber daya alam

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

5.3. VISI JANGKA MENENGAH KOTA PADANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.08/MEN/2009 TENTANG

Judul Studi : Kajian Kebijakan Kelautan Dalam Pemberdayaan Masyarakat Pesisir

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

PERAN PERGURUAN TINGGI DALAM PENGEMBANGAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN PARTISIPATIF

BAB I PENDAHULUAN. pasar belum tentu dapat dimanfaatkan oleh masyarakat yang kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

BUPATI TABANAN PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABANAN NOMOR 5 TAHUN 2017 TENTANG

PENDAHULUAN Latar Belakang

ANALISIS SUMBERDAYA PESISIR YANG BERPOTENSI SEBAGAI SUMBER PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) KOTA BENGKULU

1 ^ PENDAHULUAN Latar Belakang ' Perumusan Model Pengentasan Kemiskinan Melalui Pemetaan Kelembagaan Ekonomi Berbasis Agribisnis

BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.42/Menhut-II/2010 TENTANG SISTEM PERENCANAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA

DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DIREKTORAT KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT

RENCANA PENGEMBANGAN WILAYAH DAN INVESTASI PROVINSI PAPUA BARAT BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI PAPUA BARAT

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH

SAMBUTAN KEPALA BAPPENAS Dr. Djunaedi Hadisumarto

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, seperti

MANAGEMENT OF THE NATURAL RESOURCES OF SMALL ISLAND AROUND MALUKU PROVINCE

PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS TERPADU. Identifikasi Masalah. Menentukan Sasaran dan Tujuan. Alternatif kegiatan dan implementasi program

KEBIJAKAN NASIONAL ANTISIPASI DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP SEKTOR KELAUTAN DAN PERIKANAN. Deputi Bidang SDA dan LH

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

I. PENDAHULUAN. karena memiliki luas laut dan jumlah pulau yang besar. Panjang pantai Indonesia

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

Transkripsi:

SINERGI PEMBANGUNAN ANTAR SEKTOR DALAM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG Sri Endang Kornita Program Studi Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Riau ABSTRAK Sinergi dalam kebijakan pembangunan daerah sudah menjadi kebutuhan untuk dapat menghasilkan pembangunan yang efisien dan efektif dalam pemanfaatan sumberdaya dalam pencapaian tujuan pembangunan daerah secara optimal. Kebijakan sinergi dalam pembangunan daerah di Provinsi Riau harus dilaksanakan secara eksplisit, dan hubungan yang terjadi antar sektor haruslah terkoordinasi secara sistematis. Subyek kebijakan yang berbeda satu sama lain akan saling mempengaruhi, maka bagi sinergi kebijakan pembangunan daerah perlu dibentuk koherensi kebijakan. Secara makro, peran Bappeda dapat berfungsi secara kelembagaan sebagai koordinator bagi sinergi kebijakan pembangunan daerah. Kata kunci: Sinergi, pembangunan, kebijakan. - 236 -

I. PENDAHULUAN Menurut Kartasasmita (1997), pembangunan adalah perubahan ke arah kondisi yang lebih baik melalui upaya yang dilakukan secara terencana. Pembangunan juga sering didefenisikan sebagai suatu proses yang berkesinambungan dari peningkatan pendapatan riil per kapita melalui peningkatan jumlah dan produktivitas sumberdaya. Pengalaman dalam pembangunan di Indonesia telah menunjukkan, bahwa pergeseran paradigma pembangunan dari pertumbuhan ke pemerataan dan keadilan pada masa orde baru (ORBA) gagal dilaksanakan karena tarik menarik kepentingan antar kelompok. Kebijakan pembangunan nasional dan daerah yang diwarnai oleh pendekatan pembangunan sektoral yang bersifat spasial telah memberikan dampak yang kurang menguntungkan karena adanya ketimpangan baik secara sektoral maupun regional. Untuk itu, guna keberhasilan pembangunan di era otonomi maka sinergi antar sektor dalam pelaksanaan pembangunan merupakan hal yang mutlak diperlukan. Dalam pelaksanaan pembangunan, pelaku strategis adalah pemerintah dan masyarakat. Pemerintah diharapkan lebih proaktif dalam melihat kebutuhan pembangunan yang tepat sasaran, tepat waktu dan tepat guna, sehingga pemerintah perlu mengubah perspektif, konsep, metode dan evaluasi pembangunan kearah yang lebih efektif dan integratif. Sementara masyarakat diharapkan lebih berperan aktif dalam keseluruhan proses pembangunan, baik dalam pemeliharaan hasil pembangunan, terutama dalam proses perencanaan pembangunan tersebut. Dalam proses pembangunan untuk mencapai efisiensi dan efektivitas, sinergi antara berbagai pihak merupakan alternatif yang dapat dijadikan strategi untuk diimplementasikan. Tulisan ini mencoba membahas sinergi antar sektor dalam pengelolaan terumbu karang yang difokuskan pada aspek sinergi dalam perencanaan pengelolaan terumbu karang dan sinergi kelembagaannya. Analisis terhadap hal ini dilakukan dengan pembahasan secara makro. - 237 -

II. SINERGI PERENCANAAN PENGELOLAAN TERUMBU KARANG Dalam paradigma pembangunan wilayah, perubahan sistem pembangunan yang sentralistik ke desentralisasi akan melahirkan perasaan kesetaraan (equalism) sebagai dasar pengembangan kerjasama (partnership) dan usaha bersama (cooperation) yang merupakan proses sinergi dalam pembangunan antar daerah untuk mencapai pembangunan yang berkeadilan dan merata. Sinergi, pada mulanya adalah analisis yang digunakan dalam kajian manajemen strategi bagi mencapai tujuan pengembangan perusahaan dalam persaingan usahanya. Strategi ini merupakan terminologi yang digunakan oleh organisasi laba (profit oriented) yang selanjutnya dalam perkembangannya digunakan pula oleh organisasi nir laba atau organisasi publik lainnya. Menurut Hover dan Schendel (dalam Tangkilisan, 2003), sinergi adalah efek bersama dari pengerahan sumberdaya atau keputusan strategis, sehingga seluruh komponen yang ada mampu bergerak secara terpadu dan efektif. Sinergi dalam kebijakan pembangunan wilayah secara umum dapat dipahami sebagai suatu kondisi dimana kerjasama yang terjadi secara timbal balik dengan koordinasi antara dua pihak atau lebih, yang dapat mengakibatkan hasil yang diperoleh menjadi lebih baik (Kornita, 2004). Dalam upaya sinergi perencanaan pengelolaan terumbu karang, maka proses tersebut dapat dipandang sebagai upaya aktif pengelolaan sumberdaya terumbu karang secara berkelanjutan sebagai salah satu kekayaan alam yang bernilai tinggi, dimana 8% terumbu karang dunia ada di Indonesia. Sinergi perencanaan dilakukan dengan melibatkan komponen Pemerintah, Masyarakat, dan Perguruan Tinggi. Di Indonesia, penyebab kerusakan terumbu karang antara lain terjadi karena eksplorasi pertambangan, penggunaan bahan peledak dan racun dalam pemanenan ikan dan sedimentasi dari erosi tanah, selain itu perubahan iklim air laut sebagai akibat perubahan iklim (pemanasan global) juga turut berkonstribusi terhadap rusaknya sumberdaya alam ini. - 238 -

Dari laporan yang diperoleh pemerintah, bahwa terumbu karang 39 persen dalam keadaan rusak parah, 34 persen dalam keadaan rusak, 22 persen dalam keadaan baik, dan 5 persen dalam keadaan sangat baik. Selain hal tersebut diatas, tekanan penduduk ikut mendukung terjadinya kerusakan terumbu karang. Hal ini muncul sebagai akibat bertambahnya penduduk di daerah pesisir secara cepat dengan penyebaran yang tidak merata, sehingga jumlah individu yang dapat didukung oleh habitat dalam keadaan sehat dan kuat tidak lagi seimbang. Pertumbuhan penduduk menyebabkan terjadinya peningkatan kebutuhan hidup. Demikian pula halnya dengan masyarakat nelayan di pesisir pantai. Bagi mereka, pemenuhan kebutuhan hidup keluarganya sangat tergantung pada sumberdaya laut yang ada. Sehingga peningkatan jumlah anggota keluarga mengharuskan mereka melakukan peningkatan pemanfaatan sumberdaya lautan. Namun bila kemampuan pengelolaan sumberdaya tidak seimbang dengan pengeksploitasiannya, maka sudah dapat dipastikan bahwa dampak negatif dari pemanfaatan yang dilakukan manusia tidak dapat dielakkan. Provinsi Riau (termasuk Riau Kepulauan), memiliki wilayah perairan yang cukup luas, yaitu sekitar 235.306 Km2 dan mencapai 379.000 Km2 (termasuk ZEE). Memiliki ekosistem terumbu karang dengan luas 39.978 Ha (hingga kedalamam 7 meter) terutama berada di perairan Bintan dan Senayang/Lingga. Menyadari kondisi tersebut, tahun 1999 Indonesia meluncurkan program rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang (coral reef rehabilitation and management program/ COREMAP) di 7 Provinsi di Indonesia termasuk Provinsi Riau yang memperlihatkan hasil yang cukup menggembirakan (80 persen dari program dapat dilaksanakan dengan berhasil). Degradasi terumbu karang tidak dapat kita hentikan secara otomatis, namun upaya untuk pelestarian dan pemanfaatan yang lebih arif bukanlah hal yang mustahil untuk dilaksanakan. Ada beberapa kondisi lokal yang dapat dijadikan faktor pendukung maupun penghambat bagi sinergi perencanaan pengelolaan terumbu karang, sebagaimana ditampilkan pada tabel 1. - 239 -

Tabel 1 : Peran Kondisi Lokal Masyarakat Pesisir terhadap Sinergi Perencanaan Pengelolaan Terumbu Karang No Tipe Unsur-unsur 1. Pendukung Kearifan lokal. Mata pencaharian alternatif. Sikap terbuka masyarakat. Kelembagaan lokal. 2. Penghambat Pengetahuan minim terhadap ekosistem terumbu karang. Tuntutan ekonomi. Patront-client pada masyarakat pesisir. Dari kondisi lokal diatas, maka faktor penghambat bukan untuk ditinggalkan tetapi justeru dijadikan titik tolak bagi pelaksanaan perencanaan pengelolaan terumbu karang secara berkelanjutan. Sebagaimana yang telah dikemukakan pada awal tulisan, pelaku strategis dalam pembangunan adalah pemerintah dan masyarakat. Dalam proses pembangunan sering kali muncul berbagai permasalahan yang menyangkut bagaimana masyarakat dapat menerima proses pembangunan itu dan mampu melakukan berbagai adaptasi terhadap program-program pembangunan tersebut. Sebab ternyata didalam kenyataan, sering kali terdapat perbedaan kemampuan didalam menerima dan mengelola proses dan kegiatan pembangunan yang datang kepada mereka, hal ini berhubungan dengan perbedaan didalam kemampuan secara sosial dan ekonomi diantara berbagai golongan masyarakat tersebut. Kondisi faktual dalam pembangunan adalah, adanya dikotomi dari elemen pelaku pembangunan antara pemerintah dan masyarakat. Pada kondisi demikian, peran perguruan tinggi/masyarakat akademik sebenarnya berada ditengah dalam arti bahwa perguruan tinggi berperan sebagai jembatan antara pemerintah dan masyarakat, dimana masyarakat akademik/pt tersebut berada pada posisi netral untuk mencari solusi bagi keberhasilan pencapaian tujuan bersama secara kondusif. - 240 -

Berkaitan dengan hal diatas, maka strategi yang tepat bagi sinergi antara berbagai pihak dalam pengelolaan terumbu karang adalah melalui pembangunan yang partisipatif. Yaitu pembangunan yang dilakukan melalui sinergi berbagai pihak dengan penekanan lebih kepada sinergi pemberdayaan masyarakat didaerah melalui peran perguruan tinggi bersama-sama pemerintah daerah setempat sebagai pengambil kebijakan pembangunan. Tujuan yang ingin dicapai dari pelaksanaan Sinergi perencanaan ini adalah: a. Meningkatkan kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi di dalam pembangunan b. Membangun dan menciptakan kondisi yang kondusif bagi masyarakat untuk berpartisipasi dan berpartnership dalam tahapan perencanaan program pembangunan, pelaksanaan, pemanfaatan, evaluasi dan monitoring. c. Meningkatkan keterampilan masyarakat dalam hal perencanaan pembangunan yang partisipatif. Dalam konteks ini, Perguruan Tinggi berpotensi untuk mempersatukan (convergence) unsur pemerintah dan masyarakat dalam pembangunan. Berdasarkan pemahaman realitas diatas, secara umum topik pembangunan dewasa ini (termasuk pembangunan wilayah pesisir) mengarah kepada pemahaman proses yang terbuka atau transparan, mulai dari tahap perencanaan, formulasi kebijakan, implementasi kebijakan, dampak, dan evaluasi. Konsekuensi dari tuntutan transparansi dalam proses pembangunan adalah dibutuhkannya peran serta masyarakat non elitis dalam setiap tahap proses pembangunan. Dengan demikian, kata kunci partisipasi atau peranserta secara aktif menjadi sangat penting (crucial). Sinergi Perencanaan Pengelolaan Terumbu Karang dapat dilakukan dengan menggunakan pola pendekatan dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat. Metode PRA (Participatory Rural Apparaisal) dan RRA (Rapid Rural Apraisal) dapat digunakan dalam pengelolaan terumbu karang sebagai sumberdaya yang potensial. - 241 -

III. SINERGI KELEMBAGAAN Dalam sinergi kelembagaan, maka pembahasan lebih difokuskan pada kelembagaan pembangunan formal yang telah ada dalam kelembagaan pemerintah (daerah) sebagai pengambil kebijakan dalam perencanaan pembangunan. Pembangunan daerah termasuk pembangunan daerah pesisir dan lautan (yang didalamnya terumbu karang merupakan bagian dari kebijakan pembangunan) tidak dapat dipandang secara terpisah-pisah, karena pembangunan merupakan suatu proses yang utuh, namun untuk mempermudah memahaminya dapat dilakukan analisis secara partial. Berkaitan dengan kelembagaan dalam kebijakan pembangunan, maka sinergi antar sektor dalam pengelolaan terumbu karang akan melibatkan berbagai pihak/sektor terkait antara lain: - Bappeda - Bappedalda - Dinas Perikanan dan Kelautan - Dinas Pertambangan - Dinas Pariwisata - Dinas Kehutanan - TNI AL - Dinas Perhubungan, Dll Dalam pembangunan daerah, maka Forum RAKORBANG mempunyai potensi untuk lebih diberdayakan bagi koordinasi antar sektor dan antar daerah dalam pembangunan. Kerangka Kelembagaan yang telah ada di daerah dan dapat berperan untuk mendukung sinergi adalah Forum Rapat Koordinasi pembangunan (RAKORBANG), yang merupakan agenda daerah bagi koordinasi arah dan strategi serta rencana kegiatan pada tahun berikutnya. Rakorbang yang berjalan dengan mekanisme mulai dari tingkat Kelurahan, Kecamatan dan Kota, selanjutnya Rakorbang pada tingkat Provinsi yang diikuti oleh seluruh Kabupaten/Kota berkaitan dengan kerangka kelembagaan di daerah. Forum ini dapat mendukung sinergi antar sektor dalam internal daerah, yang selanjutnya dapat juga berfungsi sebagai kerangka kelembagaan pendukung sinergi antar daerah di level Provinsi. - 242 -

Sinergi merupakan alternatif pembangunan daerah yang paling menguntungkan dalam era otonomi, karena dengan tekad yang sama untuk membangun daerah dan mensejahterakan masyarakat maka daerah yang mampu melaksanakan sinergi antar sector dalam pembangunannya akan mampu menjadi kekuatan baru dalam perkembangan perekonomian di wilayahnya. Sinergi dalam kebijakan pembangunan daerah sudah menjadi kebutuhan untuk dapat menghasilkan pembangunan yang efisien dan efektif dalam pemanfaatan sumberdaya dalam pencapaian tujuan pembangunan daerah secara optimal. Sehingga dalam hal ini hubungan yang terjalin merupakan hubungan yang saling mendukung. Kebijakan sinergi dalam pembangunan daerah di Provinsi Riau sampai saat ini belum terlaksana secara eksplisit, karena sampai saat ini hubungan yang terjadi antar sektor belum dikoordinasikan secara sistematis. Sinergi kebijakan pembangunan daerah dapat mempercepat pembangunan dan akan membawa prospek ekonomi yang lebih baik bagi daerahnya. Dalam hal ini, masyarakat harus mengambil peran yang lebih aktif dalam segala jenis kegiatan ekonomi agar otonomi daerah benar-benar dapat dirasakan masyarakat tempatan. Tanpa peran yang lebih besar dari mereka, maka tercapainya kemajuan daerah tidak akan mempunyai arti apa-apa. IV. PENUTUP Subyek kebijakan yang berbeda satu sama lain akan saling mempengaruhi, maka bagi sinergi kebijakan pembangunan daerah perlu dibentuk koherensi kebijakan. Secara makro, peran Bappeda dapat berfungsi secara kelembagaan sebagai koordinator bagi sinergi kebijakan pembangunan daerah. Kelembagaan yang mendukung sinergi harus segera direalisasikan dalam tindakan nyata sehingga wacana dan konsep yang telah ada dalam rencana pembangunan dapat diimplementasikan untuk kesejahteraan masyarakat dan mencapai tujuan pembangun daerah. Strategi yang tepat, pembangunan yang berhasil guna dan berkelanjutan, pada gilirannya akan mampu mengangkat kondisi kesejahteraan masyarakat di daerah sebagai penopang keberhasilan pembangunan nasional. - 243 -

Program-program pembangunan wilayah pesisir dan laut yang dilakukan harus sinergi dan kontekstual dengan kebijakan pembangunan nasional maupun regional guna menjamin keserasian dan kesinambungan pembangunan. DAFTAR PUSTAKA Dahuri, J. et al, 1996. Manajemen Sumber Daya Pesisir dan Lautan secara terpadu. Prandya Paramita. Jakarta. Dunn. N. W., 2001. Analisis Kebijakan Publik. Hanindita Yogyakarta. Kartasasmita, Ginanjar, 1997. Pembangunan Untuk Rakyat memadukan pertumbuhan dan Pemerataan. PT. Pustaka Cidesendo Jakarta. Kornita, S.E., 2004. Pembangunan Wilayah dan Sinergi Antar Kabupaten/Kota di Provinsi Riau. Universitas Andalas. Padang. Suhandojo. et al, 2000. Pengembangan Wilayah Perdesaan dan Kawasan Terpadu. BPPT Jakarta. Tangkilisan, S. Hesel Nogi, 2003. Kebijakan Publik Yang Membumi. YPAPI dan Lukman Offset. Yogyakarta. - 244 -