KOMPENSASI HULU-HILIR DAN INSENTIF PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG SEBAGAI PENGATUR TATA AIR

dokumen-dokumen yang mirip
Oleh/ by : Sylviani ABSTRACT. Keyword : protected forest, water regulator, consumer, distribution, cost and benefit. ABSTRAK

Konsep Kebijakan Tata Air Sebagai Jasa Lingkungan

PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DIKAWASAN DAS BRANTAS ( Studi kasus Kabupaten Malang Jawa Timur ) Oleh : Sylviani. Ringkasan

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat. Daerah Irigasi Jatiluhur dibangun oleh Pemerintah Republik

Lampiran 1. Daftar Amanat UU yang dijadikan acuan penilaian tingkat respon pemerintah daerah terhadap UU

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II

BAB I. PENDAHULUAN. 1 P a g e

Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PENDAHULUAN Latar Belakang

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. Hutan Register 19 semula ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung berdasarkan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II. GAMBARAN PELAYANAN SKPD

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Jawa Barat (Berita Negara tanggal 4 Juli Tahun 1950);

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. Perusahan Umum yang bergerak di bidang penyediaan air baku dan listrik bagi

BAB 2 Perencanaan Kinerja

I. PENDAHULUAN. lain-lain merupakan sumber daya yang penting dalam menopang hidup manusia.

INDONESIA WATER LEARNING WEEK WATER SECURITY FOR INDONESIA WATER ENERGY ENERGY FOOD NEXUS INSTITUTIONAL ASPECTS OF WRM

Pentingnya Pemaduserasian Pola Pengelolaan Sumber Daya Air

Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PERLUASAN DAN PENGELOLAAN LAHAN TA. 2013

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PROVINSI JAWA TIMUR

REVITALISASI KEHUTANAN

PEMANFAATAN SUMBER MATA AIR DALAM KAWASAN HUTAN

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

KESIMPULAN DAN SARAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT. Nomor 4 Tahun 2007 Seri E Nomor 4 Tahun 2007 NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN JASA LINGKUNGAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG IRIGASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dilakukan secara tradisional untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

VI. PERSEPSI TERHADAP PROGRAM PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN. 6.1 Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan

PENJELASAN ATAS QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR : 14 TAHUN 2002 TENTANG KEHUTANAN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PERLUASAN DAN PENGELOLAAN LAHAN TA. 2014

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR. Cut Azizah Dosen Teknik Sipil Fakultas TekikUniversitas Almuslim ABSTRAK

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PENGELOLAAN AIR IRIGASI TA. 2014

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hasil pertanian. Jumlah penduduk Idonesia diprediksi akan menjadi 275 juta

INDIKATOR KINERJA UTAMA DINAS KEHUTANAN PROVINSI LAMPUNG TAHUN

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS. NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

TINJAUAN HIDROLOGI DAN SEDIMENTASI DAS KALI BRANTAS HULU 1

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 95 TAHUN 2008

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 33 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN EKOWISATA DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. kayu, rotan, getah, dan lain-lain, tetapi juga memiliki nilai lain berupa jasa

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2001 TENTANG I R I G A S I

Oleh: R.D Ambarwati, ST.MT.

BAB III ISU STRATEGIS

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 92 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI BOGOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR

PENGEMBANGAN KONSEP MANAJEMEN ASET KELEMBAGAAN SUMBERDAYA AIR PADA SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) LOGAWA I. PENDAHULUAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR SUMATERA SELATAN,

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL

Gubernur Jawa Barat GUBERNUR JAWA BARAT,

IV.C.3 Urusan Pilihan Kehutanan

PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Rencana Strategis

PROGRAM/KEGIATAN DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN DIY KHUSUS URUSAN KEHUTANAN TAHUN 2016

PENDAHULUAN Latar Belakang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON

OTONOMI DAERAH. Terjadi proses desentralisasi

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SUNGAI DAN DRAINASE

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.29/Menhut-II/2013 TENTANG PEDOMAN PENDAMPINGAN KEGIATAN PEMBANGUNAN KEHUTANAN

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. prasarana pengairan seperti waduk. Sejumlah besar waduk di Indonesia saat ini

PEMERINTAH KABUPATEN MUKOMUKO

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan ruang bagi sumberdaya alam,

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 84 TAHUN 2016 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN SUMBAWA BARAT

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR 1 TAHUN 2009

Dr. EDWARD Saleh FORUM DAS SUMATERA SELATAN 2013

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang

Gubernur Jawa Barat;

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL,

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG I R I G A S I

PEMERINTAH KABUPATEN SRAGEN

TABEL II.A.1. LUAS LAHAN KRITIS DI LUAR KAWASAN HUTAN JAWA TIMUR TAHUN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG

Transkripsi:

KOMPENSASI HULU-HILIR DAN INSENTIF PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG SEBAGAI PENGATUR TATA AIR Oleh Sylviani 1) Ringkasan Kawasan lindung merupakan kawasan yang berfungsi untuk melindungi kawasan yang berpotensi sebagai tangkapan air, pengatur tata air, perlindungan terhadap sumberdaya hayati dan perlindungan terhadap pencurian kayu. Air memegang peranan penting bagi kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya serta lingkungan. Sementara di lain pihak, banyaknya tekanan terhadap hutan lindung menyebabkan berkurangnya fungsi sebagai daerah tangkapan dan penyedia air. Permasalahan lain yang berkembang adalah banyaknya pihak yang terlibat dalam pengelolaan dan pemanfaatan air, baik sebagai penyedia maupun pengguna. Oleh karenanya dalam pengelolaan sumberdaya air perlu adanya penanganan dan kesepakatan, baik antara pihak penyedia (pengelola kawasan) maupun pihak pengguna ( pengelola SDA). Para pemanfaat kawasan di hilir selayaknya memberikan kompensasi kepada pengelola kawasan di hulu sebagai insentif terhadap pengelolaan kawasan lindung. Kompensasi yang diberikan dapat berupa pembayaran jasa lingkungan dengan melakukan konservasi melalui tanaman jenis setempat dan menjaga kelestarian hutan Kata kunci : hutan lindung, penyedia air, pengguna, kompensasi, insentif I. PENDAHULUAN Hutan merupakan faktor yang utama dalam menjaga kualitas dan ketersediaan air sehingga ada tuntutan dan keinginan agar hutan sebagai daerah tangkapan utama dan berfungsi sebagai pengatur tata air perlu dikelola dengan baik. Sebagai pengguna air baik pemerintah, swasta maupun masyarakat mempunyai tanggung jawab dalam melakukan kewajibannya untuk menjaga kelestarian hutan berupa kontribusinya sebagai kompensasi agar kebutuhan akan sumber air dapat terpenuhi. Dan pengguna merasa yakin bahwa dana yang dihimpun untuk pengelolaan sumber daya air digunakan dengan sebaikbaiknya untuk menjaga dan meningkatkan kualitas jasa air. Sebagai penyedia air dalam hal ini instansi yang terkait dengan pengelolaan 1) Penulis pada Pusat Penelitian Sosial Ekonomi & Kebijakan Kehutanan Good Forest Governance Sebagai Syarat Pengelolaan Hutan Lestari 157

kawasan lindung hendaknya juga dapat memanfaatkan kompensasi tersebut dengan sebaik-baiknya. Pemerintah selaku regulator dalam hal ini sangat berperan aktif terutama dalam mekanisme penyaluran dana jasa lingkungan. Agar mekanisme tranfer jasa lingkungan dapat diterapkan dan berjalan dengan baik diperlukan lingkungan kebijakan yang kondusif secara keseluruhan. Disamping itu segala hambatan perlu diidentifikasi dan ditanggulangi seperti kurangnya kemauan politis, tidak ada kerangka hukum yang mendukung,, sumber dana yang kurang, atau minat dan komitmen masyarakat yang kurang atau adanya ketidak sepahaman diantara para instansi yang terkait. Dengan banyaknya instansi yang terkait dalam pengelolaan air maka akan berpotensi menimbulkan kompleksitas dalam proses negosiasi imbalan. Otonomi daerah berdampak juga terhadap regulasi sektor air terutama integrasi pengelolaan air baik diantara semua sektor maupun diantara para pemangku kepentingan. Namun ada langkah-langkah konkrit yang telah dilakukan oleh pengguna air dalam hal kompensasi terhadap pemakaian air seperti di Jawa Timur PJT I Malang telah melakukan Program Pembayaran Jasa Lingkungan dalam upaya pengembangan hubungan hulu hilir bekerja sama dengan Yayasan Pengembangan Pedesaan.yang dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama selama 6 bulan (Oktober 2004 s/d Maret 2005) di desa Tlekung Kota Batu seluas 17,5 ha dan desa Bendosari Kec Pujon seluas 8 ha dengan jumlah anggaran sebesar Rp 44.000.000. Tahap kedua selama 3 bulan (Maret s/d Mei 2005 ) di desa Bendosari dengan luas 16,5 ha dan biaya sebesar Rp 15 790 000. Semua biaya berasal dari PJT I yang diberikan kepada petani yang telah melakukan upaya konservasi sumberdaya air dan tanah didaerah hulu DAS Brantas yang merupakan daerah tangkapan air (catchments areas). Program ini bertujuan untuk (1) membangun partisipasi dan kesadaran masyarakat petani di daerah hulu sungai Brantas untuk turut serta menjaga kelestariannya, (2) meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani melalui penanaman yang sesuai dengan kebutuhan, (3) membangun mekanisme kelembagaan hubungan antara masyarakat hulu dan hilir dalam hal pembayaran jasa lingkungan. Berdasarkan undang-undang No.7 tahun 2004 pasal 77 dijelaskan bahwa sumber dana untuk pengelolaan sumber daya air salah satunya adalah dari hasil penerimaan biaya jasa pengelolaan sumber daya air. Berkaitan dengan hal tersebut pihak penyedia air wajib menerima kompensasi jasa pemakaian air dari pengguna air sebagai biaya pemeliharaan / pengelolaan dikawasan lindung yang merupakan daerah tangkapan air (hulu sungai). 158 Good Forest Governance Sebagai Syarat Pengelolaan Hutan Lestari

II. IDENTIFIKASI PARA PENGGUNA JASA AIR Kawasan lindung sumber air adalah kawasan yang memberikan fungsi lindung pada sumber air yaitu daerah sempadan sumber air, daerah resapan air dan daerah sekitar mata air. Pemanfaatan Sumber Daya Air (SDA) dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan, yaitu : - Pemanfaatan air yang mempunyai nilai komersil (bernilai pasar) untuk kebutuhan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), Perusahaan Listrik Negara ( PLN ) dan Industri - Pemanfaatan air non komersial ( bernilai non pasar) untuk kebutuhan pertanian dan rumah tangga. Instansi / stakeholder yang berfungsi sebagai pengelola SDA atau penyedia air yang mempunyai nilai komersil baik untuk kebutuhan Perusahaan Listrik Negara (PLN) serta Perusahaan Air Minum (PAM) maupun industri yang berskala besar adalah Perusahaan Jasa Tirta (PJT) yang penyalurannya berasal dari waduk. Sedangkan stakeholder yang berfungsi sebagai pengelola sumber mata air di kawasan hulu yang bersifat non komersil terutama untuk pemanfaatan perkebunan, irigasi persawahan, peternakan maupun rumah tangga adalah para pengelola kawasan. Pola pengelolaan sumber daya air menurut UU no 7 merupakan dasar dalam merencanakan, melaksanakan, memantau dan mengevaluasi kegiatan konservasi, pendayagunaan dan pengendalian kerusakan SDA. Sehingga pola ini perlu disusun secara terkoordinasi diantara instansi 2 yang terkait berdasarkan azas kelestarian, keseimbangan fungsi sosial ekonomi lingkungan serta azas manfaat umum dan melibatkan peran masyarakat yang selanjutnya dituangkan dalam rencana penyusunan program pengelolaan sumberdaya air Ada 2 macam pemanfaatan air yaitu : pemanfaatan air komersial dan pemanfaatan air non komersial ( Nurfatriani, 2006 ). a. Pemanfaatan air komersial merupakan bentuk pemanfaatan SDA yang telah memiliki harga pasar ( price market) yang ditetapkan dalam bentuk tarif yang ditentukan pemerintah. Pemakai air yang berada di wilayah kerja PJT I memberikan kontribusi terhadap biaya operasional pengelolaan SDA berupa tarif air yang ditetapkan oleh Menteri PU berdasarkan PP No 6/1981 tentang Iuran Eksploitasi dan Pemeliharaan Bangunan Prasarana Pengairan. Selanjutnya kewenangan PJT untuk menarik iuran tersebut ditetapkan dengan Keppres No 58/1990 dengan tarif awal untuk PLN Rp16,67 /kwh, PDAM Rp Rp 50,00 /m3 dan Industri Rp 100,00 /m3. Berdasarkan tarif dasar ini kontribusi terhadap biaya operasional pengelolaan SDA hanya sebesar 44, 8 % dari kebutuhan dana OP sebesar Rp 101,6 milyar. Lebih jelas dapat dilihat pada tabel 1 berikut. Good Forest Governance Sebagai Syarat Pengelolaan Hutan Lestari 159

Tabel 1. Nilai jasa lingkungan pemanfaatan air komersil (Milyar Rp) No Pemanfaat 2001 2002 2003 2004 2005 1 PLN PDAM Industri 14,09 7,81 7,17 15,35 8,70 8,92 17,99 9,90 10,68 25,00 10,36 10,18 29,61 12,65 12,59 Total 29.08 32,97 38,57 45,54 54,85 2 Biaya OP 95,13 104,65 115,11 122,59 130,56 3 Persentase 30,6 31,5 33,5 37,1 42,0 4 Biaya 12,61 13,87 15,26 16,25 17,31 Konservasi 5 Persentase 13,25 13,25 7,5 7,5 7,5 Sumber : Laporan usulan Penyesuaian tarif PJT I 2005 Dari jumlah biaya kontribusi yang diterima oleh pihak pengelola hanya sebagian kecil yang dikembalikan untuk biaya konservasi terutama didaerah hulu bahkan selama lima tahun terakhir persentasenya menurun. Hal ini disebabkan karena volume pemakaian terus bertambah sedangkan tarif iuran tetap, disamping itu cukup tinggi biaya ( lebih dari 50 % biaya OP ) yang dikeluarkan untuk pemeliharaan sarana dan prasarana terutama waduk. b. Pemanfaatan air yang non komersial menggunakan metode pendekatan terhadap kesediaan membayar (WTA) individu/ masyarakat atas manfaat yang diperoleh dari sumberdaya alam atau jasa lingkungan.dengan melihat selisih antara jumlah yang dikonsumsi (jumlah yang dibayarkan) dan kesediaan membayar maka dapat diukur tingkat kesejahteraan yang diperoleh konsumen atau disebut surplus konsumen. Surplus konsumen menunjukkan bahwa konsumen menerima atau mendapat nilai lebih dari harga yang dibayarnya. Dari nilai surplus konsumen ini diharapkan juga dapat dikembalikan kepada pengelola kawasan hulu sebagai kompensasi atas jasa air yang digunakan. Namun tidak seluruh nilai surplus konsumen tersebut yang selayaknya dikembalikan, tapi hanya sebagian kecil saja atau sebesar ± 20% dari masing-masing pengguna dapat membayar kompensasinya kepada pengelola kawasan. Terlihat pada tabel 2 bahwa besarnya kompensasi yang selayaknya diterima oleh para pengelola kawasan atas jasa air yang digunakan petani dan rumah tangga sebesar Rp.4.067.525 / thn untuk para pengusaha pertanian di Tahura Suryo dan sebesar Rp.55.008,80 / tahun untuk rumah tangga di TNBTS dan sebesar Rp. 679.510,40 / thn untuk rumah tangga di sekitar kawasan Perum Perhutani. 160 Good Forest Governance Sebagai Syarat Pengelolaan Hutan Lestari

Tabel 2. Nilai jasa lingkungan pemanfaatan air non komersil No Pengelola Kawasan Surplus konsumen Kompensasi ( Rp /KK ) (20%) 1 Tahura Suryo 20.337. 629 *) 4.067. 525,80 2 TNBTS 275.044 *) 55.008,80 3 Perum Perhutani 3.397.552 *) 679.510,40 Ket *) Hasil perhitungan Nurfatriani Pemanfaatan air non komersial di kawasan hulu DAS Brantas digunakan untuk pertanian yang berada di bawah pengelolaan Tahura Suryo. Pengusaha pertanian yang menggunakan sumber mata air melalui pipa2 paralon dan tandon2 antara lain : pengusaha bunga, pengusaha jamur dan pengusaha peternakan ayam. Penghijauan dan reboisasi yang dilakukan oleh para pengusaha disekitar kawasannya bekerjasama dengan instansi kehutanan dalam rangka melestarikan kawasan disekitar sumber mata air. Sedangkan pemanfaatan air oleh masyarakat / petani dikawasan hulu DAS Brantas dibawah pengelolaan TNBTS terutama untuk petani sayuran dan kebutuhan untuk air minum dan MCK. Pemanfaatan lahan ini untuk pertanian tidak lepas dari konflik yang terjadi antara masyarakat dengan pengelola kawasan, karena topografi lokasi sangat rentan akan erosi. Sehingga diperlukan kesepakan untuk kepentingan masing2 dimana masyarakat membutuhkan sumber mata air dan pengelola perlu kelestarian lahan. Kesepakatan dilakukan melalui kegiatan penanaman jalur hijau ( green belt ). Gambar 1: Distribusi Nilai Lingkungan Non Komersil III. IDENTIFIKASI PARA PENGELOLA KAWASAN DI HULU SEBAGAI PENYEDIA AIR Kawasan Lindung sebagai penyedia air merupakan kawasan yang perlu dilindungi dan dilestarikan serta dikelola dengan baik. Sebagai kawasan lindung ada beberapa fungsi manfaat yang dapat diperoleh antara lain Good Forest Governance Sebagai Syarat Pengelolaan Hutan Lestari 161

sebagai kawasan wisata, taman nasional, konservasi dan hutan lindung. Dari beberapa fungsi tersebut ada beberapa pengelola / stakeholder yang bertanggung jawab dalam pengelolaannya. Di kawasan hulu DAS Brantas ada 3 stakeholder yang mengelola langsung kawasan tersebut yaitu Perum Perhutani sebagai pengelola hutan lindung, Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) dan Taman Hutan Raya (ahura) Suryo, ketiga stakeholder tersebut berada di Kabupaten Malang. Kawasan Tahura R. Soeryo yang merupakan hulu DAS Brantas terdapat 2 buah gunung yaitu G. Anjasmoro dan G. Arjuna dimana kawasan ini berbatasan dengan hutan lindung dan hutan produksi yang dikelola oleh Perum Perhutani. Luas kawasan Tahura yang merupakan hutan konservasi adalah 25 000 ha yang meliputi 4 Kabupaten (Malang, Mojokerto, Pasuruan dan Jombang). Di Kab Malang luas kawasan Tahura 8 928,1 ha dimana di kawasan tersebut terdapat Arboretum yang dibangun oleh PJT I sebagai daerah tangkapan air (catchment area) seluas 40 ha dengan jenis tanaman kayu putih, kayu manis, cemara gunung dll. Kawasan ini juga merupakan sumber mata air sungai brantas dan merupakan salah satu sumber air yang mengairi waduk yang dikelola oleh PJT I melalui sungai Lesti dan Melamon. Lebih dari 5 sumber mata air yang ada di kawasan Tahura baik air panas dan air dingin dan juga berfungsi sebagai obyek wisata. Selain itu ada beberapa perusahaan yang memanfaatkan air langsung dari kawasan ini antara lain perusahaan jamur, perusahaan tanaman bunga dan perusahaan peternakan. Kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) yang merupakan daerah hulu DAS Brantas terdapat mata air dari sungai Amprong yang berada didaerah G. Semeru yang juga merupakan obyek wisata khususnya jenis olah raga pendakian gunung. Taman Nasional ini meliputi 4 kabupaten yaitu Kab Malang, Pasuruan, Probolinggo dan Lumajang. Luas kawasan di Kab Malang 18 692,9 ha. Pemanfaatan sumber air dikawasan DAS Brantas mulai dari hulu sampai hilir (termasuk di kawasan hutan lindung dan sekitarnya) cukup tinggi. Wilayah DAS Brantas merupakan sumber air bagi kebutuhan Propinsi Jawa Timur baik untuk air minum, rumah tangga maupun untuk kebutuhan sektor lainnya. Di dalam Kawasan Hutan lindung sumbersumber mata air dimanfaatkan langsung oleh penduduk dengan menyalurkan melalui pipa yang dibangun secara swadaya dan dimanfaatkan oleh pengusaha peternakan dan perkebunan. Luas Kawasan HL di wilayah SPH IV Malang sebesar 130 114,19 ha meliputi KPH Malang 53.587,30 ha (15.438,60 ha atau 28,8% dikelola oleh TNBTS), Luas kawasan yang dapat berpotensi memanfaatkan jasa lingkungan seluas 69.372 ha. 162 Good Forest Governance Sebagai Syarat Pengelolaan Hutan Lestari

Pengelolaan hutan lindung selain sebagai kawasan perlindungan juga sebagai sumber air dan sumber mata pencaharian masyarakat sekitar. Hutan lindung di wilayah KPH Malang yang merupakan hulu DAS Brantas dan sebagai sumber air perlu dijaga kelestariannya agar tidak mencemari permukaan air Kali Brantas yang merupakan sumber air baku baik bagi masyarakat maupun industri dan pembangkit tenaga listrik.. Hulu kali Brantas berada di wilayah Kabupaten Malang tepatnya di Taman Hutan Raya (Tahura) R. Soeryo dan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru dan melintasi beberapa kabupaten hingga bermuara di kota Surabaya IV. KOMPENSASI INSENTIF HULU HILIR DI KAWASAN LINDUNG Para pengelola kawasan lindung (Perum Perhutani, TNBTS dan Tahura Suryo) selayaknya menerima konpensasi dari para pemanfaat air dari hulu sampai kehilir, karena selaku pengelola kawasan sangat berpengaruh terhadap ketersediaan dan kualitas air. Berapa manfaat yang harus diterima oleh pengelola kawasan dapat diketahui dengan menghitung berapa potensi debit air yang dapat diproduksi dari masingmasing kawasan dengan nilai eksternal berupa nilai dampak terhadap lingkungan yang harus dikembalikan ke hulu. Berdasarkan hasil analisa dengan Citra Landsat pada masing-masing Sub DAS dan Sub-sub DAS menunjukkan bahwa sebagai pengelola kawasan dibagian hulu dari ketiga stakeholder terkait yang berpotensi dapat menghasilkan air antara lain Perum Perhutani (KPH Malang) dengan luas areal 5.274,72 ha, 2 975,94 ha untuk kawasan TNBTS dan 6 224,85 ha untuk kawasan Tahura Suryo. Sedangkan rata-rata potensi produksi air yang dapat dihasilkan selama 3 tahun pengamatan adalah 73,37 juta m 3 untuk Perum perhutani, 41,48 juta m 3 untuk TNBTS dan 83,88 juta m 3 untuk Tahura Suryo (Kirsfianti 2006). Tabel 3: Potensi Produksi air dari masing-masing Pengelola Kawasan (3 thn) Pengelola No Kawasan 1 Perhutani m 3 /ha 2 TNBTS m 3 /ha 3 Tahura Suryo m 3 /ha Jumlah m 3 /ha Luas area/ Potensi Produksi Air ( jt m 3 ) ( ha ) 1997 2001 2003 Rata-rata 5 274,72 62,08 81,48 76,54 73,37 11 769,35 15 447,27 14 510,72 13 909,11 2 975,94 34,84 46,40 43,19 41,48 11 707,23 15 591,71 14 513,06 13 937,33 6 224,85 69,68 105,76 76,20 83,88 11 193,84 16 989,97 12 241,25 13 475,02 166,600 233,64 195,93 198,73 34 670,42 48 028,95 41 265,03 41 321,46 Good Forest Governance Sebagai Syarat Pengelolaan Hutan Lestari 163

Terlihat pada tabel 3 bahwa potensi poduksi air yang dapat dihasilkan dari masing-masing pengelola kawasan menunjukkan jumlah yang hampir sama besar untuk setiap ha, Perbedaan yang relatif kecil hanya disebabkan oleh kondisi lahan atau tutupan lahan dari masing-masing pengelola seperti TNBTS kondisi penutupan lahan masih banyak tanaman pohon yang dapat menghasilkan air, berbeda dengan di Tahura Suryo penutupan lahan lebih digunakan untuk lahan pertanian begitu pula halnya dengan lahan Perum Perhutani digunakan sebagai lahan garapan petani sebagai tanaman persawahan / pertanian. Lebih jelas terlihat dalam diagram berikut potensi produksi air masing-masing stakeholder. Gambar 2 : Potensi Produksi Air Pengelola Kawasan Selanjutnya dari jumlah potensi produksi air dari masing-masing pengelola kawasan dapat dihitung berapa besar biaya yang seharusnya diterima sebagai kompensasi atas jasa air yang digunakan oleh para pemanfaat ( PDAM, PLN dan Industri ) dengan mengetahui tarif air / nilai lingkungan. Tarif ini dihitung dengan menggunakan analisa full costing dari seluruh komponen biaya yang dikeluarkan oleh pengelola sumberdaya air (PJT I). Hasil analisa biaya ini dapat diketahui jumlah nilai lingkungan dari para pemanfaat air yang mempunyai nilai pasar/ komersil yaitu sebesar Rp.183.830.000.000 (Nurfatriani, 2006). Selanjutnya untuk mengetahui berapa besar nilai lingkungan komersil ini didistribusikan kepada pengelola kawasan dihitung dengan mengalikan besarnya persentase proporsi potensi produksi air dari masing-masing pengelola dengan nilai lingkungan secara keseluruhan. Lebih jelas distribusi biaya/nilai lingkungan baik komersil maupun non komersil 164 Good Forest Governance Sebagai Syarat Pengelolaan Hutan Lestari

sebagai kompensasi dari masing-masing pengelola kawasan dapat dilihat pada tabel 3 berikut : Tabel 3: No Distribusi biaya jasa lingkungan dari masing-masing Pengelola Kawasan Pengelola Kawasan Proporsi ratarata PPA (%) Dist biaya Rp (x 1000) Komersial Rp/ha Non Komersial Rp/thn 1 Perum Perhutani 36,92 67.870. 036 978.349 679. 510,40 2 TNBTS 20,87 38. 365. 321 2.052. 400 55.008,80 3 Tahura Suryo 42,21 77.594. 643 8. 691. 0854.067. 525,80 Jumlah 100.0 183. 830. 000 Keterangan : PPA ( Potensi Produksi Air ) Dari tabel 3 dapat diketahui besarnya biaya lingkungan yang seharusnya diterima oleh masing-masing pengelola kawasan dimana Tahura Suryo menunjukkan nilai yang terbesar yaitu 8 691 085 /ha, terbesar kedua TNBTS sebesar Rp 2 052 400 / ha sedangkan Perum Perhutani sebesar Rp 978 349./ha. Gambar 3: Distribusi Nilai Lingkungan Komersil Disamping itu PJT I Malang telah melakukan Program Pembayaran Jasa Lingkungan dalam upaya pengembangan hubungan hulu hilir bekerja sama dengan Yayasan Pengembangan Pedesaan.yang dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama selama 6 bulan (Oktober 2004 s/d Maret 2005) di desa Tlekung Kota Batu seluas 17,5 ha dan desa Bendosari Kec Pujon seluas 8 ha dengan jumlah anggaran sebesar Rp 44 000 000. Tahap kedua selama 3 bulan (Maret s/d Mei 2005) di desa Bendosari dengan luas 16,5 ha dan biaya sebesar Rp 15 790 000. Semua biaya berasal dari PJT I yang diberikan kepada petani yang telah melakukan Good Forest Governance Sebagai Syarat Pengelolaan Hutan Lestari 165

upaya konservasi sumberdaya air dan tanah didaerah hulu DAS Brantas yang merupakan daerah tangkapan air ( catchments areas). Tujuan program ini adalah selain untuk membangun partisipasi dan kesadaran masyarakat petani di daerah hulu sungai Brantas juga turut serta menjaga kelestariannya juga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani melalui penanaman. Mekanisme kompensasi ini disalurkan secara langsung kepada petani melalui pengadaan sapras dan bibit sesuai dengan kondisi lahan setempat. dan sesuai dengan kebutuhan. Disamping itu juga untuk membangun mekanisme kelembagaan hubungan antara masyarakat hulu dan hilir dalam hal pembayaran jasa lingkungan. Ada dua mekanisme distribusi biaya jasa lingkungan yang diterapkan dalam pemanfaatan jasa air : 1. Jasa lingkungan dapat diberikan langsung kepada pihak pengelola kawasan apabila pemanfaatan air langsung dari dalam kawasan lindung. 2. Jasa lingkungan dapat diberikan oleh pihak mitra atau pihak ketiga kepada pengelola kawasan apabila pemanfaatan air dilakukan oleh pihak swasta dan berfungsi sebagai stakeholder pengelola sumberdaya air. 166 Good Forest Governance Sebagai Syarat Pengelolaan Hutan Lestari

Ket: Tidak langsung Langsung Kawasan Lindung Pengelola SDA Pengelola kawasan Pemanfaat / pengguna Gambar 4 : Mekanisme distribusi biaya jasa lingkungan V. KONSEP KEBIJAKAN PENGELOLAAN JASA LINGKUNGAN DI KAWASAN LINDUNG Kebijakan ini bertujuan untuk memperbaiki kondisi atau kualitas sumberdaya hutan sebagai penyedia manfaat ekonomi, ekologi dan sosial budaya di daerah hulu dan mengantisipasi terjadinya kerusakan fungsi hutan bagi daerah hilir. Konsep ini tertuang dalam Draft Raperda Pengelolaan Jasa Lingkungan Sumberdaya Hutan Propinsi Jawa Timur. Para penyedia jasa lingkungan hutan di hulu yang terdiri dari kelompok tani dan pengelola kawasan hutan sangat membutuhkan pendanaan dalam upaya melakukan konservasi dan rehabilitasi hutan dan lahan. Good Forest Governance Sebagai Syarat Pengelolaan Hutan Lestari 167

Manfaat jasa lingkungan sumberdaya hutan selama ini diperoleh secara cuma-cuma /gratis oleh pengguna jasa lingkungan di hilir dan tidak ada kontribusi yang dibutuhkan dalam rangka pengembalian nilai jasa lingkungan dalam bentuk konservasi atau rahabilitasi pengelolaan sumberdaya hutan di hulu secara lestari. Kompensasi ini merupakan inovasi baru di kehutanan sehingga perlu payung hukum dan regulasi yang jelas. Permasalahan yang timbul adalah bagaimana cara menilai jasa lingkungan hutan tersebut sebagai suatu peluang kontribusi di sektor kehutanan yang lebih berimbang. Disamping itu bagaimana mekanisme pembayaran atas manfaat jasa lingkungan. Untuk itu diperlukan suatu institusi yang bersifat independen yang tidak terkait secara langsung dengan birokrasi di pemerintah propinsi/ daerah. Pemerintah hanya bersifat fasilitasi dan regulasi sehingga pengelolaan dana yang dihimpun dari pemanfaatan jasa lingkungan hutan dapat dipertanggung jawabkan secara transparan. Seperti yang tertuang dalam draft Raperda pasal 10 bahwa Badan Pengelola Jasa Lingkungan memenuhi syarat akuntabilitas, transparansi dan partisipasi. Badan ini bersifat non struktural langsung dibawah Gubernur dan berfungsi untuk melakukan fasilitasi pengumpulan dan penyaluran dana jasa lingkungan. Dalam pasal 9 dijelaskan bahwa pengguna jasa lingkungan dalam bentuk BUMN/BUMD, lembaga, perusahaan atau sektor swasta yang mendapatkan keuntungan dari pemanfaatan jasa lingkungan tersebut harus mengalokasikan 2,5% dari keuntungan yang diperileh sebagai kompensasi untuk kelestarian sumberdaya hutan sebagai bentuk tanggung jawab sosial perusahaan terhadap lingkungan. VI. PENUTUP Di kawasan hulu DAS Brantas ada 3 stakeholder yang mengelola langsung kawasan tersebut yaitu Perum Perhutani sebagai pengelola hutan lindung, Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) dan Taman Hutan Rakyat (Tahura) Suryo, ketiga stakeholder tersebut berada di Kabupaten Malang. Ketiga ini selayaknya menerima kompensasi terhadap pemanfaatan jasa air. Luas kawasan lindung yang berpotensi dapat menghasilkan air yaitu Perum Perhutani (KPH Malang) dengan luas areal 5.274,72 ha, 2 975,94 ha untuk kawasan TNBTS dan 6 224,85 ha untuk kawasan Tahura Suryo. dengan rata-rata potensi produksi air yang dapat dihasilkan selama 3 tahun pengamatan adalah 73,37 juta m 3 untuk Perum perhutani, 41,48 juta m 3 untuk TNBTS dan 83,88 juta m 3 untuk Tahura Suryo. 168 Good Forest Governance Sebagai Syarat Pengelolaan Hutan Lestari

Distribusi biaya lingkungan yang seharusnya diterima oleh masingmasing pengelola kawasan di Jawa Timur adalah sebesar Tahura Suryo Rp.8.691.085/ha, TNBTS sebesar Rp. 2.052.400/ha sedangkan Perum Perhutani sebesar Rp.978.349/ha. Di Jawa Barat pengelola kawasan yaitu hanya Perum Perhutani yang selayaknya menerima kompensasi sebesar Rp. 2.420.863 / ha. Konsep metode perhitungan jasa lingkungan yang merupakan dasar dalam perhitungan biaya kompensasi hulu hilir dapat dipertimbangkan untuk digunakan dalam penentuan besarnya biaya yang harus dikembalikan kepada pengelola kawasan sebagai penyedia air. Good Forest Governance Sebagai Syarat Pengelolaan Hutan Lestari 169

DAFTAR PUSTAKA Dinas Kehutanan Jatim. Bahan Konsultasi Publik Draft Raperda Pengelolaan Jasa Lingkungan Sumberdaya Hutan. Kerjasama dengan MFP dan DFID, 2006 Kirsfianti, 2006 Kajian Optimal Luas, Jenis dan Proporsi Vegetasi serta Posisi Hutan Lindung Terhadap Produksi Air di DAS Nurfatriani F, dkk. 2006. Kajian Nilai Ekonomi Manfaat Hidrologis Hutan Lindung. Laporan Hasil Penelitian. Puslit Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Tidak Diterbitkan. Perum Jasa Tirta I. 2005. Usulan Penyesuaian Tarif Biaya Jasa Pengelolaan Sumber Daya Air (d/h Iuran Pembiayaan O&P Prasarana Pengairan) di Wilayah Kerja Perum Jasa Tirta I Tahun 2005 untuk PDAM dan Industri. Perum Jasa Tirta I. Tidak Diterbitkan. Perum Jasa Tirta I. 2005. Usulan Penyesuaian Tarif Biaya Jasa Pengelolaan Sumber Daya Air di Wilayah Sungai Kali Brantas Tahun 2006 untuk Pembangkitan Listrik. Perum Jasa Tirta I. Tidak Diterbitkan. Perum Jasa Tirta I. 2005. Kewajiban Pelayanan Umum (KPU) atau Public Service Obligation (PSO) dalam Pengelolaan Sumber Daya Air di Wilayah Kerja Perum Jasa Tirta I Tahun 2005. Perum Jasa Tirta I. Tidak Diterbitkan. Perum Jasa Tirta I. 2005. Pedoman Operasi dan Pemelihraan di DAS Kali Brantas. Perum Jasa Tirta I. Tidak Diterbitkan. Sylviani, 2006 Kajian Distribusi Biaya Dan Manfaat Hutan Lindung Sebagai Penyedia Air. Tim Evaluasi Tarif Dasar. 2002. Usulan Komperehensif Pembiayaan Pengelolaa Sumberdaya Air di Wilayah Sungai (WS) Kali Brantas. Tim Evaluasi Tarif Dasar Iuran Pembiayaan Eksploitasi dan Pemeliharaan Prasarana Pengairan-Dept Kimpraswil. Tidak Diterbitkan. 170 Good Forest Governance Sebagai Syarat Pengelolaan Hutan Lestari