MUHAMMADIYAH DAN POLITIK: Catatan Kecil tentang Perjalanan Politik Warga Muhammadiyah *)

dokumen-dokumen yang mirip
BAB VI KESIMPULAN. kemasyarakatan yang bercorak Islam Modernis. Meskipun bukan merupakan

I. PENDAHULUAN. basis agama Islam di Indonesia Perolehan suara PKS pada pemilu tahun 2004

BAB I PENDAHULUAN. Muhammadiyah sebagai ormas keagamaan menyatakan tidak berpolitik

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

GAMBARAN UMUM. Bergesernya paradigma penyelenggaraan pemerintahan dari government ke

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pemilihan Umum (Pemilu) adalah salah satu cara dalam sistem

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. (Kompas, Republika, dan Rakyat Merdeka) yang diamati dalam penelitian

SEJARAH PEMILU DI INDONESIA. Muchamad Ali Safa at

Ini Alasan Partai Islam Terseok-Seok

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang digunakan dalam suatu negara. Indonesia adalah salah satu

SEJARAH PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

2015 STRATEGI PARTAI ISLAM D ALAM PANGGUNG PEMILIHAN PRESID EN DI INDONESIA TAHUN

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu

Pemilu 2009: Kemenangan Telak Blok Partai Nasionalis Ringkasan

BAB I PENDAHULUAN. Politik merupakan hal yang sering diperbincangkan dalam masyarakat. Apalagi tahun ini

BAB I PENDAHULUAN. jatuhnya pemerintahan Orde Baru sesungguhnya, sebagaimana dikatakan Amien

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan, kedaulatan berada pada tangan rakyat. Demokrasi yang kuat,

BAB I PENDAHULUAN. politiknya bekerja secara efektif. Prabowo Effect atau ketokohan mantan

Dinamika Politik Muhammadiyah

I. PENDAHULUAN. wilayah dan tataran kehidupan publik, terutama dalam posisi-posisi pengambilan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Bab ini berisi interpretasi penulis terhadap judul skripsi Penerimaan Asas

BAB I PENDAHULUAN. Partai politik merupakan fenomena modern bagi negara-negara di dunia.

BAB I PENDAHULUAN. kepala daerah di Indonesia ditandai dengan diberlakukannya Undang-Undang

Wacana Kepemimpinan Muhammadiyah. Oleh Dr. Drs. Muhammad Idrus, S.Psi., M.Pd

Perempuan dan Pembangunan Berkelanjutan

BAB I PENDAHULUAN. bentuk kepedulian sebuah Negara terhadap rakyatnya. Di Indonesia sendiri,

BAB I PENDAHULUAN. putra-putri terbaik untuk menduduki jabatan-jabatan politik dan pejabatpejabat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

2014 PEMILIHAN UMUM DAN MEDIA MASSA

BAB I PENDAHULUAN. Kehadiran perempuan dalam kontestasi politik di Indonesia, baik itu

I. PENDAHULUAN. memilih sebuah partai politik karena dianggap sebagai representasi dari agama

BAB V PENUTUP. 1. Indonesia merupakan sebuah negara multikultural dan plural, yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. Munkar dan Tajdid, bersumber pada Al-Qur`an dan As-Sunnah, berasaskan

I. PENDAHULUAN. dan ingin meraih kekuasaan yang ada. Pertama penulis terlebih dahulu akan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

LATIHAN SOAL TATA NEGARA ( waktu : 36 menit )

BAB V KESIMPULAN. Dari penelitian tersebut, bisa disimpulkan bahwa, kekuatan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakan menurut UUD. Dalam perubahan tersebut bermakna bahwa

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah setelah runtuhnya Orde Baru, di era reformasi saat ini, media dengan

BAB I PENDAHULUAN. langsung oleh rakyat. Pemilihan umum adalah proses. partisipasi masyarakat sebanyak-banyaknya dan dilaksanakan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

2015 MODEL REKRUTMEN DALAM PENETUAN CALON ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) PROVINSI JAWA BARAT

Oleh Dra. Hj. Siti Masrifah, MA (Ketua Umum DPP Perempuan Bangsa) Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKB 1

BAB VI PENUTUP. sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa : Faktor Kemenangan koalisi Suharsono-Halim dalam

BAB I PENDAHULUAN. Presiden dan kepala daerah Pilihan Rakyat. Pilihan ini diambil sebagai. menunjukkan eksistensi sebagai individu yang merdeka.

BAB I PENDAHULUAN. Sejak reformasi, masyarakat berubah menjadi relatif demokratis. Mereka

2015 MODEL REKRUTMEN PARTAI POLITIK PESERTA PEMILU 2014 (STUDI KASUS DEWAN PIMPINAN DAERAH PARTAI NASDEM KOTA BANDUNG)

BAB III TEORI SOSIAL CLIFFORD GEERTZ DAN SEJARAH PERKEMBANGAN PARTAI POLITIK DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. relatif independen dan juga disertai dengan kebebasan pers. Keadaan ini

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Setelah Perang Dunia II, demokrasi menjadi salah satu wacana sentral di

BAB I. PENDAHULUAN. oleh rakyat dan untuk rakyat dan merupakan sistem pemerintahan yang. memegang kekuasaan tertinggi (Gatara, 2009: 251).

BAB I PENDAHULUAN. daerah (pemilukada) diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang

Peningkatan Keterwakilan Perempuan dalam Politik pada Pemilu Legislatif Nurul Arifin

BAB I PENDAHULUAN. hampir seluruh organisasi politik memiliki strategi yang berbeda-beda.

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

KEWAJIBAN PELAPORAN DANA KAMPANYE PESERTA PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF 2014

ADVOKASI UNTUK PEMBAHASAN RUU PEMILU

BAB I PENDAHULUAN. dikehendaki. Namun banyak pula yang beranggapan bahwa politik tidak hanya

BAB I PENGANTAR. keterlibatan masyarakat dalam berpartisipasi aktif untuk menentukan jalannya

POLITIK SEBAGAI MEDIA DAKWAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk sosial yang senantiasa saling

Klaim partai nasionalis pada faktanya hanya sekadar jargon. Ujung-ujungnya juga kapitalis dan neoliberal.

BAB I PENDAHULUAN. serta aspirasi masyarakat. Pemilihan umum (pemilu) sebagai pilar demokrasi di

PARTISIPASI POLITIK ANGGOTA SYARIKAT ISLAM BANJARNEGARA DALAM PILKADA KABUPATEN BANJARNEGARA 2017

PENDAHULUAN Latar Belakang

INTERAKSI SOSIAL PADA AKTIVIS IMM DAN KAMMI. Skripsi

BAB V PENUTUP. disimpulkan bahwa KAMMI telah melakukan beberapa hal terkait dengan strategi

BAB I PENDAHULUAN. pemilihan umum (Pemilu). Budiardjo (2010: 461) mengungkapkan bahwa dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Parpol Islam dan yang berbasis massa Islam, tak lagi terlihat menyuarakan Islam, bahkan seakan menghindar untuk diidentikkan dengan Islam.

Usman termasuk PNS yang melawan arus. Ia teguh memegang prinsip dan gigih berdakwah meski karier taruhannya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemilu 1955 merupakan pemilihan umum pertama dengan sistem multi partai yang dilakukan secara terbuka,

BAB I PENDAHULUAN. dimana adanya pemberian kebebasan seluas-luasnya. untuk berpendapat dan membuat kelompok. Pesatnya

BAB VI P E N U T U P

BAB 2 DATA DAN ANALISA. Metode yang digunakan untuk mendapatkan data antara lain: - Tinjauan Pustaka : Buku Mengapa Kami Memilih Golput.

PANDUAN AKUNTABILITAS POLITIK

I. PENDAHULUAN. sebuah tujuan bersama dan cita-cita bersama yang telah disepakati oleh

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

PARTAI POLITIK ISLAM Teori dan Praktik di Indonesia

BAB V KESIMPULAN. Masalah hubungan PDI dengan massa pendukung Pra dan Pasca Fusi hingga

BAB I PENDAHULUAN. Keterlibatan perempuan di panggung politik merupakan isu yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Reformasi telah memberikan posisi tawar yang jauh lebih dominan kepada

Pimpinan dan anggota pansus serta hadirin yang kami hormati,

DINAMIKA POLITIK MUHAMMADIYAH PADA MASA SUKARNO SAMPAI MASA SOEHARTO PADA TAHUN SKRIPSI. Oleh FAJAR IWANTORO NIM

STRATEGI MENINGKATKAN KETERWAKILAN PEREMPUAN

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 35/PUU-XII/2014 Sistem Proporsional Terbuka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan politik di landasi oleh Undang-Undang No 2 Tahun 2011 Tentang

ANGGARAN DASAR IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH

BAB I PENDAHULUAN. Winarno, 2008: vii). Meskipun demikian, pada kenyataannya krisis tidak hanya

4 Alasan Mengapa Buku ini Penting?

BAB IV ANALISIS DATA. Analisis data merupakan proses mengatur aturan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan satu uraian dasar.

BAB I PENDAHULUAN. Pilgub Jabar telah dilaksanakan pada tanggal 24 Pebruari 2013, yang

BAB I PENDAHULUAN. jumlah suara yang sebanyak-banyaknya, memikat hati kalangan pemilih maupun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara demokratis merupakan negara yang memberi peluang dan

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1998, Indonesia mengawali Era Reformasi. Sejak itu telah

BAB III DATA RESPONDEN

I. PENDAHULUAN. sangat penting dalam kehidupan bernegara. Pemilihan umum, rakyat berperan

BAB V PENUTUP. seperti Nasionalisme Radikal, Tradisi Jawa, Komunisme, Sosial Demokrat dan Islam,

Transkripsi:

MUHAMMADIYAH DAN POLITIK: Catatan Kecil tentang Perjalanan Politik Warga Muhammadiyah *) Oleh Said Tuhuleley **) IFTITAH Judul makalah sederhana ini terinspirasi oleh buku menarik yang ditulis Prof. Dr. Deliar Noer tahun 2003: Islam dan Politik. Bedanya ialah, Prof. Dr. Deliar Noer menulis bukunya itu secara filosofis dan mendalam, tetapi makalah ini, karena keterbatasan penulis, ditulis secara bersahaja. Bagian utama makalah ini lebih menunjukkan rekam-jejak perjalanan politik warga Muhammadiyah, yang dalam tingkat dinamika tertentu menyeret juga Muhammadiyah secara organisatoris. Kendatipun panjang, rekam-jejak itu sebenarnya hanyalah ancang-ancang yang penulis ambil untuk masuk pada pembicaraan tentang peran politik idel yang dapat dan perlu dimainkan warga Muhammadiyah dan Persyarikatan Muhammadiyah itu sendiri. Tapi sebelum masuk pada pembicaraan itu, penulis perlu menyampaikan apresiasi positif penulis terhadap inisiatif LPI PP Muhammadiyah untuk mengangkat tema ini dalam satu kajian khusus. Sebab disadari atau tidak, langkah-langkah individual yang diambil sementara pengurus Muhammadiyah, sedikit banyaknya memperlihatkan bagaimana bidang politik telah merasuki sebagian aktivis Muhammadiyah. Pada tingkat tertentu, tergiringnya warga Muhammadiyah pada pertarungan politik kekuasaan, jika tidak dikelola secara baik. berpotensi untuk mengalihkan perhatian warga Muhammadiyah dari kerja-kerja kemanusiaan besar yang selama ini digeluti. Kecenderungan nasional untuk terus menambah jumlah partai politik, ditengarai sudah pula menghinggapi warga Muhammadiyah. Sehingga secara berseloroh dapat dikatakan, kalau kecenderungan ini dibiarkan tanpa pengelolaan yang baik, suatu saat kelak jumlah partai politik yang dibentuk warga Muhammadiyah dapat melebihi jumlah amal usaha pendidikan yang dimiliki Muhammadiyah. Sebenarnya, formula high politics yang pernah dikembangkan Prof. Dr. M. Amien Rais tempo hari sangatlah tepat bagi gerak Persyarikatan Muhammadiyah secara organisatoris di bidang politik. Kalau formula ini dipakai, maka pucuk pimpinan Muhammadiyah seyogyanya dapat lebih berhati-hati dalam memperturutkan hawa nafsu politiknya, sebab dapat membawa akibat jauh bagi persyarikatan. Makalah sederhana bahkan bersahaja ini diakhiri dengan beberapa catatan di seputar keprihatinan banyak orang melihat meluasnya semangat berpolitik praktis di kalangan aktifis Muhammadiyah, jauh melebihi kerja-kerja kemanusiaan besar yang selama ini digeluti. *) Disampaikan pada Kajian Tematik III yang diselenggarakan Lembaga Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah, Kampus UM Magelang, 9 Agustus 2008. **) Penulis adalah Ketua Majelis Pemberdayaan Masyarakat Pimpinan Pusat Muhammadiyah; Pemimpin Redaksi Jurnal MEDIA INOVASI UMY; Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Majalah Pendidikan GERBANG; Ketua Dewan Direktur Laboratorium Dakwah Yayasan Shalahuddin Yogyakarta; Staf Pengajar FAI UMY. 1

MEMPERTIMBANGKAN KENYATAAN Siapa pun sulit untuk membantah bahwa Majelis Syuro Muslimin Indonesia disingkat Masyumi adalah partai Islam paling besar dan berpengaruh yang pernah ada dalam sejarah kepolitikan Indonesia setelah proklamasi 17 Agustus 1945. Masyumi pernah memainkan peranan yang dominan tidak saja dalam bidang legislatif, akan tetapi juga dalam bidang eksekutif. Bahkan Pemilu 1955, yang dianggap salah satu Pemilu terbersih di Indonesia, dilaksanakan ketika Perdana Menteri dipegang oleh seorang tokoh muda Masyumi saat itu, Mr. Burhanuddin Harahap. Puncak dari peranan politik Masyumi dapat dilihat dari jumlah kursi yang diraih mereka di Parlemen dalam Pemilu 1955. Grafik berikut memperlihatkan jumlah kursi di Parlemen yang berhasil diperoleh Masyumi, sekaligus perbandingannya dengan partai politik lain. Grafik tersebut memperlihatkan bagaimana posisi Masyumi dalam Pemilu 1955, yang keluar sebagai pemenang bersama PNI. Kendatipun demikian, jika semua partai politik Islam pada saat itu digabungkan, maka kekuatan mereka belumlah mencapai 50% di parlemen, sehingga agak sulit juga bagi mereka untuk secara leluasa meloloskan ideide politik Islam yang mereka bawa. Terlepas dari itu, jika hasil Pemilu ditelaah lebih jauh, terutama dengan membandingkan hasil Pemilu 1955 dengan hasil Pemilu setelahnya, akan diperoleh hal hal menarik yang perlu dipertimbangkan saat ini. Pemilu pertama setelah Pemilu 1955 adalah Pemilu 1971, yang juga merupakan Pemilu pertama di masa Orde Baru. Berbeda dengan Pemilu 1955, Pemilu 1971 berjalan secara sangat tidak demokratis. Pemerintah, yang seharusnya menjadi wasit, malah terlibat secara aktif memenangkan Golkar, berbeda sama sekali dengan Pemilu 1955, ketika Masyumi tengah memimpin pemerintahan. Grafik 1. PEROLEHAN KURSI DPR DALAM PEMILU 1955 60 50 57 57 40 30 39 46 45 20 10 13 0 PKI PNI M ASYUMI NU LAIN Sumber: Posisi Partai Politik Islam dalam Pemilihan Umum, Pondok Pesantren Budi Mulia, 2000 2

Pemilu 1971 dilaksanakan sepuluh tahun setelah Masyumi bubar. Untuk menampung warga eks Masyumi, dibentuklah Partai Muslimin Indonesia, yang di tengah jalan diintervensi pula oleh pemerintah. Yang menarik dari Pemilu 1971 ini ialah perolehan suara Partai Muslimin Indonesia, partai politik yang semula diniatkan menampung eks Masyumi. Kendatipun dalam Pemilu 1955 Masyumi muncul sebagai pemenang bersama PNI, akan tetapi dalam Pemilu 1971, Partai Muslimin Indonesia hanya memperoleh 24 kursi atau sekitar 6,6% dari total anggota DPR yang dipilih rakyat (360 orang). Bandingkan perolehan kursi Masyumi dalam Pemilu 1955 sebanyak 57 atau 22,18% dari total anggota DPR (257 orang). Grafik berikut dapat membantu memberikan gambaran tentang perbandingan ini. Pertanyaan yang timbul dari perbandingan dua hasil Pemilu tersebut ialah, ke mana perginya para pendukung Masyumi? Pertanyaan ini untuk seting tahun 1971 sangat relevan. Sebab Masyumi belum terlalu lama bubar, hanya sekitar sepuluh tahun. Sementara NU jauh sebelum Pemilu 1955 telah keluar dari Masyumi. Grafik 2. Grafik 3. PEROLEHAN KURSI DPR(%) DALAM PEMILU 1955 PEROLEHAN KURSI DPR(%) DALAM PEMILU 1971 18% PNI 22% 8% NU 16% PKI 15% LAIN 5% NU 18% MASYU MI 22% GOLKAR 66% PARMUSI 7% LAIN 3% 2000 Sumber: Posisi Partai Politik Islam dalam Pemilihan Umum, PP Budi Mulia, Jika telaah dilanjutkan untuk melihat hasil Pemilu 1999, maka persoalan akan menjadi sedikit lebih rumit. Sebab partai manakah yang dapat begitu saja mengklaim dirinya pelanjut atau penampung eks Masyumi dan keluarganya? Tapi okelah, barangkali itu soal lain. Mari kita lihat saja data Pemilu 1999 dan mencoba menelusurinya sendirisendiri. Grafik berikut memperlihatkan hasil Pemilu 1999 dalam dua komposisi penting. 3

Grafik 4. Grafik 5. PEROLEHAN KURSI DPR (%) DALAM PEMILU 1999 (PAN & PKB MASUK PARTAI "") PEROLEHAN KURSI DPR (%) DALAM PEMILU 1999 (PAN & PKB MASUK PARTAI "") 19% PDI-P 34% 38% PDI-P 34% 21% GOLKAR 26% 2% GOLKAR 26% Sumber: Posisi Partai Politik Islam dalam Pemilu, PP Budi Mulia, 2000. Dua buah grafik berikut ini akan memperlihatkan fenomena menarik yang terjadi dalam Pemilu 2004, yaitu agak naiknya posisi partai Islam, jika PAN dan PKB dimasukkan ke dalam kategori partai Islam. Bahkan peroleh partai Islam mendekati apa yang dicapai dalam Pemilu 1955. PEROLEHAN KURSI DPR (%) DALAM PEMILU 2004(PAN & PKB MASUK PARTAI "") PEROLEHAN KURSI DPR (%) DALAM PEMILU 2004 (PAN & PKB MASUK PARTAI "") 23% PDI-P 20% PDI-P 20% 42% 34% GOLKAR 23% 15% GOLKAR 23% Sumber: www.kpu.go.id. 4

KEMANA PERGINYA MASYUMI MUDA [1], KAUM MUHAMMADIYAH? Paling sedikit diperoleh dua pertanyaan penting di seputar data Pemilu di atas, yaitu, pertama, ke mana perginya eks Masyumi, --yang sebagian besar adalah warga Muhammadiyah [2]--, maupun keluarganya serta para Masyumi muda, dan kedua, mengapa mereka pergi? Ada perbedaan nuansa dalam jawaban kedua pertanyaan ini, terutama berhubungan dengan Pemilu Orde Baru dan Pemilu Pasca Orde Baru. Untuk Pemilu 1971, jelas sekali suara sebagian eks Masyumi maupun keluarganya beralih ke Golkar maupun beberapa partai Islam lainnya. Yang menarik ialah persentase perolehan kursi NU yang relatif stabil. Mengapa demikian? Harap diingat bahwa Masyumi pada awalnya didukung oleh kekuatan-kekuatan Islam kultural yang relatif mapan, dua di antaranya yang terbesar adalah NU dan Muhammadiyah. Ketika PSII keluar dari Masyumi pada akhir 1940-an dan disusul kemudian oleh NU, berkuranglah pilar pendukungnya. Kendati menjadi partai politik, NU memiliki basis kultural yang sangat kuat, yaitu pesantren. Sehingga menghadapi Pemilu 1955 Masyumi hanya didukung oleh satu kekuatan kultural besar lainnya yaitu Muhammadiyah, walaupun sebagian warga NU tetap memilih bergabung dengan Masyumi. Ketika Masyumi bubar pada awal 60-an, para pendukungnya yang berasal dari Muhammadiyah tetap membangun basis kulturalnya di Muhammadiyah, yaitu amal usaha di berbagai bidang yang cukup besar dan merata. Maka jangan heran, ketika salah seorang tokoh Muhammadiyah, H. Jarnawi Hadikusuma, yang kala itu tengah menjadi Ketua Partai Muslimin Indonesia, dikudeta oleh Djaelani Naro pada tahun 1970 atas dukungan pemerintah, goyah pulalah dukungan sebagian besar warga Muhammadiyah terhadap partai baru tersebut dalam Pemilu 1971, meskipun pemerintah menunjuk Mintareja, S.H., salah seorang warga Muhammadiyah, sebagai ketuanya. Praktis, Parmusi hanya didukung oleh arus kecil Muhammadiyah serta kekuatan Islam modernis lainnya, terutama yang tetap membangun hubungan baik dengan para tokoh Masyumi seperti M, Natsir, Mohammad Rum, Burhanuddin Harahap, Anwar Haryono (yang membangun jaringan baru di bawah bendera Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia disingkat DDII). [1] Masyumi Muda dalam konteks pembicaraan ini bukan semata-mata mereka yang berasal dari keluarga Masyumi, tetapi mencakup juga mereka yang mengagumi, menyepakati, dan bahkan mengikuti garis politik Masyumi, kendatipun Masyumi telah lama bubar. Mereka dapat saja berasal dari kalangan yang secara fisik mempunyai kontak dengan para tokoh Masyumi semasa hidup, atau bahkan mengenal perjuangan Masyumi dari buku. Suatu ilustrasi sederhana pernah penulis dengarkan dari seorang tokoh cendekiawan Islam tentang bagaimana reaksi kaum muda muslim yang sedang menuntut ilmu di Australia, ketika Johan Effendi menyepelekan Masyumi dalam satu seminar di Australia. Ada lima penanggap yang secara gagah memulai pembahasannya dengan memperkenalkan diri sebagai Masyumi Muda. [2] Mudah dipahami mengapa Masyumi didukung oleh sebagian besar warga Muhammadiyah. Karena bukan saja banyak tokoh Muhammadiyah terlibat sebagai pemimpin Masyumi di semua lini, tetapi Muhammadiyah secara organisatoris pun masuk bulat-bulat sebagai anggota istimewa Masyumi. 5

Dalam Pemilu 1999, keadaan menjadi berbeda. PPP tetap didukung oleh sebagian pendukung Parmusi maupun sebagian warga NU. Sementara itu, muncul banyak partai Islam lainnya. Ada yang menarik dalam Pemilu 1999, yaitu munculnya dua partai baru, yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Amanat Nasional (PAN). PKB didukung secara organisatoris oleh NU, sementara PAN secara organisatoris tidak didukung oleh Muhammadiyah. Kendatipun demikian, tidak dapat disangkal bahwa PKB maupun PAN didukung oleh sebagian basis kultural NU maupun Muhammadiyah. Bedanya ialah, PKB didukung oleh arus besar NU karena digalang secara organisatoris, sementara PAN didukung oleh sebagian arus besar Muhammadiyah karena solidaritas kepada real leader Muhammadiyah, Prof. Dr. M. Amien Rais. Untuk Pemilu 1999 mudah dibaca ke mana perginya sebagian eks Masyumi maupun keluarganya serta para Masyumi muda. Sebagian mereka mendukung PAN, sementara sebagian lagi ke PPP, PBB, PK, PKB, Golkar, Masyumi, serta Partai Islam lainnya, atau bahkan ke PDI-P. Untuk Pemilu 2004, sebagian mereka justru lari ke PKS yang tampil secara mengesankan dan mengingatkan orang pada penampilan Masyumi di awal dekade 1950- an. Pertanyaan lain yang menggelitik ialah, mengapa Golkar tetap unggul? Untuk fenomena Golkar, jangan dilupakan bahwa selama kurang lebih 30 tahun Golkar membangun basisnya sendiri, kendati pun dengan menghalalkan berbagai cara. Dalam kondisi tekanan politik yang keras terhadap masyarakat selama kurang lebih 30 tahun, Golkar meraih keuntungan yang besar dari situasi patologis masyarakat, yaitu munculnya Stocholom Syndrome [3], suatu situasi dimana masyarakat membenarkan saja apa yang dilakukan oleh para penindasnya akibat terlalu lama hidup dalam keadaan tertekan. Sementara itu, dalam situasi di mana terjadinya arus balik pada gerakan kaum muda Muslim maupun secara khusus Masyumi Muda sejak akhir 70-an, PAN justru tampil dengan citra ideologis yang kurang memikat. Perlu diingat fenomena HMI MPO di pertengahan 80-an, pembekuan diri PII, kebangkitan Lembaga Dakwah Kampus (LDK), tidak dapat dilepaskan dari adanya arus balik tersebut. Munculnya PKS secara memikat dalam Pemilu 2004, serta kemampuan mereka mendongkrak jumlah kursi di DPR menjadi 45, sangat menarik untuk dicermati. PKS memiliki hampir semua syarat utama untuk memikat para Masyumi Muda : tampil dengan kesan [4] intelek, bersih, jujur, dan syarat pesan Islam yang tidak eksklusif. Tabel dan grafik berikut ini memperlihatkan pertumbuhan jumlah pemilih dan persentasi perolehan kursi di DPR-RI dari Pemilu 1999 ke Pemilu 2004. [3] Stocholom Syndrome mengacu pada kejadian yang menimpa Patricya, cucu seorang jutawan Swedia, yang disandra oleh sekelompok penculik untuk memeras kakeknya. Karena diperlakukan secara baik oleh para penyandera, Patricya kemudian berbalik mendukung para penyandera, bahkan berpacaran dengan pimpinan kelompok penculik. Ia bahkan membantu para penculiknya untuk merampok sebuah bank. [4] Tanda petik pada kata kesan dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa itulah kesan yang dirasakan banyak kalangan. Apakah memang kesan ini mewakili kenyataan sesungguhnya di dalam tubuh partai tersebut, wallahualam. 6

Tabel Jumlah Pemilih dalam Pemilu 1999 dan Pemilu 2004 PEMILU 1999 PEMILU 2004 PBB 2.049.708 2.965.040 PKS 1.436.565 8.1149.457 PKB 13.336.982 12.002.885 GOLKAR 23.741.749 24.461.104 PDIP 35.689.073 20.710.006 PAN 7.528.956 7.255.331 PPP 11.329.905 9.226.444 Sumber: www.kpu.go.id PERSENTASI JUMLAH KURSI DI DPRRI 1999-2004 35 30 25 20 15 10 5 0 32,17 25,76 23,27 19,82 12,66 11,14 9,45 10,55 7,2 2,84 1,53 7,42 2,62 9,64 1999 2004 PBB PKS PKB GOLKAR PDIP PAN PPP Sampai di sini sebenarnya kita telah menyaksikan besarnya potrensi kaum Muhammadiyah dalam kepolitikan nasional. Potensi ini jelas cukup besar untuk bisa diabaikan oleh kekuatan politik mana pun. Adalah sangat mengherankan kalau ada pimpinan partai politik yang selama ini didukung oleh sebagian arus utama Muhammadiyah terus-menerus mengobral pernyataan tentang ketiadaan hubungan organisatoris antara partai mereka dan Muhammadiyah, memberi kesan bahwa partai 7

tersebut tidak memerlukan lagi dukungan massa Muhammadiyah. Ini tentu saja tidak realistis dan bahkan sangat amat konyol, sekonyol menggeserkan kader-kader terbaik Muhammadiyah dari daftar calon legislatif, digantikan dengan para badut politik. Data di atas menjadi lebih menarik jika dibandingkan dengan perolehan suara Prof. Dr. M. Amien Rais pada Pemilihan Presiden Tahap I, 2004. Jika dalam Pemilu Legislatif 2004 PAN memperoleh 7.255.331 suara, maka pasangan Amien Rais- Siswono memperoleh 16.042.105 suara. Jangan dilupakan bahwa dalam Pemilu Presiden Putaran Pertama 2004, kendatipun agak terlambat, Muhammadiyah menggerakkan juga roda organisasinya untuk mendukung the real leader mereka, Prof. Dr. M. Amien Rais. Akan tetapi, data di atas sekaligus juga memperlihatkan betapa beragamnya warna politik kaum Muhammadiyah. Oleh karena itu sangat tidak bijaksana kalau para pemimpin Muhammadiyah mendukung secara terbuka satu kekuatan politik tertentu dan mengabaikan kekuatan politik lainnya. KECENDERUNGAN KE POLITIK KEKUASAAN Perubahan dari rezim otoriter Orde Baru ke rezim Reformasi ditandai oleh beberapa gejala ikutan, antara lain, pertama, terbukanya peluang partisipasi politik rakyat secara luar biasa, yang implikasinya menjadi tidak sederhana sebab mengarah pada situasi yang anarkhistis; orang dapat berbuat apa saja, mencaci-maki siapa saja, berdemonstrasi kapan dan di mana saja. Kedua, dalam situasi yang cenderung kebablasan tersebut, perekonomian rakyat tidak kunjung dapat diperbaiki; di saat yang sama para aktor politik, terutama para anggota dewan yang terhormat, tidak malu-malu mempertontonkan kemewahan mereka: bergaya necis, bermobil mewah, menggunakan parfum klas satu. Kedua gejala ikutan di atas membuka peluang bagi digunakannya aktivitas politik sebagai mata pencaharian baru di kalangan masyarakat, tidak terkecuali warga Muhammadiyah. Sesuatu yang sebenarnya mudah pula difahami. Dalam situasi dimana hasrat konsumerisme terlanjur meninggi karena dipacu oleh berbagai bentuk dan model pemasaran produk industri, sementara sumber pendapatan sangat terbatas, maka mau tidak mau orang akan mencari alternatif sumber pendapatan baru yang dapat menopang pemuasan hawa nafsu konsumerisme secara cepat. Situasi inilah yang kemudian melahirkan dua bentuk ledakan susul-menyusul, yaitu ledakan harapan terhadap partai politik, dan disusul ledakan jumlah partai politik itu sendiri [5]. Ledakan harapan terhadap partai politik tumbuh karena tingkah laku konsumsi para politisi, khususnya yang menduduki kursi legislatif. Sebagian anggota masyarakat kemudian melihat bahwa aktivitas politik ternyata menjadi lahan baru yang sangat baik dan instan untuk memenuhi hasrat konsumerisme mereka yang terlanjur tinggi. Maka kita tidak perlu heran melihat munculnya begitu banyak partai politik. [5] Situasi yang mirip dengan apa yang dialami Indonesia di dalam bidang pendidikan seputar tahun 70-an. Karena tertutupnya berbagai bentuk usaha ekonomi rakyat karena ketidakmampuan bersaing dengan para pemodal raksasa yang dibiarkan bebas berkeliaran, maka alternatif jawabnya adalah masuk perguruan tinggi. Karena lulusan perguruan tinggi di dekade 60-an sebagian besar tertampung di pasar tenaga kerja dan mendapat posisi yang baik secara ekonomi. Karena itu perguruan tinggi berkembang bak cendawan di musim hujan. 8

Mereka yang tidak terpilih atau namanya tidak masuk dalam nomor jadi pada Pemilu Legislatif, dan karena itu kecewa, mudah saja membentuk partai politik baru. Kalau dibiarkan, penulis khawatir satu saat kelak jumlah partai politik dapat melebihi jumlah desa di Indonesia; dan kalau jumlah orang yang kecewa di Muhammadiyah bertambah, satu saat kelak jumlah partai politik yang dibentuk warga Muhammadiyah akan melebihi jumlah amal usaha pendidikan Muhammadiyah. Situasi patologis ini membawa akibat yang kurang baik bagi gerak Muhammadiyah sebagai organisasi dakwah amar ma ruf nahi munkar. Orientasi kekuasaan akan merasuk sebagian kader terbaik Muhammadiyah, sehingga perhatian terhadap bidang-bidang yang selama ini menjadi bidang garap utama akan semakin ditinggalkan. Padahal, amal usaha Muhammadiyah saat ini sebenarnya sedang berada pada titik kulminasi kritisnya guna memasuki masa depan. Persaingan kualitas telah menjadi sedemikian dahsyatnya, dan karena itu membutuhkan banyak sekali kader baru yang dapat bekerja secara profesional dan tekun di bidangnya. Bahwa aktivitas politik memang sangat diperlukan, ya. Dalam konteks pemberdayaan masyarakat, ada pendekatan yang nyaris berubah menjadi prinsip, yaitu Ekologi Perkembangan Manusia (ecology of human development) yang menyatakan bahwa intervensi sosial harus dapat menyentuh seluruh level relasi antar-individu dan lingkungannya. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa pendekatan ini mengarah pada perubahan di tiga ranah secara simultan: individual, kultural, dan struktural. Aktivitas politik masuk pada ranah struktural. Tetapi aktivitas politik yang diperlukan untuk keperluan perubahan adalah aktivitas politik yang dilandasi idealisme untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik, bukan politik sakit hati. Sebenarnya, di samping politik praktis secara bersih, high politics merupakan juga salah satu bentuk dari aktivitas politik yang dilandasi oleh idelisme yang tinggi. High politic tidak diarahkan pada pemenuhan hasrat konsumerisme, untuk hidup mewah lewat jalur politik, tetapi high politic diorientasikan bagi adanya upaya transformasi sosial. BAGAIMANA MUHAMMADIYAH? Muhammadiyah, sebagimana ummat pada umumnya, memerlukan dua arah aktivitas sekaligus, yaitu yang mengarah ke perubahan internal, dan sekaligus dengan itu perubahan external. Prof. Dr. Deliar Noer di dalam bukunya Islam dan Politik (Deliar Noer, 2003, p 243, 244) mengajukan pendapat menarik soal ini:... ummat perlu melakukan kegiatan dua arah. Keduanya berhubungan dengan usaha perubahan, baik perubahan dalam lingkungan ummat sendiri maupun menghadi permasalahan bangsa dan negara yang mencakup ummat itu pula. Dalam hubungan ke dalam, hendaknyan ummat menegakkan keyakinman bahwa ia khalifah di muka bumi; ini menuntut tanggungjawabnya. Sifat khalifahnya itu hendaknya dikaitkan dengan contoh yang diberikan Nabi saw.: rahmatan lil alamin. Moral, akhlak, sikap, dan tingkah laku yang sesuai, tetapi juga nilai-nilai dasar termasuk jujur, adil, benar, persamaan dan kebersamaan--- terkait di sini. 9

Mengacu pada apa yang ditulis Prof. Dr. Deliar Noer, penulis mengajukan beberapa agenda untuk menjadi bahan pertimbangan kita semua, dalam hubungannya dengan relasi Muhammadiyah dan politik di Indonesia. Pertama, penataan internal Muhammadiyah perlu disegerakan. Diupayakan suatu sistem dan mekanisme organisasi yang memungkinkan lahirnya pemimpin-pemimpin Muhammadiyah benaran, bukan selebiritis yang menjadikan Muhammadiyah sebagai instrumen menuju peran politik kekuasaan. Kalau di tengah jalan bangsa membutuhkan pemimpinan benaran, apa boleh buat. Tetapi yang perlu dihindari adalah para selebritis yang sejak awal memang memanfaatkan Muhammadiyah sebagai instrumen. Kedua, diperlukan usaha serius yang terencana untuk melakukan penguatan kapasitas kader di segala lini. Kondisi saat ini memperlihatkan bahwa kita lebih menyiapkan kader typologi balsem, yang sangat general: organisator tidak, ilmuan juga tidak, walaupun memiliki seabrek gelar akademis; jadi yang tidak-tidak. Gebrakan sebagian kader untuk tekun menuntut ilmu setinggi-tingginya menjadi menarik untuk diteruskan ke tingkat kelembagaan, tetapi dengan catatan, arahnya adalah pada penguatan kader ilmuan, bukan politisi. Jalur kaderisasi untuk memperkuat kapasitas kader politik praktis, tentu saja diperlukan. Tapi tidak semua kader diarahkan untuk bersiap-siap menjadi politisi, atau bahkan membentuk partai politik baru jika kecewa dengan partai lamanya. Ketiga, khusus untuk aktivitas politik, Muhammadiyah perlu melakukan penataan yang serius. Secara organisatoris high politics adalah pilihan satu-satunya. Upaya memasukkan Muhammadiyah bulat-bulat sebagai anggota istimewa salah satu partai politik biarlah menjadi catatan sejarah yang tidak perlu diulangi. Konsekuensinya adalah semua pucuk pimpinan Muhammadiyah perlu menjaga agar tidak terseret pada arus dukung-mendukung secara terbuka. Sebab kendatipun dukungan itu dikatakan sebagai pribadi, tetapi mana bisa orang membedakan pribadi seseorang dengan posisinya di puncak kepemimpinan Muhammadiyah? Jargon-jargon yang selama ini digunakan oleh sementara pimpinan Muhammadiyah sudah tepat: tenda besar, menjaga jarak yang sama dengan semua parpol, menjaga kedekatan yang sama dengan semua parpol, dan lain-lain. Itu baik, asal si pemimpin konsisten dengan jargon itu. Keempat, data yang diungkapkan dalam rekam-jejak perjalanan politik warga Muhammadiyah, sebagaimana secara sederhana disampaikan di awal makalah ini, menunjukkan bahwa kekuatan massa Muhammadiyah tidak dapat dipandang enteng. Kekuatan itu pernah membawa Masyumi muncul sebagai salah satu pemenang Pemilu bersama PNI. Kekuatan itu pula yang membuat Parmusi terpuruk di urutan bawah, dan Pemilu Prersiden 2004 menyumbang 16 juta lebih suara kepada Prof. Dr. M. Amien Rais. Tetapi kekuatan itu sulit untuk disatukan dalam hanya satu partai politik sebagaimana Masyumi di tahun 50-an. Karena itu, pilihan terbaik adalah menjaga kedekatan yang sama dengan semua partai politik yang ada. Bahwa beberapa partai politik didirikan oleh para kader Muhammadiyah, iya saja. Tetapi itu tidak berarti hanya dalam partai politik itu warga Muhammadiyah menitipkan hak politiknya. Persoalan citra bersih, intelek, jujur, didasari idealisme, bukan sakit hati, sebagaimana Masyumi tempo hari, akan menentukan di mana aspirasi politik warga Muhammadiyah itu berlabuh. 10

KHATIMAH Kembali pada apa yang disebut di awal tulisan sederhana ini, yang dapat dilakukan hanyalah memberikan pertimbangan. Tentang agenda politik, para pengurus Muhammadiyah maupun para kader Muhammadiyahlah yang paling mengetahuinya. Hanya saja perlu penulis sampaikan, arah gerak Muhammadiyah setelah Muktamar ke 45 di Malang tiga tahun lalu, yaitu meluaskan perhatian jugan pada upaya pemberdayaan masyarakat secara langsung, masih memerlukan dukungan banyak sekali kader. Karena itu janganlah semua merantau menjadi politisi. Ada juga yang tinggal untuk mengurusi Muhammadiyah dan masyarakat secara langsung. Barangkali itu! DAFTAR BACAAN Deliar Noer. 1987. Partai Islam Di Pentas Nasional 1945-1965. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti. --------------- 2003. Islam dan Politik. Jakarta: Yayasan Risalah. Feith, Herbert. 1999. Pemilihan Umum 1955 di Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Muchasim, Amur. 1998. Sapta Pemilihan Umum di Indonesia. Jakarta: Lembaga Pemilihan Umum. Syamsuddin, M.Din. 2001. Islam dan Politik Era Orde Baru. Jakarta: Logos. Subhan Sd. 1996. Langkah Merah Gerakan PKI 1950-1955. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. Tuhuleley, Said (dkk). 2000. Posisi Partai Politik Islam Dalam Pemilu. Yogyakarta: Pondok Pesantren Budi Mulia. Website KPU Pusat, www.kpu.go.id. 11