PENGARUH INFEKSI HIV TERHADAP MORTALITAS PASIEN TB PARU DI PUSKESMAS KAMPUNG BALI JAKARTA PUSAT PERIODE

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Mycobacterium tuberculosis dan menular secara langsung. Mycobacterium

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Panduan OAT yang digunakan di Indonesia adalah:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Mengapa Kita Batuk? Mengapa Kita Batuk ~ 1

BAB I PENDAHULUAN. (Human Immunodeficiency Virus). Pada tahun 2013 dilaporkan terdapat 9 juta

II. TINJAUAN PUSTAKA. penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Berdasarkan penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK. Kata kunci: HIV-TB, CD4, Sputum BTA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tuberkulosis paru adalah penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan secara retrospektif berdasarkan rekam medik dari bulan Januari

PATOFISIOLOGI, DIAGNOSIS, DAN KLASIFIKASI TUBERKULOSIS. Retno Asti Werdhani Dept. Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, dan Keluarga FKUI

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bakteri Mycobacterium Tuberkulosis (KemenKes, 2014). Kuman tersebut

BAB 2 BAHAN, SUBJEK, DAN METODE PENELITIAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai sediaan obat uji, subjek uji dan disain penelitian.

Dasar Determinasi Pasien TB

TUBERKULOSIS. Fransiska Maria C. Bag. FKK-UJ

PENANGANAN DAN PENCEGAHAN TUBERKULOSIS. Edwin C4

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Peran ISTC dalam Pencegahan MDR. Erlina Burhan Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI RSUP Persahabatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ukuran dari bakteri ini cukup kecil yaitu 0,5-4 mikron x 0,3-0,6 mikron

UNTUK PENGOBATAN TUBERKULOSIS DI UNIT PELAYANAN KESEHATAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kepatuhan menurut Trostle dalam Simamora (2004), adalah tingkat perilaku

Penemuan PasienTB. EPPIT 11 Departemen Mikrobiologi FK USU

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lainnya (Depkes RI, 2011). Manusia adalah satu-satunya tempat untuk. termasuk bakteri aerob obligat (Todar, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit paling mematikan di

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang yakni

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Tema Lomba Infografis Community TB HIV Care Aisyiyah 2016

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. penyakit infeksius yang menyerang paru-paru yang secara khas ditandai oleh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Materi Penyuluhan Konsep Tuberkulosis Paru

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis sebagian besar bakteri ini menyerang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Sulianti (2004) Tuberculosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Organisasi Kesehatan Dunia/World Health Organization (WHO) memperkirakan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB XXV. Tuberkulosis (TB) Apakah TB itu? Bagaimana TB bisa menyebar? Bagaimana mengetahui sesorang terkena TB? Bagaimana mengobati TB?

XII. Pertimbangan untuk bayi dan anak koinfeksi TB dan HIV

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit ini tersebar ke seluruh dunia. Pada awalnya di negara industri

BAB 1 PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis. Sumber infeksi TB kebanyakan melalui udara, yaitu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) secara teratur dievaluasi dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. bakteri Mycobacterium tuberculosis, yang dapat menyerang berbagai organ,

BAB II. Meningkatkan Pengetahuan dan, Mirandhi Setyo Saputri, Fakultas Farmasi UMP, 2014

Tinjauan Pustaka. Tuberculosis Paru. Oleh : Ziad Alaztha Pembimbing : dr. Dwi S.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi menular yang sampai saat ini

BAB I PENDAHULUAN. berhasil mencapai target Millenium Development Goal s (MDG s), peningkatan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pemeriksaan dahak penderita. Menurut WHO dan Centers for Disease Control

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat dunia. Setiap tahunnya, TB Paru menyebabkan hampir dua juta

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB tidak hanya menyerang

BAB 1 PENDAHULUAN. TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar bakteri TB menyerang paru, tetapi

2016 GAMBARAN MOTIVASI KLIEN TB PARU DALAM MINUM OBAT ANTI TUBERCULOSIS DI POLIKLINIK PARU RUMAH SAKIT DUSTIRA KOTA CIMAHI

Peran ISTC dalam Pencegahan MDR. Erlina Burhan. Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi. FKUI-RS Persahabatan

Dasar Determinasi Kasus TB. EPPIT 12 Departemen Mikrobiologi FK USU

Identifikasi Faktor Resiko 1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Penyebab Tuberkulosis. Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit infeksi yang menular langsung, disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis, dengan gejala klinis seperti batuk 2

BAB I PENDAHULUAN. I.1.Latar Belakang. Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah utama. kesehatan global. TB menyebabkan kesakitan pada jutaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV di Indonesia termasuk yang tercepat di Asia. (2) Meskipun ilmu. namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh kuman TBC ( Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman. lainnya seprti ginjal, tulang dan usus.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENGARUH KOINSIDENSI DIABETES MELITUS TERHADAP LAMA PENGOBATAN PASIEN TUBERKULOSIS PARU DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT SURAKARTA TAHUN

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Human

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Aspek Klinis dan Epidemiologi Tuberkulosis (TB) disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Paru-paru merupakan

ABSTRAK GAMBARAN PENDERITA TBC PARU BTA (+) TERHADAP PELAKSANAAN PROGRAM DOTS PADA MASYARAKAT DI WILAYAH KERJA PKM CIPAGERAN KOTA CIMAHI PADA TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Tuberkulosis Paru (TB Paru) suatu penyakit kronis yang dapat

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS DAN KEPATUHAN PADA PASIEN TUBERKULOSIS PARU DI RSUD DR. MOEWARDI SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Tuberculosis Paru (TB Paru) merupakan salah satu penyakit yang

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT ANTITUBERKULOSIS PADA PASIEN TUBERKULOSIS PARU DEWASA DI INSTALASI RAWAT JALAN BALAI BESAR KESEHATAN PARU X TAHUN 2011

BAB I PENDAHULUAN. Diperkirakan sekitar 2 miliar atau sepertiga dari jumlah penduduk dunia telah

BAB I PENDAHULUAN.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. setelah Human Immunodefisiency Virus (HIV). World Health. penyakit TB pada tahun 1993 (WHO, 2012).

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan penyakit Acquired UKDW

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. menular (dengan Bakteri Asam positif) (WHO), 2010). Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan global utama dengan tingkat

Transkripsi:

LAPORAN PENELITIAN PENGARUH INFEKSI HIV TERHADAP MORTALITAS PASIEN TB PARU DI PUSKESMAS KAMPUNG BALI JAKARTA PUSAT PERIODE 2007-2011 Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN OLEH : Mohammad Zul Hazmi NIM: 109103000021 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA TAHUN 1433 H/2012 M

KATA PENGANTAR Assalamu alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-nya penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membuka wawasan umat manusia dari zaman Jahiliyah ke zaman Islamiyah yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti yang kita rasakan saat ini. Alhamdulillah, akhirnya penulis dapat menyelesaikan laporan penelitian yang berjudul, Pengaruh Infeksi HIV terhadap Mortalitas Pasien TB Paru di Puskesmas Kampung Bali Jakarta Pusat Periode 2007-2011 sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam menyelesaikan laporan penelitian ini, penulis tentunya mendapatkan banyak kendala dan hambatan. Untuk mengatasi kendala dan hambatan tersebut penulis mendapat bantuan, dukungan, dan pengarahan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada: 1. Pembimbing riset penulis, dr. Rachmania Diandini, MKK dan dr. Yanti Susianti, SpA yang telah mengarahkan dan memberi perhatian kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. 2. drg. Laifa Annisa Hendarmin, PhD selaku penanggung jawab riset Program Studi Pendidikan Dokter 2009. 3. dr. Marta dan Bu Murni yang telah memberi izin dan melayani penulis dalam mengambil data untuk sampel penelitian di Puskesmas Kampung Bali. 4. Orang tua penulis, Ayahanda Amonk Darwin Chaldun dan Ibunda Nailul Fauziyah yang selalu memberi semangat dan mendukung penulis dalam menempuh pendidikan di kedokteran. v

5. Sahabat dan teman-teman beserta seluruh staf pengajar dari Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang ikut membantu dan memberi dukungan dalam penelitian ini. 6. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini yang tidak mungkin disebutkan satu per satu. Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga laporan penelitian ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis yang sedang menempuh pendidikan, dapat dijadikan pelajaran bagi adik-adik penulis selanjutnya serta dapat menambah pengetahuan kita semua. Jakarta, September 2012 Penulis vi

ABSTRAK Mohammad Zul Hazmi. Program Studi Pendidikan Dokter. Pengaruh Infeksi HIV terhadap Mortalitas Pasien TB Paru di Puskesmas Kampung Bali, Jakarta Pusat Periode 2007-2011. 2012 Tuberkulosis merupakan penyebab penting kematian pada pasien yang terinfeksi HIV. Prevalensi HIV pada pasien TB paru adalah 2.8%. Desain penelitian ini adalah cross sectional. Penelitian dilakukan di Puskesmas Kampung Bali. Kajian dilakukan dari kartu pengobatan dan catatan medis dari semua pasien TB yang terdaftar dari Januari 2007 hingga Desember 2011 dan menerima terapi standar pengobatan anti-tuberkulosis. Analisis dilakukan dengan membandingkan data dari pasien TB tanpa infeksi HIV dan yang terinfeksi HIV. Terdapat hubungan bermakna antara status HIV pasien TB terhadap hasil pemeriksaan sputum BTA (OR=3.23; IK95%, 1.35-7.75, P=0.006). Terdapat hubungan bermakna antara status HIV pasien TB terhadap tingkat mortalitas (OR=12,41; IK95%, 4.69-32.81, P<0.001). Sebanyak 24 pasien dari 189 pasien TB (12,7%) meninggal selama menjalani masa pengobatan TB. Angka mortalitas tinggi pada pasien koinfeksi TB-HIV. Status HIV positif meningkatkan risiko mortalitas pada pasien TB paru. Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai insidens dan prognosis pasien koinfeksi TB-HIV. Kata kunci: angka mortalitas, pengobatan tuberkulosis, koinfeksi TB-HIV ABSTRACT Mohammad Zul Hazmi. Medical Study Program. Effect of HIV infection toward mortality in Pulmonary Tuberculosis patients in Puskesmas Kampung Bali Central Jakarta Period 2007-2011. 2012. Tuberculosis an important cause of death among patients infected with HIV. Prevalence of HIV in pulmonary TB patients was 2,8%. This research was cross sectional design. This study done in Puskesmas Kampung Bali. A review was performed on treatment cards and medical records of all TB patients registered on standardized anti-tuberculosis treatment from January 2007 to December 2011. This analysis was compared data of tuberculosis in HIV-negative and HIV-infected patients. There was significant correlation between HIV status in TB patients with smear sputum examination results (OR=3.23; CI 95%, 1.35-7.75, P=0.006). There was significant correlation between HIV status in TB patients with mortality rate (OR=12,41; CI 95%, 4.69-32.81, P<0.001). There were 24 patients from 189 TB patients (12,7%) was died during TB treatment. The rates of death were high among patients with co-infection TB-HIV. Positive HIV increased mortality risk in pulmonary TB patients. More research about incidence and prognosis in patients co-infection TB-HIV was needed. Keyword: mortality rate, tuberculosis treatment, co-infection TB-HIV vii

DAFTAR ISI LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN... iv KATA PENGANTAR... v ABSTRAK... vii DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xi BAB I... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 3 1.3. Tujuan... 3 1.4. Manfaat Penelitian... 3 BAB II... 4 2.1. Definisi... 4 2.2. Epidemiologi... 4 2.3. Pengaruh HIV terhadap Sistem Imun... 5 2.3.1. Abnormalitas pada Imunitas Seluler... 5 2.3.2. Abnormalitas pada Imunitas Humoral... 6 2.4. Patogenesis Tuberkulosis... 6 2.3.1. Tuberkulosis Primer... 7 2.3.2. Tuberkulosis Pasca Primer (Tuberkulosis Sekunder)... 8 2.5. Diagnosis TB... 8 2.5.1. Diagnosis TB paru... 8 2.5.2. Diagnosis TB ekstra paru... 8 2.5.3. Diagnosis TB pada Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA)... 9 2.5.4. Diagnosis TB MDR... 11 2.6. Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien... 11 2.7. Pengobatan TB... 13 2.8. Pengobatan Tuberkulosis dengan infeksi HIV/AIDS... 19 2.9. Pemantauan dan Hasil Pengobatan TB... 19 viii

2.10. Definisi Operasional... 22 BAB III... 23 3.1. Desain Penelitian... 23 3.2. Waktu dan Tempat Penelitian... 23 3.3. Populasi dan Sampel... 23 3.3.1. Besar Sampel... 23 3.3.2. Kriteria Inklusi dan Eksklusi... 24 3.4. Kerangka Teori... 24 3.5. Kerangka Konsep... 25 3.6. Prosedur Pengumpulan Data... 25 3.7. Analisis Data... 25 3.8. Etika Penelitian... 25 BAB IV... 26 4.1. Karakteristik Pasien... 26 4.1.1. Karakteristik berdasarkan Jenis Kelamin... 27 4.1.2. Karakteristik berdasarkan Umur... 28 4.1.3. Karakteristik berdasarkan Hasil Pemeriksaan Sputum BTA... 28 4.2. Hubungan Infeksi HIV dengan Mortalitas Pasien TB Paru... 30 4.3. Keterbatasan penelitian... 32 BAB V... 34 5.1. Simpulan... 34 5.2. Saran... 34 DAFTAR PUSTAKA... 35 ix

DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Pengelompokan OAT... 15 Tabel 2.2 Jenis, Sifat dan Dosis OAT lini pertama... 15 Tabel 2.3 Dosis paduan OAT-KDT Kategori 1... 17 Tabel 2.4 Dosis OAT-Kombiak Kategori 1... 17 Tabel 2.5 Dosis untuk paduan OAT-KDT Kategori 2... 17 Tabel 2.6 Dosis paduan OAT-Kombipak Kategori 2... 18 Tabel 2.7 Dosis KDT untuk Sisipan... 18 Tabel 2.8 Dosis OAT-Kombipak untuk Sisipan... 18 Tabel 2.9 Pilihan paduan pengobatan ARV pada ODHA dengan TB... 19 Tabel 2.10 Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Ulang Dahak... 20 Tabel 2.11 Tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur... 21 Tabel 2.12 Definisi operasional, variabel penelitian, dan skala pengukuran... 22 Tabel 4.1 Distribusi Subyek Penelitian berdasarkan Jenis Kelamin...27 Tabel 4.2 Analisis Bivariat pada Subyek Penelitian berdasarkan Jenis Kelamin 27 Tabel 4.3 Distribusi Jenis Kelamin pada Subyek Penelitian Terkini... 28 Tabel 4.4 Distribusi Subyek Penelitian berdasarkan Umur... 28 Tabel 4.5 Distribusi Subyek Penelitian berdasarkan Hasil Pemeriksaan Sputum- BTA...29 Tabel 4.6 Analisis Bivariat pada Subyek Penelitian berdasarkan Hasil Pemeriksaan Sputum BTA... 29 Tabel 4.7 Distribusi Subyek Penelitian berdasarkan Hasil Pengamatan... 30 Tabel 4.8 Hubungan Infeksi HIV dengan mortalitas pasien TB Paru... 31 x

DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Alur Diagnosis TB Paru... 9 Gambar 2.2 Alur Diagnosis TB Paru pada ODHA yang rawat jalan... 10 Gambar 3.1 Kerangka Teori...24 Gambar 3.2 Kerangka Konsep... 25 Gambar 4.1 Keikutsertaan dan Follow-up pada Subyek Penelitian 26 xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Tuberkulosis merupakan penyebab utama kematian pada pasien yang terinfeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus). 1 Pada tahun 2010 diperkirakan terdapat 34 juta jiwa hidup dengan terinfeksi HIV dan 2,7 juta jiwa dengan infeksi baru HIV disertai 1,8 juta jiwa meninggal. Sementara di Asia Tenggara dan Selatan terdapat 4 juta jiwa hidup dengan terinfeksi HIV dan 270.000 jiwa dengan infeksi baru HIV disertai 250.000 jiwa meninggal. Hal ini diperberat dengan kejadian tuberkulosis yang meningkat dengan 8,8 juta kasus TB di dunia dan 1,1 juta jiwa diantaranya terinfeksi HIV dengan estimasi 350.000 jiwa meninggal. 2 Menurut Kemenkes RI Dirjen PP&PL, Indonesia berada pada peringkat ke-lima dengan beban TB tertinggi di dunia serta percepatan peningkatan epidemi HIV yang tertinggi di antara Negara-negara di Asia. Estimasi Nasional prevalensi HIV pada pasien TB paru adalah 2.8%. 3 Tuberkulosis dan HIV merupakan dua penyakit yang saling berkaitan dan jumlah kasusnya makin meningkat. 4 Pengobatan pada pasien tuberkulosis dengan penemuan kasus baru HIV merupakan salah satu tantangan terbesar di bidang kedokteran. Pada pasien dengan koinfeksi TB-HIV memerlukan pengobatan antituberkulosis sesuai dengan pemberian kombinasi obat yang terdiri atas rifampisin, isoniazid, dan streptomisin atau etambutol selama 56 hari pada fase intensif, dilanjutkan dengan isoniazid dan rifampisin atau etambutol selama 6 sampai 9 bulan pada fase lanjutan, serta 3 kombinasi standar terapi antiretroviral seumur hidup. Keadaan ini tentu memicu ketidakpatuhan pasien dalam meminum obat terkait masa pengobatan yang panjang, efek samping, serta interaksi obat yang memicu toksisitas pada hati. 5,6 Ketidakpatuhan pasien dalam meminum obat menyebabkan pengobatan yang tidak adekuat serta kejadian resistensi virus dan bakteri terhadap obat juga meningkat sehingga pilihan terapi di masa mendatang secara potensial akan terbatas. 5 Selain itu risiko kejadian IRIS (Immune Reconstitution Inflammatory Syndrome) akan meningkat seiring pemberian antiretroviral dan antituberkulosis 1

2 secara dini dan bersamaan. 6 Hal ini juga perlu dipertimbangkan terkait angka morbiditas dan mortalitas akibat AIDS (Acquired Immunodeficinecy Syndrome) yang juga semakin meningkat pada pasien dengan koinfeksi TB-HIV. 7 WHO telah merekomendasikan bahwa terapi antiretroviral diberikan 8 minggu setelah dimulainya pengobatan tuberkulosis terkait interaksi obat antara rifampin dengan beberapa obat antiretroviral serta meningkatnya risiko kejadian IRIS. 8,9 Namun, tata laksana pada pasien TB koinfeksi HIV di Puskesmas Kampung Bali masih menggunakan prinsip pengobatan antiretroviral akan diberikan jika pengobatan antituberkulosis telah tuntas. Penundaan pemberian antiretroviral selama 6 sampai 9 bulan tentu meningkatkan risiko infeksi oportunistik pada pasien terkait semakin menurunnya kadar CD4+ dan meningkatnya kadar viral load. 7 Bagaimana pun juga belum ada pedoman yang spesifik mengenai waktu pemberian obat yang tepat sehingga dalam hal ini optimalisasi waktu yang tepat dalam pemberian obat antituberkulosis dan terapi antiretroviral masih dalam masa penelitian lebih lanjut. Sebelum memulai terapi antiretroviral tentunya penting untuk mengetahui hasil akhir pengobatan antituberkulosis yang optimal, dengan melakukan monitoring dan evaluasi yang tepat. Hasil akhir pengobatan yang dimaksud adalah kesembuhan. Mortalitas dan morbiditas pada pasien TB koinfeksi HIV akan menentukan perencanaan selanjutnya sebelum memberikan terapi antiretroviral. Hal-hal yang mendukung dugaan infeksi HIV pada pasien TB adalah pasien tinggal di daerah dengan prevalensi tinggi, pasien termasuk kelompok risiko tinggi terkena HIV, dan keluhan pasien yang menimbulkan dugaan HIV. Puskesmas Kampung Bali terletak di DKI Jakarta yang merupakan peringkat pertama provinsi dengan jumlah kumulatif kasus AIDS terbanyak di Indonesia sejak tahun 1987 hingga Maret 2012 dengan 5118 kasus. 10 Puskesmas Kampung Bali memiliki wilayah kerja di daerah Tanah Abang Jakarta Pusat pada kelompok orang dengan risiko tinggi terkena HIV yakni pengguna napza suntik. Berdasarkan uraian tersebut, peneliti bermaksud melakukan penelitian berupa studi observasional mengenai pengaruh infeksi HIV terhadap mortalitas pasien TB paru di Puskesmas Kampung Bali tahun 2007-2011.

3 1.2.Rumusan Masalah Apakah tingkat mortalitas pada pasien TB paru koinfeksi HIV lebih tinggi daripada pasien TB paru selama menjalani masa pengobatan antituberkulosis? 1.3.Tujuan 1.2.1 Tujuan Umum Mengetahui perbandingan angka mortalitas berdasarkan data pada pasien tuberkulosis dengan koinfeksi HIV dibandingkan dengan pasien tuberkulosis tanpa koinfeksi HIV. 1.2.2 Tujuan Khusus a. Mengetahui hubungan status HIV dengan hasil pemeriksaan sputum BTA pada pasien TB paru. b. Mengetahui karakteristik pasien yang meninggal selama menjalani masa pengobatan. 1.4.Manfaat Penelitian Diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat dalam mengembangkan strategi baru penatalaksanaan tuberkulosis pada pasien koinfeksi TB-HIV.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan retrovirus yang menyerang sistem imunitas manusia yaitu sel limfosit T CD4+ (T helper) yang berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi sistem pertahanan tubuh yang penting. Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan gangguan respons sistem kekebalan tubuh yang progresif, yang kemudian akan berkembang menjadi Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS). HIV akan menimbulkan manifestasi klinis berupa AIDS. Karakteristik penyakit ini yaitu penurunan sistem kekebalan tubuh yang menyebabkan infeksi oportunistik, neoplasma sekunder, dan manifestasi neurologis. 11 2.2. Epidemiologi Data WHO Global Report yang dicantumkan pada Laporan Triwulan Sub Direktorat Penyakit TB dari Direktorat Jenderal P2&PL tahun 2010 menyebutkan estimasi kasus baru TB di Indonesia tahun 2006 adalah 275 kasus per 100.000 penduduk per tahun dan pada tahun 2010 turun menjadi 244 kasus per 100.000 penduduk per tahun. Data prevalensi tahun 2004 menggunakan uji konfirmasi laboratorium yang memberikan angka prevalensi Nasional TB berdasarkan pemeriksaan mikroskopis BTA terhadap suspek adalah sebesar 104 kasus per 100.000 penduduk. 12 Kecenderungan meningkatnya angka Prevalensi Nasional TB bila dibandingkan antara hasil Survei Prevalensi TB tahun 2004 (0,1% terhadap suspek) dan hasil Riskesdas 2010 (0,7% pada populasi) dapat hendaknya menjadi perhatian yang serius bagi Program TB di Indonesia. Meskipun terjadi peningkatan Case Detection Rate dan Cure Rate yang tinggi setiap tahunnya tetapi percepatan penyebaran penyakit di masyarakat masih lebih tinggi. Metode active case finding terhadap populasi usia 15 tahun ke atas yang diterapkan pada Riskesdas 2010 memberikan kenyataan bahwa kasus TB di masyarakat masih tinggi. 12 4

5 2.3. Pengaruh HIV terhadap Sistem Imun HIV terutama menginfeksi limfosit CD4+ atau T helper (Th), sehingga dari waktu ke waktu jumlahnya akan menurun, demikian juga fungsinya akan semakin menurun. Th mempunyai peran sentral dalam mengatur sistem imunitas tubuh. Bila teraktivasi oleh antigen, Th akan merangsang baik respon imun seluler maupun respon imun humoral, sehingga seluruh sistem imun akan terpengaruh. Namun yang terutama sekali mengalami kerusakan adalah sistem imun seluler. Akibat HIV akan terjadi gangguan jumlah maupun fungsi Th yang menyebabkan hampir keseluruhan respon imunitas tubuh tidak berlangsung normal. 11,13 2.3.1. Abnormalitas pada Imunitas Seluler Untuk mengatasi organisme intraseluler seperti parasit, jamur, dan bakteri intraseluler yang paling diperlukan adalah respon imunitas seluler yang disebut Cell Mediated Immunity (CMI). Fungsi ini dilakukan oleh sel makrofag dan CTLs (cytotoxic T Lymphocyte atau TC), yang teraktivasi oleh sitokin yang dilepaskan oleh sel limfosit CD4+. Demikian juga sel NK (Natural Killer), yang berfungsi membunuh sel yang terinfeksi virus atau sel ganas secara direk non spesifik, di samping secara spesifik membunuh sel yang dibungkus oleh antibodi melalui mekanisme antibodi dependent cell mediated cytotoxicity (ADCC). Mekanisme ini tidak berjalan seperti biasa akibat HIV. 11,13 Jumlah dan fungsi sel Th akan menurun. Pada umumnya penyakit indikator AIDS tidak terjadi sebelum jumlah CD4+ mencapai 200/mL bahkan sebagian besar setelah CD4+ mencapai 100/mL. Fungsi fagositosis dan kemotaksis makrofag juga menurun, termasuk juga kemampuannya menghancurkan organisme intraseluler, misalnya candida albicans dan toxoplasma gondii. Kemampuan sel T sitotoksik (Tc) untuk menghancurkan sel yang terinfeksi virus juga menurun, terutama pada infeksi stadium lanjut, sehingga terjadi reaktivasi virus yang tadinya laten, seperti herpes zooster dan retinitis akibat sitomegalovirus. Demikian juga sering terjadi diferensiasi sel ke arah keganasan. 13

6 2.3.2. Abnormalitas pada Imunitas Humoral Imunitas humoral adalah imunitas dengan pembentukan antibodi oleh sel plasma yang berasal dari limfosit B, sebagai akibat sitokin yang dilepaskan limfosit CD4+ yang teraktivasi. Sitokin IL-2, BCGF (B Cell Growth Factors), dan BCDF (B Cell Differentiation Factors) akan merangsang limfosit B tumbuh dan berdeferensiasi menjadi sel plasma. Dengan adanya antibodi diharapkan akan meningkatkan daya fagositosis dan daya bunuh sel makrofag dan neutrofil melalui proses opsonisasi. 13 HIV meyebabkan terjadi stimulasi limfosit B secara polikolonal dan nonspesifik, sehingga terjadi hipergammaglobulinemia terutama IgA dan IgG. Selain memproduksi lebih banyak immunoglobulin, limfosit B pada ODHA (orang dengan infeksi HIV/AIDS) tidak memberi respon yang tepat. Terjadi perubahan dari pembentukan antibodi IgM ke antibodi IgA dan IgG. Secara umum dapat dikatakan respon antibodi terhadap HIV sangat lemah, hanya sebagian kecil saja dari fraksi antibodi ini yang dapat menetralisasi HIV. Karena itu HIV dapat melewati respon antibodi sehingga dapat bertahan hidup dan menginfeksi sel lainnya. 13 2.4. Patogenesis Tuberkulosis Patogenesis tuberkulosis pada individu imunokompeten yang belum pernah terpajan berpusat pada pembentukan imunitas seluler yang menimbulkan resistensi terhadap organisme dan menyebabkan terjadinya hipersensitivitas jaringan terhadap antigen tuberkular. Gambaran patologik tuberkulosis, seperti granuloma perkijuan dan kavitas, terjadi akibat hipersensitivitas jaringan destruktif yang merupakan bagian penting dari respon imun pejamu. Karena sel efektor untuk kedua proses sama, gambaran hipersensitivitas jaringan juga menandakan akuisisi imunitas terhadap organisme. 14,15 Setelah strain virulen mikobakterium masuk ke dalam endosom makrofag, mikobakterium mampu menghambat respons mikrobisida normal dengan memanipulasi ph ensodom dan menghentikan pematangan endosom. Hasil akhir manipulasi endosom ini adalah gangguan pembentukan fagolisosom efektif sehingga mikobakterium berproliferasi tanpa terhambat. 14,15

7 Oleh karena itu, fase terdini pada tuberkulosis primer (<3 minggu) pada orang yang belum tersensitisasi ditandai dengan proliferasi basil tanpa hambatan di dalam makrofag alveolus dan rongga udara, sehingga terjadi bakteremia dan penyemaian di banyak tempat. Meskipun terjadi bakteremia, sebagian besar pasien pada tahap ini asimtomatik atau mengalami gejala mirip flu. 14,15 Timbulnya imunitas seluler terjadi sekitar 3 minggu setelah pajanan. Antigen mikobakterium yang telah diproses mencapai kelenjar getah bening regional dan disajikan histokompatibilitas mayor kelas II oleh makrofag ke sel T H 0 CD4+ uncommitted yang memiliki reseptor sel Tαβ. Sel T H 0 ini mengalami pematangan menjadi sel T CD4+ subtipe T H 1 karena pengaruh IL-12 yang dikeluarkan oleh makrofag. Sel T H 1 mampu mengeluarkan IFN-γ yang penting untuk mengaktifkan makrofag. Selain mengaktifkan makrofag, sel T CD4+ juga mempermudah terbentuknya sel T sitotoksik CD8+, yang dapat mematikan makrofag yang terinfeksi oleh tuberkulosis. 14 2.3.1. Tuberkulosis Primer Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada tidak adanya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk, dan kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap kuman dapat tahan berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila partikel infeksi ini terhisap oleh orang sehat, kuman akan menempel pada saluran napas atau jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran partikel 5 mikrometer. Kuman akan dihadapi pertama kali oleh neutrofil, kemudian baru oleh makrofag. Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag keluar dari percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dan sekretnya. 15 Bila menetap di jaringan paru, kuman berkembangbiak di dalam sitoplasma makrofag dan dapat terbawa ke organ tubuh lainnya. Kuman yang bersarang di jaringan paru akan membentuk sarang tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau focus Ghon. Sarang primer ini dapat terjadi di setiap bagian paru. Bila menjalar sampai ke pleura, maka terjadlah efusi pleura. Kuman dapat juga masuk ke saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring,

8 dan kulit, terjadi limfadenopati regional kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal, tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran ke seluruh bagian paru menjadi TB primer. 15 2.3.2. Tuberkulosis Pasca Primer (Tuberkulosis Sekunder) Kuman yang dorman pada tuberkulosis primer akan muncul bertahuntahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis. Mayoritas reinfeksi mencapai 90%. Tuberkulosis sekunder terjadi karena imunitas menurun seperti malnutrisi, alkohol, penyakit keganasan, diabetes, AIDS, dan gagal ginjal. Tuberkulosis pasca primer ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di region atas paru (bagian apikal-posterior lobus superior atau inferior). Invasinya adalah ke daerah parenkim paru-paru dan tidak ke nodus hiler paru. 15 2.5. Diagnosis TB 2.5.1. Diagnosis TB paru Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu - pagi - sewaktu (SPS). Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB. Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis. 16 2.5.2. Diagnosis TB ekstra paru Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB, dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, bakteriologis, dan atau histopatologi yang diambil dari jaringan tubuh yang terkena. 16

9 2.5.3. Diagnosis TB pada Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) Pada pasien ODHA, diagnosis TB paru dan TB ekstra paru ditegakkan sebagai berikut: 1. TB paru BTA positif yaitu minimal satu hasil pemeriksaan dahak positif. 2. TB paru BTA negatif yaitu hasil pemeriksaan dahak negatif dan gambaran klinis & radiologis mendukung TB atau BTA negatif dengan hasil kultur TB positif. 3. TB ekstra paru pada ODHA ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, bakteriologis dan atau histopatologi yang diambil dari jaringan tubuh yang terkena. 16 Gambar 2.1 Alur Diagnosis TB Paru 16 Sumber: Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2011

10 Gambar 2.2 Alur Diagnosis TB Paru pada ODHA yang rawat jalan 16 Sumber: Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2011 Keterangan: a. Tanda-tanda bahaya yaitu bila dijumpai salah satu dari tanda-tanda berikut: frekuensi pernapasan > 30 kali/menit, demam > 39 0 C, denyut nadi > 120 kali/menit, tidak dapat berjalan bila tdk dibantu. b. Untuk daerah dengan angka prevalensi HIV pada orang dewasa > 1% atau prevalensi HIV diantara pasien TB > 5%, pasien suspek TB yang belum diketahui status HIV-nya maka perlu ditawarkan untuk tes HIV. Untuk pasien suspek TB yang telah diketahui status HIV-nya maka tidak lagi dilakukan tes HIV. c. Untuk daerah yang tidak tersedia test HIV atau status HIV tidak diketahui (misalnya pasien menolak untuk diperiksa) tetapi gejala klinis mendukung kecurigaan HIV positif.

11 d. BTA positif = sekurang-kurangnya 1 sediaan hasilnya positif; BTA negatif = bila 3 sediaan hasilnya negatif. e. PPK = Pengobatan Pencegahan dengan Kotrimoksazol. f. Termasuk penentuan stadium klinis (clinical staging), perhitungan CD4 (bila tersedia fasilitas) dan rujukan untuk layanan HIV. g. Pemeriksaan-pemeriksaan dalam kotak tersebut harus dikerjakan secara bersamaan (bila memungkinkan) supaya jumlah kunjungan dapat dikurangkan sehingga mempercepat penegakkan diagnosis. h. Pemberian antibiotik (jangan golongan fluoroquionolone) untuk mengatasi typical & atypical bacteria. i. PCP = Pneumocystis carinii pneumonia atau dikenal juga Pneumonia pneumocystis jirovecii j. Anjurkan untuk kembali diperiksa bila gejala-gejala timbul lagi. 16 2.5.4. Diagnosis TB MDR Diagnosis TB MDR dipastikan berdasarkan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan M. tuberculosis. Semua suspek TB MDR diperiksa dahaknya dua kali, salah satu diantaranya harus dahak pagi hari. Uji kepekaan M. tuberculosis harus dilakukan di laboratorium yang telah tersertifikasi untuk uji kepekaan. Sambil menunggu hasil uji kepekaan, maka suspek TB MDR akan tetap meneruskan pengobatan sesuai dengan pedoman pengendalian TB Nasional. 16 2.6. Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh (anatomical site) yang terkena: 1) Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus. 2) Tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, perikardium, kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kemih, alat kelamin, dan lain-lain. 16

12 b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, keadan ini terutama ditujukan pada TB Paru: 1) Tuberkulosis paru BTA positif. a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis. c) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif. d) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. 2) Tuberkulosis paru BTA negatif Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi: a) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif b) Foto toraks abnormal sesuai dengan gambaran tuberkulosis. c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT, bagi pasien dengan HIV negatif. d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan. 16 c. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya disebut sebagai tipe pasien, yaitu: 1) Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). Pemeriksaan BTA bisa positif atau negatif. 2) Kasus yang sebelumnya diobati a) Kasus kambuh adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).

13 b) Kasus setelah putus berobat adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif. c) Kasus setelah gagal adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. 3) Kasus pindahan adalah pasien yang dipindahkan ke register lain untuk melanjutkan pengobatannya. 4) Kasus lain adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, seperti: a) Tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya. b) Pernah diobati tetapi tidak diketahui hasil pengobatannya. c) Kembali diobati dengan BTA negatif. 16 2.7. Pengobatan TB Kemoterapi bertujuan: a. Mengobati pasien dengan sedikit mungkin mengganggu aktivitas hariannya, dalam periode pendek, tidak memandang apakah dia peka atau resisten terhadap obat yang ada. b. Mencegah kematian atau komplikasi lanjut akibat penyakitnya. c. Mencegah kambuh. d. Mencegah munculnya resistensi obat. e. Mencegah lingkungannya dari penularan. 17 Obat-obatan TB dapat diklasifikasi menjadi 2 jenis regimen, yaitu obat lapis pertama dan lapis kedua. Kedua lapisan obat ini diarahkan ke penghentian pertumbuhan basil, pengurangan basil dorman, dan pencegahan terjadinya resistensi. Obat-obatan lapis pertama terdiri dari isoniazid (INH), rifampisin, pirazinamid, etambutol, dan streptomisin. Obat-obatan lapis kedua mencakup rifabutin, etionamid, sikloserin, PAS (para amino salicylic acid), klofazimin, aminoglikosid di luar streptomisin, dan quinolon. 17

14 Isoniazid (INH) mempunyai kemampuan bakterisidal TB yang terkuat. Mekanisme kerjanya adalah menghambat cell wall biosynthesis pathway. INH dianggap sejenis obat yang aman. Efek samping utamanya antara lain hepatitis dan neuropati perifer karena interferensi fungsi biologi vitamin B6 atau piridoksin. 17 Rifampisin juga merupakan obat anti-tb yang ampuh, menghambat polymerase DNA dependent ribonucleic acid (RNA) M. tuberkulosis. Efek samping yang sering diakibatkannya antara lain hepatitis, flu-like syndrome s, dan trombositopenia. Rifampisin meningkatkan metabolisme hepatik kontrasepsi oral sehingga dosis kontrasepsi oral harus ditingkatkan. 17 Pirazinamid merupakan obat bakterisidal untuk organisme intraseluler dan agen anti tuberkulos ketiga yang juga cukup ampuh. Pirazinamid hanya diberikan untuk 2 bulan pertama pengobatan. Efek samping yang sering diakibatkan adalah hepatotoksisitas dan hiperurisemia. 17 Etambutol satu-satunya obat lapis pertama yang mempunyai efek bakteriostatik, tetapi bila dikombinasikan dengan INH dan Rifampisin terbukti bisa mencegah terjadinya resistensi obat. 17 Streptomisin merupakan salah satu obat anti tuberkulosis pertama yang ditemukan. Streptomisin ini suatu antibiotik golongan aminoglikosida yang harus diberikan secara parenteral dan bekerja mencegah pertumbuhan organisme ekstraseluler. Kekurangan obat ini adalah efek samping toksik pada saraf kranial VIII yang dapat menyebabkan disfungsi vestibular dan atau hilangnya pendengaran. Obat tuberkulosis yang aman diberikan pada perempuan hamil adalah isoniazid, rifampisin, dan etambutol. Obat lapisan kedua dicadangkan untuk pengobatan kasus-kasus resisten multi obat. 17 Pengobatan TB memerlukan waktu sekurang-kurangnya 6 bulan agar dapat mencegah perkembangan resistensi obat. Oleh karena itu, WHO telah menerapkan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) oleh petugas kesehatan tambahan atau keluarga yang berfungsi secara ketat mengawasi pasien minum obat untuk memastikan kepatuhan minum obat secara rutin. 16,17

15 Tabel 2.1 Pengelompokan OAT 16 Golongan dan Jenis Golongan-1 (lini pertama) Golongan-2 (obat suntik; lini kedua) Golongan-3 (Floroquinolone) Isoniazid (H) Ethambutol (E) Kanamycin (Km) Ofloxacin (Ofx) Levofloxacin (Lfx) Obat Pyrazinamide (Z) Rifampicin (R) Streptomycin (S) Amikacin (Am) Capreomycin (Cm) Moxifloxacin (Mfx) Golongan-4 (bakteriostatik lini kedua) Golongan-5 (belum terbukti efikasinya dan tidak direkomendasikan WHO) Ethionamide (Eto) Prothionamide (Pto) Cycloserine (Cs) Clofazimine (Cfz) Linezolid (Lzd) Amoxilin-Clavulanate (Amx-Clv) Sumber: Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2011 Para amino salisilat (PAS) Terizidone (Trd) Thioacetazone (Thz) Clarithromycin (Clr) Imipenem (Ipm) Tabel 2. 2 Jenis, Sifat dan Dosis OAT lini pertama 16 Jenis OAT Sifat Dosis yang direkomendasikan (mg/kg) Harian 3x seminggu Isoniazid (H) Bakterisid 5 (4-6) 10 (8-12) Rifampicin (R) Bakterisid 10 (8-12) 10 (8-12) Pyrazinamide (Z) Bakterisid 25 (20-30) 35 (30-40) Streptomycin (S) Bakterisid 15 (12-18) 15 (12-18) Ethambutol (E) Bakteriostatik 15 (15-20) 30 (20-35) Sumber: Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2011 Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. 16

16 Paduan OAT yang digunakan di Indonesia: a. Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia: 1) Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3. 2) Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3. 3) Paduan obat sisipan: HRZE 4) Kategori Anak: 2HRZ/4HR 5) Obat yang digunakan dalam tata laksana pasien TB resistan obat di Indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamycin, Capreomisin, Levofloxacin, Ethionamide, sikloserin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitu pirazinamid dan etambutol. b. Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT-KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien. c. Paket kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid, dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT. 16 KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB: a. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping. b. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep. c. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien. 16 Paduan OAT lini pertama dan peruntukannya: a. Paduan OAT kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3) diberikan untuk pasien baru: 1) Pasien baru TB paru BTA positif. 2) Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif. 3) Pasien TB ekstra paru. 16

17 Berat Badan Tabel 2. 3 Dosis paduan OAT-KDT Kategori 1 16 Tahap Intensif Tiap hari selama 56 hari RHZE (150/75/400/275) Tahap Lanjutan 3x seminggu selama 16 minggu RH (150/50) 30 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT 38 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 4KDT 55 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 4KDT 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 4KDT Sumber: Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2011 Tahap Pengobatan Tabel 2. 4 Dosis OAT-Kombiak Kategori 1 16 Lama Pengobatan Tablet Isoniazid @ 300mg Dosis per hari / kali Kaplet Rifampisin @450mg Tablet Pirazinamid @500mg Tablet Etambutol @250mg Jumlah hari menelan obat Intensif 2 Bulan 1 1 3 3 56 Lanjutan 4 Bulan 2 1 - - 48 Sumber: Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2011 b. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3) Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya: 1) Pasien kambuh 2) Pasien gagal 3) Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default) Tabel 2. 5 Dosis untuk paduan OAT-KDT Kategori 2 16 Tahap intensif (tiap hari) Tahap lanjutan (3x seminggu) Berat RHZE (150/75/400/275) + S RH (150/150) + E (400) Badan Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT 30 37 kg 2 tab 4KDT + 500 mg Streptomisin inj. + 2 tab Etambutol 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT 38 54 kg 3 tab 4KDT + 750 mg Streptomisin inj. + 3 tab Etambutol 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT 55 70 kg 4 tab 4KDT + 1000 mg Streptomisin inj. + 4 tab Etambutol 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT 71 kg 5 tab 4KDT + 1000 mg Streptomisin inj. + 5 tab Etambutol Sumber: Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2011

18 Tahap Pengobatan Tahap intensif (dosis harian) Tahap lanjutan (dosis 3x seminggu) Tabel 2. 6 Dosis paduan OAT-Kombipak Kategori 2 16 Lama Pengobatan 2 bulan 1 bulan Tablet Isoniazid @ 300 mg 1 1 Kaplet Rifampisin @ 450 mg 1 1 Tablet Pirazinamid @ 500 mg 3 3 Tablet @ 250 mg 3 3 Etambutol Tablet @ 400 mg - - Streptomisin injeksi 0,75 gr - Jumlah hari menelan obat 4 bulan 2 1-1 2-60 Sumber: Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2011 c. OAT Sisipan (HRZE) Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari). Tabel 2.7 Dosis KDT untuk Sisipan 16 Berat Badan Tahap intensif (tiap hari) selama 28 hari RHZE (150/75/400/275) 30 37 kg 2 tab 4KDT 38 54 kg 3 tab 4KDT 55 70 kg 4 tab 4KDT 71 kg 5 tab 4KDT Sumber: Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2011 Tahap Pengobatan Tabel 2. 8 Dosis OAT-Kombipak untuk Sisipan 16 Lama Pengobatan Tablet Isoniazid @ 300 mg Kaplet Rifampisin @ 450 mg Tahap intensif (dosis harian) Sumber: Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2011 Tablet Pirazinamid @ 500 mg Tablet Etambutol @ 250 mg Jumlah hari menelan obat 1 bulan 1 1 3 3 28 Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya kanamisin) dan golongan quinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lini pertama. Penggunaan OAT lini kedua dapat meningkatkan risiko terjadinya resistensi pada OAT lini kedua. 16 56 28

19 2.8. Pengobatan Tuberkulosis dengan infeksi HIV/AIDS Tata laksana pengobatan TB pada ODHA adalah sama seperti pasien TB lainnya. Pada prinsipnya pengobatan TB diberikan segera, sedangkan pengobatan ARV dimulai berdasarkan stadium klinis HIV atau kadar CD4. Pengobatan TB pada ODHA perlu diperhatikan apakah pasien tersebut sedang dalam pengobatan ARV atau tidak. Bila pasien tidak dalam pengobatan ARV, segera mulai pengobatan TB. Pemberian ARV dilakukan dengan prinsip: a. Semua ODHA dengan stadium klinis 3 perlu dipikirkan untuk mulai pengobatan ARV bila CD4 < 350/mm3 tapi harus dimulai sebelum CD4 turun di bawah 200/mm 3. b. Semua ODHA stadium klinis 3 yang hamil atau menderita TB dengan CD4 < 350/mm 3 harus dimulai pengobatan ARV. c. Semua ODHA stadium klinis 4 perlu diberikan pengobatan ARV tanpa memandang kadar CD4. Bila pasien sedang dalam pengobatan ARV, sebaiknya pengobatan TB tidak dimulai di fasilitas pelayanan kesehatan dasar (strata I), Pasien tersebut dirujuk ke RS rujukan pengobatan ARV. 16 Tabel 2.9 Pilihan paduan pengobatan ARV pada ODHA dengan TB 16 Paduan pengobatan ARV Obat ARV Pilihan obat ARV pada waktu TB didiagnosis 2 NRTI + EFV Teruskan dengan 2 NRTI + EFV Lini Ganti dengan 2 NRTI + EFV atau pertama 2 NRTI + NVP Ganti dengan 2 NRTI + LPV/r Ganti ke atau teruskan (bila sementara Lini kedua 2 NRTI + PI menggunakan) paduan mengandung LPV/r Sumber: Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2011 2.9. Pemantauan dan Hasil Pengobatan TB a. Pemantauan kemajuan pengobatan TB Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan. Laju Endap Darah (LED) tidak digunakan

20 Tipe pasien TB Pasien baru dengan pengobatan kategori 1 untuk memantau kemajuan pengobatan karena tidak spesifik untuk TB. Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan spesimen sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila kedua spesimen tersebut negatif. Bila salah satu spesimen positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif. 16 Tindak lanjut hasil pemriksaan ulang dahak mikroskopis dapat dilihat pada tabel 2.10. Tabel 2.10 Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Ulang Dahak 16 Tahap pengobatan Hasil pemeriksaan dahak Negatif Tindak lanjut Tahap lanjutan dimulai Dilanjutkan dengan OAT sisipan selama 1 bulan. Akhir tahap Jika setelah sisipan masih tetap positif: intensif Positif Tahap lanjutan tetap diberikan Jika memungkinkan, lakukan biakan, tes resistensi atau rujuk ke layanan TB-MDR Negatif Pengobatan dilanjutkan Pada bulan Pengobatan diganti dengan OAT kategori 2 ke-5 mulai dari awal. Jika memungkinkan, lakukan Positif pengobatan biakan, tes resistensi atau rujuk ke layanan TB-MDR Negatif Pengobatan dilanjutkan Pengobatan diganti dengan OAT kategori 2 Akhir mulai dari awal. Jika memungkinkan, lakukan pengobatan Positif biakan, tes resistensi atau rujuk ke layanan TB-MDR Negatif Teruskan pengobatan dengan tahap lanjutan Beri sisipan 1 bulan. Jika setelah sisipan Akhir tahap masih tetap positif: intensif Positif Tahap lanjutan tetap diberikan Jika memungkinkan, lakukan biakan, tes resistensi atau rujuk ke layanan TB-MDR Pada bulan Negatif Pengobatan diselesaikan ke-5 Pengobatan dihentikan, rujuk ke layanan TB- Positif pengobatan MDR Negatif Pengobatan diselesaikan Akhir Pengobatan dihentikan, rujuk ke layanan TBpengobatan Positif MDR Sumber: Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2011 Pasien baru BTA positif dengan pengobatan ulang kategori 2

21 b. Tatalaksana Pasien yang berobat tidak teratur Tabel 2.11 Tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur 16 Tindakan pada pasien yang putus berobat kurang dari 1 bulan: Lacak pasien Diskusikan dengan pasien untuk mencari penyebab berobat tidak teratur Lanjutkan pengobatan sampai seluruh dosis selesai Tindakan pada pasien yang putus berobat antara 1-2 bulan: Lacak pasien Diskusikan dan cari penyebab masalah Periksa 3 kali dahak (SPS) dan lanjutkan pengobatan sementara menunggu hasilnya Tindakan-1 Periksa 3 kali dahak (SPS) Diskusikan dan cari penyebab masalah Hentikan pengobatan sambil menunggu hasil pemeriksaan dahak Bila hasil BTA negatif atau TB ekstra paru Bila satu atau lebih hasil BTA positif Tindakan-2 Lanjutkan pengobatan sampai seluruh dosis selesai Lama pengobatan sebelumnya kurang dari 5 bulan Lama pengobatan sebelumnya lebih dari 5 bulan Lanjutkan pengobatan sampai seluruh dosis selesai Kategori-1: mulai kategori 2 Kategori-2: rujuk, mungkin kasus TB resisten obat Tindakan pada pasien yang putus berobat lebih dari 2 bulan (Default): Pengobatan dihentikan, pasien Bila hasil BTA diobservasi bila gejalanya semakin negatif atau TB parah perlu dilakukan pemeriksaan ekstra paru kembali (SPS dan atau biakan) Bila satu atau lebih hasil BTA positif Kategori-1 Kategori-2 Sumber: Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2011 Mulai kategori-2 Rujuk, kasus TB resisten obat c. Hasil Pengobatan Pasien TB BTA positif 1) Sembuh Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan apusan dahak ulang (follow-up) hasilnya negatif pada AP dan pada satu pemeriksaan sebelumnya 2) Pengobatan Lengkap adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak tidak ada hasil pemeriksaan apusan dahak ulang pada AP dan pada satu pemeriksaan sebelumnya.

22 3) Meninggal adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun. 4) Putus berobat (default) adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturutturut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai. 5) Gagal adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. 6) Pindah (transfer out) adalah pasien yang dipindah ke unit pencatatan dan pelaporan (register) lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui. 7) Keberhasilan pengobatan (treatment success) adalah jumlah pasien yang sembuh dan pengobatan lengkap. Digunakan pada pasien dengan BTA atau biakan positif. 16 2.10. Definisi Operasional Tabel 2.12 Definisi operasional, variabel penelitian, dan skala pengukuran Variabel Definisi Operasional Skala Skor Variabel bebas: Status pasien Kesediaan pasien mengikuti VCT dan hasil pemeriksaan antibodi HIV (rapid test) Kategorik 1. TB dengan koinfeksi HIV 2. TB tanpa infeksi HIV Variabel terikat: Hasil pemeriksaan sputum Hasil pengamatan Hasil pemeriksaan sputum pada saat awal diperiksa berdasarkan form TB.01: BTA negatif adalah 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif BTA positif adalah 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif Hasil pengamatan berdasarkan form TB.01 selama pasien menjalani masa pengobatan: Meninggal adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun. Masih hidup adalah pasien yang sembuh dan pengobatan lengkap. Kategorik 1. BTA negatif 2. BTA positif 1. Meninggal 2. Masih hidup

BAB III METODE PENELITIAN 3.1.Desain Penelitian Desain penelitian yang dipilih adalah rancangan studi analytical cross sectional. Pengambilan data diambil dari data sekunder berupa rekam medis pasien. Hasil penelitian disajikan secara deskriptif dan analitik. 3.2.Waktu dan Tempat Penelitian Waktu penelitian dilakukan dari bulan April sampai bulan Juni 2012. Penelitian dilakukan terhadap data sekunder di bagian rekam medis Puskesmas Kampung Bali Jakarta Pusat. 3.3.Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien tuberkulosis yang menjalani masa pengobatan antituberkulosis. Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh pasien tuberkulosis yang menjalani masa pengobatan antituberkulosis di Puskesmas Kampung Bali yang memenuhi kriteria inklusi. Pengambilan sampel menggunakan metode total sampling. 3.3.1. Besar Sampel Untuk memperkirakan besar sampel dari dua kelompok independen dengan analitik kategorik tidak berpasangan, maka rumus yang digunakan: 19,20 N1 = N2 = ( 2 + + ) ( ) Keterangan: Zα: Nilai baku alpha P2: Proporsi pada kelompok tidak berisiko Zβ: Nilai baku beta P1: Proporsi pada kelompok berisiko P1-P2: Selisih proporsi minimal yang dianggap bermakna Q2= 1-P2 Q1= 1-P1 Q= 1-P P: Proporsi total = P1 P 2 2 23

24 Nilai Zα=1,96 untuk interval kepercayaan 95%, nilai Zβ=0,84 untuk power penelitian 80%, dan nilai P2 dari penelitian sebelumnya sebesar 19%. Nilai P1-P2 ditetapkan sebesar 20%. 7,19,20 N1 = N2 = (1,96 2 0,29 0,71 + 0,84 0,39 0,61 + 0,19 0,81) (0,2) N1 = N2 = 79,53 Dengan demikian, besar sampel minimal yang diperlukan pada tiap kelompok adalah 80 pasien. 3.3.2. Kriteria Inklusi dan Eksklusi Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah: 1. Pasien yang berobat TB dan menerima OAT minimal 56 hari 2. Berusia 12-80 tahun 3. Pasien yang sudah melakukan pemeriksaan sputum BTA dengan hasil positif maupun negatif 4. Kasus baru dan kasus yang sebelumnya pernah diobati (kambuh, putus obat, gagal) 5. Pasien ODHA yang sudah melakukan pemeriksaan HIV Kriteria eksklusi: 1. Pasien dengan TB ekstra paru 2. Kasus pindahan 3. Pasien yang memerlukan terapi antiretroviral (ARV) 4. Pasien putus obat yang hilang dari pengamatan saat penelitian 3.4.Kerangka Teori Gambar 3. 1 Kerangka Teori

25 3.5.Kerangka Konsep Penelitian ini mencari hubungan antara variabel bebas (independent) koinfeksi TB-HIV terhadap hasil pemeriksaan sputum dan proporsi mortalitas pasien sebagai variabel terikat (dependent). Gambar 3.2 Kerangka Konsep 3.6.Prosedur Pengumpulan Data Data pasien di dapat dari form TB.01 berupa kartu pengobatan pasien TB dan form TB.02 berupa kartu identitas pasien TB yang terdapat di bagian rekam medis Puskesmas Kampung Bali yang tercatat dari Januari 2007 sampai Desember 2011. Data yang diinginkan kemudian disalin ke lembar pengumpulan data dan kemudian pindahkan ke Microsoft Excel 2007. 3.7.Analisis Data Data yang diperoleh akan diskrining dengan data populasi digunakan untuk analisis deskriptif, dan data inklusi digunakan untuk menganalisis hubungan status HIV terhadap hasil pemeriksaan sputum dan proporsi mortalitas pasien TB paru. Pengolahan data menggunakan software SPSS 16.0 dengan menggunakan uji chi square. 20 3.8.Etika Penelitian Sebelum penelitian dilakukan, surat permohonan izin penelitian telah dikeluarkan oleh bagian tata usaha FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Pasien Dalam melakukan pelayanan dan penatalaksanaan pasien tuberkulosis, tim dokter Puskesmas Kampung Bali mengacu pada pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis tahun 2007 yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan RI. Kemudian pedoman penatalaksanaan beralih ke pedoman yang baru yakni Pedoman Nasional Pengendalian TB tahun 2011 yang diawali dengan keluarnya Keputusan Menteri Kesehatan RI no. 364/Menkes/SK/V/2009. Hal ini dilakukan untuk mengakomodasi kewaspadaan terhadap terjadinya MDR-TB dan pentingnya masalah koinfeksi TB-HIV diakomodasi dengan ditambahkan bab Kolaborasi TB-HIV. 16 Berdasarkan gambar 4.1 diketahui bahwa pasien yang ikut serta dalam pengobatan TB paru dari Januari 2007 Desember 2011 sebanyak 300 orang yang terdiri dari 217 pasien TB paru tanpa infeksi HIV dan 83 pasien TB paru dengan koinfeksi HIV. Pasien yang dieksklusi sebanyak 111 pasien sehingga 189 pasien yang dapat diikuti sampai akhir pengobatan dan akan dianalisis dengan proporsi yang terdiri dari 145 pasien TB paru tanpa infeksi HIV dan 44 pasien TB paru dengan koinfeksi HIV. Gambar 4.1 Keikutsertaan dan Follow-up pada Subyek Penelitian 26