BAB 1 PENDAHULUAN. Provinsi Sumatera Utara terletak antara 1-40 LU dan BT

dokumen-dokumen yang mirip
PENANGGULANGAN BENCANA (PB) Disusun : IdaYustinA

BAB III LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh faktor alam, faktor non alam, maupun faktor manusia yang

MITIGASI BENCANA BENCANA :

KERENTANAN (VULNERABILITY)

BAB I PENDAHULUAN. langsung maupun tidak langsung mengganggu kehidupan manusia. Dalam hal

BAB I PENDAHULUAN. dalam arti luas bagi manusia dalam melakukan aktifitasnya.

BAB 1 PENDAHULUAN. Bencana alam dapat terjadi secara tiba-tiba maupun melalui proses yang

BAB I PENDAHULUAN. Surakarta yang merupakan kota disalah satu Provinsi Jawa Tengah. Kota

BAB 1 PENDAHULUAN. mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan yang secara geografis terletak di daerah

BAB I LATAR BELAKANG. negara yang paling rawan bencana alam di dunia (United Nations International Stategy

BAB I PENDAHULUAN. hidrologis dan demografis, merupakan wilayah yang tergolong rawan bencana,

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 7. MENGANALISIS MITIGASI DAN ADAPTASI BENCANA ALAMLATIHAN SOAL 7.1

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aktivitas di kawasan ini menjadi semakin tinggi. Hal ini akan

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 56 TAHUN 2014 TENTANG URAIAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA KEDIRI

Bencana dan Pergeseran Paradigma Penanggulangan Bencana

BAB I PENDAHULUAN. Kota Palembang adalah 102,47 Km² dengan ketinggian rata-rata 8 meter dari

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

BAB I PENDAHULUAN. digaris khatulistiwa pada posisi silang antara dua benua dan dua samudra dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia dengan keadaan geografis dan kondisi sosialnya berpotensi rawan

BAB I PENDAHULUAN. dialami masyarakat yang terkena banjir namun juga dialami oleh. pemerintah. Mengatasi serta mengurangi kerugian-kerugian banjir

BAB 1 PENDAHULUAN. Bencana adalah sebuah fenomena akibat dari perubahan ekosistem yang terjadi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENJABARAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 83 TAHUN 2005 TENTANG BADAN KOORDINASI NASIONAL PENANGANAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN WALIKOTA TEGAL

PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

BAB I PENDAHULUAN. sebenarnya adalah proses dan fenomena alam yang menimpa manusia. Rentetan

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 83 TAHUN 2005 TENTANG BADAN KOORDINASI NASIONAL PENANGANAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2011 NOMOR 32 SERI E

BUPATI REMBANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara geografis, geologis, hidrologis, dan sosio-demografis, Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pada 6`LU- 11` LS dan antara 95` BT - 141` BT1. Sementara secara geografis

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 83 TAHUN 2005 TENTANG BADAN KOORDINASI NASIONAL PENANGANAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. sebagai akibat akumulasi beberapa faktor yaitu: hujan, kondisi sungai, kondisi

BAB I PENDAHULUAN. pertemuan 3 (tiga) lempeng tektonik dunia, yaitu lempeng Euro-Asia di. tsunami, banjir, tanah longsor, dan lain sebagainya.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2008 TENTANG PENDANAAN DAN PENGELOLAAN BANTUAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia berada di tiga lempeng tektonik dunia, yaitu: Lempeng Indo-

BAB I PENDAHULUAN. Suatu bencana alam adalah kombinasi dari konsekuensi suatu resiko alami

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2008 TENTANG PENDANAAN DAN PENGELOLAAN BANTUAN BENCANA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAKPAK BHARAT NOMOR 5 TAHUN 2010 T E N T A N G ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. kemudian dikenal dengan sebutan bencana. Upaya meminimalisasi resiko. atau kerugian bagi manusia diperlukan pengetahuan, pemahaman,

PENDAHULUAN Latar Belakang

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 43 TAHUN 2010 TENTANG SISTEM PERINGATAN DINI DAN PENANGANAN DARURAT BENCANA TSUNAMI ACEH

BAB I PENDAHULUAN. Geografi merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alamiah

W A L I K O T A Y O G Y A K A R T A PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 01 TAHUN 2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. kekurangan air memungkinkan terjadinya bencana kekeringan.

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 SERI D.4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG

WALIKOTA TEGAL PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA TEGAL NOMOR 1 TAHUN22014 TENTANG

QANUN KOTA BANDA ACEH NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA BANDA ACEH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

RANCANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

PERAN PEMERINTAH DALAM MENGHADAPI BENCANA BANJIR DI KELURAHAN NUSUKAN KECAMATAN BANJARSARI SURAKARTA NASKAH PUBLIKASI

MANAJEMEN BENCANA PENGERTIAN - PENGERTIAN. Definisi Bencana (disaster) DEPARTEMEN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2008 TENTANG PENDANAAN DAN PENGELOLAAN BANTUAN BENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANGKAT NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN LANGKAT

BAB I PENDAHULUAN. Geografi merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alamiah yang

I. PENDAHULUAN. dan moril. Salah satu fungsi pemerintah dalam hal ini adalah dengan

BAB I PENDAHULUAN. banyak dipengaruhi oleh faktor geologi terutama dengan adanya aktivitas

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Bencana banjir termasuk bencana terbesar di dunia. Data Guidelines for Reducing Flood

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemampuan manusia dalam menyesuaikan dirinya terhadap lingkungan

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 9 TAHUN 2009 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH PROVINSI JAWA BARAT

PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN, ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA BANJARBARU

PERATURAN DAERAH KOTA PARIAMAN NOMOR: 10 TAHUN 2010

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK

Penger&an dan Ruang Lingkup Penanggulangan Bencana

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN BENCANA BANJIR DAN TANAH LONGSOR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Profil dan Data Base BPBD Sleman

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terletak diantara pertemuan Lempeng Eurasia dibagian utara,

BUPATI NGANJUK PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BANJAR dan BUPATI BANJAR

MPS Kabupaten Bantaeng Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan salah satu Negara di dunia yang mempunyai

LAPORAN SEMENTARA PENANGANAN MASALAH KESEHATAN AKIBAT BENCANA ALAM BANJIR DI KECAMATAN BALEENDAH KABUPATEN BANDUNG TAHUN 2013

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16/PRT/M/2013 TENTANG PEDOMAN PENANGGULANGAN DARURAT BENCANA AKIBAT DAYA RUSAK AIR

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. permukaan bumi yang luasnya 510 juta km 2, oleh karena itu persediaan air di

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 11 TAHUN 2009

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 80 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN WALIKOTA MEDAN NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG RINCIAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA MEDAN

BAB III LANDASAN TEORI

2018, No Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 27 TAHUN 2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA,

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 41 TAHUN 2009 TENTANG URAIAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH PROVINSI JAMBI

PERATURAN BUPATI LANDAK NOMOR 16 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 6 TAHUN 2011

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Sumatera Utara terletak antara 1-40 LU dan 980-1000 BT merupakan bagian dari wilayah Indonesia yang terletak di kawasan Palung Pasifik Barat. Luas wilayah ± 71.680 KM2, secara geografis terbagi atas wilayah Pantai Timur dan Pantai Barat. Pantai Timur merupakan dataran rendah seluas 26.360 KM2 atau 36,8% luas dari seluruh Provinsi Sumatera Utara dengan kelembaban tinggi dan curah hujan yang relatif tinggi. Salah satu kota yang terdapat di Pantai Timur Provinsi Sumatera Utara adalah Kota Tanjungbalai. Kota Tanjungbalai dalam beberapa bulan terakhir di tahun 2008, mengalami berbagai kejadian bencana. Salah satu bencana yang intensitasnya tinggi yang terjadi di Kota Tanjungbalai adalah bencana banjir. Bencana banjir ini merupakan agenda besar untuk segera diberikan tindak lanjut dan bukan hanya sekedar perhatian, baik bagi pihak pemerintah maupun non pemerintah. Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana (Satlak PB) Kota Tanjungbalai melaporkan bahwa sepanjang tahun 2008, bencana banjir memiliki angka kejadian tertinggi diantara angka kejadian bencana alam yang lain yaitu sekitar 7 kejadian dari 10 kejadian yang ada. Adapun urutan angka kejadian bencana yang terjadi sepanjang tahun 2008 mulai dari yang tertinggi sampai yang terendah yaitu : banjir, kebakaran, wabah DBD, kapal tenggelam, dll.

Fakta ini juga didukung oleh laporan Dinas Pekerjaan Umum daerah Kota Tanjungbalai, yang menyatakan bahwa telah terjadi 7 kali bencana banjir selama kurun waktu 2008 sampai 2009 di kota ini, namun tidak terjadi di seluruh kecamatan, hanya beberapa kecamatan tertentu diantaranya yaitu Kecamatan Datuk Bandar dan Kecamatan Datuk Bandar Timur. Begitu juga angka ketinggian air pada bencana banjir ini bervariasi, mulai dari 10 cm sampai dengan 70 cm. Banjir di Tanjungbalai menurut Dinas Pekerjaan Umum Kota Tanjungbalai terjadi akibat banjir kiriman yaitu dibukanya pintu air pembangkit listrik Sigura-gura dan mengalir ke Sungai Asahan, sehingga luapan airnya mengalir ke Sungai Bandar Jepang di Kota Tanjung Balai. Berbagai aspek lain yang juga menyebabkan Kota Tanjungbalai merupakan daerah rawan bencana banjir diantaranya adalah salah satu kota yang terletak pada ketinggian 0-3 m dari permukaan laut. Kedudukan Kota Tanjungbalai secara geografis sangat khas oleh karena berada pada pertemuan dua sungai besar yaitu Sungai Asahan dan Sungai Silau. Selain itu juga Kota Tanjungbalai memiliki 23 buah anak sungai yang beresiko banjir. Luas daerah perairan sungai dan rawa ini mencapai lebih kurang 10% dari keseluruhan luas Tanjungbalai. Sebagian wilayah Kota Tanjungbalai berada di sepanjang tepi sungai berawa dan sangat dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Profil Tanjungbalai, 2006). Wilayah kota Tanjungbalai termasuk wilayah tropis dan dipengaruhi oleh 2 musim yaitu musim kemarau dan musim hujan dengan curah hujan tinggi rata-rata mencapai 1.647 mm dalam rata-rata 172 hari hujan sepanjang tahun pada bulan

Maret, April, Mei, Oktober, November, Desember (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika). Suhu udara luar berkisar antara 250-320C. Dengan kelembaban udara 50-90%. Topografi Tanjungbalai relatif datar dengan kemiringan 0-2% dengan dominasi tanah jenis alluvial, latosol dan pasir. Kondisi demikian yang menyebabkan Kota Tanjungbalai sangat berpotensi untuk terjadinya banjir (Profil Tanjungbalai, 2006). Surat kabar baik lokal maupun nasional banyak memuat berita banjir di Kota Tanjungbalai. Salah satu surat kabar nasional yaitu Harian Analisa (2009) menberitakan sebagai berikut : ribuan warga korban banjir di Kota Tanjungbalai mulai mengungsi, setelah dua minggu terendam air. Hujan deras di hulu Sungai Asahan terus menambah tinggi air di pemukiman penduduk, hingga air sudah merendam lebih dari 5000 rumah warga. Pemberitaan lain juga mengemukakan bahwa masyarakat sangat menyesalkan kinerja Satlak PB Kota Tanjungbalai. Korban banjir menyatakan bahwa Pemerintah Kota (PEMKO) Tanjungbalai tidak serius dalam menangani bencana banjir ini. Penanggulangan bencana banjir di Kota Tanjungbalai ini merupakan dilema yang selalu dihadapi baik oleh pihak pemerintah maupun masyarakat. Dilema ini belum dapat teratasi oleh karena permasalahan dalam lingkup bencana sangat kompleks dan dalam penanggulangannya melibatkan multisektor. Prosedur tetap penanggulangan bencana banjir di Provinsi Sumatera Utara telah ditetapkan sesuai keputusan Gubernur Sumatera Utara No.362/492 Tahun 2002, namun belum

terlaksana oleh karena sosialisasinya minimal kepada instansi terkait dan aplikasinya juga tidak optimal. Hasil observasi sementara yang dilakukan peneliti menyatakan bahwa dampak yang ditimbulkan akibat bencana banjir ini sangat banyak. Hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat terganggu akibat banjir. Namun, disadari bahwa kualitas terganggunya aspek kehidupan masyarakat ini tidaklah total dan hal ini sangat bergantung kepada besar kecilnya hazard (ancaman) bencana tersebut dan juga dipengaruhi oleh kapasitas masyarakat yang ada serta ketidakmampuan masyarakat. Hal ini sesuai dengan konsep pengurangan resiko bencana bahwa resiko bencana ditentukan oleh tiga konsep yaitu hazard (ancaman) x vulnerability (kerentanan) x ketidakmampuan (Benson & Twigg, 2007:103). Rendahnya kinerja Satlak PB Kota Tanjungbalai dalam mengatasi hal ini disebabkan banyak hal. Salah satunya adalah kinerja individu (petugas). Sesuai dengan pendapat Thoha (2007) yang yang menyatakan bahwa kinerja petugas merupakan salah satu hal yang dapat menggambarkan kinerja organisasi. Sehingga tingginya beban kerja yang menjadi kewajiban Satlak PB sebagai suatu organisasi resmi pemerintah untuk melaksanakan penanggulangan bencana sesuai dengan Peraturan Presiden No.83 Tahun 2005 harus dilaksanakan dengan optimal. Pada dasarnya resiko yang diakibatkan oleh bencana merupakan salah satu dampak dari rendahnya kinerja Satlak PB. Namun secara lebih jelas belum pernah dilakukan penelitian terhadap kinerja Satlak PB dikota ini. Kinerja Satlak, sangat berintegrasi

dengan kondisi masyarakatnya sendiri dan juga kondisi demografi, geografis dan potensi ancaman daerah tersebut. Kondisi hazard (ancaman) dan vulnerability (kerentanan) yang tinggi dan kapasitas yang rendah akan menimbulkan risk (resiko) bencana yang tinggi. Untuk itu upaya penanggulangan bencana harus melakukan penilaian awal terlebih dahulu terhadap ketiga faktor tersebut. Bahaya (hazard) diartikan sebagai suatu peristiwa, fenomena atau aktivitas manusia secara fisik yang mempunyai potensi yang merusak yang bisa menyebabkan hilangnya nyawa atau luka, kerusakan harta benda, gangguan sosial, ekonomi dan kerusakan lingkungan (UN/ISDR, Geneva, 2004). Kerentanan menurut Carter (1991:325) meliputi aspek fisik, sosial, ekonomi dan kesehatan. Menurut Anderson & Woodrow (1998:9-26) yakni: Pemetaan kerentanan adalah suatu proses yang menghasilkan pengertian akan jenis dan tingkat kerentanan dari manusia, harta benda dan lingkungan terhadap efek dari ancaman tertentu pada waktu tertentu. Proses ini lebih mengidentifikasi kondisi fisik, sosial, dan ekonomi yang rawan terhadap suatu ancaman. Vulnerability memiliki dua aspek yaitu : susceptibility yaitu tingkat pemaparan masyarakat terhadap hazard dan resilience yaitu kapasitas atau kemampuan masyarakat untuk menghadapi dan mengatasi kerusakan yang disebabkan oleh emergensi atau bencana ( Dirjen Yanmed, 2005:8). Kerentanan di Kota Tanjungbalai meliputi aspek fisik meliputi kondisi geografi, geologi lingkungan dan infrastruktur, dll. Kerentanan aspek sosial meliputi

rendahnya persepsi tentang resiko bencana, sikap masyarakat dan Pemerintah Kota Tanjungbalai yang pasrah terhadap bencana banjir, pengetahuan masyarakat yang rendah serta budaya masyarakat yang masih tidak perduli dengan bencana banjir. Kerentanan ekonomi yaitu berupa tingkat pendapatan masyarakat yang rendah dan APBD Pemko yang rendah dalam pengalokasian untuk kesiapsiagaan bencana. Dan kerentanan kesehatan yaitu berupa rendahnya derajat kesehatan masyarakat sehingga sangat rentan untuk menjadi sakit dalam kondisi bencana, begitu juga dengan kondisi kesehatan petugas Satlak PB yang masih perlu diperhatikan. Sedangkan dari segi kapasitas sendiri belum dapat dijelaskan. Hal ini diakibatkan oleh banyak faktor yaitu baik dari pemerintah maupun masyarakat sendiri. Bencana banjir yang terjadi dalam beberapa bulan pada tahun 2008-2009 ini sangat mengakibatkan banyak kerugian. Sesuai dengan beberapa penjelasan di atas maka angka kerugian yang harus ditanggung baik oleh pihak masyarkat dan pemerintah sangat besar dan multikomples. Hasil laporan sementara mengenai jumlah kerugian yang ada yaitu meliputi rusaknya pemukiman penduduk beserta isinya, fasilitas jalan, gedung-gedung sekolah dan sarana prasarana pemerintah dan non pemerintah lainnya, lahan pertanian masyarakat dan bermuara kepada rendahnya kondisi perekonomian masyarakat sehingga angka kemiskinan bertambah di kota ini. Hal ini juga berdampak pada kondisi kesehatan dan sosial masyarakat. Tingginya angka kerugian yang diakibatkan bencana banjir disebabkan oleh kurangnya pemahaman masyarakat tentang kesiapsiagaan penanggulangan bencana.

Baik pihak pemerintah maupun masyarakat masih belum menyadari arti pentingnya manajemen penanggulangan bencana sebagai suatu problem solving yang sangat efektif dan efisien. Fakta yang terdapat di masyarakat Kota Tanjungbalai mengindikasikan bahwa masyarakat belum mengerti hak serta kewajiban mereka dalam wacana kebencanaan. Hal ini mengakibatkan masyarakat sebagai customer bencana tidak mengetahui kedudukannya sehingga penanggulangan bencana berjalan tidak seimbang karena hanya berharap penuh pada pemerintah atau lembaga non pemerintah saja. Kondisi yang lebih memprihatinkan lainnya adalah bahwa pemerintah sendiri sebagai badan resmi masyarakat yang melaksanakan penanggulangan bencana belum memiliki kinerja sesuai dengan yang diharapkan. Indeks pembangunan manusia meliputi 3 hal yaitu indikator ekonomi, kesehatan dan pendidikan yang ingin dicapai oleh pemerintah dalam pembangunan sesuai dengan amanah good governance, maka penanggulangan bencana juga merupakan proses pembangunan yang berarah kepada prinsip-prinsip good governance. Data yang dikutip dari konfrensi sedunia tentang peredaman bencana tahun 2005 di Kobe Jepang, dinyatakan bahwa terdapat rata-rata lebih dari 200 juta jiwa telah terkena bencana setiap tahunnya dalam dua dekade terakhir, sehingga Pemerintah Internasional mengambil sikap untuk melaksanakan suatu sistem kesiapsiagaan penanggulangan bencana. Kerangka kerja Aksi Hyogo 2005-2015 memuat bahwa sasaran-sasaran pembangunan milineum (Millineum Development Goals/ MDGs) tidak akan tercapai tanpa pertimbangan resiko bencana, dan bahwa

pembangunan berkelanjutan tidak dapat dicapai kalau pengurangan resiko bencana tidak diutamakan ke dalam kebijakan-kebijakan, perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Kelembagaan penanggulangan bencana baik pusat dan daerah di Indonesia telah dibuat pemerintah sejak tahun 2001 yaitu berdasarkan Keputusan Presiden RI No.3 Tahun 2001, tentang Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (BAKORNAS PBP) serta disempurnakan dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden No.85 Tahun 2005. Landasan hukum terbaru yang dikeluarkan pemerintah adalah pada bulan April Tahun 2007 tentang Undang-Undang Penanggulangan Bencana No.24 Tahun 2007 (pasal : 5, 12 huruf h, 18 dan 25) serta Peraturan Presiden No.8 Tahun 2008 pasal 63. Kebijakan tersebut merupakan produk hukum baru yang dibuat pemerintah sebagai acuan sistem manajemen penanggulangan bencana. Dengan harapan bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana dapat terlaksana secara terencana, terpadu, terkoordinasi dan menyeluruh dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman, resiko dan dampak bencana. (PP No.21 Tahun 2008, pasal 2). Oleh karena UU No.24 Tahun 2007 dan PP serta Perpres terbaru ini telah diberlakukan namun belum diaplikasikan secara keseluruhan maka sistem penanggulangan bencana masih diemban oleh Satuan Koordinasi Pelaksanaan Penangulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (Satkorlak PB) pada daerah tingkat I (provinsi) dan Satlak PB pada daerah tingkat II (kabupaten/kota), sedangkan

pada tingkat pusat, Bakornas PBP telah digantikan tugas dan fungsinya oleh Badan Nasional Penangulangan Bencana (BNPB). Konsep penanganan bencana mengalami pergeseran dari konvensional menjadi holistik. Pandangan konvensional menggambarkan bahwa bencana merupakan kejadian yang tidak terhindari dan korban harus mendapat pertolongan, sehingga fokus penanggulangan bencana lebih bersifat bantuan (relief) dan kegawatdaruratan (emergency). Tujuan penanganan bencana pada paradigma ini adalah menekan tingkat kerugian, kerusakan dan cepat memulihkan keadaan. Perkembangan paradigma ini berkembang terus melputi paradigma mitigasi, paradigma pembangunan dan paradigma pengurangan resiko bencana. Dengan terjadinya perubahan paradigma ini maka tujuan dan target penanggulangan bencana semakin realitas dan bermanfaat nyata bagi pihak manapun baik pemerintah maupun non pemerintah. Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna (UU RI No.24 Tahun 2007). Kesiapsiagaan adalah setiap aktivitas sebelum terjadinya bencana yang bertujuan untuk mengembangkan kapabilitas operasional dan memfasilitasi respon yang efektif ketika suatu bencana terjadi (Heru Susetyo). Indikator dalam kesiapsiagaan ada 5 meliputi (1) pengetahuan dan sikap (knowledge and attitude), (2) kebijakan dan panduan (policy statement), (3) perencanaan kedaruratan (emergency planning), (4) sistem peringatan (warning

system), (5) mobilisasi sumber daya. Prinsip penanggulangan bencana sesuai dengan amanah UU No.24 Tahun 2007 yaitu cepat, tepat, prioritas, koordinasi, keterpaduan, berdayaguna, hasil guna, transparansi, akuntabilitas, kemitraan, pemberdayaan, non diskriminatif dan non proletisi. Prinsip prinsip ini demikian lengkap agar tujuan sistem penangulangan bencana dapat tercapai dan merupakan suatu indikator kinerja yang baik. Kinerja Satlak PB sebagai suatu badan pemerintah yang berperan dalam penanggulangan bencana dipertanyakan kembali dengan adanya beberapa kejadian bencana banjir di kota Tanjungbalai ini. Mulai dari struktur organisasi maupun dari prosedur pelaksanaan serta kelengkapan sarana dan prasarana yang mendukung kinerja Satlak PB. Sesuai dengan pendapat Ilyas tahun 1993, bahwa kinerja merupakan penampilan hasil kerja pegawai baik secara kuantitas maupun kualitas. Kinerja dapat berupa penampilan kerja perorangan maupun kelompok. Kinerja organisasi merupakan hasil interaksi yang kompleks dari agregasi kinerja sejumlah individu dalam organisasi. Teori yang dikemukakan oleh Gibson (1987) dan Simamora (1995:500) tentang kinerja bahwa dapat disimpulkan kinerja dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu faktor individu, faktor psikologi dan faktor organisasi. Yang termasuk pada faktor individu adalah terdiri dari variabel kemampuan dan ketrampilan, latar belakang pribadi dan demografis. Kemampuan yaitu kapasitas individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan. Keterampilan adalah kecakapan yang

berhubungan dengan tugas. Sedangkan yang termasuk kelompok faktor psikologis terdiri dari variabel persepsi, sikap, kepribadian, belajar dan motivasi. Persepsi adalah proses yang digunakan individu untuk mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera mereka dalam rangka memberikan makna kepada lingkungan. Yang dimaksud sikap adalah keteraturan perasaan dan pikiran seseorang dan kecendrungan bertindak terhadap aspek lingkungannya (Milton, 1981). Sedangkan kepribadian menurut Robbins tahun 1993 adalah cara dengan mana seseorang bereaksi dan berinteraksi dengan orang lain. Motivasi juga dapat diartikan sebagai kekuatan (energi) seseorang yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan antusiasmenya dalam melaksanakan suatu kegiatan, baik yang bersumber dari dalam diri individu itu sendiri (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik). Penelitian ini juga ingin mengeksplorasi lebih dalam lagi apakah kinerja petugas Satlak PB Kota Tanjungbalai memiliki kinerja yang standar atau tidak dan faktor-faktor apa saja yang berkaitan dengan kinerja petugas tersebut. 1.2. Permasalahan Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut : Apakah ada pengaruh faktor individu (kemampuan, keterampilan dan latar belakang) dan faktor psikologi (persepsi, sikap, kepribadian, pembelajaran dan motivasi) terhadap kinerja petugas Satlak PB Kota Tanjungbalai pada fase

kesiapsiagaan bencana banjir di Kota Tanjungbalai? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : Mengetahui dan menganalisa pengaruh faktor individu (kemampuan, keterampilan dan latar belakang) dan faktor psikologi (persepsi, sikap, kepribadian, pembelajaran dan motivasi) terhadap kinerja petugas Satlak PB Kota Tanjungbalai pada fase kesiapsiagaan bencana banjir di Kota Tanjungbalai. 1.4. Hipotesis 1. Terdapat pengaruh faktor individu (kemampuan, keterampilan dan latar belakang) dan faktor psikologi (persepsi, sikap, kepribadian, pembelajaran dan motivasi) terhadap kinerja petugas Satlak PB Kota Tanjungbalai pada fase kesiapsiagaan bencana banjir di Kota Tanjungbalai. 2. Tidak terdapat pengaruh faktor individu (kemampuan, keterampilan dan latar belakang) dan faktor psikologi (persepsi, sikap, kepribadian, pembelajaran dan motivasi) terhadap kinerja petugas Satlak PB Kota Tanjungbalai pada fase kesiapsiagaan bencana banjir di Kota Tanjungbalai.

1.5. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain 1. Manfaat teoritis Dapat menambah sumber kepustakaan tentang manajemen penanggulangan bencana dan menjadi sumber ataupun sebagai pembanding bagi penelitian selanjutnya. 2. Manfaat praktis Menjadi masukan bagi Satlak PB Kota Tanjungbalai pada khususnya dan Sumut pada umumnya dalam memperbaiki kinerja organisasinya dalam sistem penanggulangan bencana sehingga menjadi lebih baik.