BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang sering ditemukan di daerah tropis dan subtropics. Di Asia Tenggara, Indonesia memiliki kasus DBD tertinggi. Penyakit yang diperantarai oleh nyamuk ini menjadi masalah kesehatan yang serius karena hampir setiap tahun menjadi Kejadian Luar Biasa di beberapa daerah di Indonesia (Sukowati, 1989). Angka kematian (Case Fatality Rate/CFR) DBD di DIY tahun 2011 adalah 0,5 dengan angka kesakitan (Incidence Rate/IR) sebanyak 28,8 per 100.000 penduduk (Depkes, 2012). Data Dinkes Yogyakarta (2012) kasus DBD terbanyak berada di Kota Yogyakarta kemudian diikuti Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman, Kabupaten Gunung Kidul, dan Kabupaten Kulonprogo. Kasus DBD cenderung menurun dibanding tahun 2010, tetapi angka kematian dan angka kesakitan dari penyakit ini masih menjadi ancaman yang serius. 1
2 Penyakit yang diperantarai oleh nyamuk diantaranya demam berdarah dengue (DBD), malaria, filariasis, dan chikungunya (Wydiamala dan Mardihusodo, 2003). Nyamuk yang menjadi vektor penyakit DBD adalah Aedes aegypti dan Aedes albopictus (Sutomo, 2003). Menurut WHO (2010) pengendalian vektor DBD yang bisa dilakukan antara lain dengan eliminasi habitat yang terdapat telur atau larva, larvaciding memakai insektisida, penggunaan agen biologi, dan aplikasi adultcides. Pengendalian vektor terus dilakukan mengingat belum tersedia vaksin untuk pencegahan penyakit DBD (WHO, 2010). Pengendalian vektor yang dilakukan di Indonesia terutama dengan bahan kimiawi atau insektisida. Insektisida rumah tangga yang digunakan untuk tujuan membunuh atau mengusir nyamuk antara lain obat nyamuk bakar (54 %), obat nyamuk semprot (19 %), obat nyamuk oles (17%), obat nyamuk tablet dengan listrik (15%), dan (10%) obat nyamuk cair dengan listrik (Wahyuningsih, 2011). Sebagian besar insektisida mengandung bahan aktif seperti
3 Dichlorovynil dimethyl phosfat (DDVP), Propoxur (Karbamat), Diethyltoluamide dan Pyretrin (Adiwisastra, 1992). Penggunaan insektisida rumah tangga dapat berdampak buruk bagi manusia seperti 62% mengalami ganggguan pernafasan, 52% batuk-batuk, 18% sakit kepala dan 3% mengalami bintik-bintik pada kulit (iritasi) pada manusia (Wahyuningsih, 2011). Pengendalian vektor menggunakan insektisida sintetis juga dapat menimbulkan efek samping yang merugikan, seperti nyamuk menjadi resisten (WHO, 1995). Populasi nyamuk Aedes aegypti sudah mulai resisten terhadap berbagai jenis insektisida (WHO,1992). Di beberapa negara tropis seperti Columbia, Brazil, Thailand, Malaysia dan Indonesia telah dilaporkan nyamuk vektor DBD resisten terhadap insektisida organofosfat dan pyrethroid. Penelitian di kota Surabaya (Suwito, 2009) dan kota Denpasar (Depkes, 2010) menunjukkan mulai ada populasi Aedes aegypti yang toleran terhadap organofosfat dan pyrethroid. Status resistensi Aedes aegypti di provinsi DIY terhadap insektisida masih belum
4 diketahui, sedangkan kasus DBD relatif tinggi di beberapa kecamatan dan sampai saat ini penggunaan insektisida rumah tangga masih menjadi andalan dalam pengendalian DBD. Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh kebiasaan rumah tangga dalam menggunakan insektisida golongan organofosfat dan pyrethroid terhadap populasi populasi nyamuk vektor DBD. I.2. RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana status resistensi insektisida golongan organofosfat dan pyrethroid terhadap populasi nyamuk vektor DBD di Prenggan dan Mantrijeron kota Yogyakarta? 2. Bagaimana pengaruh lama pemakaian insektisida terhadap populasi nyamuk vektor DBD di Prenggan dan Mantrijeron kota Yogyakarta? I.3. TUJUAN PENELITIAN 1. Tujuan Umum Mengetahui pengaruh lingkungan dan perilaku penggunaan insektisida rumah tangga terhadap
5 populasi nyamuk vektor DBD di Prenggan dan Mantrijeron kota Yogyakarta. 2. Tujuan Khusus a. Menganalisis status resistensi nyamuk terhadap populasi nyamuk vektor DBD pada pemakaian insektisida golongan organofosfat. b. Menganalisis status resistensi nyamuk terhadap populasi nyamuk vektor DBD pada pemakaian insektisida golongan pyrethroid. c. Menganalisis lama pemakaian insektisida terhadap populasi nyamuk vektor DBD. I.4. KEASLIAN PENELITIAN Sejauh ini sudah banyak penelitian sebelumnya mengenai resistensi insektisida terhadap kepadatan nyamuk vektor penyakit demam berdarah dengue. Tetapi insektisida yang penulis analisa adalah insektisida rumah tangga secara keseluruhan. Berikut beberapa penelitian yang telah ada sebelumnya : 1. Penelitian Sukesi (2011), Sanitasi Lingkungan Pemukiman dan Status Resistensi Nyamuk Vektor Aedes aegypti L. Terhadap Kejadian Demam Berdarah
6 Dengue di Kecamatan Mertoyudan Kabupaten Magelang. Perbedaan : a. Lokasi penelitian b. Variabel bebas penelitian sebelumnya adalah sanitasi lingkungan. Variabel terikatnya adalah kejadian demam berdarah dengue. c. Uji resistensi menggunakan uji susceptibility dan uji bioassay. Persamaan : Nyamuk Aedes aegypti 2. Penelitian Mubarak (2011), Analisis Penggunaan Insektida Malation dan Temefos Terhadap Vektor Demam Berdarah Dengue Aedes aegypti di Kota Kendari Sulawesi Tenggara. Perbedaan : a. Lokasi penelitian b. Variabel bebas penelitian sebelumnya adalah penggunaan insektisida malation dan temefos. c. Uji resistensi menggunakan uji biokimia dan uji bioassay. Persamaan : Nyamuk Aedes aegypti
7 3. Penelitian Saranani (2012), Uji Kerentanan Insektisida Organofosfat dan Deteksi Transmisi Transvarial Virus Dengue Pada Aedes aegypti di Kota Kendari. Perbedaan : a. Lokasi penelitian b. Variabel yang diteliti adalah organofosfat Persamaan : Nyamuk Aedes aegypti I.5. MANFAAT PENELITIAN a. Sebagai dasar untuk membuat kebijakan surveilansi vektor demam berdarah dengue pengendalian kimiawi sebagai salah satu pengendalian vektor nyamuk. b. Sebagai evaluasi pengendalian vektor DBD agar lebih efektif. c. Menambah pengetahuan masyarakat mengenai keberadaan nyamuk vektor DBD terutama hubungannya dengan resistensi insektisida.