BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Definisi Community-Acquired Pneumonia (CAP) perawatan dalam kurun waktu 14 hari sebelum timbulnya gejala.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. kelompok penyakit yang berhubungan dengan infeksi. Penyakit ini banyak ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran napas bawah masih tetap menjadi masalah utama dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang. adalah penyakit infeksi pada saluran pernapasan yang

Diagnosis Community Aquired Pneumonia (CAP) dan Tatalaksana Terkini

BAB 1 PENDAHULUAN. jamur, dan parasit (Kemenkes RI, 2012; PDPI, 2014). Sedangkan infeksi yang

BAB 1 PENDAHULUAN. 2014). Pneumonia pada geriatri sulit terdiagnosis karena sering. pneumonia bakterial yang didapat dari masyarakat (PDPI, 2014).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli, serta

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III. METODE PENELITIAN

JOURNAL READING Imaging of pneumonia: trends and algorithms. Levi Aulia Rachman

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pneumonia, mendapatkan terapi antibiotik, dan dirawat inap). Data yang. memenuhi kriteria inklusi adalah 32 rekam medik.

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB 4 METODE PENELITIAN. Semarang, dimulai pada bulan Mei 2014 sampai dengan Juni 2014.

Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Bab 4 Batuk dan Kesulitan Bernapas Kasus II. Catatan Fasilitator. Rangkuman Kasus:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit paru obstruktif kronik atau yang biasa disebut PPOK merupakan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Sindrom klinik ini terjadi karena adanya respon tubuh terhadap infeksi, dimana

BAB I PENDAHULUAN. Pneumonia merupakan bentuk infeksi saluran napas. bawah akut yang tersering. Sekitar 15-20% kasus

LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH. Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai gelar sarjana Strata-1 Kedokteran Umum

BAB I PENDAHULUAN. Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi. menular pada saluran napas bawah, tepatnya menginfeksi

BAB III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan uji klinis dengan metode Quasi Experimental dan

JURNAL MEDIA MEDIKA MUDA. Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat sarjana strata-1 kedokteran umum

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan penyebab kematian nomor 6 di Indonesia. 1. merupakan pneumonia yang didapat di masyarakat. 1 Mortalitas pada penderita

BAB I PENDAHULUAN. paru. Bila fungsi paru untuk melakukan pembebasan CO 2 atau pengambilan O 2 dari atmosfir

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan aliran udara yang menetap pada saluran napas dan bersifat progresif.

BAB I PENDAHULUAN. terisi dengan cairan radang, dengan atau tanpa disertai infiltrasi dari sel

BAB I PENDAHULUAN. Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) akan mengalami peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. salah satu aspek yang penting dan banyak digunakan bagi perawatan pasien yang

INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. dalam pembangunan menuju Indonesia sehat 2015 yang diadopsi dari

BAB I PENDAHULUAN. akhir tahun 2011 sebanyak lima kasus diantara balita. 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. bawah 5 tahun dibanding penyakit lainnya di setiap negara di dunia. Pada tahun

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PENATALAKSANAAN ASMA EKSASERBASI AKUT

BAB I PENDAHULUAN. dalam morbiditas dan mortalitas pada anak diseluruh dunia. Data World

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. negara berkembang disebabkan oleh bakteri terutama Streptococcus pneumoniae,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang merupakan salah satu masalah kesehatan. anak yang penting di dunia karena tingginya angka

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit. Departemen Kesehatan pada tahun 2005, penyakit sistem nafas

BAB I PENDAHULUAN. Angka morbiditas dan mortalitas pneumonia di seluruh dunia sangat

PENDAHULUAN. kejadian VAP di Indonesia, namun berdasarkan kepustakaan luar negeri

BAB 1 PENDAHULUAN. neonatus dan 50% terjadi pada minggu pertama kehidupan (Sianturi, 2011). Menurut data dari

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) menurut Global Initiative of

Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Bab 8 Anak menderita HIV/Aids. Catatan untuk fasilitator. Ringkasan Kasus:

BAB 1 PENDAHULUAN. Influenza adalah suatu penyakit infeksi saluran pernafasan. akut yang disebabkan oleh virus influenza. Penyakit ini dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh masuk dan berkembang biaknya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. tubuh yang berlebihan terhadap infeksi. Sepsis sering terjadi di rumah sakit

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis sebagian besar bakteri ini menyerang

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Human

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan pada penelitian ini mencakup bidang Ilmu Penyakit

PENDAHULUAN ETIOLOGI EPIDEMIOLOGI

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu jenis infeksi yang paling sering

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jamur, virus, dan parasit (Dorland, 2014).

BAB 6 PEMBAHASAN. pneumonia yang terjadi pada pasien dengan bantuan ventilasi mekanik setelah 48

Metode Pemecahan Masalah Farmasi Klinik Pendekatan berorientasi problem

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

EVALUASI KERASIONALAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN LANSIA DENGAN PNEUMONIA DI INSTALASI RAWAT INAP RSUP PROF. DR. R. D

BAB I PENDAHULUAN. Pneumonia merupakan infeksi akut di parenkim paru-paru dan sering

BAB I PENDAHULUAN. ini terdapat diseluruh dunia, bahkan menjadi problema utama di negara-negara

BAB I PENDAHULUAN. Meningitis adalah kumpulan gejala demam, sakit kepala dan meningismus akibat

BAB I PENDAHULUAN. Ventilator Associated Pneumonia (VAP) merupakan suatu peradangan pada paru (Pneumonia)

BAB I PENDAHULUAN. morbiditas dan mortalitas pada bayi dan anak-anak. Infeksi mikroba. intrinsik untuk memerangi faktor virulensi mikroorganisme.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Definisi Community-Acquired Pneumoni (CAP)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pada penelitian yang berjudul Evaluasi Ketepatan Penggunaan Antibiotik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pneumonia adalah peradangan saluran pernafasan akut yang mengenai

BAB 1 PENDAHULUAN. bedah pada anak yang paling sering ditemukan. Kurang lebih

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya prevalensi diabetes melitus (DM) akibat peningkatan

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan dalam penelitian ini adalah bidang Ilmu. Mikrobiologi Klinik dan ilmu penyakit infeksi.

Dasar Determinasi Pasien TB

I. PENDAHULUAN. Penyakit infeksi merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia.

F. Originalitas Penelitian. Tabel 1.1 Originalitas Penelitian. Hasil. No Nama dan tahun 1. Cohen et al Variabel penelitian.

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian di bagian Ilmu Penyakit Dalam, sub

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi pada saluran napas merupakan penyakit yang umum terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN. pemantauan intensif menggunakan metode seperti pulmonary arterial

4. HASIL 4.1 Karakteristik pasien gagal jantung akut Universitas Indonesia

UNIVERSITAS SEBELAS MARET FAKULTAS KEDOKTERAN SILABUS

I. PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara

(Juniatiningsih, 2008). Sedangkan di RSUP Sanglah Denpasar periode Januari - Desember 2010 angka kejadian sepsis neonatorum 5% dengan angka kematian

DEFINISI BRONKITIS. suatu proses inflamasi pada pipa. bronkus

Pelayanan Kesehatan bagi Anak. Bab 7 Gizi Buruk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk dalam

BAB I PENDAHULUAN. menjadi dua yaitu, infeksi saluran napas atas dan infeksi saluran napas bawah.

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetic foot merupakan salah satu komplikasi Diabetes Mellitus (DM).

BAB I PENDAHULUAN. menggambarkan kolonisasi kuman penyebab infeksi dalam urin dan. ureter, kandung kemih dan uretra merupakan organ-organ yang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Salah satu penyebab kematian tertinggi di dunia. adalah infeksi. Sekitar lima puluh tiga juta kematian

dalam terapi obat (Indrasanto, 2006). Sasaran terapi pada pneumonia adalah bakteri, dimana bakteri merupakan penyebab infeksi.

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak dikategorikan ke dalam

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih

Pelayanan Kesehatan bagi Anak. Bab 5 Diare. Catatan untuk instruktur

KOMUNIKASI TENTANG PASIEN KEPADA DPJP DENGAN METODE SBAR SITUATION BACKGROUND ASSESSMENT RECOMMEDATION

BAB 4 METODE PENELITIAN. Pulmonologi serta Ilmu Mikrobiologi Klinik.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Community-Acquired Pneumonia (CAP) Definisi CAP berdasarkan IDSA adalah infeksi akut dari parenkim paru dengan gejala-gejala infeksi akut, ditambah dengan adanya infiltrat pada pemeriksaan radiografi atau suara paru abnormal pada pemeriksaan auskultasi pada pasien yang tidak sedang dalam perawatan rumah sakit ataupun panti perawatan dalam kurun waktu 14 hari sebelum timbulnya gejala. 2 Kebanyakan pasien memiliki gejala yang tidak spesifik seperti fatigue, sakit kepala, mialgia, dan anorexia. Gejala dari pneumonia dapat meliputi demam atau hipotermi, kekakuan otot-otot, dispneu, nyeri dada, batuk yang baru terjadi dengan atau tidak adanya produksi sputum atau perubahan warna sekret pada pasien dengan batuk kronik. 2 2.2 Faktor risiko Pasien dengan penyakit penyerta seperti diabetes melitus, insufisiensi renal, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), penyakit arteri koroner, keganasan memiliki risiko terkena CAP yang lebih tinggi. 1 Pasien penderita CAP yang disertai faktor risiko seperti penyakit neurologik, diabetes melitus, umur tua, bakteremia, leukopeni, hipotensi, gangguan fungsi mental, CHF, hipoksemia, takipneu, dan infeksi kuman gram negatif memiliki angka kematian yang lebih tinggi. 2 7

8 ATS menekankan faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko kejadian infeksi dengan resistensi obat dan infeksi akibat patogen yang tidak umum. 8 Faktor resiko infeksi dengan Drug Resistant Streptococcus pneumoniae (DRSP) adalah usia lebih dari 65 tahun, terapi β-lactam selama 3 bulan terakhir, imunosupresi ( akibat penyakit atau penggunaan kortikosteroid), penyakit komorbiditas multiple, alkoholism, paparan terhadap anak kecil di tempat penitipan anak. 8 Faktor risiko infeksi akibat kuman enterik gram negatif adalah tengah dalam pemberian terapi antibiotik, adanya penyakit kardiopulmoner, tinggal di rumah perawatan, penyakit komorbiditas multiple. 8 Faktor risiko akibat Pseudomonas aeruginosa adalah: penyakit paru seperti bronkiektasis, terapi antibiotik broad-spectrum setidaknya selama 7 hari, terapi kortikosteroid dengan pemberian minimal 10mg per hari dan malnutrisi. 1 2.3 Etiologi Studi di Australia mengidentifikasi patogen penyebab CAP terbanyak adalah Streptococcus pneumoniae (42 %) diikuti virus respiratori (18%), Haemophilus influenzae (9%), Mycoplasma pneumoniae dan bakteri gram negatif enterik (masing-masing 8%), Chlamydia psittaci (5%), Staphylococcus aureus, Legionella species dan Mycobacterium tuberculosis (masing masing 3%). 9 Ras, lokasi geografis, gaya hidup dan negara asal mempengaruhi prediksi etiologi dari CAP. Sebagai contoh, di daerah pedalaman Australia kuman pneumokokus pneumonia menjadi penyebab paling banyak. 10,11 Apabila pasien

9 dengan CAP membutuhkan perawatan ICU maka Streptococcus pneumoniae, patogen atipikal (terutama Legionella) dan kuman enterik gram negatif dapat dicurigai sebagai organisme penyebab infeksi tersebut. 1,8 Tabel 2. Etiologi terbanyak penyebab CAP Tempat perawatan Rawat jalan (outpatient) Rawat inap (non-icu) Rawat inap (ICU) Etiologi Streptococcus pneumoniae Mycoplasma pneumoniae Haemophilus influenzae Chlamydophila pneumoniae Virus Respiratori Streptococcus pneumoniae Mycoplasma pneumoniae Chlamydophila pneumoniae Haemohilus influenzae Legionella species Aspirasi Virus Respiratori Streptococcus pneumoniae Staphylococcus aureus Legionella species Basil gram negatif Haemophilus influenzae Sumber : File TM. Community-acquired pneumonia 12 2.4 Diagnosa CAP Diagnosa dari CAP ditegakkkan berdasarkan data klinis, laboratorium, dan radiologi. Selain melihat gejala klinis (batuk, demam, nyeri dada pleuritik), pemeriksaan fisik dilakukan untuk mencari adanya rales atau suara bronki yang tidak sensitif ataupun spesifik untuk mendiagnosa pneumonia. 2 Oleh karena itu, pemeriksaan radiographi thoraks dibutuhkan untuk mendapatkan diagnosis pasti

10 (adanya infiltrat) juga untuk membuat diagnosis banding seperti efusi parapneumonia, abses paru, dan keterlibatan multilobuler. Walaupun Computed Tomography (CT) scan adalah pemeriksaan yang lebih sensitif untuk mendeteksi adanya infiltrat pada paru-paru, tetapi tidak direkomendasikan oleh IDSA ataupun ATS sebagai pemeriksaan rutin. 1,2,8 Pemeriksaan radiographi thoraks dapat tidak dilakukan misalnya dalam keadaan pasien yang sulit dipindahkan di rumah perawatan yang tidak memiliki fasilitas atau akses ke pemeriksaan radiographi. Dalam hal ini, terapi empirik dapat diberikan tanpa konfirmasi diagnosis dengan pemeriksaan radiographi. 13 Pada pasien CAP yang didiagnosa dengan adanya infiltrat abnormal dengan pemeriksaan radiographi, pemeriksaan ini perlu diulang dalam 6 sampai 10 minggu untuk melihat resolusi dari pneumonia dan mengekslusi adanya keganasan yang menyerupai infiltrat infeksius terutama pada perokok usia lanjut. 1,2,8 Pemeriksaan radiographi lanjutan, CT scan thoraks, atau keduanya harus dilakukan pada pasien yang tidak menunjukkan tanda-tanda perbaikan (misalnya kesulitan bernapas atau demam yang persisten) atau dengan adanya kondisi klinis yang memburuk untuk menyingkirkan adanya emphyema atau abses. 2 Apabila pada hasil pemeriksaan fisik atau radiographi tidak menunjukkan adanya faktor risiko untuk terjadinya akibat yang buruk maka pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien CAP tidak harus dilakukan. 13 Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan antara lain adalah hitung sel darah lengkap, elektrolit, pemeriksaan fungsi liver dan ginjal, dan penilaian saturasi oksigen.

11 Pemeriksaan laboratorium ini dilakukan pada pasien dengan penyakit berat dan jarang bermanfaat untuk pasien rawat jalan (outpatients). 2.5 Pemeriksaan mikrobiologi Pemeriksaan untuk menentukan etiologi pasti penyebab CAP sangatlah sulit karena terdapat lebih dari seratus mikroba penyebab pneumonia dan kesemuanya didapatkan dari isolasi jaringan paru-paru setidaknya satu kali. Namun mengambil jaringan paru-paru tidak dapat dilakukan secara rutin oleh karena itu dokter harus bergantung dari hasil pemeriksaan kultur darah, sputum, atau cairan pleura dan tes serologi untuk mendiagnosa etiologi. Kultur darah positif hanya pada 6%-10% pasien pneumonia dan cairan pleura hanya bisa didapatkan pada pasien dengan efusi pleura. Sedangkan spesimen sputum untuk kultur hanya didapatkan dari sepertiga pasien pneumonia dan dikarenakan sputum melewati cavitas oral yang dikolonisasi banyak mikroba maka patogen yang terisolasi dari spesimen sputum belum dapat dipastikan sebagai patogen penyebab pneumonia. 13 Perlunya melakukan pemeriksaan untuk menentukan patogen spesifik penyebab CAP adalah terutama bila hasil pemeriksaan tersebut dapat mengubah terapi antibiotik yang diberikan. Misalnya bila dilakukan pada pasien yang dicurigai adanya resistensi antibiotik atau infeksi akibat patogen yang jarang misalnya endemic fungi atau Mycobacterium tuberculosis yang membutuhkan perubahan terapi antibiotik. 14 Mayoritas pasien rawat jalan tidak dilakukan pemeriksaan mikrobiologi yang spesifik. 13 Sedangkan pada pasien rawat inap, direkomendasikan untuk

12 dilakukan pengecatan gram dan kultur bila tersedia sampel yang adekuat (kurang dari 25 sel epitel skuamus, pemeriksaan dilakukan dalam 1-2 jam setelah sampel didapat, pemeriksa yang terlatih untuk menginterpretasi hasil). Pada pasien yang dirawat ICU, direkomendasikan untuk memeriksa sekret dari saluran napas bawah karena pasien dalam pengawasan dan mungkin diintubasi maka sampel lebih mudah diperoleh. 13 Kultur darah dilakukan bila ada indikasi CAP berat dan sebaiknya diambil sebelum pemberian antibiotik karena hasil nya yang kurang optimal setelah pemberian antibiotik. 14 IDSA dan ATS memiliki rekomendasi yang berbeda dalam pemeriksaan mikrobiologi untuk mencari etiologi dari CAP. IDSA merekomendasikan pemeriksaan sputum rutin dengan pengecatan gram untuk mengoptimalkan terapi antibiotik pada masing-masing pasien dan memonitor adanya resistensi patogen terhadap obat. 2 Sedangkan ATS, tidak merekomendasikan pengecatan gram pada pemeriksaan sputum (tidak adanya kecurigaan resistensi obat) karena studi menunjukkan bahwa patogen tidak teridentifikasi pada 40-50% pasien. Lebih lanjut, tes-tes ini tidak dapat mendeteksi patogen atipikal yang terjadi pada 3% to 40% dari kasus CAP. Organisme atipikal ini didentifikasi dengan tes serologi terhadap Mycoplasma species dan Chlamydia species, atau dengan antigen pada urin terhadap Legionella species. 8 2.6 Skoring derajat keparahan pneumonia pada pasien CAP Penatalaksanaan pertama pada pasien CAP setelah didiagnosa adalah penentuan tempat perawatan berdasarkan derajat keparahan pneumonia dengan

13 menggunakan skor prediksi antara lain PSI dan CURB-65 dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Baik skor PSI ataupun CURB-65 masih belum dapat ditentukan skor manakah yang lebih baik walaupun telah banyak penelitian yang membandingkan sensitifitas dan spesifisitasnya. Seringkali dokter mengirim pasien CAP untuk dirawat inap walaupun pasien sebenarnya mungkin untuk dirawat jalan atau lebih memilih untuk dirawat jalan. Selain biaya perawatan di rumah sakit yang mahal, pasien yang dirawat berisiko tinggi untuk terkena komplikasi akibat perawatan seperti kejadian tromboembolik, infeksi colitis akibat Clostridium difficile dan infeksi traktus urinarius akibat penggunaan kateter. 14,22 Oleh karena itu dokter perlu menentukan tempat perawatan yang tepat untuk pasien CAP untuk menghindari perawatan yang tidak perlu. Skoring derajat keparahan pneumonia seperti CURB-65 atau skor prediksi seperti PSI, bermanfaat untuk memprediksi risiko mortalitas pasien CAP. Skorskor ini juga digunakan sebagai panduan pemilihan terapi antibiotik dan mengidentifikasi pasien yang memerlukan perawatan di ICU. Penggunaan skor/kriteria yang objektif ini dapat menurunkan angka rawat inap pada pasien CAP dengan risiko mortalitas rendah juga penting dalam mengidentifikasi pasien CAP risiko mortalitas tinggi yang membutuhkan perawatan. Namun penggunaan kriteria yang objektif juga harus diimbangi oleh penilaian subjektif dari dokter, termasuk kemampuan dan keamanan pasien dalam mengonsumsi obat secara oral dan ketersediaan sarana dan prasarana bagi outpatient tersebut. 14

14 2.6.1 Pneumonia Severity Index (PSI) Skor prediksi PSI mengklasifikasikan pasien ke dalam 5 kelas mortalitas dan keunggulan skor ini untuk memprediksi angka mortalitas telah dikonfirmasi melalui berbagai penelitian. Kriteria PSI terdiri dari 20 variabel yang berbeda oleh karena itu sangat tergantung dari kelengkapan lembar penilaian, sehingga sulit diterapkan pada situasi pelayanan gawat darurat yang sibuk. Akan tetapi, skor ini sangat baik untuk mengkaji penderita dengan risiko mortalitas rendah yang sesuai untuk mendapat penanganan rawat jalan daripada penderita dengan pneumonia berat yang membutuhkan perawatan rumah sakit. 15 Berdasarkan tingkat mortalitasnya maka pasien dibagi menjadi: kelas risiko I dan II dirawat jalan(outpatients), pasien kelas risiko III dirawat inap singkat atau dalam unit pengawasan, dan pasien kelas risiko IV dan V dirawat inap (inpatients). 16 Berdasarkan pedoman ATS, pasien dengan kelas risiko III mungkin untuk dirawat jalan atau dirawat inap singkat. 8 Tabel 3. Skor Prediksi Pneumonia Severity Index Karakteristik Pasien Faktor Demografi Usia laki-laki Usia wanita Usia Tinggal di rumah perawatan +10 Penyakit Komorbid Keganasan +30 Penyakit liver +20 Gagal jantung kongestif +10 Penyakit serebrovaskuler +10 Usia-10 Penyakit ginjal +10 Poin skor

15 Temuan Pemeriksaan Fisik Penurunan kesadaran +20 Laju pernapasan 30 x per menit +20 Tekanan darah sistolik <90 mmhg +20 Suhu < 35 o C / 40 o C +15 Nadi 125 x per menit +10 Temuan Laboratorium ph <7,35 +30 BUN>11mmol/L atau 30mg/dL +20 Natrium <130mmol/L +20 Gula darah >14 mmol/l atau 250mg/dL +10 Hematokrit <30% +10 p02 <60mmHg +10 Efusi pleura +10 Sumber : Fine MJ dkk 16 Total skor PSI berdasarkan karakteristik pasien pada tabel 3 selanjutnya digunakan untuk menentukan kelas risiko dan risiko mortalitas pasien CAP (ditunjukkan pada tabel 4). Tabel 4. Derajat keparahan pneumonia berdasarkan skor PSI Total Skor PSI Kelas Risiko Risiko Mortalitas <51 I Rendah 51-70 II 71-90 III 91-130 IV Sedang >130 V Tinggi Sumber : Niederman MS.Terapi empirik. Dalam : ATS 8 Modifikasi dari skor PSI dibutuhkan dalam memutuskan tempat perawatan pasien. Pasien dengan kelas risiko I-III dirawat inap apabila saturasi oksigen arteri

16 <90% atau tekanan oksigen arteri (PaO2) <60 mmhg. 16 Selain karena hipoksemia, kelas risiko rendah kriteria PSI I-III dirawat inap apabila didapatkan syok, penyakit penyerta, efusi pleura, ketidakmampuan mempertahankan konsumsi obat secara oral, masalah sosial( tidak ada keluarga/orang yang dapat menjaga), dan respon yang inadekuat terhadap terapi antibiotik empirik sebelumnya. 17 Alasan medik dan psikososial lain untuk pasien dirawat inap adalah vomitus, penyalahgunaan obat injeksi, gangguan jiwa berat, tuna wisma, status fungsional yang buruk dan disfungsi kognitif. 18-20 Namun pasien dengan kelas risiko V dan umur yang sangat tua dan disertai berbagai penyakit kronik dapat dikelola sebagai outpatient. 21 2.6.2 CURB-65 Merupakan model skor yang direkomendasikan oleh British Thoracic Society (BTS) berdasar pada lima gambaran klinik utama yang sangat praktis, mudah diingat dan dinilai. Skor ini juga telah divalidasi walaupun dengan jumlah sample yang lebih sedikit dibandingkan dengan PSI. 23 Kelebihan skor CURB-65 adalah penggunaannya yang mudah dan dirancang untuk lebih menilai keparahan penyakit dibandingkan dengan PSI yang menilai risiko mortalitas. 14 Skor CURB- 65 lebih baik dalam menilai pasien pneumonia berat dengan risiko mortalitas tinggi. 15 Walaupun skor CURB-65 mudah digunakan tetapi kurang dalam menilai tanda vital dan kadar oksigen yang menjadi kekurangan mengingat pentingnya penilaian cepat terhadap oksigenasi pada pasien saat datang ke ruang gawat darurat. 24

17 Tabel 5. Skor Prediksi CURB-65 Karakteristik Skor Penurunan kesadaran 1 Urea nitrogen darah > 20 mg per dl (7.14 mmol per L) 1 Laju pernapasan 30 x per menit 1 Tekanan darah (sistolik < 90 mm Hg atau diastolik 60 mm 1 Hg) Usia 65 tahun 1 Total skor: 5 Sumber : Lim dkk 15 Tabel 6. Skor tes mental atau Abbreviated Mental Test direkomendasikan oleh BTS (AMT) yang Pertanyaan Poin skor Umur 1 Tanggal lahir 1 Waktu 1 Tahun 1 Nama rumah sakit 1 Mengenali dua orang (misalnya dokter dan 1 perawat) Alamat (untuk diulang pasien saat 1 pertanyaan terakhir) Tahun suatu kejadian di masa lalu (misalnya 1 hari kemerdekaan Indonesia) Nama presiden/ raja 1 Hitung mundur 20 1 1 Total skor: 10 Sumber: Hodkinson HM. Evaluasi skor tes mental. Dalam: BTS 25

18 Penurunan kesadaran didefinisikan sebagai skor tes mental atau Abbreviated Mental Test 8 atau adanya disorientasi baru terhadap orang, tempat, dan waktu. Total skor 0-3 menandakan terjadinya gangguan kognitif berat dan 4-6 gangguan ringan. Berikut adalah bagan untuk menjelaskan aplikasi skor prediksi CURB-65 dalam penatalaksanaan pasien CAP: Adanya: Penurunan kesadaran Urea> 7mmol/L Laju pernapasan 30 x per menit Tekanan darah (sistolik < 90 mm Hg atau diastolik 60 mm Hg) Usia 65 tahun Total skor Derajat keparahan 0 atau 1 2 3 atau lebih Kelompok 1 Derajat rendah Kelompok 2 Derajat sedang Kelompok 3 Derajat tinggi Pilihan Terapi Rawat jalan Sumber: Lim, dkk 15 Dipertimbangkan rawat inap Pilihan termasuk: a) Rawat inap b) Rawat jalan dengan evaluasi Penatalaksanaan rawat inap sebagai pneumonia berat Pertimbangkan rawat ICU bila skor CURB-65 =4 atau 5 Gambar 1. Aplikasi skor CURB-65 dalam penatalaksanaan pasien CAP

19 2.7 Terapi antibiotik Tujuan pemberian terapi antibiotik adalah untuk mengeradikasi patogen penyebab infeksi. Terapi antibiotik yang diberikan pada penatalaksanaan awal adalah terapi empirik karena patogen penyebab sulit untuk didiagnosis secara pasti pada kebanyakan pasien CAP. 22 Pemberian terapi empirik sebagai penatalaksanaan awal tidak akan berubah sampai metode pemeriksaan yang akurat dan cepat tersedia yang dapat mengidentifikasi penyebab pasti CAP. 14 Pemberian terapi berdasarkan patogen penyebab ataupun terapi empirik pada pasien CAP terdapat perbedaan yang tidak signifikan pada angka mortalitas maupun lamanya rawat inap. Disarankan bahwa terapi antibiotik diberikan sedini mungkin setelah diagnosis pneumonia yang dapat menurunkan angka kematian. 14,23 Tabel 7. Terapi antibiotik empirik pada pasien CAP Outpatients (rawat jalan) Sebelumnya dalam kondisi sehat, tidak ada riwayat penggunaan antibiotik dalam 3 bulan terakhir Macrolide atau doxycycline Dengan penyakit komorbid* atau riwayat penggunaan antibiotik dalam 3 bulan terakhir Respiratori fluoroquinolone (levofloxacin, gemifloxacin, atau moxifloxacin) atau antibiotik betalactam (amoxicillin dosis tinggi, amoxicillin/clavulanate, atau cefpodoxime) ditambah macrolide

20 Inpatients (rawat inap) Non-ICU respiratori fluoroquinolone, atau antibiotik beta-lactam ditambah macrolide ICU Antibiotik beta-lactam (ceftriaxone, cefotaxime, atau ampicillin/sulbactam), ditambah azithromycin atau respiratori fluoroquinolone Pertimbangan khusus Faktor risiko terhadap Pseudomonas species Antibiotik beta-lactam (piperacillin/tazobactam, cefepime, imipenem/cilastatin, meropenem, atau doripenem), ditambah salah satu dari ciprofloxacin atau levofloxacin atau Antibiotik beta-lactam diatas ditambah aminoglycoside dan azithromycin atau Antibiotik beta-lactam diatas ditambah aminoglycoside dan antipneumococcal respiratory fluoroquinolone Faktor risiko terhadap Methicillin- Resistant Staphylococcus aureus(mrsa) Vancomycin atau linezolid Virus Influenza Oseltamivir atau zanamivir Sumber: Mandell LA. IDSA/ATS 14 *penyakit jantung,paru,liver,ginjal kronik; diabetes melitus;alkoholisme;keganasan;asplenia;kondisi imunosupresi atau penggunaan obat-obat imunosupresi

21 Berdasarkan pedoman ATS/IDSA pada tabel 7 di atas terapi empirik ditentukan berdasarkan tempat perawatannya. Sedangkan menurut pedoman BTS, terapi antibiotik empirik ditentukan bukan berdasarkan tempat perawatan melainkan derajat keparahan berdasarkan kriteria CURB-65. Pasien CAP dengan derajat keparahan rendah (CURB 65=0 1) diberikan amoxicillin oral. Pasien dengan derajat sedang (CURB 65=2) diberikan terapi kombinasi amoxicillin dan macrolide oral. Terapi oral diberikan selama tidak ada kontraindikasi. Pasien yang memiliki respon kurang baik terhadap amoxicillin dapat diberikan monotherapy macrolide. Pasien CAP derajat tinggi (CURB 65=3 5) diberikan antibiotik parenteral yang terdiri dari β-lactam broad spectrum seperti co-amoxiclav ditambah macrolide seperti clarithromycin. 25 PASIEN CAP SKORING CURB-65 CURB-65=0-1 CURB-65=2 CURB-65=3-5 Amoxicillin oral 500mg Amoxicillin oral 500mg co-amoxiclav parenteral dan clarithromycin oral dan makrolida 500mg 500mg Sumber : Lim WS. BTS 25 Gambar 2. Terapi empirik menurut pedoman BTS Pada pasien CAP dengan penyakit komorbid atau dengan riwayat penggunaan antibiotik dalam 3 bulan terakhir terjadinya Drug- Resistant Streptococcus pneumoniae (DRSP) menjadi perhatian penting dan

22 penatalaksanaannya adalah dengan pemberian antibiotik oral beta-laktam seperti amoxicilin dosis tinggi, amoxicillin/clavulanate, cefpodoxime dikombinasi dengan macrolide. 22 Apabila etiologi dari CAP telah diidentifikasi melalui pemeriksaan mikrobiologi, maka terapi empirik digantikan oleh terapi berdasarkan patogen penyebab. 14 Keuntungan apabila etiologi pasti telah ditemukan dan pemberian terapi sesuai etiologi adalah mengurangi penyalahgunaan antibiotik dalam hal biaya, terjadinya resistensi dan reaksi obat yang tak dikehendaki (adverse drug reaction) juga mengindentifikasi patogen yang berpotensi signifikan dalam epidemiologi seperti Mycobacterium tuberculosis, Legionella species dan Drug- Resistant Streptococcus pneumoniae. 13 Terapi pada pasien CAP dapat dihentikan apabila telah memenuhi kriteria berikut: pasien setidaknya mendapat terapi selama minimal 5 hari, bebas demam selama 48-72 jam, dan tidak ditemukan lebih dari 1 tanda yang menunjukkan ketidakstabilitas klinik akibat CAP. 14 Tabel 8. Kriteria pasien stabil secara klinis No. Kriteria 1. Suhu tubuh 37.8 o C 2. Detak jantung 100 kali/menit 3. Laju pernapasan 24 kali/menit 4. Tekanan darah sistolik 90 mm Hg 5. Saturasi oksigen arteri 90% or po2 60 mm Hg dalam ruangan 6. Kemampuan mempertahankan asupan oral 7. Status mental normal

23 Perubahan terapi antibiotik dari intravena ke oral dapat dilakukan apabila pasien telah stabil secara hemodinamik, adanya perbaikan klinis, mampu mengkonsumsi obat secara oral dan traktus gastrointestinalnya telah berfungsi normal. Kriteria pasien stabil secara klinis pada tabel 8 juga dapat digunakan untuk penentuan perubahan terapi intravena ke oral. Beberapa studi menunjukkan bahwa perubahan ke terapi oral yang dilakukan lebih awal dapat memperpendek masa perawatan, dan bahkan menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan yang diberikan terapi intravena dalam jangka waktu lama. Apabila secara klinis pasien telah stabil, tidak ada masalah medis lainnya dan lingkungan yang mendukung untuk melanjutkan perawatan maka pasien dapat dipulangkan. Biasanya dokter melakukan pengamatan satu hari pada pasien yang telah mendapat terapi oral tetapi hal ini masih dipertanyakan tujuan dan keuntungannya bagi pasien. 14