BAB III KERUGIAN DAN UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH PIHAK KETIGA TERHADAP KERUGIAN AKIBAT KELALAIAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II PEMBUBARAN DAN TANGGUNGJAWAB LIKUDIATOR

BAB II PERBUATAN MELAWAN HUKUM. KUHPerdata, termasuk ke dalam perikatan yang timbul dari undang-undang.

KETENTUAN-KETENTUAN PENTING TENTANG WANPRESTASI DAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM (PMH) OLEH: Drs. H. MASRUM, M.H. (Hakim Pengadilan Tinggi Agama Banten)

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Tanggung Jawab Direksi Terhadap Kerugian Yang Diderita Perseroan

PERBUATAN MELANGGAR HUKUM OLEH PENGUASA

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS

BAB II PERBUATAN MELAWAN HUKUM (ONRECHTMATIGE DAAD) A. Sejarah dan Perkembangan Perbuatan Melawan Hukum

BAB IV PENUTUP. 1. Gugatan Warga Negara (Citizen Lawsuit/Actio Popularis) adalah suatu gugatan

BAB II PENGATURAN DIREKSI MENURUT KETENTUAN UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS. perseroan yang paling tinggi, serta yang berhak dan berwenang untuk

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM TERHADAP HEWAN PELIHARAAN YANG MENYEBABKAN KERUGIAN TERHADAP HEWAN PELIHARAAN LAIN SEBAGAI PERBUATAN YANG MELAWAN HUKUM

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB I PENDAHULUAN. dan harta kekayaan para pendiri atau pemegang sahamnya. 3. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

B A B II TINJAUAN PUSTAKA. Secara khusus badan usaha Perseroan Terbatas diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007


RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI PERSEROAN TERBATAS DAN PENERAPAN ASAS PIERCING THE CORPORATE VEIL ATAS TANGGUNG JAWAB DIREKSI

EKSISTENSI DAN TANGGUNG JAWAB DIREKSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS. Oleh : Raffles, S.H., M.H.

BAB II PERBUATAN MELAWAN HUKUM. Romawi, yaitu teori tentang culpa dari Lex Aquilla, kemudian terjadi proses

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2005 TENTANG PENDIRIAN, PENGURUSAN, PENGAWASAN, DAN PEMBUBARAN BADAN USAHA MILIK NEGARA

RESUME TESIS KEABSAHAN BADAN HUKUM YAYASAN YANG AKTANYA DIBUAT BERDASARKAN KETERANGAN PALSU

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN. TENTANG PERSEKUTUAN PERDATA, PERSEKUTUAN FIRMA, DAN PERSEKUTUAN KOMANDITER

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERSEKUTUAN PERDATA, PERSEKUTUAN FIRMA, DAN PERSEKUTUAN KOMANDITER

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2005 TENTANG PENDIRIAN, PENGURUSAN, PENGAWASAN, DAN PEMBUBARAN BADAN USAHA MILIK NEGARA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERBUATAN-PERBUATAN PENDIRI SEBELUM PERSEROAN MEMPEROLEH PENGESAHAN BADAN HUKUM Oleh: Adem Panggabean BAB I PENDAHULUAN

Direksi mempunyai tugas dan wewenang ganda yaitu melakukan pengurusan dan menjalankan perwakilan perseroan Direksi yang mengurus dan mewakili

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG USAHA PERSEORANGAN DAN BADAN USAHA BUKAN BADAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001

BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA. apabila proses On Going Concern ini gagal ataupun berhasil dalam

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N YANG DIRUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB V PENUTUP. pembatalan perjanjian distribusi makanan melalui pengadilan, sebagaimana

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II BATASAN KRITERIA DIREKSI PERSEROAN TERBATAS DALAM MELAKSANAKAN DUTY OF LOYALTY DAN DUTY OF CARE BERDASARKAN UNDANG UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007

BAB II KAJIAN TEORI MENGENAI PERBUATAN MELAWAN HUKUM DAN JUAL BELI

Andria Luhur Prakoso Universitas Muhammadiyah Surakarta

BAB II KAJIAN HUKUM PERBUATAN MELAWAN HUKUM MATERIL DALAM HUKUM PIDANA. Hukum di Prancis yang semula juga mengambil dasar-dasar dari hukum

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

[FIKA ASHARINA KARKHAM,SH]

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGIKATAN PERJANJIAN JUAL BELI TANAH DAN BANGUNAN DAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk

BAB I PENDAHULUAN. dalam masyarakat itu sendiri, untuk mengatasi permasalahan tersebut dalam hal ini

BAB 2 PERBUATAN MELAWAN HUKUM

BAB II HUBUNGAN HUKUM INDUK PERUSAHAAN DENGAN ANAK PERUSAHAAN. A. Status Badan Induk perusahaan dan Anak Perusahaan

BAB III TANGGUNG JAWAB PENYELENGGARAAN JASA MULTIMEDIA TERHADAP KONSUMEN. A. Tinjauan Umum Penyelenggaraan Jasa Multimedia

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi. Untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya, mereka harus

BAB I PENDAHULUAN. separate entity dan limited liability yang dikenal di dalam Perseroan Terbatas.

BAB I PENDAHULUAN. Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan

BAB I P E N D A H U L U A N

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB II KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERDATA DAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM SERTA GANTI KERUGIAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III TANGGUNG GUGAT BANK SYARIAH ATAS PELANGGARAN KEPATUHAN BANK PADA PRINSIP SYARIAH

STIE DEWANTARA Subyek Hukum Bisnis

Sosialisasi Rancangan Undang-undang Tentang Usaha Perseorangan dan Badan Usaha Bukan Badan Hukum

BAB V PENUTUP. Dari pembahasan mengenai Kajian Yuridis Atas Doktrin Caveat Venditor. Terhadap Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Pembeli Gawai dalam

PERIKATAN YANG LAHIR DARI UNDANG-UNDANG. A. Perbuatan Manusia yang tidak melawan hukum (rechtmatige)

KAJIAN MENGENAI GUGATAN MELAWAN HUKUM TERHADAP SENGKETA WANPRESTASI

Oleh : Nike K. Rumokoy. Abstract:

BAB II PENGATURAN ATAS JUAL BELI SAHAM DALAM PERSEROAN TERBATAS DI INDONESIA. dapat dengan mudah memahami jual beli saham dalam perseroan terbatas.

PIAGAM DIREKSI. Piagam ini diterbitkan untuk menjadi panduan Direksi dan anggotanya dalam mengelola dan menjalankan Perseroan. A.

A. Perlindungan Hukum yang dapat Diperoleh Konsumen Terhadap Cacat. Tersembunyi yang Terdapat Pada Mobil Bergaransi yang Diketahui Pada

BAB I PENDAHULUAN. Penerapan business judgment..., Kanya Candrika K, FH UI, , TLN No. 4756, Pasal 1 angka 1.

BAB I PENDAHULUAN. selalu memperoleh sesuatu yang lebih menguntungkan dari sebelumnya.

SYARAT-SYARAT SAHNYA PENDIRIAN PERSEROAN TERBATAS (PT) DI INDONESIA 1 Oleh : Nicky Yitro Mario Rambing 2

BAB V PENUTUP. Universitas Indonesia

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 11

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 1999 TENTANG PENCABUTAN IZIN USAHA, PEMBUBARAN DAN LIKUIDASI BANK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II KAJIAN TEORI TENTANG PERBUATAN MELAWAN HUKUM PADA UMUMNYA, DEPOSITO, DAN LEMBAGA KEUANGAN BANK

(Suyadi & Susilo Wardani, 2001: 47).

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 33 /POJK.04/2014 TENTANG DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK

RENCANA PENYESUAIAN ANGGARAN DASAR PT BANK DANAMON INDONESIA, TBK. DENGAN PERATURAN POJK NOMOR 32/ POJK.04/2014 DAN NOMOR 33/ POJK.

KREDIT MACET DAN NOVASI SUBJEKTIF PASIF. Sudiman Sidabukke 1. Perjanjian kredit oleh dan di antara pemberi dan penerima kredit menimbulkan

a. Kepastian hari, tanggal, bulan, tahun dan pukul menghadap; b. Para pihak (siapa-orang) yang menghadap pada Notaris;

Dokumen Perjanjian Asuransi

Transkripsi:

BAB III KERUGIAN DAN UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN OLEH PIHAK KETIGA TERHADAP KERUGIAN AKIBAT KELALAIAN LIKUIDATOR SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 148 AYAT (2) UU PT 3.1. Kerugian Dalam Hukum Menurut Wirdjono Prodjodikoro kerugian harus diartikan dalam arti yang luas yaitu tidak hanya mengenai harta kekayaan saja melainkan juga mengenai kepentingan-kepentingan lain dari seorang manusia, yaitu tubuh, jiwa dan kehormatan seseorang. 13 Dalam hukum dikenal 2 (dua) klasifikasi kerugian : 14 a. Kerugian materil : yaitu kerugian yang nyata-nyata ada yang diderita Oleh pemohon b. Kerugian Immateril : yaitu kerugian atas manfaat yang kemungkinan akan Diterima oleh pemohon di kemudian hari atau kerugian dari kehilangan keuntungan yang mungkin diterima oleh pemohon dikemudian hari. 13 Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum, Vorkink-Von Hoeve.Bandung h.20-21 14 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4da27259c45b9/di-mana-pengaturan-kerugiankonsekuensial-dalam-hukum-indonesia 28

29 Secara historis, hukum yang mengatur mengenai ganti rugi perdata sudah dikenal sejak zaman Romawi, dapat dilihat dalam Lex Aquilia pada chapter pertamanya. Pasal 1365 BW menentukan kewajiban membayar ganti rugi bagi pelaku Perbuatan Melanggar Hukum namun tidak ada pengaturan lebih lanjut mengenai ganti kerugian tersebut. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah ada perbedaan pengertian kerugian karena perbuatan melanggar hokum dengan kerugian karena wanprestasi. Rosa Agustina melihat bahwa kerugian dalam pasal 1365 BW dinamakan sebagai schade (rugi) saja, sedangkan kerugian akibat wanprestasi oleh Pasal 1246 BW dinamakan kosten, scaden, en interesten (biaya, kerugian, dan bunga). Menurut Rosa Agustina di dalam undang-undang tidak diatur tentang ganti kerugian yang harus dibayar karena perbuatan melanggar hukum, sedang dalam Pasal 580 ke-7 Reglement Burgerlijk Rechtvordering juga memakai istilah kosten, scade en interesten untuk menyebutkan kerugian sebagai akibat Perbuatan Melanggar Hukum (pidana). Maka dapat dianggap bahwa pembuat B.W. sebetulnya tidak membedakan kerugian akibat Perbuatan Melanggar Hukum dan kerugian akibat wanprestasi. Keduanya meliputi juga ketiadaan penerimaan suatu keuntungan, yang mula-mula diharapkan oleh korban sebagaimana diatur dalam Pasal 1246 BW. Kerugian yang diatur dalam pasal 1247 dan 1250 BW tidak dapat diterapkan untuk Perbuatan Melanggar Hukum karena:

30 a. Pasal 1247 BW mengenai perbuatan perikatan yang berarti bahwa perikatan tersebut dilahirkan dari persetujuan, sedang Perbuatan Melanggar Hukum tidaklah merupakan perikatan yang lahir dari persetujuan; b. Pasal 1250 BW membebankan pembayaran bunga atas penggantian biaya, rugi, dan bunga dalam hal terjadi kelambatan pembayaran sejumlah uang, sedang yang dialami karena perbuatan melanggar hukum bukan disebabkan karena tidak dilakukannya pembayaran uang tepat pada waktunya. Kerugian akibat dari suatu perbuatan melanggar hukum dapat berupa kerugian kekayaan (vermogensschade) atau kerugian yang bersifat idiil. Perbuatan Melanggar Hukum selain dapat mengakibatkan kerugian uang, tetapi juga dapat menyebabkan kerugian moral atau idiil. Dalam arrest Hoge Raad dalam kasus W.P. Kreuningen vs. Van Bessum cs. belumlah memutuskan bahwa pelaku Perbuatan Melanggar Hukum pada umumnya berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdt. diwajibkan mengganti kerugian idiil. Maka konsekuensi dari arrest tersebut menurut Rutten ialah bahwa dalam menerapkan Pasal 1365 KUHPerdt. juga dapat dituntut penggantian kerugian idiil dengan catatan akan diperhitungkan ex aequo et bono (menurut kelayakan dan kewajaran). Menurut ketentuan Pasal 1246 KUHPerdt. kerugian yang disebabkan karena tidak dipenuhinya perikatan pada umumnya harus diganti dengan kerugian yang dialami oleh penderita dan juga dengan keuntungan yang sekiranya dapat diharapkannya (gederfdewinst). Maka itu dianut pendapat bahwa pelaku Perbuatan Melanggar Hukum harus mengganti kerugian yang ditimbulkannya, maupun

31 keuntungan yang dapat diharapkan diterima. Mengenai penggantian atas keuntungan yang sekiranya dapat diharapkan diterimanya tidaklah semudah diperkirakan untuk menetapkan besarnya jumlah ganti kerugian tersebut. Besarnya ganti kerugian ditetapkan dengan penafsiran di mana diusahakan agar si penderita sebanyak mungkin dikembalikan pada keadaan sebelum terjadinya perbuatan melanggar hukum. 15 3.2. Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak ketiga Terhadap kerugian yang diderita oleh pihak ketiga karena kelalaian Likuidator, upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak ketiga adalah gugatan ganti rugi berdasarkan perbuatan melanggar hukum berdasar pasal 1365 BW, karena perikatan yang lahir dari undang-undang bukanlah perikatan yang lahir dari suatu persetujuan sehingga pasal 1247 BW tidak dapat berlaku seperti telah dijelaskan dalam sub-bab sebelumnya. Perbuatan Melanggar Hukum diatur dalam pasal 1365 BW 1380 BW. Dalam pasal 1365 BW yang berbunyi : Setiap Perbuatan Melanggar Hukum yang oleh karenanya menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menyebabkan kerugian itu mengganti kerugian Berdasarkan pasal ini, diatur bahwa dalam hal seseorang melakukan suatu Perbuatan Melanggar Hukum maka dia wajib membayar ganti rugi atas perbuatannya. 15 Agustina 51-66

32 Perbuatan Melanggar Hukum pada awalnya mengandung arti sempit yang sama artinya dengan perbuatan melanggar undang-undang (onwetmatige daad). Semenjak adanya putusan hoge raad dalam kasus cohen vs Lindenbaum. Sejak putusan ini hoge raad mulai menafsirkan Perbuatan Melanggar Hukum secara luas. Perbuatan Melanggar Hukum kemudian diartikan tidak hanya perbuatan yang melanggar kaidah-kaidah tertulis tetapi juga perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, melanggar hak subyektif orang lain perbuatan yang melanggar kaidah yang tidak tertulis, yaitu kaedah yang mengatur tata susila, dan kepatutan dalam lalu lintas masyarakat. Menurut R.Wirjono Projodikoro dalam bukunya yang berjudul perbuatan melanggar hukum, perkataan perbuatan dalam rangkaian kata-kata perbuatan melanggar hukum dapat diartikan positif melainkan juga negatif, yaitu meliputi juga hal yang orang dengan berdiam diri saja dapat dikatakan melanggar hukum karena menurut hukum seharusnya orang itu bertindak. Menurut Munir Fuady unsur-unsur dari suatu perbuatan melanggar hukum, yaitu: 1. Adanya suatu perbuatan; 2. Perbuatan tersebut melanggar hukum; 3. Adanya kesalahan dari pihak pelaku; 4. Adanya kerugian bagi korban; 5. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian

33 Penjelasan dari unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut: 16 1. Adanya Suatu Perbuatan Suatu Perbuatan Melanggar Hukum diawali oleh suatu perbuatan dari si pelakunya. Umumnya diterima anggapan bahwa dengan perbuatan di sini dimaksudkan, baik berbuat sesuatu (aktif) maupun tidak berbuat sesuatu (pasif). Oleh karena itu, terhadap Perbuatan Melanggar Hukum tidak ada unsur persetujuan atau kata sepakat dan tidak ada juga unsur causa yang diperbolehkan sebagaimana yang terdapat dalam kontrak. 2. Perbuatan Tersebut Melanggar Hukum Perbuatan yang dilakukan tersebut haruslah melanggar hukum. Sejak tahun 1919, unsur melanggar hukum ini diartikan dalam arti yang seluas-luasnya, yakni meliputi hal-hal sebagai berikut: a. Perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku; b. Yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum si pelaku; c. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku; d. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan (geode zeden); e. Perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam bermasyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain (indruist tegen de zorgvuldigheid, welke in het maatschappelijk verkeer betaamt ten aanzein van ander person of goed) 3. Adanya Kesalahan dari Pihak Pelaku Agar dapat dikenakan Pasal 1365 BW. tentang Perbuatan Melanggar Hukum, undang-undang dan yurisprudensi mensyaratkan agar pada pelaku haruslah mengandung unsur kesalahan (schuldement) dalam melaksan akan perbuatan tersebut. Dengan dicantumkannya syarat kesalahan dalam Pasal 1365 BW. Pembuat undangundang berkehendak menekankan bahwa pelaku perbuatan melanggar hukum, hanyalah bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkannya apabila perbuatan tersebut dapat dipersalahkan padanya. Suatu tindakan dianggap oleh hukum mengandung unsur kesalahan sehingga dapat dimintakan tanggung jawabnya secara hukum jika memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: a. Ada unsur kesengajaan; b. Ada unsur kelalaian (negligence, culpa); c. Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf (rechtvaardigingsgrond), seperti keadaan overmacht, membela diri, tidak waras, dan lain-lain. Terdapat tiga aliran terhadap persyaratan unsur kesalahan di samping unsur melanggar hukum dalam suatu perbuatan melanggar hukum, yaitu a. Aliran yang menyatakan cukup hanya unsur melanggar hukum saja; 16 Munir,Fuady, Perbuatan Melawan Hukum.,PT.Citra Aditya Bakti., Bandung., hlm. 10-14.

34 Aliran ini menyatakan bahwa dengan unsur melanggar hukum terutama dalam artinya yang luas, sudah inklusif unsur kesalahan di dalamnya, sehingga tidak diperlukan lagi unsur kesalahan terhadap suatu perbuatan melanggar hukum. Di negeri Belanda aliran ini dianut oleh Van Oven. b. Aliran yang menyatakan cukup hanya unsur kesalahan saja; Aliran ini menyatakan bahwa dengan unsur kesalahan, sudah mencakup juga unsur Perbuatan Melanggar Hukum di dalamnya, sehingga tidak diperlukan lagi unsur melanggar hukum terhadap suatu perbuatan melanggar hukum. Di negeri Belanda aliran ini dianut oleh Van Goudever. c. Aliran yang menyatakan diperlukan baik unsur melanggar hukum maupun unsur kesalahan. Aliran ini mengajarkan bahwa suatu Perbuatan Melanggar Hukum mesti mensyaratkan unsur melanggar hukum dan unsur kesalahan sekaligus, karena dalam unsur melanggar hukum saja belum tentu mencakup unsur kesalahan. Di negeri Belanda aliran ini dianut oleh Meyers. 4. Adanya Kerugian Bagi Korban Adanya kerugian (schade) bagi korban juga merupakan syarat agar gugatan berdasarkan Pasal 1365 BW. dapat dipergunakan. Berbeda dengan kerugian karena wanprestasi yang hanya mengenal kerugian materil, maka kerugian karena Perbuatan Melanggar Hukum di samping kerugian materil, yurisprudensi juga mengakui konsep kerugian immaterial yang juga akan dinilai dengan uang. 5. Adanya Hubungan Kausal Antara Perbuatan Dengan Kerugian Hubungan kausal antara perbuatan yang dilakukan dengan kerugian yang terjadi juga merupakan syarat dari suatu perbuatan melanggar hukum. Untuk hubungan sebab akibat ada 2 (dua) macam teori, yaitu (a) teori hubungan faktual dan (b) teori penyebab kira-kira. a. Teori Hubungan Faktual Hubungan sebab akibat secara factual (causation in fact) hanyalah merupakan masalah fakta atau apa yang secara factual telah terjadi. Setiap penyebab yang mengakibatkan timbulnya kerugian dapat merupakan penyebab secara faktual, asalkan kerugian (hasilnya) tidak akan pernah terdapat tanpa penyebabnya. Dalam hukum tentang perbuatan melanggar hukum, sebab akibat jenis ini sering disebut dengan hukum mengenai sine qua non. Von Buri merupakan salah satu ahli hukum Eropa Kontinental yang sangat mendukung ajaran akibat faktual ini. b. Teori Penyebab Kira-Kira Teori ini bertujuan agar lebih praktis dan agar tercapainya elemen kepastian hukum dan hukum yang lebih adil, maka diciptakanlah konsep proximate cause atau sebab kira-kira. Proximate cause merupakan bagian yang paling membingungkan dan paling banyak pertentangan pendapat dalam hukum tentang perbuatan melanggar hukum. Kadang-Kadang untuk penyebab jenis

35 ini disebut juga dengan istilah legal cause atau dengan berbagai penyebutan lainnya. 3.3. Tinjauan Yuridis Pasal 148 UU PT Berdasar pasal 148 ayat (1) yang berbunyi dalam hal pemberitahuan kepada kreditor dan Menteri sebagaimana dimaksud dalam pasal 147 berlum dilakukan, pembubaran perseroan tidak berlaku bagi pihak ketiga., dari rumusan pasal ini menjadi pertanyaan siapakah pihak ketiga ini? Berdasar pasal 142 ayat (2) huruf b UU PT diatur bahwa Perseroan tidak dapat melakukan perbuatan hukum kecuali dalam rangka likuidasi, sehingga dapat disimpulkan bahwa PT yang sudah dalam likuidasi tidak mungkin memiliki hubungan hukum baru kecuali dalam hal Likuidasi. Apabila menghubungkan pasal 142 ayat (2) huruf b dengan pasal 148 ayat (1) jo pasal 147 UU PT maka pihak ketiga yang belum diberitahukan adalah kreditor dan Menkumham dan kreditor tersebut adalah kreditor yang sudah memiliki hubungan hukum dengan PT sebelum pembubaran. Menjadi penting untuk dipahami bahwa pihak ketiga merupakan pihak lain diluar likuidator dan PT sehingga tafsir pasal ini adalah pembubaran hanya tidak berlaku bagi pihak diluar PT tetapi secara intern PT, pembubaran tetap berlaku beserta segala dampak hukumnya mengenai status PT dalam likuidasi seperti wewenang perwakilan PT dalam likuidasi telah beralih dari direksi kepada Likuidator. Berdasar pasal 148 ayat (2) UU PT yang berbunyi Dalam hal likuidator lalai melakukan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), likuidator secara

36 tanggung renteng dengan Perseroan bertanggung jawab atas kerugian yang diderita pihak ketiga. Seperti yang dijabarkan dalam sub-bab I, bahwa terdapat 2 (dua) jenis kerugian yaitu materiil dan immateriil serta terdapat 2 (dua) upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap kerugian, yaitu wanprestasi dan perbuatan melanggar hukum. Apabila dilihat dalam rumusan pasal 148 ayat (2) UU PT penyebab kerugian pihak ketiga adalah karena likuidator lalai dalam melakukan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 148 ayat (1) yang kemudian merujuk pasal 147 UU PT. Menjadi penting untuk diperhatikan adalah apakah lalai dapat digugat wanprestasi ataukah PMH. 3.3.1. Kewajiban Likuidator Sebagai Perikatan yang Lahir Karena Undangundang Berdasar pasal 1233 BW yang berbunyi tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang diatur bahwa perikatan bersumber dari undang-undang dan perjanjian. Berdasar pasal 1352 BW yang berbunyi perikatan-perikatan yang dilahirkan demi undang-undang, timbul dari undang-undang saja, atau dari undang-undang sebagai akibat dari perbuatan orang maka perikatan yang bersumber dari undangundang dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu perikatan yang timbul dari undang-undang saja dan perikatan yang timbul dari undang-undang sebagai akibat dari perbuatan orang. Berdasarkan pasal 1353 BW yang berbunyi perikatan-perikatan yang

37 dilahirkan dari undang-undnag sebagai akibat dari perbuatan orang, terbit dari perbuatan halal atau dari perbuatan melanggar hukum. Berdasar pasal 148 ayat (2) UU PT diatur bahwa dalam hal likuidator lalai melakukan pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan dalam pasal 148 ayat (1) dinyataan bahwa Dalam hal pemberitahuan kepada kreditor dan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147 belum dilakukan, pembubaran Perseroan tidak berlaku bagi pihak ketiga. Dan dalam pasal 147 UU PT dinyatakan sebagai berikut : (1) Dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pembubaran Perseroan, likuidator wajib memberitahukan: a. kepada semua kreditor mengenai pembubaran Perseroan dengan cara mengumumkan pembubaran Perseroan dalam surat kabar dan Berita Negara Republik Indonesia; dan b. pembubaran Perseroan kepada Menteri untuk dicatat dalam daftar Perseroan bahwa Perseroan dalam likuidasi. (2) Pemberitahuan kepada kreditor dalam surat kabar dan Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a memuat: a. pembubaran Perseroan dan dasar hukumnya; b. nama dan alamat likuidator; Berdasarkan pasal 147 UU PT tersebut dapat dilihat bahwa kewajibankewajiban Likuidator untuk memberitahukan pembubaran PT kepada kreditor dan Menkumham merupakan kewajiban yang dilimpahkan oleh undang-undang dan tidak dapat dirubah oleh kesepakatan Likuidator, sehingga a contrarionya adalah kewajiban-kewajiban likuidator tersebut merupakan perikatan yang lahir dari undangundang saja.

38 3.3.2. Kelalaian Likuidator Dalam Pasal 148 ayat (2) UU PT Sebagai Perbuatan Melanggar Hukum Kewajiban pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 148 ayat (2) UU PT sebenarnya merujuk pada kewajiban likuidator yang dimaksud dalam pasal 147 UU PT dan pasal 148 ayat (2) mengatur dalam hal likuidator melakukan kewajibannya yang disebutkan dalam pasal 147 UU PT. Kelalaian likuidator yang dimaksud dalam pasal 148 ayat (2) UU PT hanya dapat melalui upaya hukum Perbuatan Melanggar Hukum karena kewajiban likuidator yang dilalaikan dalam pasal 148 ayat (2) merupakan kewajiban yang dibebankan oleh UU yaitu pasal 147 UU PT, sebagaimana dijelaskan dalam sub-bab Kewajiban Likuidator Sebagai Perikatan yang Lahir Karena Undang-undang. Kelalaian Likuidator sebagaimana dimaksud dalam pasal 148 ayat (2) tidak dapat diupayakan wanprestasi karena sesuai doktrin wanprestasi didasarkan pada hubungan kontraktual yang dituangkan oleh para pihak dalam suatu perjanjian tertulis. Dalam ilmu hukum diajarkan bahwa agar suatu perbuatan dapat dianggap sebagai kelalaian, haruslah memenuhi unsur pokok sebagai berikut : 17 1. Adanya suatu perbuatan atau mengabaikan sesuatu yang mestinya dilakukan; 2. Adanya suatu kewajiban kehati-hatian (duty of care); 3. Tidak dijalankan kewajiban kehati-hatian tersebut; 4. Adanya kerugian bagi orang lain; 17 Fuady, Op. Cit., hlm. 73.

39 5. Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan atau tidak melakukan perbuatan dengan kerugian yang timbul. Persyaratan (unsur) pokok terhadap kelalaian tersebut sejalan dengan persyaratan yang diberikan oleh pasal 1365 KUH Perdata untuk suatu perbuatan melanggar hukum. 18 Apabila dianalisa dalam kasus pasal 148 ayat (2) UU PT unsur-unsur kelalaian tersebut maka: 1. Adanya suatu perbuatan atau mengabaikan sesuatu yang mestinya dilakukan: 2. Dalam hal ini likuidator mengabaikan kewajiban yang diamatkan oleh pasal 147 UU PT. 3. Adanya suatu kewajiban kehati-hatian (duty of care): Dalam pasal 142 ayat (6) disebutkan bahwa Ketentuan mengenai pengangkatan, pemberhentian sementara, pemberhentian, wewenang, kewajiban, tanggung jawab, dan pengawasan terhadap Direksi mutatis mutandis berlaku bagi likuidator.. Berdasar pasal 92 ayat (1) UU PT direksi menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan. Berdasarkan pasal 97 ayat (2) jo pasal 97 ayat (1) direksi wajib mengurus Perseroan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab, Sehingga berdasar pasal 142 ayat (6) UU PT likuidator wajib menjalankan proses likuidasi dengan itikad baik dan penuh hati-hati. 18 Fuady, Op. Cit., hlm. 73.

40 4. Tidak dijalankan kewajiban kehati-hatian tersebut: Kondisi apabila likuidator melakukan kelalaianlah yang diatur oleh pasal 148 ayat (2). 5. Adanya kerugian bagi orang lain: Dalam pasal 148 ayat (2) kelalaian yang dilakukan oleh likuidator mengakibatkan kerugian pihak ketiga. Pihak ketiga ini menurut penulis adalah stakeholders. Rudhi Prasetya berpendapat bahwa menurut pandangan yang mutakhir tidak dapat dipungkiri bahwa eksistensi perseroan itu berpengaruh banyak untuk kepentingan dan kehidupan masyarakat yang lebih luas. Eksistensi perseroan berpengaruh terhadap kehidupan para karyawannya, para suppliernya, para rekanan-rekanan usahanya, dan masyarakat sekitarnya, pendek kata para stakeholdersnya. Kerugian dalam BW terdiri dari 2 yaitu : kerugian yang nyata-nyata diderita dan keuntungan yang seharusnya diperoleh (pasal 1246 BW), hal ini membuka peluang para stakeholders yang merasa dirugikan oleh kelalaian likuidator untuk mengajukan gugatan PMH. 6. Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan atau tidak melakukan perbuatan dengan kerugian yang timbul:

41 Dalam bukunya Munir Fuady berpendapat bahwa untuk hubungan sebab ada 2 (dua) macam teori yaitu teori hubungan factual dan teori penyebab kirakira. 19 3.3.3. Tanggung Jawab Perseroan Perseroan adalah badan hukum yang merupakan subjek hukum tersendiri dalam lalu lintas hukum, hal ini ditegaskan dalam putusan MA no.047 K/Pdt/1988 dalam putusan tersebut seorang Direktur Perseroan tidak dapat dituntut secara perdata atas perjanjian yang dibuat untuk dan atas nama PT. Menurut Yahya Harahap untuk pertanggung jawaban kontraktual PT, dalam diri Perseroan selaku subyek hukum independen yang terpisah dari pemegang saham dan pengurus melekat tanggung jawab kontraktual atas perjanjian yang dibuat untuk dan atas nama PT. Berdasarkan pasal 1338 jo 1320 BW maka perjanjian itu mengikat para pihak selayaknya Undangundang. Sehingga a contrarionya adalah perjanjian yang dibuat untukdan atas nama PT mengikat PT tersebut selayaknya undang-undnag, sehingga berdasarkan pasal 1243 BW jo 1267 BW apabila PT wanprestasi maka PT dapat dituntut untuk membayar biaya,ganti kerugian, dan bunga. Menurut Yahya Harahap tanggung jawab PT dalam Perbuatan Melanggar Hukum wajib dilihat dari titik tolak teori badan hukum yang dianut. Apabila menganut teori fiksi dari Von savigny yang berpendapat bahwa PT merupakan badan ukum yang tidak memiliki tubuh sendiri sehingga tidak mungkin PT melakukan 19 Fuady, Op. Cit., hlm. 13.

42 kesalahan apalagi merugikan orang lain. Salah satu unsur 1365 BW adalah kesalahan yang dilakukan karena sengaja atau kelalaian sehingga PT tidak dapat dituntut PMH. Tetapi pandangan tersebut telah lama ditinggalkan dan dikesampingkan oleh teori organ yang diajarkan oleh Von Gierke. Teori ini berpendapat bahwa di samping Perseroan tersebut terdapat orang yang terdiri dari pemegang saham dan pengurus. Orang itu merupakan orang sesungguhnya yang cakap hukum. Kehendak PT dibentuk dari pikiran anggotanya sehingga saat membentuk kehendak anggota tersebut bertindak sebagai organ PT. Maka kehendak yang dimaksud PT merupakan kehendak Perseroan tersebut sebagai badan hukum. 20 Arrest Hoge Raad Belanda juga cenderung menganut teori organ. Menurut Yahya Harahap, yang dimaksud organ PT adalah orang yang melakukan fungsi Perseroan yang menyebabkan orang-orang itu dianggap mempunyai pengaruh membentuk kehendak Perseroan. Oleh karena itu Apabila tindakan Perseroan dilakukan oleh orang yang mempunyai wewenang dan kapasitas untuk bertindak melakukan perbuatan hukum sesuai dengan fungsi yang diberikan kepadanya, dan ternyata tindakamnnya itu salah karena melanggar hukum atau hak orang lain, Perseroan dianggap memenuhi unsur kesalahan (schuld, Wrong ful) berdasar pasal 1365 BW. Walaupun secara umum, yang dianggap organ Perseroan menurut hukum adalah orang yang berkewajiban dan berwenang untuk mewakili Perseroan yang diatur dalam AD. Dalam UU PT berdasar pasal 1 angka 2 UU PT, organ yang penting dalam PT adalah Direksi, Dewan Komisaris, dan RUPS. Sehingga apabila 20 Yahya. Op.cit.,h.122-123.

43 dihubungkan dengan teori organ maka apabila organ-organ tersebut telah melakukan suatu perbuatan hukum yang untuk dan atas nama PT dan perbuatan tersebut melanggar hukum atau hak orang lain maka PT dapat dituntut untuk bertanggung jawab PMH berdasar 1365 BW. 21 3.3.4. Tanggung Jawab Dalam Pasal 148 UU PT Berdasarkan pasal 142 ayat (6) UU PT dimana pengangkatan, pemberhentian, pemberhentian sementara, wewenang, kewajiban, tanggung jawab, dan pengawasan direksi mutatis mutandis berlaku terhadap likuidator maka dapat disimpulkan bahwa likuidator merupakan organ PT. Apabila dihubungkan dengan pendapat Wirjono Prodjodikoro yang mengatakan bahwa perbuatan dalam kata perbuatan melanggar hukum tidak hanya berlaku positif tetapi juga negatif. Negatif berarti melingkupi orang yang hanya diam saja dapat dikatakan melanggar hukum. 22 Berdasarkan teori organ, dan pendapat Wirjono Prodjodikoro tersebut maka dapat disimpulkan bahwa apabila Likuidator melakukan suatu perbuatan melanggar hukum maka terhadap PT dapat dituntut pertanggung jawaban bedasarkan pasal 1365 BW, baik perbuatan tersebut dalam arti positif maupun negatif. Dapat disimpulkan bahwa pertanggung jawaban terhadap tuntutan pihak ketiga merupakan tanggung jawab dari PT tetapi Likuidator memiliki tanggung jawab yang bersifat internal kepada PT berdasar pasal 97 ayat (3),(4),(5),(6) UU PT. Menjadi penting untuk diperhatikan bahwa dalam 21 Yahya,. Ibid,.h.124. 22 Wirjono,Op.cit.,h.8

44 pasal 148 (2) UU PT diatur bahwa Perseroan bertanggung jawab secara renteng terhadap kerugian yang diderita pihak ketiga. Tanggung renteng dalam hukum perdata tidak diatur banyak. Berdasar pasal 1282 BW diatur bahwa Tiada perikatan dianggap tanggung menanggung (tanggung renteng) melainkan,jika hal itu dinyatakan secara tegas, aturan ini hanya dikecualikan dalam hal-hal dimana suatu perikatan karena kekuatan suatu penetapan undang-undang dianggap tanggung menanggung. Dari rumusan pasal tersebut terlihat bahwa tanggung renteng merupakan suatu perikatan yang lahir karena suatu perjanjian atau ditetapkan dalam suatu undangundang. Tanggung renteng dalam bahasa Inggris adalah joint and several liability, dalam Black s Law Dictionary menyatakan bahwa tanggung renteng adalah Liability of copromisors of the same performance when each of them individually has the duty of fully performing the application, and the oblige can sue all or any of them upon breach of performance. A liability is said to be joint and several when the kredtitor may demand payment or sue one or more of the parties to such liability separately, or all of them at his option Tanggung renteng yang dimaksud dalam Black s Law Dictionary ini sejalan dengan pasal 1278 BW. Dalam doktrin hokum perdata tanggung renteng dalam 1278 BW dan Black s Law dictionary ini dikenal sebagai Tanggung renteng aktif. Selain tanggung renteng aktif dikenal tanggung renteng pasif yang diatur dalam pasal 1280 Bw yang berbunyi

45 Adalah terjadi suatu perikatan tanggung menangung dipihaknya orang orang yang berutang manakala mereka kesemuanya diwajibkan melakukan suatu hal yang sama, sedemikian bahwa salah satu dapat dituntut untuk seluruhnya dan pemenuhan oleh salah satu membebaskan orang-orang yang berutang lainnya terhadap si berpiutang. Dari rumusan pasal 1278 BW dan pasal 1280 BW terlihat bahwa pihak yag terikat oleh tanggung renteng itu, dalam perikatan tanggung renteng aktif adalah si kreditor sedangkan dalam tanggung renteng pasif adalah si debitor. Dari penjabaran konsep tanggung renteng diatas terlihat jelas bahwa konsep tanggung renteng dalam pasal 148 ayat (2) UU PT adalah konsep tanggung renteng pasif karena Likuidator dan Perseroan bertanggung renteng atas kerugian yang diderita oleh pihak ketiga, sehingga terlihat posisi dari Likuidator dan Perseroan merupakan debitor dari Pihak ketiga yang dirugikan. Apabila dihubungkan dengan teori organ yang dianut dalam UU PT maka rumusan pasal tersebut menjadi tidak tepat karena untuk suatu kerugian yang diakibatkan oleh suatu perbuatan hokum yang dilakukan untuk dan atas nama PT dan perbuatan tersebut ternyata melanggar hokum oleh suatu organ PT, PT dapat dimintai pertanggungjawaban berdasar pasal 1365 BW.