BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

dokumen-dokumen yang mirip
Penerapan Model Konstruktivis-Metakognitif pada Materi Sistem Koordinasi untuk Meningkatkan Berpikir Kritis Siswa Kelas XI MIPA SMA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS. A. Kajian Pustaka

BAB III METODE PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model Problem Based Learning dikembangkan oleh Barrows sejak tahun

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan kita adalah masih

Skripsi OLEH: REDNO KARTIKASARI K

BAB I PENDAHULUAN. rasa ingin tahu (curiosity) siswa, proses uji coba (trial and error), analisa konsep

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

DALAM PEMBELAJARAN AKTIF STUDENT CREATED CASE STUDIES

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Metakognitif tentang cara berpikir siswa dalam membangun strategi untuk

I. PENDAHULUAN. untuk menuju suatu lembaga yang beretika, selalu menggunakan nalar,

BAB I PENDAHULUAN. belajar dari teori kognitif (Efi, 2007). Pendidikan Biologi diharapkan dapat

BAB I PENDAHULUAN. (Depdiknas, 2003). Dalam memajukan sains guru di tuntut lebih kretatif. dalam penyelenggaraan pembelajaran.

I. PENDAHULUAN. Ilmu kimia merupakan bagian dari ilmu pengetahuan alam (sains) yang berkembang

BAB I PENDAHULUAN. belajar untuk mengamati, menentukan subkompetensi, menggunakan alat dan

Potensi Sintaks Model Pembelajaran Konstuktuvis-Metakognitif dalam Melatihkan Berpikir dan Kemandirian Belajar Siswa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lia Liana Iskandar, 2013

II. KERANGKA TEORETIS. 1. Pembelajaran berbasis masalah (Problem- Based Learning)

BAB I PENDAHULUAN. sudah dapat kita rasakan. Menurut pandangan ini, bukanlah satu-satunya sumber belajar bagi siswa sehingga pembelajaran

I. PENDAHULUAN. konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan salah satu bidang studi yang menduduki peranan

I. PENDAHULUAN. Pada hakikatnya, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dibangun atas dasar produk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Savitri Purbaningsih, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Seorang guru dituntut untuk memiliki dan menguasai keterampilan dasar

I. PENDAHULUAN. baik, namun langkah menuju perbaikan itu tidaklah mudah, banyak hal yang harus

I. PENDAHULUAN. Pendidikan adalah salah satu bentuk perwujudan kebudayaan manusia yang

II. KERANGKA TEORETIS. pembelajaran fisika masalah dipandang sebagai suatu kondisi yang sengaja

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan keterampilan, pengetahuan, sikap, dan nilai.

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan, keterampilan, pengembangan sikap, nilai-nilai pembentukan dan

PENERAPAN MEDIA GAMBAR DALAM MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING (PBL)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. inovatif. Menyadari bagaimana cara memikirkan pemecahan permasalahan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Prima Mutia Sari, 2013

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarakan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan : Hasil belajar siswa SMA Negeri 2 Serui Kabupaten Kepulauan Yapen,

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. ditakuti dan tidak disukai siswa. Kecenderungan ini biasanya berawal dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terbuka, artinya setiap orang akan lebih mudah dalam mengakses informasi

I. PENDAHULUAN. diri setiap individu siswa. Mudah masuknya segala informasi, membuat siswa

II. TINJAUAN PUSTAKA. pembelajaran siswa pada masalah yang nyata sehingga siswa dapat menyusun

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

percaya diri siswa terhadap kemampuan yang dimiliki.

I. PENDAHULUAN. Penyelenggaraan pendidikan pada dasarnya merupakan suatu usaha dalam

I. PENDAHULUAN. Pendidikan adalah salah satu upaya dalam meningkatkan sumber daya manusia dan

I. PENDAHULUAN. Pendidikan di Indonesia sedang mendapat perhatian dari pemerintah. Berbagai

I. PENDAHULUAN. Sains merupakan ilmu yang dipandang sebagai proses, produk, dan sikap. Untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kemampuan metakognisi merupakan salah satu Standar Kompetensi

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memiliki peranan yang penting dalam upaya mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan kurikulum KTSP (2006) saat ini siswa dituntut untuk dapat

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model pembelajaran berbasis masalah (Problem-based Learning), adalah model

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

mengembangkan kemampuan baik kognitif, keterampilan (skill), serta sikap sosialnya terhadap manusia lain, lingkungan dan teknologi. Ace Suryadi (2014:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Biologi merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang paling penting

PENINGKATAN KEAKTIFAN BERTANYA SISWA MELALUI PENERAPAN STRATEGI MOTIVASI DALAM MODEL PEMBELAJARAN AKTIF TIPE CARD SORT

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Hasil penelitian ini memberikan gambaran pada beberapa aspek meliputi

SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan Guna mencapai derajat Sarjana S-1 Program Studi Pendidikan Biologi

I. PENDAHULUAN. demi peningkatan kualitas maupun kuantitas prestasi belajar peserta didik,

PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN THINK TALK WRITE UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS BELAJAR BIOLOGI SISWA KELAS X-1 SMA AL ISLAM 1 SURAKARTA TAHUN AJARAN

PENINGKATAN PARTISIPASI DAN MOTIVASI BELAJAR BIOLOGI MELALUI ACTION LEARNING PADA SISWA KELAS X.6 SMAN 5 SURAKARTA TAHUN PELAJARAN 2009/2010.

STRATEGI BELAJAR MENGAJAR

Skripsi Oleh : Nanik Ramini NIM K

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia efektif adalah akibatnya atau pengaruhnya.

BAB 1 PENDAHULUAN. (Undang-undang No.20 Tahun 2003: 1). Pendidikan erat kaitannya dengan

BIO-PEDAGOGI ISSN: Volume 4,Nomor 2 Oktober 2015 Halaman 58-63

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning)

BAB II KAJIAN PUSTAKA. A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian yang Relevan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Rumpun ilmu IPA erat kaitannya dengan proses penemuan, seperti yang. dinyatakan oleh BSNP (2006: 1) bahwa Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)

BAB I PENDAHULUAN. dikembangkan dalam pembelajaran yaitu: 1) kemampuan melakukan penalaran. 5) keterampilan komunikasi (Trisni dkk, 2012: 3).

BAB I PENDAHULUAN. rendah, gambaran ini tercermin dari beragamnya masalah pendidikan yang terjadi

BAB I PENDAHULUAN. seorang guru, bukan hanya sekadar mengajar (teaching) tetapi lebih ditekankan

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang bertujuan agar siswa mendapat kesempatan untuk menguji dan

BAB I PENDAHULUAN. menjadi warga negara yang baik. Hal ini sejalan dalam Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

Pendidikan Biologi FKIP UNS, b. Pendidikan Biologi FKIP UNS, c

II. TINJAUAN PUSTAKA. Efektivitas pembelajaran merupakan suatu ukuran yang berhubungan dengan tingkat

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, KETERBATASAN, DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis, temuan, dan pembahasan yang telah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembelajaran dapat dikatakan sebagai hasil dari memori, kognisi, dan metakognisi yang berpengaruh terhadap

II. TINJAUAN PUSTAKA. baik. Efektivitas berasal dari kata efektif. Dalam Kamus Besar Bahasa

BAB II HASIL BELAJAR MATEMATIKA PADA POKOK BAHASAN MENGHITUNG LUAS PERSEGI DAN PERSEGI PANJANG DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas (Sistem

II. TINJAUAN PUSTAKA. Konstruktivisme merupakan salah satu aliran filsafat pengetahuan yang menekankan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mivtha Citraningrum, 2013

BAB I PENDAHULUAN. jawab. Untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional tersebut, maka

PENERAPAN METODE GUIDED INQUIRY DALAM MENINGKATKAN MOTIVASI DAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN BIOLOGI

1. Model Pembelajaran Konstruktivis-Metakognitif a. Pengertian Model Pembelajaran Konstruktivis-Metakognitif

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin pesat. daya manusia yang berkualitas untuk menghadapi setiap permasalahan jaman, baik

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peningkatan kualitas pendidikan sanggat tergantung pada proses pembelajaran di dalam kelas. Pendidikan berperan penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Pendidikan merupakan usaha untuk membantu peserta didik dalam mengembangkan potensi yang dimilikinya. Pendidikan berperan dalam berbagai aspek kehidupan termasuk dalam meningkatkan potensi dan kemampuan peserta didik melalui proses belajar. Peningkatan kualitas pendidikan merupakan proses terintegrasi dengan proses peningkatan kualitas sumber daya manusia (Fauzi, 2011). Proses pembelajaran harus benar-benar memfasilitasi keterlibatan berpikir tingkat tinggi siswa. Faktanya aktivitas pembelajaran di sekolah menengah sampai saat ini masih menekankan pada pelatihan kemampuan berpikir dasar, belum memaksimalkan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa. Padahal kemampuan berpikir tingkat tinggi sangat penting bagi perkembangan mental dan perubahan pola pikir siswa sehingga diharapkan proses pembelajaran dapat berhasil. Salah satu kemampuan berpikir tingkat tinggi tersebut adalah kemampuan berpikir kritis. Merujuk pada hal tersebut, proses pembelajaran di dalam kelas harus ditingkatkan ke arah yang lebih baik agar kualitas pendidikan meningkat (Badan Standar Nasional Pendidikan, 2010). Proses pembelajaran yang berkualitas ditandai oleh keaktifan peserta didik dalam mengkonstruksi pengetahuan melalui pendekatan student centered learning dan self regulated learning dalam pembelajaran (Tan,2004; Fauzi,2011). Pembelajaran student centered learning menuntut peserta didik menjadi individu yang aktif dalam aktivitas pembelajarannya dan mampu menemukan solusi melalui aktivitas self regulatory untuk menumbuhkan kemandirian belajar peserta didik (self regulated learning). Kemandirian peserta didik berkaitan dengan kemampuan metakognisi. Kemampuan metakognisi merupakan aktivitas yang mengontrol seseorang mengenai proses berpikirnya. Kemampuan metakognisi merupakan 1

2 kemampuan yang dimiliki seseorang untuk merencanakan, memonitor, dan mengevaluasi kognisinya sendiri (Veenman, Wilhelm, & Beishuizen, 2004). Hasil observasi terhadap proses pembelajaran biologi kelas XI MIPA 5 SMA N 7 Surakarta tahun ajaran 2015/2016 melalui pengamatan langsung pada hari Jumat, 25 September dan 23 Oktober 2015 menunjukkan bahwa persentase siswa bertanya mengenai materi yang belum dipahami masih sangat rendah yakni sebesar 12,5%. Siswa memberikan penjelasan atas pertanyaan yang diberikan guru disertai pendapat yang logis atau referensi yang mendukung tergolong rendah sebesar 11,1 %. Siswa memberikan penjelasan atas pertanyaan yang diberikan guru tanpa disertai pendapat yang logis atau referensi masih rendah yakni hanya sebesar 25%. Pada kegiatan diskusi, baik kelompok maupun kelas, siswa mendiskusikan masalah yang dihadapi dalam kegiatan belajar mengajar sebesar 25% dan masih tergolong rendah. Siswa mengemukakan hasil diskusi dan menghubungkannya dengan teori yang juga masih tergolong rendah yaitu sebesar 20,58 %. Siswa memberikan penilaian terhadap siswa lain yang telah mengemukakan pendapat sebesar 12,5%. Selain itu, hasil wawancara dengan siswa menunjukkan bahwa siswa banyak mengeluh karena pembelajaran biologi dianggap sulit, kurangnya keterlibatan siswa dalam penemuan konsep dan sumber belajar serta siswa belum optimal dilibatkan dalam kegiatan pembelajaran seperti kegiatan berdiskusi, menganalisa permasalahan, menyimpulkan kegiatan belajar. Dari permasalahan diatas secara garis besar menunjukan siswa kurang memberdayakan penalaran dalam berpikir, sehingga dapat dikatakan kemampuan berpikir kritis secara riil masih rendah. Observasi lanjutan dilakukan melalui pemberian tes kemampuan berpikir kritis dengan indikator Facione pada hari Jumat 29 Januari 2016. Hasil observasi lanjutan menggunakan indikator kemampuan berpikir kritis menunjukkan bahwa kemampuan interpretasi masih tergolong rendah yaitu sebesar 32,81%. Kemampuan analisis masih rendah yaitu 33,59%. Kemampuan evaluasi sebesar 10,94% tergolong masih sangat rendah, Kemampuan Eksplanasi sebesar 14,84% tergolong masih sangat rendah, Kemampuan inferensi masih sebesar 30,47% masih tergolong rendah dan Kemampuan pengaturan diri masih sangat rendah yaitu

3 sebesar 12,50%. Kemampuan berpikir kritis dengan persentase 25 43,75% termasuk dalam kategori kurang (Indarti, Soekamto, Soelistijo, 2013). Sehingga berdasarkan hasil observasi terfokus didapatkan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa kelas XI MIPA 5 SMA Negeri 7 Surakarta perlu ditingkatkan. Kemampuan berpikir kritis yang rendah juga merupakan masalah nasional yang perlu ditangani. Tindakan peningkatan berpikir kritis dibuktikan dengan beberapa penelitian yang relevan di berbagai daerah di Indonesia antara lain Saida (2008) mengkaji penerapan model pembelajaran yang paling efektif untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis di Banjar, Kalimantan Selatan. Selaras dengan penelitian Agustina (2014) yang melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh berpikir kritis siswa kelas X Siswa SMA Negeri 1 Lampung. Hasil penelitian tersebut dikuatkan dengan penelitian Karomah,dkk (2014) yang melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran berbasis pertanyaan guna meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa SMA di Pasuruhan. Kemampuan berpikir kritis merupakan hal penting dan sangat diperlukan peserta didik untuk menghadapi persoalan hidup di masa yang akan datang (Liliasari, 2011). Berpikir kritis di bidang pendidikan nantinya akan membantu siswa dalam memecahkan masalah yang dihadapi dalam proses belajar. Kemampuan berpikir kritis pada siswa menjadi hal yang sangat penting, karena pada umumnya masalah nyata di dunia saat ini tidak sederhana. Kemampuan berpikir kritis siswa adalah hal yang perlu dikembangkan agar kemampuan berpikir siswa dapat terlatih dalam proses pembelajaran (Redhana dan Liliasari, 2008). Oleh sebab itu diperlukan pola pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Duron (2006) menyatakan peningkatkan kemampuan berpikir kritis pada siswa dapat dilakukan melalui pembelajaran yang melatihkan siswa menggunakan pemikiran secara kritis. Pembelajaran yang mampu memancing siswa mengunakan pemikiran secara kritis adalah mengajar melalui pertanyaan. Pertanyaaan dapat merangsang komunikasi dua arah dan menantang siswa mempertahankan jawaban atau argumen. Guru harus memilih kegiatan pembelajaran yang menyenangkan dan memanfaatkan semua komponen yang mendukung pembelajaran aktif. Pemberian

4 umpan balik dan penilaian belajar merupakan salah satu langkah penting dalam upaya meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Selain itu, siswa juga harus diberikan kesimpatan untuk menilai dirinya sendiri (Self-assesment). Feedbackfeedback yang dilontarkan oleh siswa tersebut mampu mendorong siswa untuk memunculkan kemampuan berpikir kritisnya. Berdasarkan pernyataan Duron (2006) dapat diketahui penyebab masih rendahnya kemampuan berpikir kritis siswa XI MIPA 5 antara lain adalah pembelajaran yang belum memberdayakan kemampuan berpikir Kritis siswa. Model pembelajaran yang diterapkan dalam pembelajaran biologi di kelas XI MIPA 5 adalah ceramah konvesional. Model ceramah konvensional merupakan model yang berbasis pada teacher centered yaitu guru menerangkan serangkaian materi pembelajaran secara utuh dan satu arah. (Trianto,2013). Siswa sangat sedikit diberi kesempatan untuk bertanya, siswa cenderung pasif dan komunikasi hanya berjalan satu arah. Salah satu pola pembelajaran yang dapat diterapkan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis adalah Model Konstruktivis-Metakognitif. Model Konstruktivis Metakognitif memiliki karakter konstruktivis, metakognitif, dan kolaboratif yang saling melengkapi satu sama lain. Karakter konstruktivis pada model ini menuntut siswa mampu merumuskan hipotesis, menguji hipotesis, memanipulasi objek, memecahkan masalah, berdialog, meneliti, mencari jawaban, mengadakan refleksi. Karakter konstruktivis pada model pembelajaran tersebut berpotensi melatihkan kemampuan berpikir kritis dan meningkatkan penguasaan potensi sains siswa. Karakter metakognitif pada model pembelajaran konsrtuktivis-metakognitif akan memacu siswa untuk belajar secara mandiri sehingga melatih siswa dalam regulasi diri. Kemampuan metakognitif ditandai oleh Indikator sebagai berikut, siswa terampil merencanakan yaitu: (1) siswa dapat menetapkan tujuan yang ingin dicapai, (2) siswa dapat merencanakan waktu yang akan digunakan untuk mencapai tujuan, (3) siswa dapat mempersiapkan pengetahuan awal untuk mencapai tujuan, dan (4) siswa dapat merencanakan dan memutuskan strategi kognitif untuk mencapai tujuan. Indikator siswa terampil memantau yaitu, (1) siswa dapat memantau tujuan yang ingin dicapai, (2) siswa dapat memantau waktu yang digunakan, (3) siswa dapat memantau kecukupan

5 pengetahuan awal, dan (4) siswa dapat memantau pelaksanaan strategi kognitif. Indikator siswa terampil mengevaluasi yaitu, (1) siswa dapat mengevaluasi ketercapaian tujuan, (2) siswa dapat mengevaluasi penggunaan waktu, (3) siswa dapat mengevaluasi relevansi pengetahuan awal, dan (4) siswa dapat mengevaluasi keefektifan strategi kognitif yang digunakan (Prayitno,dkk, 2014) Model Konstruktivis Metakognitif ini juga memiliki karakter kolaboratif yang memungkinkan siswa bekerja sama, saling belajar, dan diskusi dalam kelompok. Karakter kolaboratif pada model pembelajaran biologi SMA berbasis konstruktivis-metakognitif menuntut siswa saling belajar melalui diskusi dan dialog. Kegiatan diskusi dan dialog menuntut siswa melakukan proses scaffolding, yaitu siswa saling membantu satu sama lain untuk menemukan konsep dari yang sama sekali tidak tahu, kemudian tahu dengan bantuan teman, dan tahu tanpa bantuan. Proses scaffolding yang terjadi dalam pembelajaran kolaboratif berpotensi mampu memperkecil kesenjangan prestasi belajar antara siswa AA dan AB dan melatihkan kemampuan siswa menempatkan diri dalam kelompok untuk penyelesaian permasalahan yang dihadapi kelompok. (Prayitno,dkk, 2014) Pembelajaran berbasis konstruktivis metakognitif sangat cocok diterapkan dalam materi fisiologi dalam hal ini Sistem Koordinasi. Sistem koordinasi merupakan materi yang mencakup tiga sub materi utama yaitu sistem saraf, sistem indera, dan sistem hormon (Suwarno, 2011). Fase di setiap sintaks model konstruktivis metakognitif dalam materi ini mampu meningkatkan kemampuan berfikir kritis dikarenakan mengharuskan siswa mampu membangun konsep dengan melakukan praktikum untuk membedakan gerak refleks dan sadar, menguji ketajaman indera masing masing dengan pengalaman langsung. Kegiatan ini akan meningkatkan kemampuan analisis, menyimpulkan, dan regulasi diri, kemudian mengelaborasikannya dengan berbagai sumber teori yang membutuhkan kemampuan analisis dan evaluasi, pada akhir kegiatan siswa diberi kesempatan mempresentasikan hasil pengkonstruksian konsep yang akan melatih kemampuan penjelasan dan interpretasi siswa. Pemunculan konflik kognitif pada materi sistem koordinasi akan memacu siswa mengkonstruk pengetahunan meraka kembali secara mandiri. Dengan demikian kemampuan berpikir kritis diharapkan mampu

6 ditingkatkan melalui penerapan model konstruktivis metakognitif pada materi sistem koordinasi. Berdasarkan latar belakang di atas, maka dilakukan penelitian dengan judul Penerapan Model Pembelajaran Konstruktivis-Metakognitif pada Materi Sistem Koordinasi untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelas XI MIPA 5 SMA Negeri 7 Surakarta Tahun Pelajaran 2015/2016 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah maka dapat dirumuskan masalah Apakah penerapan model pembelajaran Konstruktivis-Metakognitif dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa kelas XI MIPA 5 SMA Negeri 7 Surakarta? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa kelas XI MIPA 5 SMA Negeri 7 Surakarta melalui penerapan model pembelajaran Konstruktivis-Metakognitif. D. Manfaat Penelitian 1. Secara teoritis Memberikan gambaran yang jelas pada guru tentang model pembelajaran Konstruktivis-Metakognitif untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. 2. Secara praktis a. Bagi siswa, yaitu dapat memotivasi siswa selama mengikuti proses pembelajaran karena siswa dilibatkan secara aktif untuk belajar mengenai Sistem Koordinasi sehingga kemampuan berpikir kritis siswa meningkat dan prestasi belajar siswa juga meningkat.

7 b. Bagi guru, yaitu memberikan solusi terhadap kendala pelaksanaan pembelajaran Biologi khususnya terkait dengan kemampuan berpikir kritis siswa. c. Bagi sekolah, yaitu memberikan masukan atau saran dalam upaya mengembangkan suatu proses pembelajaran yang mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. d. Bagi peneliti lainnya, yaitu dapat dimanfaatkan sebagai perbandingan atau referensi bagi penelitian berikutnya.