GUMUK PASIR PARANGTRITIS KONVERSI VERSUS KONSERVASI ( Sebuah Tinjauan Penggunaan Lahan dengan Model Dinamik)

dokumen-dokumen yang mirip
dkk.,1997; Kay dan Alder, 2005 dalam Marfai dkk.,2011).

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN WILAYAH PESISIR KABUPATEN DEMAK TUGAS AKHIR

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

BAB I PENDAHULUAN. ini, ketidakseimbangan antara kondisi ketersediaan air di alam dengan kebutuhan

MODEL IMPLENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE DALAM ASPEK KAMANAN WILAYAH PESISIR PANTAI KEPULAUAN BATAM DAN BINTAN.

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. menjadi pusat pengembangan dan pelayanan pariwisata. Objek dan daya tarik

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir.

ANALISIS PEMANFAATAN RUANG YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN DI KAWASAN PESISIR KOTA TEGAL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU

19 Oktober Ema Umilia

BAB I PENDAHULUAN. hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan.

I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang. sepanjang km (Meika, 2010). Wilayah pantai dan pesisir memiliki arti

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan

BAB I PENDAHULUAN. alam dan jasa lingkungan yang kaya dan beragam. Kawasan pesisir merupakan

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sedangkan kegiatan koleksi dan penangkaran satwa liar di daerah diatur dalam PP

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.02/MEN/2009 TENTANG TATA CARA PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

ARAHAN BENTUK, KEGIATAN DAN KELEMBAGAAN KERJASAMA PADA PENGELOLAAN SARANA DAN PRASARANA PANTAI PARANGTRITIS. Oleh : MIRA RACHMI ADIYANTI L2D

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perkotaan Yogyakarta mulai menunjukkan perkembangan yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia merupakan suatu negara kepulauan terbesar di

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

BAB I PENDAHULUAN. menjanjikan memiliki prospek baik, potensi hutan alam yang menarik. memiliki potensi yang baik apabila digarap dan sungguh-sungguh

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KECENDERUNGAN REKLAMASI WILAYAH PANTAI DENGAN PENDEKATAN MODEL DINAMIK

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

BAB I PENDAHULUAN. nusantara maupun wisatawan mancanegara. Hal ini dikarenakan. yang dapat dimanfaatkan sebagai kegiatan di bidang pariwisata.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

PENGELOLAAN DAN KELESTARIAN KEBERADAAN SUMBER AIR SEBAGAI SALAH SATU UNSUR PENTING KEBUTUHAN MANUSIA

TINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hutan mangrove merupakan ekosistem yang penting bagi kehidupan di

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS TERPADU. Identifikasi Masalah. Menentukan Sasaran dan Tujuan. Alternatif kegiatan dan implementasi program

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu sumberdaya air yaitu Air Tanah, saat ini telah menjadi

commit to user BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Air merupakan sumberdaya alam yang terbarukan dan memiliki peranan

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB III PENUTUP. Kabupaten Bantul dalam rangka pengamanan pasir di wilayah pesisir di

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tabel 1.1 Luas Hutan Mangrove di Indonesia Tahun 2002 No Wilayah Luas (ha) Persen

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN

Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan SDA. Nindyantoro

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari pulau dan

BAB I. PENDAHULUAN. Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup,

Transkripsi:

GUMUK PASIR PARANGTRITIS KONVERSI VERSUS KONSERVASI ( Sebuah Tinjauan Penggunaan Lahan dengan Model Dinamik) Lestario Widodo Peneliti di Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Lingkungan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Jakarta Abstrak Tulisan ini mencoba mengulas tentang adanya fenomena alam yang sangat langka dan unik berupa gumuk pasir tipe "barchan", yang terbentuk sebagai akibat adanya ekosistem Parangtritis yang khas. Pantai Parangtritis khususnya dan pantai selatan Yogyakarta umumnya saat ini telah berkembang sangat cepat di dalam pemanfaatan potensi sumber daya alam di lahan pesisir sehingga banyak pihak berkeinginan untuk memanfaatkan lahan pantai berbagai keperluan, sehingga mengancam keberadaan gumuk pasir. Dengan segala keunikan, karakteristik dan potensi pantai yang khas tersebut, maka potensi terjadinya konflik kepentingan antar sektor akan semakin besar. Gambaran konflik dan akibat yang akan ditimbulkan apabila terus dibiarkan dapat mengancam kelestarian gumuk pasir di Parangtritis tersebut. Dengan model sistem dinamik maka upaya untuk melestarikan keberadaan gumuk pasir dapat dimungkinkan melalui skenario pembangunan berkelanjutan yaitu menyeimbangkan atau mengendalikan laju pengurangan lahan dengan laju penambahan wilayah gumuk. Kata kunci: Gumuk pasir, konservasi, model dinamik 1. PENDAHULUAN Lingkungan pantai merupakan suatu kawasan yang spesifik, dinamik, memiliki kakayaan habitat yang beragam, serta saling berinteraksi antar habitat dan banyak sekali manfaatnya bagi masyarakat maupun pemerintah (1). Luas lahan kawasan pantai sangat terbatas, padahal pemanfaatannya semakin lama semakin meningkat sehingga sering terjadi konflik kepentingan antar sektor yang membutuhkannya seperti yang terjadi di pantai selatan Yogyakarta, khususnya pantai Parangtritis di Kabupaten Bantul. Salah satu daya tarik di pantai Parangtritis ini adalah adanya fenomena alam yang sangat langka dan unik berupa gumuk pasir tipe barchan (2), yang terbentuk sebagai akibat adanya ekosistem parangtritis yang khas yaitu "suplai pasir", bentuk tebing disebelah timur, angin serta ombak laut yang dinamis. Disamping itu pantai parangtritis berkaitan erat dengan upacara ritual keraton dengan latar belakang cerita atau legenda yang sangat terkenal di kalangan masyarakat Jawa. Perkembangan yang sangat cepat di Parangtritis terutama dalam pemanfaatan potensi sumber daya alam dilahan pesisir sehingga banyak pihak berkeinginan untuk memanfaatkan lahan pantai untuk berbagai keperluan yang secara khusus merupakan daerah tujuan wisata. Dengan segala keunikan, karakteristik dan potensi pantai yang khas tersebut, maka potensi terjadinya konflik kepentingan antar sektor akan semakin besar. Gambaran konflik dan akibat yang akan ditimbulkan apabila terus dibiarkan dapat mengancam kelestarian gumuk pasir di Parangtritis tersebut. 2. MODEL DINAMIK GUMUK PASIR Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa di pantai Parangtritis dapat dijumpai adanya fenomena alam yang langka dan unik berupa gumuk pasir tipe barchan. Untuk itu didalam pemodelan dinamik gumuk pasir, penulis mencoba membuat gambaran yang sederhana mengenai fenomena tersebut dan bagaimana upaya pengelolaannya. Pada hakekatnya siklus perubahan, dalam hal ini gumuk pasir Parangtritis dipengaruhi oleh adanya perubahan "suplai J.Tek.Ling. P3TL-BPPT. 4 (1): 21-26 21

pasir", keberadaan tebing di sebelah timur, perubahan angin ( arah dan kecepatan ) serta ombak/arus di laut selatan. Untuk itu maka perlu dibuat hubungan struktural yang menggambarkan perilaku variabel-variabel yang mempengaruhinya. Penggambaran perilaku ini diharapkan mencerminkan hubungan logis antar sistem yang terlibat di dalamnya (6). Dalam mensimulasikan dinamika perubahan gumuk pasir akibat perubahan variable yang mempengaruhi, digunakan metode system dynamics. Model dinamik ini dibuat dalam hubungan sebab akibat (causality) dari seluruh faktor pembentuk sistem sebagai dasar mengenali dan memahami tingkah laku dinamis sistem (5). Ramalan perilaku sistem di masa yang akan datang akan bergantung pada kemampuan menggambarkan keadaan sistem. Sasaran kebijaksanaan yang dituju dalam pemodelan ini adalah kebijaksanaan mengenai pengelolaan gumuk pasir agar dapat dipertahankan keberadaannya sekaligus dapat dimanfaatkannya sumber daya berupa pasir, dan lingkungan sekitarnya untuk kawasan wisata, pertanian pantai atau perikanan oleh masyarakat setempat atau untuk pemukiman penduduk. Pemodelan dinamik gumuk pasir dibuat secara sederhana (penyederhanaan faktor-faktor berpengaruh), dimana ditentukan faktor yang dapat meningkatkan atau memperluas baik areal maupun volume gumuk pasir serta faktor yang dapat menurunkan atau mengurangi luas atau volume gumuk pasir. Faktor atau variabel yang dapat meningkatkan gumuk pasir di dalam model ini disebut Laju Penambahan Wilayah Gumuk, dimana ditentukan oleh ketersediaan lahan pasir, serta batas wilayah pantai. Ketersediaan lahan pasir dalam model ini mencerminkan besarnya pasokan pasir akibat dari intensitas atau aktifitas dari Gunung Merapi serta curah hujan di daerah atas (Kabupaten Sleman / daerah hulu) sehingga dengan demikian menghasilkan pasir sampai ke hilir (muara) melalui Sungai Opak dan Sungai Progo. Selain itu laju penembahan wilayah gumuk juga ditentukan oleh atau akibat dari adanya tebing disebelah timur, dikombinasikan dengan kecepatan dan arah angin yang terjadi sehari-hari. Namun demikian untuk menyederhanakan model, dalam model ini faktor atau variabel tersebut tidak dimasukkan. Sedangkan faktor atau variabel yang dapat mengurangi gumuk pasir dalam model ini adalah pengurangan lahan gumuk pasir. Perubahan variabel ini ditentukan akibat dari variabel penggunaan lahan gumuk, baik untuk perumahan atau pertanian serta penggunaan lahan gumuk untuk kegiatan penambangan pasir. Selain itu variabel pengurangan lahan gumuk pasir juga akibat dari adanya abrasi/akresi yang didalam model ini diasumsikan abrasi normal. Di dalam sub model perumahan, ditentukan atau akibat dari laju pembangunan perumahan serta laju penggusuran. Apabila laju pembangunan perumahan lebih besar dari laju penggusuran maka akan terjadi kecenderungan adanya konversi lahan, dalam hal ini wilayah gumuk pasir menjadi perumahan (aspek ekspansi), sebaliknya apabila laju penggusuran lebih besar maka potensi wilayah gumuk pasir akan semakin luas. Pengurangan lahan gumuk pasir ini juga ditentukan atau akibat dari adanya pengaruh kegiatan penambangan. Adanya kegiatan penambangan akan mengurangi lahan gumuk pasir di lokasi penambangan tersebut sampai habis ditambang. Kemudian apabila setelah selesai ditambang lahan tersebut akan kembali membentuk gumuk pasir sesuai fungsi waktu. Sub model perumahan ini diasumsikan sekaligus untuk penggunaan lahan pertanian pantai. Pengurangan lahan wilayah gumuk pada model ini ditentukan oleh adanya abrasi/akresi dan penggunaan lahan untuk kegiatan lain atau konversi lahan. Penggunaan lahan atau konversi yang mungkin dapat dilakukan adalah: penggunaan untuk pemukiman, pertanian pantai (termasuk perikanan/tambak), dan penambangan pasir. Sedangkan laju penambahan lahan wilayah gumuk pada model ini ditentukan oleh harga konversi lahan, sedangkan parameter suplay pasir yang sampai ke muara dan kondisi angin baik arah dan kecepatan relatif normal dan tidak dimasukkan dalam model ini. Dengan demikian angka koefisien laju penambahan wilayah gumuk pada model ini yang merupakan fungsi waktu tidak dapat diketahui secara eksplisit. Kondisi keseimbangan pada model gumuk pasir ini dapat dicapai apabila laju pengurangan lahan sama dengan laju penambahan wilayah gumuk. Artinya bahwa peruntukan lahan yang merupakan konversi lahan (perumahan, pertanian, atau penambangan pasir) adalah batas wilayah dikurangi dengan gumuk pasir. 22 Widodo L., 2003: Gumuk Pasir Parangtritis Konversi Versus Konservasi.

Data rujukan pada simulasi ini dimulai pada tahun ke1960. Data ini meliputi variabel eksogenus, endogenus, dan variabel yang diabaikan (omitted). Variabel endogenus adalah variabel yang telah dimodelkan dalam sistem seperti pengurangan lahan, laju penambahan wilayah gumuk, perumahan dan fraksi lahan. Variabel eksogenus adalah variabel yang bersifat konstan terhadap perubahan waktu seperti abrasi normal, batas wilayah, efek penggunaan lahan harga konversi lahan. Variabel yang diabaikan pada sistem ini dimaksudkan untuk membatasi bahasan sistem. Variabel tersebut seperti arah dan kecepatan angin, laju pasokan pasir yang sampai ke muara dan lain-lain. 3 MODEL DINAMIK PENGGUNAAN LAHAN GUMUK PASIR Pada model ini ada tiga kemungkinan skenario yang dapat dilakukan oleh pengambil keputusan, ketiga skenario tersebut adalah : Skenario Konversi adalah skenario yang merubah kondisi gumuk pasir menjadi peruntukan lain. Konversi yang mungkin dapat dilakukan adalah untuk kegiatan perumahan yang menunjang wisata, kegiatan pertanian termasuk usaha perikanan tambak, serta usaha penambangan pasir. Pada skenario ini sesuai fungsi waktu maka kondisi gumuk pasir terancam punah, karena kecenderungan konversi lahan yang tidak terkendali. Skenario ini dapat dilihat pada Grafik 4.1 dan 4.2 yang mana gumuk pasir terus mengalami penurunan, sedangkan disisi lain konversi lahan yang dalam hal ini direpresentasikan parameter peruntukan lahan terus meningkat untuk kegiatan pariwisata, pertanian atau kegiatan penambangan pasir sehingga pada akhirnya gumuk pasir mengalami kepunahan (laju penambahan wilayah gumuk yang semakin menurun). Grafik 4.1. Model Hipotesis Pengelolaan Lingungan Gumuk Pasir yang Tidak Berkelanjutan Grafik 4.2. Model Hipotesis lain Pengelolaan Lingungan Gumuk Pasir yang Tidak Berkelanjutan Grafik 5. Model Konservasi Gumuk Pasir DI.Yogyakarta Grafik 2. Peruntukan Lahan Sekitar Gumuk Pasir skenario konversi skenario konservasi skenario pembangunan berkelanjutan J.Tek.Ling. P3TL-BPPT. 4 (1): 21-26 23

Grafik 1. Fenomena Gumuk Pasir DI. Yogyakarta Model ini diperlihatkan seperti pada Grafik 5 dimana dengan melakukan konservasi gumuk pasir maka luas wilayah gumuk pasir semakin mendekati batas wilayah, sehingga ruang untuk lahan konversi tidak tersedia. Grafik ini menunjukkan upaya konservasi gumuk pasir. Konservasi ini diartikan bahwa keberadaan gumuk pasir harus tetap dipertahankan dan tidak ada kegiatan lain yang mengganggu atau dengan kata lain tidak ada konversi lahan untuk kegiatan lain. Kondisi ini diperlihatkan oleh grafik dengan semakin meningkatnya wilayah gumuk sesuai fungsi waktu serta mendekati batas wilayah. Skenario Pembangunan Berkelanjutan adalah skenario "kompromi" antara dua skenario sebelumnya. Artinya bahwa gumuk pasir yang merupakan fenomena langka tersebut dapat dilestarikan pada kondisi tertentu, disisi lain dikembangkan program konversi lahan disekitar gumuk pasir menjadi kegiatan yang dapat menciptakan nilai tambah terutama bagi penduduk setempat. Konversi lahan yang mungkin dapat dikembangkan adalah untuk kegiatan perumahan yang menunjang wisata pendidikan (wisata alam) yang mana para ahli geografi mengintrodusir gumuk pasir tersebut sebagai laboratorium alam (aspek konservasi), kemudian kegiatan pertanian pantai (termasuk perikanan tambak), serta kegiatan penambangan pasir secara terkendali. Agar skenario tersebut dapat tercapai maka diperlukan keseimbangan model yang dalam hal ini apabila parameter laju penambahan wilayah gumuk jumlahnya sama dengan parameter pengurangan lahan. Pada Grafik 1 diperlihatkan upaya pengendalian wilayah gumuk pasir, dimana sesuai fungsi waktu wilayah gumuk pasir mengalami perkembangan yang relatif konstan, dalam arti tercapainya pelestarian gumuk pasir pada tingkat kondisi tertentu. Pelestarian gumuk pasir pada model ini diperlihatkan dengan terkendalinya luas wilayah gumuk pasir dilihat dari fungsi waktu. Sedangkan ruang wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk peruntukan lain tersedia sampai batas wilayah diluar gumuk pasir. Peruntukan lahan atau konversi lahan ini dapat dimanfaatkan untuk bangunan rumah dalam rangka menunjang pengembangan wisata pendidikan, kegiatan penambangan pasir secara terkendali, atau kegiatan lain seperti pertanian pantai. Dengan terkendalinya wilayah gumuk pasir dan kemungkinan pemanfaatan sumberdaya pantai di Parangtritis seperti kegiatan pariwisata, penambangan pasir secara terbatas, budidaya pertanian pantai serta untuk keperluan pemukiman, maka konsep pembangunan berkelanjutan yang merupakan kompromi antara konservasi dan konversi dapat dilaksanakan. Sedangkan pada Grafik 2 diperlihatkan ruang wilayah yang dapat digunakan oleh program konversi lahan, baik untuk perumahan, pertanian maupun untuk penambangan pasir. Sedangkan Grafik 3 memperlihatkan model keseimbangan secara menyeluruh, dimana sesuai fungsi waktu pelestarian gumuk pasir dapat terlaksana dengan diperlihatkannya grafik gumuk pasir yang konstan, disisi lain kegiatan yang sifatnya eksploitasi secara terkendali dapat dilaksanakan melalui kegiatan konversi lahan menjadi perumahan, pertanian, atau penambangan secara terbatas. Agar keseimbangan tersebut dapat dicapai maka perlu informasi atau data yang dapat digunakan untuk acuan konversi lahan gumuk pasir menjadi lahan untuk peruntukan lainnya. Salah satu informasi yang perlu diketahui adalah angka koefisien laju penambahan wilayah gumuk sesuai wungsi waktu. Hal ini sangat penting untuk dapat menyusun rencana kegiatan konversi lahan untuk penambangan pasir, sehingga dapat diketahui sejauh mana kegiatan penambangan dapat ditoleransi, agar keberadaan gumuk pasir tetap terjaga. Demikian pula konversi lahan lainnya seperti penggunaan untuk pertanian, atau perumahan dan bangunan untuk menunjang laboratorium alam. 4. PENGELOLAAN LINGKUNGAN GUMUK PASIR PARANG TRITIS Dasar-dasar ilmiah kebumian terhadap wilayah pesisir tersebut (wilayah sekitar Kompleks Gumuk Parangkusumo - 24 Widodo L., 2003: Gumuk Pasir Parangtritis Konversi Versus Konservasi.

Parangtritis) perlu diatur dalam sebuah perangkat manajemen yang baik untuk mengantisipasi permasalahan yang akan datang di sekitar wilayah tersebut. Degradasi lingkungan fisik gumuk pasir secara umum maupun hilangnya kekhasan morfologi gumuk merupakan prediksi yang kemungkinan dapat terjadi, bila tidak ada upaya zonasi manajemen yang mengikat perangkat kelembagaan institusi akademik, LSM, tokoh masyarakat, investor, dan unsur birokrasi pemerintahan daerah. Degradasi lingkungan fisik geomorfologi gumuk pasir dapat terjadi bila peran perangkat kebijakan tingkat daerah tidak mampu menjabarkan zonasi pengelolaan lingkungan gumuk pasir yang berkelanjutan dan partisipasi masyarakat secara lokal diabaikan. Tujuan pengelolaan lingkungan gumuk barchan ini adalah : Mengoptimalkan fungsi gumuk pasir pantai tropis untuk pengembangan lingkungan binaan dan konservasi pantai, dengan memperhatikan kondisi geomorfologi gumuk pasir, proses geologi aktual dan tutupan lahan yang berkembang; Menghindari pengembangan sarana prasarana fisik wisata yang akan mengubah fungsi permukaan gumuk menjadi tidak alamiah atau menurunkan stabilitas migrasi pasir di kompleks gumuk pasir. Mengoptimalkan fungsi lahan kering di atas gumuk pematang pantai untuk pengembangan lingkungan fisik yang produktif dan sesuai dengan kondisi fisik lahan maupun tanah yang terbentuk. Upaya perlindungan gumuk pasir yang khas ini tidak lagi ditawarkan dan disosialisasikan melalui forum diskusi ilmiah, tetapi harus masuk dalam action dan kebijakan hukum (aspek legalitas) yang mengaturnya. Adanya perangkat hukum perlindungan lingkungan kawasan gumuk barchan di Parangkusumo melalui perda/ perangkat hukum lainnya, secara tidak langsung akan memberikan perlindungan hukum dan sosio-kultural dari kegiatan wisata ritual/ budaya dan tata guna tanah lokal serta ekosistem yang telah berkembang di sekitar Parangkusumo. Status yang direkomendasikan berdasarkan kategori International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) adalah sebagai cagar ilmiah (area natural scientific interest/ansi) 3). Formulasi tujuan perlindungan lingkungan gumuk barchan-transversal sebagai cagar llmiah gumuk pasir Parangkusumo adalah : Mempertahankan gumuk pasir dan ekosistemnya (habitat flora yang hidup di dalamnya) dalam kondisi proses alaminya. Mempertahankan keanekaragaman geologis dan ekologis di Propinsi Yogyakarta (khususnya di wilayah pantai selatan Yogyakarta). Menyediakan pendidikan, penelitian, dan pemantauan lingkungan fisik bagi ilmu kebumian dan ekologi pesisir. Melindungi obyek pesisir Parangkusumo - Parangtritis Parangendog sebagai open-space perpaduan keindahan alam tempat warisan kebumian (bukit Parangendog gumuk Parangkusumo - aliran lava Parangkusumo - dinamika ombak tepian pantai dan angin yang menerbangkan sebagian pasir halus di wilayah gumuk) sebagai geological site s heritage serta budaya secara lokal/ nasional (4) Penertiban status rumah-rumah dan kejelasan aspek legasisasi yang berdiri di atas foredune sebelah barat Cepuri Parangkusumo hingga zona gumuk barkhan transversal (untuk menjaga stabilitas proses pembentukan gumuk). 5. PENUTUP Agar skenario pelestarian sekaligus pemanfaatan secara berkelanjutan terhadap gumuk pasir dapat tercapai maka diperlukan keseimbangan model yang dalam hal ini apabila parameter laju penambahan wilayah gumuk jumlahnya mendekati dengan parameter pengurangan lahan. Seperti terlihat pada Grafik 1 pengendalian wilayah gumuk pasir, sesuai fungsi waktu wilayah gumuk pasir mengalami perkembangan yang relatif konstan, dalam arti tercapainya pelestarian gumuk pasir pada tingkat kondisi tertentu, serta tersedia ruang wilayah yang dapat digunakan oleh program konversi lahan, baik untuk perumahan, pertanian maupun untuk penambangan pasir secara terbatas. Alat J.Tek.Ling. P3TL-BPPT. 4 (1): 21-26 25

utama untuk dapat melaksanakan skenario tersebut adalah adanya seperangkat hukum yang harus ditaati bersama dalam rangka perlindungan wilayah konservasi (perlindungan hukum untuk pelestarian gumuk pasir) sekaligus pemanfaatan wilayah sekitarnya untuk kesejahteraan masyarakat. DAFTAR PUSTAKA 1. Anonim, 1994, Kursus Evaluasi Sumber Daya Lahan (Angkatan IV), Fakultas Geografi - UGM, Yogyakarta 2. Anonim, 1999, Mengenal Ekosistem Gumuk Pasir Pantai, Yayasan KAPPALA Indonesia dan Yayasan KEHATI, Yogyakarta 3. Dahuri, R., dkk, 1996, Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, Pradnya Paramita, Jakarta 4. Setiyono, H., 1996, Kamus Oseanografi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 5. Tasrif, Mohammad 1995 Analisis Kebijak-sanaan Dengan Model Sistem Dinamik, Modul Pelatihan Pusat Penelitian Material dan Energi ITB. 6. Thomas, R.W. and R.J. Huggett, 1980, Modelling in Geography, a mathematical approach, Barnes & Noble Books, New Jersey 26 Widodo L., 2003: Gumuk Pasir Parangtritis Konversi Versus Konservasi.