Perempuan di Parlemen: Bukan Sekedar. Jumlah. Seri Buku Panduan

dokumen-dokumen yang mirip
Perempuan di Parlemen:

P E N G A N T A R. Pengantar J U L I E B A L L I N G T O N

Kesimpulan K E S I M P U L A N. DALAM TAHUN 1965, JUMLAH TOTAL PEREMPUAN YANG MENJABAT sebagai anggota

Sistem Rekrutmen Anggota Legislatif dan Pemilihan di Indonesia 1

I. PENDAHULUAN. wilayah dan tataran kehidupan publik, terutama dalam posisi-posisi pengambilan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Keterlibatan perempuan di panggung politik merupakan isu yang

RENCANA AKSI GLOBAL MENANG DENGAN PEREMPUAN: MEMPERKUAT PARTAI PARTAI POLITIK

Perempuan Diberdayakan Perempuan dalam Parlemen di Afrika Selatan 1

BAB I PENDAHULUAN. Persoalan perempuan sampai saat ini masih menjadi wacana serius untuk

Kebijakan Gender AIPP Rancangan September 2012

BAB I PENDAHULUAN. Tulisan ini berupaya mengkaji tentang adanya kebijakan kuota 30% Daerah Kota Kendari tahun anggaran

KEMENTERIAN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI DALAM NEGERI PADA

Diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH

GLOBALISASI HAK ASASI MANUSIA DARI BAWAH: TANTANGAN HAM DI KOTA PADA ABAD KE-21

BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI

DISAMPAIKAN OLEH : YUDA IRLANG, KORDINATOR ANSIPOL, ( ALIANSI MASYARAKAT SIPIL UNTUK PEREMPUAN POLITIK)

ANGGARAN DASAR KOMNAS PEREMPUAN PENGESAHAN: 11 FEBRUARI 2014

Asesmen Gender Indonesia

Bab 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Hambatan terhadap Partisipasi Politik Perempuan di Indonesia

DEKLARASI PEMBELA HAK ASASI MANUSIA

BAB I PENDAHULUAN. dengan seluruh rakyatnya, baik itu laki-laki maupun perempuan. Seluruh rakyat berperan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan

DAFTAR TABEL. Tabel IV.1 Data Jumlah Penduduk Kota Medan berdasarkan Kecamatan Tabel IV.2 Komposisi pegawai berdasarkan jabatan/eselon...

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 4 BAB Bab 4: Menggunakan Kuota untuk Meningkatkan Representasi Politik Perempuan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1999 TENTANG

STRATEGI MEMAJUKAN PERAN & KEBERLANJUTAN ORGANISASI MASYARAKAT SIPIL DI INDONESIA 1

Kredo Tentang Perbedaan: Perempuan di Parlemen di Norwegia

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 12 PENINGKATAN KUALITAS KEHIDUPAN

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan sektor yang paling strategis dalam. memberdayakan manusia menuju pembangunan adalah pendidikan.

Kebijakan Jender. The Partnership of Governance Reform (Kemitraan) 1.0

International IDEA, Strömsborg, Stockholm, Sweden Phone , Fax: Web:

Penguatan Partisipasi dan Perbaikan Keterwakilan Politik Melalui Pembentukan Blok Politik Demokratik

K 158 KONVENSI PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA, 1982

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011.

Ringkasan Eksekutif. Ringkasan Eksekutif. Akhiri KEMISKINAN pada Generasi Saat Ini

BAB I PENDAHULUAN. demokrasi, desentralisasi dan globalisasi. Jawaban yang tepat untuk menjawab

BAB 5 KESIMPULAN. kebutuhan untuk menghasilkan rekomendasi yang lebih spesifik bagi para aktor

K100 UPAH YANG SETARA BAGI PEKERJA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN UNTUK PEKERJAAN YANG SAMA NILAINYA

PENGARUSUTAMAAN GENDER SEBAGAI UPAYA STRATEGIS UNTUK MEWUJUDKAN DEMOKRATISASI DALAM BIDANG EKONOMI. Murbanto Sinaga

PEREMPUAN DAN HAK ASASI MANUSIA Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 8 Agustus 2016; disetujui: 14 Oktober 2016

Pidato Bapak M. Jusuf Kalla Wakil Presiden Republik Indonesia Pada Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa- Bangsa Ke-71 New York, 23 September 2016

Peningkatan Kualitas dan Peran Perempuan, serta Kesetaraan Gender

Press Release The Asia Pacific Regional Parliamentarian and CSO Forum on MDG Acceleration and the Post 2015 Development Agenda

Sambutan Presiden RI pada ASIAN PARLIAMENTARY ASSEMBLY, Bandung-Jabar, Selasa, 08 Desember 2009

Tujuan, Metodologi, dan Rekan Survei

Tentang Para Penyumbang

SINERGI ANGGOTA PARLEMEN, MEDIA DAN OMS UNTUK MENDORONG KEBIJAKAN YANG BERFIHAK PADA PEREMPUAN MISKIN

BAB I PENDAHULUAN. jumlah suara yang sebanyak-banyaknya, memikat hati kalangan pemilih maupun

BAB I PENDAHULUAN. keberagaman kebutuhan kelompok dan individu masyarakat, tak terkecuali

Keterwakilan Perempuan, Ketidakadilan dan Kebijakan Keadilan ke depan 1 oleh Dian Kartikasari 2

I. PENDAHULUAN. melalui penghargaan terhadap perbedaan-perbedaan yang ada, khususnya

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN NASIONAL PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DI BIDANG POLITIK MENYONGSONG PEMILU 2009

Mewujudkan Payung Hukum Penghapusan Diskriminasi Gender di Indonesia Prinsip-Prinsip Usulan Terhadap RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB IV ANALISIS TERHADAP FAKTOR PENYEBAB TIDAK TERPILIHNYA 11 ORANG CALEG PEREMPUAN

Memerangi Korupsi: Peran Sistem Keuangan Politik. Sebuah Presentasi pada Majelis Umum South East Asian Parliamentarians Against Corruption

BAB I PENDAHULUAN. ini dapat membuat perempuan yang terlibat di dalam dunia politik ataupun

Memperkuat Partisipasi Politik Perempuan di Indonesia

1. Mengelola penyampaian bantuan

Deklarasi Dhaka tentang

PELUANG DAN KENDALA MEMASUKKAN RUU KKG DALAM PROLEGNAS Oleh : Dra. Hj. Soemientarsi Muntoro M.Si

BAB V KESIMPULAN. standar Internasional mengenai hak-hak perempuan dan diskriminasi peremupuan

PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI HAK-HAK ANAK MENGENAI KETERLIBATAN ANAK DALAM KONFLIK BERSENJATA

K168. Konvensi Promosi Kesempatan Kerja dan Perlindungan terhadap Pengangguran, 1988 (No. 168)

LEMBAGA NASIONAL UNTUK MEMAJUKAN DAN MELINDUNGI HAK ASASI MANUSIA. Lembar Fakta No. 19. Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS

GENDER, PEMBANGUNAN DAN KEPEMIMPINAN

R-111 REKOMENDASI DISKRIMINASI (PEKERJAAN DAN JABATAN), 1958

KEYNOTE SPEECH PADA FORUM DISKUSI EVALUASI PILKADA SERENTAK 2015 Jakarta, 4 Mei 2016

2015 PERANAN PEREMPUAN DALAM POLITIK NASIONAL JEPANG TAHUN

PENDAHULUAN Latar Belakang

Prosiding SNaPP2015 Sosial, Ekonomi, dan Humaniora ISSN EISSN Al Rafni

Konstitusi Rancangan Rusia untuk Suriah: Pertimbangan tentang Pemerintahan di Kawasan Tersebut

Peningkatan Keterwakilan Perempuan dalam Politik pada Pemilu Legislatif Nurul Arifin

K 183 KONVENSI PERLINDUNGAN MATERNITAS, 2000

Naskah Rekomendasi mengenai Landasan Nasional untuk Perlindungan Sosial

BAB III PEMBANGUNAN BIDANG POLITIK

4. Metoda penerapan Konvensi No.111

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan. 1. Persepsi Mahasiswa Penyandang Disabilitas Tentang Aksesibilitas Pemilu

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Anggaran Dasar. Konsil Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia [INDONESIAN NGO COUNCIL) MUKADIMAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III INSTRUMEN INTERNASIONAL PERLINDUNGAN HAM PEREMPUAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dikehendaki. Namun banyak pula yang beranggapan bahwa politik tidak hanya

Profil Pekerjaan yang Layak INDONESIA

26. Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan untuk Sekolah Dasar (SD)/Madrasah Ibtidaiyah (MI)

KEYNOTE ADRESS RAFENDI DJAMIN WAKIL INDONESIA UNTUK AICHR

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih mulia yaitu kesejahteraan rakyat.

26. Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan untuk Sekolah Dasar (SD)/Madrasah Ibtidaiyah (MI)

PROBLEM OTONOMI KHUSUS PAPUA Oleh: Muchamad Ali Safa at

Discrimination and Equality of Employment

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Transkripsi:

Perempuan di Parlemen: Bukan Sekedar Jumlah Seri Buku Panduan

Perempuan di Parlemen: Bukan Sekedar Jumlah International IDEA Bersama Gehan Abu-Zayd, Wan Azizah, Julie Ballington, Cecilia Bylesjö, Drude Dahlerup, Frene Ginwala, Sakuntala Kadirgamar-Rajasingham, Azza Karam, Joni Lovenduski, Chusnul Mar iyah, Richard E. Matland, Mavivi Myakayaka-Manzini, Khofifah Indar Parawansa, Christine Pintat, Shirin Rai, Socorro L. Reyes, Francisia SSE Seda, Nadezhda Shvedova, Hege Skjeie. Edisi Bahasa Indonesia (2002) Julie Ballington Sakuntala Kadirgamar-Rajasingham Edisi asli bahasa Inggris (1998) Azza Karam I

Perempuan di Parlemen: Bukan Sekedar Jumlah Buku ini merupakan versi terbaru dan telah diregionalisasikan (beberapa bagian dikhususkan untuk pembaca di Asia Tenggara) dari Women in Parliament: Beyond Numbers yang diterbitkan oleh International IDEA pada tahun 1998 Buku ini adalah publikasi International IDEA. Publikasi International IDEA bukanlah cermin dari kepentingan suatu kelompok politik atau suatu negara tertentu. Pandangan-pandangan yang terdapat dalam publikasi ini belum tentu mewakili pandangan Dewan Direksi atau Dewan Pengurus International IDEA. Peta-peta pada publikasi ini dibuat untuk menjelaskan tulisan dan International IDEA tidak bermaksud untuk memberikan pandangan apapun mengenai status sebuah wilayah atau menyokong keberadaan wilayah tertentu. Penempatan atau besarnya sebuah negara atau wilayah yang termuat dalam karya-karya kami tidak mencerminkan pandangan politis International IDEA. International Institute for Democracy and Electoral Assistance (International IDEA) 2002. Hak cipta dilindungi undang undang Edisi pertama (bahasa Inggris) 1998 Versi Bahasa Indonesia, 2002 Permohonan izin untuk mereproduksi semua atau sebagian dari publikasi ini harus ditujukan pada: Publication Office International IDEA Strömsborg SE 103 34, Stockholm Sweden Penterjemah dan Pengawas Mutu: Akmal Syams, Jakarta, Indonesia Penyunting: Sarah Maxim Penata Artistik: Anoli Perera, Sri Lanka Desain Grafis: Alexander Holmberg, Holmberg Design AB, Stockholm, Sweden Kulit Muka: Eduard Cehovin Pengatur Letak: Ami Rependi Dicetak dan dibuat: AMEEPRO, Jakarta, Indonesia ISBN: 91-89098-84-6 II

Prakata dan Pernyataan Terima Kasih TUJUAN DARI INTERNATIONAL IDEA adalah untuk mengembangkan dan memajukan demokrasi berkelanjutan dan meningkatkan serta mengkonsolidasikan proses-proses pemilihan di seluruh dunia. Dalam hal ini, International IDEA bertekad memberi kontribusi pada perdebatan untuk memajukan isu-isu gender dan demokratisasi secara umum, dan untuk memajukan partisipasi dan representasi perempuan dalam kehidupan politik. Sasaran dari program gender International IDEA adalah untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan, pertama, dengan cara menggabungkan penelitian tentang bagaimana perempuan bisa mempengaruhi proses politik melalui partisipasi mereka, dan kedua, dengan mengidentifikasi daerah-daerah dimana informasi, penelitian dan bantuan lanjutan mungkin dibutuhkan. Karena alasan inilah maka Buku Pedoman Women in Parliament: Beyond Numbers diterbitkan pada tahun 1998. Buku pedoman tersebut menjabarkan hambatan-hambatan yang dihadapi oleh perempuan yang dipilih untuk masuk ke legislatur, dan memberikan beberapa saran dan pilihan untuk mengatasinya. Buku ini juga berusaha bergerak di luar angka-angka, dengan mengidentifikasi cara-cara di mana perempuan bisa mempengaruhi proses politik melalui partisipasi mereka dalam badan-badan pengambil keputusan. Sejak diluncurkan pada tahun 1998, telah muncul minat dan permintaan yang sangat besar terhadap buku tersebut di kalangan orang-orang yang III

memperjuangkan perubahan di semua kawasan di seluruh dunia. Saat ini, International IDEA sedang memproduksi satu seri versi regional dari buku pedoman tersebut. Versi Bahasa Indonesia ini dibuat berdasarkan versi asli Bahasa Inggris buku pedoman yang diterbitkan pada tahun 1998. Versi ini didasarkan pada teks asli, yang telah diperbarui dan direvisi, dengan tambahan empat studi kasus dari Indonesia, Malaysia dan Pakistan untuk menggambarkan pengalaman berbeda dari anggota parlemen perempuan di kawasan tersebut. Oleh karenanya, buku ini tidak saja merupakan terjemahan tapi juga suatu regionalisasi dari buku pedoman tersebut untuk menarik dan mengarahkan perhatian pada pengalaman perempuan dalam parlemen di Asia Selatan dan Tenggara. Buku pedoman ini takkan mungkin bisa terwujud tanpa kontribusi yang penuh semangat pembaruan dan sangat baik dari banyak individu. Azza Karam adalah satu penggerak di belakang proses penerbitan versi Bahasa Inggris buku pedoman tersebut pada tahun 1998, dan kami berterimakasih kepadanya karena nasehat dan bantuannya selama pembuatan versi regional buku tersebut. Kami sampaikan terima kasih kepada semua penulis yang memungkinkan terwujudnya produksi buku pedoman ini dengan kontribusi dan bantuan mereka dalam memberikan revisi dalam edisi ini. Mereka adalah Gehan Abu- Zayd, Drude Dahlerup, Frene Ginwala, Azza Karam, Joni Lovenduski, Richard E. Matland, Mavivi Myakayaka-Manzini, Christine Pintat, Shirin Rai, Nadezhda Shvedova dan Hege Skjeie. Kami juga berterimakasih kepada penulis tambahan untuk edisi ini: Wan Azizah, Julie Ballington, Cecilia Bylesjö, Khofifah Indar Parawansa, Sakuntala Kadirgamar-Rajasingham, Chusnul Mar iyah, Socorro L. Reyes dan Francisia SSE Seda. Tanggungjawab utama dalam upaya memproduksi buku versi Bahasa Indonesia ini ada di tangan Julie Ballington dan Sakuntala Kadirgamar- Rajasingham. Pimpinan Proyek Gender, Julie Ballington, meletakkan dasar bagi versi regional buku pedoman ini, dan menyediakan masukan editorial yang substantif. Sakuntala Kadirgamar-Rajasingham, yang menjabat sebagai Eksekutif Senior untuk Program Asia, juga memberikan masukan dan nasehat substantif yang sangat berharga tentang isi dari versi ini. Manajer Program, Patrick Molutsi dan Reg Austin, juga layak menerima ucapan terimakasih karena bimbingan dan masukan mereka yang sangat berarti dalam proses produksi tersebut, juga Pimpinan Proyek Indonesia, Indraneel Datta, karena masukannya bagi proyek gender di Indonesia. IV Prakata dan Pernyataan Terima Kasih

Ucapan terima kasih juga kami haturkan kepada tim produksi, khususnya Cecilia Bylesjö yang telah memberikan dukungan organisasional dan administratif yang sangat berarti selama proses produksi. Sarah Maxim, Jocevine Faralita, Akmal Syams, Irfan Kortschak dan Ami Rependi juga layak mendapat ucapan terima kasih karena dukungan mereka yang tidak ternilai, dan Anoli Perera yang telah mempersembahkan karya seni kreatifnya. Kami juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya pada negaranegara anggota International IDEA, dan Swedish International Development Agency (Badan Pengembangan Internasional Swedia - SIDA) karena dukungan mereka yang memungkinkan terlaksananya produksi buku ini. Akhirnya, karena publikasi ini dibuat berdasarkan versi terdahulu, kami merasa perlu untuk memperbarui ucapan terima kasih kami kepada semua pihak yang telah terlibat dalam proses produksi buku pedoman versi Bahasa Inggris pada tahun 1998. Kami berharap mereka akan mendapat kebanggaan dalam membagi gagasan dan keahlian mereka melalui terjemahan dan adaptasi buku pedoman yang asli ini ke dalam Bahasa Indonesia. K A R E N F O G G, Sekretaris Jenderal, International IDEA E R L I N G O L S E N, Mantan Sekretaris Jenderal, International IDEA Mantan Ketua Parlemen, Denmark V

Perempuan di Parlemen: Bukan Sekedar Jumlah DAFTAR ISI Prakata dan Pernyataan Terima Kasih...III Pengantar untuk Edisi Bahasa Indonesia Chusnul Mar iyah...1 Pengantar Frene Ginwala...5 1. PENGANTAR...11 JULIE BALLINGTON Tujuan...13 Versi-versi Regional...14 Garis Besar dan Fokus...15 2. KENDALA-KENDALA TERHADAP PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM PARLEMEN...19 NADEZHDA SHVEDOVA Kendala-kendala Politik...20 Kendala-kendala Sosio-Ekonomi...28 Kendala-kendala Ideologis dan Psikologis...32 Ringkasan...38 Catatan...40 Acuan dan Bacaan Lanjutan...40 S T U D I K A S U S Hambatan terhadap Partisipasi Politik Perempuan di Indonesia Khofifah Indar Parawansa...41 Mencari Kekuasaan Politik: Perempuan dalam Parlemen di Mesir, Yordania dan Libanon Gehan Abu-Zayd...53 3. MENINGKATKAN PARTISIPASI POLITIK PEREMPUAN: REKRUTMEN LEGISLATIF DAN SISTEM PEMILIHAN...69 RICHARD E. MATLAND Proses Rekrutmen Legislatif dan Pengaruhnya pada Perempuan...70 Pengaruh Sistem Pemilihan pada Representasi Perempuan...78 Pelajaran untuk Mengembangkan Representasi Perempuan...86 Acuan dan Bacaan Lanjutan...91 Catatan...90 VI Daftar isi

S T U D I K A S U S Sistem Rekrutmen Anggota Legislatif dan Pemilihan di Indonesia Francisia SSE Seda...93 Kredo tentang Perbedaan Perempuan di Parlemen di Norwegia Hege Skjeie...101 4. MENGGUNAKAN KUOTA UNTUK MENINGKATKAN REPRESENTASI POLITIK PEREMPUAN...113 DRUDE DAHLERUP Apa Itu Kuota?...114 Dunia Kuota...117 Ringkasan...125 Catatan...126 Acuan dan Bacaan Lanjutan...126 S T U D I K A S U S Kuota Kursi Legislatif Tingkat Lokal bagi Kaum Perempuan di Pakistan Socorro L. Reyes...127 Kelas, Kasta dan Gender: Perempuan dalam Parlemen di India Shirin Rai...141 5. PEREMPUAN DI PARLEMEN: MEMBUAT SUATU PERBEDAAN...155 JONI LOVENDUSKI DAN AZZA KARAM Membuat Perubahan di Parlemen...156 Mempelajari Aturan...162 Menggunakan Aturan...170 Mengubah Aturan...177 Kriteria Mengukur Keberhasilan...183 Strategi-strategi Meningkatkan Pengaruh...185 Catatan...189 Acuan dan Bacaan Lanjutan...190 S T U D I K A S U S Perempuan dalam Politik: Refleksi dari Malaysia Wan Azizah...191 Perempuan Diberdayakan Perempuan dalam Parlemen di Afrika Selatan Mavivi Myakayaka-Manzini...203 6. DEMOKRASI MELALUI KEMITRAAN: PENGALAMAN PERSERIKATAN ANTAR-PARLEMENT...213 CHRISTINE PINTAT Rencana Aksi IPU...214 Catatan...228 Acuan dan Bacaan Lanjutan...228 VII

KESIMPULAN...229 CECILIA BYLESJÖ AND SAKUNTALA KADIRGAMAR-RAJASINGHAM TENTANG PARA PENYUMBANG...239 TENTANG INTERNATIONAL IDEA...251 DAFTAR TABEL, GAMBAR, BOKS Tabel 1: Perempuan dalam Parlemen Nasional...21 Tabel 2: Ketua Parlemen yang Perempuan...25 Boks 1: Pengaruh Pembangunan dan Kultur terhadap Representasi Perempuan...30 Tabel 3: Perempuan dalam Lembaga-lembaga Politik Formal di Indonesia pada tahun 2002...45 Tabel 4: Representasi Perempuan di DPR-RI pada tahun 2002...46 Tabel 5: Anggota Komisi-Komisi DPR-RI Menurut Jenis Kelamin pada tahun 2002...47 Gambar 1: Sistem Rekrutmen Legislatif... 71 Boks 2: Dunia Sistem Pemilihan...72 Tabel 6: Persentase Anggota Parlemen Perempuan pada 24 Parlemen Nasional 1945-1998...79 Gambar 2: Persentase Perempuan dalam Parlemen Sistem Mayoritas versus Sistem PR...80 Gambar 3: Mengapa Sistem Representasi Proporsional Lebih Baik untuk Perempuan...81 Tabel 7: Jatah Kursi bagi Perempuan untuk Tingkat Lokal di Pakistan...130 Tabel 8: Perempuan yang Terpilih Menduduki Kursi Dewan Lokal Melalui Jatah Kursi di Pakistan...131 Tabel 9: Pelatih/Mentor Utama di Dewan-Dewan Legislatif Pakisan...135 Tabel 10: Representasi Perempuan di Majelis Nasional Pakistan Tahun 2002...137 Tabel 11: Representasi Perempuan di Majelis-Majelis Propinsi di Pakistan, Tahun 2002...137 Tabel 12: Empat Bidang Perubahan yang akan Berdampak pada Partisipasi Perempuan...159 Tabel 13: Dampak Perempuan Melalui Parlemen...161 Tabel 14: Tokoh Perempuan Anggota Parlemen Malaysia dari 1955 hingga 1999...194 Tabel 15: Akses Perempuan pada Hak Pilih dan Hak Mencalonkan Diri dalam Pemilihan: Kronologi Dunia...216 Tabel 16: Perempuan Dalam Parlemen: 1945-1995...218 Boks 3: Pertemuan Perempuan Parlemen IPU...219 Boks 4: Kelompok Kemitraan Gender IPU...225 Boks 5: Strategi Tambahan untuk Memperkuat Pengaruh Politik Perempuan...226 VIII Daftar isi

P E N G A N T A R Pengantar untuk Edisi Bahasa Indonesia C H U S N U L M A R I Y A H KONSEP-KONSEP POLITIK SEPERTI DEMOKRASI, KEWARGANEGARAAN, dan nasionalisme kerap dipandang sebagai konsep yang netral. Padahal, dalam kenyataannya konsep-konsep itu sangatlah gender biased. Hak-hak politik perempuan merupakan hak asasi yang paling mendasar, sementara hak asasi manusia adalah bagian integral dari demokrasi. Keterlibatan perempuan dan laki-laki dalam proses pengambilan keputusan adalah sebuah sine qua non di dalam demokrasi. Pada tahun-tahun terakhir ini, isu-isu tentang keterwakilan dan partisipasi politik perempuan menjadi semakin signifikan. Kendati berbagai langkah mobilisasi dan advokasi telah ditingkatkan, kentara sekali masih banyak politisi yang sangat rendah pemahamannya akan isu ini. Dalam kasus ini masih perlu dicermati bagaimana sikap dan respons semua pihak terhadap tuntutan para aktivis perempuan di partai-partai politik, LSM-LSM dan masyarakat akademik untuk meningkatkan level keterwakilan kaum perempuan di dalam proses politik, sebagai sebuah isu HAM yang mendasar. Dewasa ini semakin gencar tuntutan dari kalangan aktivis di seluruh dunia terhadap pemberlakuan langkah-langkah khusus untuk meningkatkan keterwakilan politik kaum perempuan. Pada dasawarsa terakhir, beberapa negara telah mencapai peningkatan yang signifikan dalam proporsi perempuan yang duduk di berbagai lembaga legislatif atau perwakilan rakyat. Kondisi ini didukung pula oleh berbagai aktivitas LSM-LSM dan masyarakat internasional yang bersidang di Beijing pada tahun 1995, serta Perserikatan Antar Parlemen yang bertemu di New Delhi pada tahun 1997. Sebuah Progress Report PBB 1

pada tahun 1995 yang secara khusus menganalisa masalah gender dan pembangunan di 174 negara dunia antara lain menyatakan: Walaupun memang benar tidak ada kaitan langsung antara tingkat partisipasi perempuan di lembaga-lembaga politik dengan kontribusi mereka terhadap kemajuan kaum perempuan, namun tingkat keterwakilan perempuan sebesar 30 persen di lembaga-lembaga politik dapat dipandang sebagai sesuatu yang amat penting untuk menjamin agar kaum perempuan memiliki pengaruh yang bermakna dalam proses politik. Sistem kuota telah menjadi sebuah mekanisme yang penting untuk meraih peningkatkan keterwakilan perempuan di dalam proses-proses politik, serta sebagai sebuah sarana untuk menjamin agar kepentingan-kepentingan politik perempuan tetap disuarakan dan diwakili. Pemberlakuan kuota atau strategistrategi langkah afirmatif merupakan bagian tak terpisahkan dari serunya perdebatan mengenai pengembangan sebuah sistem politik yang demokratis dan dibangun di atas azas utama kesetaraan gender. Tuntutan pemberlakuan kuota adalah bagian integral dari tuntutan yang lebih besar mengenai hakhak bagi perempuan di dunia politik. Mengapa isu-isu politik begitu penting bagi perempuan? Itu tak lain karena perempuan adalah bagian terbesar/ mayoritas dari negeri ini, sedangkan hak-hak mereka sebagai warga negara yang sah belum mendapatkan perhatian yang selayaknya, disamping mereka terus-menerus dipinggirkan (dimarjinalkan) di dalam proses-proses pembuatan keputusan. Di Indonesia dan - lebih jauh lagi di kawasan Asia Tenggara, banyak problem yang terus saja mengganjal langkah perempuan ke arah tampuk kekuasaan politik. Problem pertama yang paling penting adalah setumpuk masalah sosial termasuk di dalamnya adalah penyakit korupsi, kolusi dan nepotisme yang telah meruntuhkan sistem perekonomian dan social capital (sikap saling mempercayai antara rakyat dengan pemerintah sebagai modal utama pembangunan negara yang berdemokrasi) di negara kami. Krisis ketidakpercayaan antara anggota masyarakat dengan negara telah memicu pecahnya kekerasan komunal. Saya yakin bahwa kekerasan negara dan kekerasan komunal, bahkan kekerasan di dalam rumah tangga, merupakan kejadian biasa di negeri kami. Kita harus bertanya, apakah mayoritas perempuan warga negara Indonesia sudah benar-benar dipandang sebagai warga negara atau stakeholder di negeri ini. Oleh karenanya, partisipasi 2 Pengantar untuk Edisi Bahasa Indonesia

perempuan merupakan syarat penting untuk mengatasi berbagai masalah kebangsaan itu. Masalah kedua, di bidang politik, jumlah perempuan yang memegang jabatan di posisi-posisi pengambilan keputusan di kawasan ini masih jauh dari harapan menuju tercapainya tingkat critical mass 30 persen. Di Indonesia, jumlah perempuan yang duduk sebagai anggota DPR hanyalah 9 persen, di kursi DPRD propinsi dan DPRD kabupaten/kota jumlah itu jauh lebih kecil lagi. Persentase perempuan yang menjabat sebagai pegawai negeri eselon I hanyalah 4.3 persen, sementara di kabinet hanya ada dua menteri perempuan, disamping Presiden yang kebetulan seorang perempuan. Menurut sebuah laporan resmi pemerintah, di Indonesia tidak ada ulama perempuan. Ini disebabkan oleh konsep ulama itu sendiri yang selalu diidentikkan dengan sosok laki-laki, meski sebenarnya banyak perempuan Indonesia yang menjadi pemikir agama dan ahli dalam masalah keagamaan. Tak seorang pun kepala KUA (Kantor Urusan Agama) dijabat oleh perempuan, padahal menurut catatan di Indonesia ada 6.000 kepala KUA. Tidak seorang pun perempuan menjadi gubernur di Indonesia, dan hanya 6 perempuan (1.5 persen) menjabat sebagai bupati atau walikota. Yang ketiga, krisis ekonomi yang mulai melanda pada tahun 1997 telah menimbulkan berbagai dampak terhadap perempuan maupun laki-laki. Kondisi kesehatan kaum perempuan memburuk, dan pemerintah sendiri belum memiliki kebijakan yang dikhususkan untuk urusan perempuan. Perempuanperempuan Indonesia yang bekerja di luar negeri (sebagai TKW) merupakan sebuah kekuatan penyangga ekonomi yang sangat besar di masa seperti ini, namun kerap kali kelompok ini mengalami berbagai praktik eksploitatif oleh majikan-majikan mereka di negeri orang. Pada saat yang sama, kebijakan ekonomi makro belum juga menyentuh urusan ekonomi dalam negeri dan masalah pengangguran, apalagi meningkatkan kondisi kehidupan kaum perempuan. Jadi, kalau kita ingin melontarkan isu tentang kedudukan perempuan, terlebih dahulu perlu kita kaji konteks politik dan sosial yang melatarinya. Mari kita kaji cara meningkatkan posisi perempuan melalui proses demokratis. Marilah kita bersama-sama belajar dari contoh-contoh yang ditunjukkan negara-negara tetangga yang sudah berhasil meningkatkan partisipasi politik kaum perempuan melalui pemberlakuan kuota, untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan dari sistem tersebut. Kita perlu melakukan penelitian tentang soal gender dalam politik. Teori politik model maskulin masih begitu dominan 3

di Indonesia dan kawasan Asia Selatan/Tenggara. Perkembangan teori politik mutakhir yang menyentuh isu gender belum begitu populer di Indonesia. Kondisi buta gender dalam ilmu politik di Indonesia serta dominasi lelaki dalam proses politik telah menghambat terwujudnya keadilan gender di dunia politik. Jadi, sesungguhnya tuntutan peningkatan keterwakilan bagi aktivis perempuan di partai-partai politik oleh kalangan LSM dan akademisi sangatlah relevan dalam konteks ini. Buku panduan ini merupakan sebuah piranti berguna yang mencoba memberikan berbagai saran dan kiat menciptakan reformasi bagi hal-hal yang berkaitan dengan berbagai masalah yang terpapar di atas tadi. Buku ini tidak berpretensi menyajikan solusi terbaik, melainkan sekedar menunjukkan banyaknya cara yang dapat ditempuh untuk meningkatkan keterwakilan politik kaum perempuan, dengan mempelajari berbagai variasi regional yang ada. Penggunaan langkah-langkah afirmatif dan kuota, misalnya, hanyalah salah satu cara menuju ke arah itu, dan sudah banyak negara dunia yang berhasil menerapkannya. Di pelbagai negara, sistem tersebut nyata-nyata sudah terbukti sebagai cara yang paling efektif untuk menyertakan kaum perempuan di dalam proses-proses pengambilan keputusan, dan perlu dipikirkan dengan sungguhsungguh potensinya bagi Indonesia. Buku ini juga menunjukkan beberapa bidang yang memberi ruang bagi perempuan untuk menciptakan perubahan. Lepas dari sekian banyak kendala yang menghambat langkah perempuan di dalam politik, buku ini menunjukkan banyak cara dan sarana yang dapat digunakan untuk mensukseskan upaya kaum perempuan dalam ikut andil merombak agenda politik. Akhirnya di dalam buku ini juga disajikan berbagai argumen dari pihakpihak yang pro dan kontra terhadap penggunaan kuota, selain dipaparkan pula pengalaman dari negara-negara di kawasan lain. Buku ini sangat relevan untuk disimak bukan saja oleh para tokoh pengambil keputusan, melainkan juga warga laki-laki dan perempuan di Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara. C H U S N U L M A R I Y A H JULI 2002 4 Pengantar untuk Edisi Bahasa Indonesia

P E N G A N T A R Perempuan di Parlemen: Bukan Sekedar Jumlah F R E N E G I N W A L A BENIH DEMOKRASI BERSEMAYAM DALAM ASAS BAHWA LEGITIMASI kekuasaan untuk membuat keputusan mengenai kehidupan orang, masyarakat dan negaranya haruslah berasal dari suatu pilihan yang dibuat oleh mereka yang akan dipengaruhinya. Selama beberapa abad, basis legitimasi ini terbatas dan banyak diantaranya yang tidak termasuk dalam menentukan suatu pilihan: para budak, mereka yang miskin atau tanpa pendidikan resmi, mereka yang tidak beradab atau bukan bagian dari budaya atau agama dominan dalam masyarakat, orang yang berkulit berwarna, yang bukan dari suatu kelompok etnis atau ras tertentu, penduduk pribumi dari negara-negara yang dikalahkan dan digabung melalui superioritas persenjataan, dan kalangan perempuan yang besar jumlahnya. Kebebasan dalam masyarakat diperoleh melalui perjuangan, dan hak untuk menentukan diri sendiri dalam masyarakat diperoleh melalui perjuangan pembebasan dan antikolonial di berbagai negara. Dewasa ini, banyak dari mereka yang sebelumnya tidak termasuk di dalamnya, telah memenangkan hak, baik untuk memilih maupun dipilih menjadi anggota lembaga pemerintahan. Hak suara universal dalam pemilihan yang bebas dan adil telah diakui sebagai standar minimal bagi masyarakat demokratik. 5

Namun demikian, jelas bahwa dalam demokrasi yang baru maupun yang sudah mapan, hak memilih yang bersifat universal tidak dengan sendirinya mengarah kepada penegakan dewan legislatif (badan pembuat undang-undang) yang representatif. Berbagai elemen masyarakat tetap saja tidak terwakili, terutama penduduk miskin pedesaan dan tidak berpendidikan, dan tentu saja, perempuan. Secara keseluruhan, proporsi perempuan dalam dewan legislatif sangat sedikit. Pertanyaanya adalah mengapa dan apakah itu menjadi masalah? Mengapa harus jadi masalah; perbedaan apa yang akan muncul bilamana perempuan ada di dewan legislatif dan lembaga pemerintahan Benih demokrasi lainnya? bersemayam dalam asas Penting untuk dipahami bahwa isu tersebut tidak hanya bahwa legitimasi mengenai jumlah. Jika kebijakan dan hukum dibuat untuk kekuasaan untuk kepentingan semua anggota masyarakat, maka hal itu dapat membuat keputusan meluas ke dewan legislatif dengan mempertimbangkan mengenai kehidupan pengalaman dari masyarakat seluas mungkin, sehingga akan orang, masyarakat dan menjadi ukuran dari tingkat yang mana keputusankeputusannya akan memadai serta memenuhi kebutuhan negaranya haruslah berasal dari suatu seluruh masyarakat, lebih baik dari pada hanya untuk pilihan yang dibuat oleh kelompok-kelompok tertentu. mereka yang akan Sementara perdebatan mengenai pemberian hak suara dipengaruhinya. pada perempuan dan partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan acapkali berfokus pada isu-isu keadilan, kesetaraan dan hak asasi manusia, maka representasi perempuan, termasuk pengalaman serta perspektif mereka dalam proses pengambilan keputusan tidak terhindarkan akan mengarah pada solusi yang lebih sesuai dan memenuhi harapan bagi lingkup masyarakat luas. Itulah sebabnya mengapa perempuan harus menjadi bagian dari proses itu dan mengapa ini menjadi penting: semua masyarakat akan memetik keuntungan ketika kami menemukan solusi yang lebih baik dan lebih memadai bagi persoalan kami. Tantangan tersebut tidak dapat menjamin pemilihan perempuan dalam jumlah lebih besar di dalam dewan legislatif. Patriarki, subordinasi perempuan, dan persepsi terdalam bahwa public domain (wilayah publik) diperuntukkan bagi laki-laki dan bahwa kontrak sosial adalah mengenai hubungan antara laki-laki dan pemerintah dan bukan antara warga negara dengan pemerintah, itu semua menyingkirkan kalangan perempuan meskipun hak-haknya dijamin oleh hukum, retorika politik pemerintahan yang baik dan demokrasi partisipatoris. 6 Pengantar

Di banyak negara, perempuan terus mengalami kesulitan dalam memperoleh hak pilih akibat adanya kendala-kendala kebudayaan, agama, patriarki dan ekonomi. Perempuan mengalami dan terus menghadapi kesulitan dalam memasuki lembaga pemerintahan; partai-partai politik gagal untuk memilih mereka sebagai kandidat, dan pemilihan itu sendiri merefleksikan dan mengikuti stereotip gender dalam masyarakat dengan memilih laki-laki. Namun begitu perempuan berada di dalam lembaga-lembaga pemerintahan, mereka menghadapi kendala-kendala baru yaitu pembatasan kapasitasnya untuk berperan. Sadar bahwa penindasan harus mereka tanggulangi sendiri, sejumlah besar perempuan berpartisipasi dalam memperjuangkan pembebasan Afrika Selatan, dan perjuangan tersebut dapat diintegrasikan ke dalam teori mengenai kebebasan perempuan. Keterlibatan perempuan yang terus-menerus dalam berbagai negosiasi memastikan bahwa Afrika Selatan yang baru mempunyai konstitusi yang bercorak sensitif gender dan menetapkan suatu kerangka kerja sah yang unik bagi kesetaraan yang sejati dan efektif. Namun, berkaitan dengan perempuan di berbagai negara, kami menemukan bahwa keberadaan hak-hak mereka dalam hukum tidak serta merta berarti bahwa perempuan dapat menuntut dan memperoleh hak-hak tersebut. Nyatanya patriarki dan subordinasi perempuan telah terstruktur dalam masyarakat, begitu pula praktik-praktik kultural dan agama yang tetap terjadi ditengah-tengah kami. Lembaga-lembaga pemerintahan seperti lembaga-lembaga lainnya telah berkembang dalam masyarakat yang patriarki dan telah dibentuk oleh asumsiasumsi relasi gender yang tidak setara, dan pada basis siapa (laki-laki) yang harus beroperasi di dalam lembaga-lembaga tersebut. Di Afrika Selatan, perkembangan blok-blok masyarakat yang kami warisi bersifat patriarki dan rasisme, begitu juga lembaga-lembaga yang ada. Kami perlu memanfaatkan hal-hal tersebut untuk memperbaiki kondisi-kondisi material dan sosial yang ada, namun demikian, kami mengakui bahwa hal-hal tersebut harus ditransformasikan secara radikal. Budaya, nilai-nilai, organisasi dan gaya mereka dirancang untuk mempertahankan ketidaksetaraan dan melindungi hak-hak istimewa: tujuan-tujuan yang secara diametrik berlawanan dengan tujuan kami. Kecuali jika ditransformasikan, lembaga-lembaga ini tidak saja akan mengkooptasi dan mengesampingkan setiap warga kulit hitam atau perempuan yang masuk atau membuat mereka frustasi sehingga mendorong mereka untuk mengundurkan diri. 7

Kami beruntung memiliki kepemimpinan politik yang mengakui bahwa perempuan memerlukan perubahan radikal yang penting dan sebaliknya kehadiran perempuan dalam lembaga-lembaga itu akan memungkinkan mereka untuk mengubah struktur kekuasaan di mana mereka merupakan bagian di dalamnya, dan ini membuat lebih mudah bagi mereka untuk mengikutinya. Pengalaman Afrika Selatan ini adalah satu dari banyak kasus hal yang menyelimuti dunia. Buku pedoman ini merupakan satu alat. Ia tidak Buku pedoman ini merupakan mengusulkan satu solusi pun, namun diakui bahwa satu alat. Ia tidak mengusulkan situasi kami berubah meskipun kami memiliki tujuantujuan bersama. Buku ini menyajikan informasi satu solusi pun, namun diakui bahwa situasi kami berubah mengenai metode-metode yang telah digunakan meskipun kami memiliki tujuantujuan bersama. Buku ini bagi kami. Buku ini juga menggambarkan tentang dimanapun, dan metode-metode yang sekarang tersedia menyajikan informasi mengenai pembagian pengalaman perempuan maupun laki-laki metode-metode yang telah yang bekerja sebagai aktivis, peneliti, dan politisi, sebagai digunakan dimanapun, dan kelompok individu dan organisasi serta aktor-aktor lokal, metode-metode yang sekarang regional dan global. tersedia bagi kami. Hal yang paling penting, buku ini memfokuskan mengenai apa yang perlu dilakukan perempuan. Ini bukan untuk mendukung mereka yang mempercayai bahwa tanggung jawab masyarakat berakhir dengan disahkannya undang-undang kesetaraan atau legislasi antidiskriminasi, dan selanjutnya terserah kepada individu perempuan. Melainkan untuk mengenali bahwa dalam setiap masyarakat dan situasi, mereka yang paling terkena dampak adalah yang harus bertindak untuk membuat perubahan. Mereka yang memperoleh keuntungan istimewa, bahkan yang tidak menyadari samasekali, keuntungan dari satu sistem yang mengesampingkan pihak-pihak yang lain. Karenanya, mereka tidak bisa diandalkan untuk melakukan perubahan yang akan mencabut status istimewa mereka. Ini tergantung kepada kami, kaum perempuan. Memasuki abad ke-21 globalisasi membawa berbagai kesempatan dan tantangan baru. Dalam periode yang menuju kepada konferensi Nairobi tahun 1985 perempuan bersama-sama menjungkir-balikkan asumsi yang membatasi mereka dalam wilayah pribadi dan juga mencoba untuk menetapkan perhatian mereka hanya terhadap masalah-masalah sosial yang terpisah dari kondisikondisi politik dan ekonomi dalam masyarakat. Perempuan di negara-negara berkembang bersatu dan mendapatkan pengakuan atas kaitan antara kesetaraan, 8 Pengantar

pembangunan dan perdamaian. Program aksi yang disetujui di Beijing didasarkan pada pengakuan bahwa pembangunan bidang perempuan integral dengan pembangunan masyarakat dan selanjutnya hak-hak politik dan sipil tak dapat dipisahkan dari hak-hak ekonomi dan sosial. Ketika kami menengok ke belakang dua dekade atau bahkan separuh abad yang lalu, ternyata ada kemajuan luar biasa yang telah kami lakukan. Memandang ke depan di milenium baru, kami melihat seberapa jauh kami masih akan melakukan perjalanan, tapi kami dapat melakukannya dengan berbekal kepercayaan atas kemampuan kami untuk menulis kisah perempuan sebagai satu hal yang akan dapat membawa keadilan, perdamaian dan keamanan bagi segenap umat manusia. F R E N E G I N W A L A APRIL 1998 9

10 BAB 1 BAB 1

P E N G A N T A R Pengantar J U L I E B A L L I N G T O N Partisipasi sejajar perempuan dalam pengambilan keputusan bukanlah semata-mata sebuah tuntutan akan keadilan demokrasi, namun juga dapat dilihat sebagai syarat penting agar kepentingan kaum perempuan dapat diperhitungkan. Platform Aksi Beijing, 1995 PARTISIPASI SEJAJAR ANTARA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN dalam kehidupan publik adalah salah satu prinsip mendasar yang diamanatkan di dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women atau CEDAW) yang diadopsi oleh Sidang Umum PBB pada tahun 1979 dan disahkan mulai tahun 1981. Sekarang, lebih dari 20 tahun sejak ditandatanganinya konvensi itu (yang juga telah diratifikasi oleh 165 negara), kenyataan menunjukkan bahwa kaum perempuan di seluruh pelosok dunia masih saja termarjinalisasi dan kurang terwakili di dunia politik. Pada tahun 1995, Platform Aksi Beijing mengidentifikasi adanya kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam pembagian kekuasaan dan pengambilan keputusan pada semua tingkat dan kurangnya mekanisme pada semua level dalam upaya memajukan perempuan, yang merupakan dua wilayah penting dalam kerangka perjuangan memajukan kaum perempuan. Dalam tahun 2002, kendati sudah ada prestasi yang signifikan di bidang hukum baik di level internasional maupun nasional, ditunjang pula oleh 11

berbagai aktivitas dan mobilisasi selama bertahun-tahun, partisipasi perempuan di panggung politik sebagai mitra sejajar laki-laki belum juga menuai keberhasilan. Di masa kini, langkah mengaitkan demokrasi dengan kesejajaran gender merupakan prinsip yang sudah diterima secara luas. Salah satu kredo penting dari tiap kerangka kerja demokrasi adalah prinsip hak asasi manusia, termasuk di dalamnya hak-hak politik bagi laki-laki dan perempuan. Pengembangan setiap agenda politik yang tidak memasukkan unsur perspektif, pandangan dan pengalaman dari pihak-pihak yang akan terkena dampak agenda tersebut kini tidak lagi dapat diterima. Namun, lepas dari segala daya upaya yang dirintis selama sekian abad oleh tokoh-tokoh perempuan terkemuka dan beberapa laki-laki pula pengakuan dan pelaksanaan hak-hak politik dan sosial-ekonomi antara laki-laki dan perempuan masih saja belum seimbang. 1 Kaum perempuan adalah separuh populasi dunia, 50 persen dari total tenaga kerja, namun mereka juga adalah sekitar satu milyar manusia yang hidup dalam belenggu kemiskinan. Pengambilan keputusan dan penyusunan prioritas tetap saja berada di tangan kaum laki-laki. Perempuan ingin ikut membentuk keputusan-keputusan yang akan mempengaruhi kehidupan mereka beserta keluarganya, takdir politik dan ekonomi komunitas dan negara mereka, serta struktur dari hubungan internasional yang ada. Partisipasi politik dan perwakilan adalah elemenelemen penting bagi tercapainya tujuan-tujuan tersebut. 2 Di seluruh dunia, kaum perempuan hanya menempati 14.3 persen dari total anggota parlemen yang ada. Rata-rata persentase global kaum perempuan yang menjadi anggota parlemen di setiap wilayah regional kurang lebih sama saja, kecuali untuk negara-negara di kawasan Nordik yang mana kaum perempuannya rata-rata mencapai tingkat keterwakilan 40 persen di lembagalembaga legislatif. Di ujung jauh dari spektrum tersebut adalah negara-negara Arab di mana perempuannya hanya menempati porsi 4,6 persen dari total anggota dewan legislatifnya. 3 Kawasan Asia Tenggara pun tidak berbeda jauh dari kecenderungan global ini. Dengan tingkat perwakilan perempuan yang rata-rata hanya 12,7 persen di majelis rendah, kawasan Asia Tenggara menunjukkan fakta bahwa penyertaan dan partisipasi penuh kaum perempuan dalam kehidupan publik merupakan salah satu tantangan dan perkembangan terbesarnya dalam kehidupan berdemokrasi. 12 Bab 1 - Pengantar

Dalam konteks ini, nampak bahwa tugas yang membentang ke depan masih sangat banyak: tindakan tegas dari pemerintah, komitmen partai-partai politik, dan transformasi sosial untuk mengubah persepsi keliru (tentang perempuan) yang selama ini telah mendominasi konsepsi kita tentang hubungan kemasyarakatan. Perlu juga ditanggalkan pola-pola tradisional dan pemahaman mengenai peranan dan posisi perempuan dan laki-laki di dalam masyarakat. Kualitas partisipasi perempuan di dalam politik juga perlu dihargai dengan mengubah persepsi tentang kekuasaan dan dengan menggugurkan persepsi usang bahwa kehidupan publik (politik) merupakan wilayah dominasi laki-laki. Tantangan terberat untuk kawasan Asia Tenggara adalah bagaimana cara meningkatkan konsolidasi demokrasi yang melibatkan sekaligus mendukung partisipasi dan mobilisasi perempuan dari berbagai latar belakang status dan asal usul. Kami sungguh berharap buku ini dapat memberikan kontribusi efektif dalam upaya mengatasi tantangan ini, dengan membagi pengalaman, strategi dan peluang-peluang untuk menggalang solidaritas internasional dan regional. Tujuan Berbekal mandat yang diemban International IDEA untuk memberikan kontribusi terhadap semaraknya perdebatan tentang cara memajukan isu-isu keseimbangan gender dan demokrasi secara umum, serta sebagai respons kami terhadap kebutuhan untuk meningkatkan kualitas dan keterwakilan perempuan (di lembaga legislatif dan politik) khususnya, buku pegangan berjudul Perempuan di Parlemen: Bukan Sekedar Jumlah (Women in Parliament: Beyond Numbers) ini diterbitkan sebagai bagian dari program International IDEA tahun 1998 di bawah arahan Azza Karam. Buku ini dimaksudkan untuk memberikan petunjuk atau cara yang mudah diikuti untuk meningkatkan dampak atau kualitas perempuan dalam mempengaruhi proses-proses politik melalui partisipasi mereka, disamping menunjukkan kebutuhan-kebutuhan spesifik para tokoh perempuan yang duduk di kursi parlemen dan di wilayahwilayah lain di mana mereka memerlukan bantuan dan informasi. Buku pegangan ini disusun berdasarkan hasil-hasil analisa mengenai metode untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan. Di samping itu, buku ini juga berusaha menyentuh persoalan lain di luar masalah jumlah ideal perempuan di parlemen, dengan mengkaji strategi-strategi yang dapat meningkatkan dampak dari politisi perempuan. Beberapa hasil perenungan 13

dan metode disajikan dengan sebanyak mungkin menyarikan bahan-bahan dari berbagai konteks politik, sosial-ekonomi dan kultural. Sejalan dengan pendekatan yang ditempuh International IDEA, buku ini tidak dimaksudkan untuk menjadi resep paling mujarab dalam menciptakan perubahan yang diinginkan, melainkan hanya sekedar piranti yang menggelar berbagai strategi dan opsi untuk menempuh reformasi dan melancarkan aksi. Versi-Versi Regional Sejak pertama kali diluncurkan dalam edisi bahasa Inggris pada tahun 1998, banyak ungkapan minat dan permintaan yang besar terhadap buku Women in Parliament: Beyond Numbers ini dari pihak-pihak yang giat memperjuangkan perubahan di seluruh dunia. Menanggapi permintaan terjemahan buku ini ke berbagai bahasa, International IDEA telah menerbitkannya di dalam berbagai versi bahasa regional, termasuk versi bahasa Indonesia yang ada di tangan anda ini. Susunan dan muatan buku ini diupayakan agar semaksimal mungkin tetap sesuai dengan versi aslinya, termasuk updates dan revisi-revisi teks yang banyak dilakukan sejak penerbitan perdananya pada tahun 1998. Sebagai cara kami untuk menyajikan contoh-contoh praktis dan informasi terkini dari kawasan Asia Tenggara, informasi yang bersifat global dari buku ini kami lengkapi dengan tambahan studi kasus dari Indonesia, Filipina dan Pakistan. Penambahan studi kasus ini mengharuskan kami mengubah beberapa studi kasus spesifik negara yang termuat pada versi aslinya. Buku ini disusun dengan mengerahkan berbagai narasumber dan penulis dan menyarikan pengalaman tokoh-tokoh perempuan dan laki-laki yang bekerja sebagai peneliti, politisi, dan aktivis di tingkat lokal, regional, bahkan global. Yang paling istimewa, pengalaman beberapa anggota konggres perempuan kami sajikan di dalam versi bahasa Indonesia ini lewat kontribusi mereka sebagai penulis studi kasus negara mereka. Buku pedoman ini kami persembahkan bagi berbagai kalangan dan aktor yang bekerja memperjuangkan partisipasi dan keterwakilan perempuan di dalam struktur-struktur politik. Termasuk juga diantaranya para anggota parlemen perempuan, atau mereka yang sedang berkampanye mencalonkan diri untuk suatu jabatan publik. Tidak ketinggalan juga anggota-anggota kelompok masyarakat, termasuk para aktivis, akademisi, wartawan dan pihak-pihak berkepentingan lainnya yang tidak kenal lelah memperjuangkan kaum perempuan di dalam politik. 14 Bab 1 - Pengantar

Garis Besar dan Fokus Buku ini difokuskan pertama-tama untuk membahas cara meningkatkan jumlah perempuan di parlemen, dan kedua (dan justru yang paling penting) membagi pengalaman dan contoh-contoh keberhasilan perempuan dalam mempengaruhi atau ikut membentuk proses politik saat mereka bekerja di dalam struktur parlemen. Namun, lebih dari sekedar memfokuskan diri pada perubahan dan efek dari apa yang kerap disebut sebagai isu-isu perempuan, buku ini juga mengkaji proses-proses dalam konteks kebijakan dan produk hukum yang lebih luas dan erat terkait dengan isu-isu politik, sosial dan ekonomi. Dibahas juga di sini tema-tema tentang identifikasi kendala-kendala utama yang menghambat akses perempuan ke parlemen, serta berbagai strategi yang dapat digunakan untuk mengatasinya. Lebih jauh lagi juga dibahas beberapa mekanisme yang dapat membantu perempuan mempengaruhi prosesproses politik di parlemen. Dengan berpijak pada tema-tema tersebut di atas, maka buku ini memfokuskan wacana pada ranah-ranah utama berikut ini: Kendala-Kendala terhadap Partisipasi Perempuan di Parlemen Begitu sering perempuan yang ingin memasuki dunia politik menemui kenyataan bahwa lingkungan politik, publik dan sosio-kultural di dunia tersebut sangat tidak kondusif bagi peranserta mereka. Pada Bab 2 dibahas masalah-masalah yang mempengaruhi partisipasi politik perempuan, yang dikategorikan ke dalam faktor-faktor politik, sosio-ekonomi, dan psikologis. Rekrutmen Legislatif dan Sistem Elektoral Tata cara partai-partai politik merekrut kandidat mereka, dipadu dengan karakter sistem pemilu yang ada, ternyata sangat berpengaruh terhadap keterwakilan politik perempuan. Bab 3 membahas proses rekrutmen kandidat oleh partai-partai politik dalam suasana pemilu, yang mungkin merupakan tahapan paling penting dalam mengantar atau mengganjal langkah perempuan ke dalam jabatan publik. Di samping itu, Bab 3 juga membahas dampak yang ditimbulkan sistem pemilu terhadap keterwakilan politik kaum perempuan. Penerapan Kuota Dewasa ini, kuota merupakan salah satu mekanisme yang paling efektif untuk menjamin akses perempuan menuju kekuasaan politik. Pada Bab 4 dibahas tentang konsep sistem kuota ini, serta peranannya dalam meningkatkan 15

keterwakilan perempuan di dunia politik. Bab 4 membeberkan berbagai argumen yang menentang dan mendukung kuota, sekaligus menyajikan contoh-contoh komparatif mengenai implementasinya di seluruh dunia. Menciptakan Perubahan di Parlemen Meskipun di kebanyakan tempat jumlah mereka sangat kecil, sesungguhnya para anggota parlemen perempuan dapat bekerja secara efektif dan menghasilkan dampak yang nyata. Pada Bab 5 terjadi pergeseran fokus, dari upaya meningkatkan jumlah perempuan di parlemen menuju strategi-strategi untuk memperkuat kemampuan mereka dalam membuat keputusan di parlemen, serta memberikan berbagai contoh tentang tindakan nyata yang berkaitan dengan isu ini. Pengalaman-Pengalaman Internasional Sungguh banyak pengalaman penting yang dapat dicermati dari organisasiorganisasi intrernasional yang berkecimpung dalam urusan perempuan di dunia politik. Salah satu organisasi yang dimaksud adalah Inter-Parliamentary Union (IPU) yang telah menjadi perintis upaya menggali informasi komparatif tentang perempuan yang terjun di dunia politik. Pada Bab 6 dikaji kiprah IPU dalam urusan perempuan dan politik, serta dipaparkan beberapa rekomendasi IPU yang berkait dengan masalah ini. Studi-Studi Kasus Dalam buku ini disajikan delapan studi kasus: empat dari Asia Tenggara, dan empat lagi dari belahan dunia lainnya. Studi-studi kasus dari jazirah Arab (Bab 2), Norwegia (Bab 3), India (Bab 4), Afrika Selatan (Bab 5) merefleksikan berbagai situasi sosio-politik dan kultural dari negara-negara yang bersangkutan, dan ditutup dengan kemajuan-kemajuan terkini yang dicapai kaum perempuan di sana dalam hal partisipasi politik. Studi-studi kasus itu dimaksudkan untuk mendukung argumen-argumen yang dipaparkan pada bab-bab lainnya. Studi-studi kasus dari Asia Tenggara menggambarkan berbagai kendala yang menghadang langkah perempuan menuju parlemen, sekaligus membagi beberapa kiat yang digunakan tokoh-tokoh di sana untuk mengatasinya. Studi kasus yang pertama tentang Indonesia (Bab 2) memberikan konteks politik yang melatarbelakangi partisipasi politik perempuan, serta menunjukkan beberapa tantangan utama yang masih dihadapi kaum perempuan di arena 16 Bab 1 - Pengantar

politik. Studi kasus itu juga mengungkap beberapa strategi yang boleh dicoba untuk mengatasi hambatan-hambatan itu, termasuk menyelenggarakan advokasi dan pelatihan, serta membangun jaringan dengan media. Studi kasus kedua, masih tentang Indonesia (Bab 3) membahas proses rekrutmen kandidat perempuan oleh partai-partai politik selama masa pemilihan calon anggota legislatif. Bab tersebut juga membahas variabelvariabel kunci dari rekrutmen partai politik, dan memberikan beberapa saran untuk meningkatkan partisipasi perempuan Indonesia, termasuk diantaranya memberlakukan sistem kuota dan perombakan aturan pemilu. Bab 4 diikuti oleh sebuah studi kasus tentang penerapan sistem kuota di Pakistan. Studi kasus tersebut mengkaji bermacam-macam kesulitan dan tantangan yang melatarbelakangi penerapan kuota di tingkat lokal, berikut beberapa strategi untuk meningkatkan kemampuan para (perempuan) anggota parlemen. Isu tentang kuota dan keseimbangan gender yang ideal memang merupakan tema yang hangat di kawasan Asia Tenggara, dan karena alasan tersebut, maka di dalam studi kasus tersebut dikemukakan tentang pentingnya mekanisme penerapannya. Studi kasus tentang Malaysia (Bab 5) mengungkapkan tantangan-tantangan yang dihadapi kaum perempuan yang merintis jalan menuju dunia politik, serta kendala-kendala yang menghambat partisipasi mereka di parlemen. Bab tersebut memaparkan beberapa strategi yang dapat digunakan oleh kaum perempuan dalam melangkah ke dalam arena publik dalam konteks sistem sosial-politik yang berciri patriarkhal. Buku ini merupakan buah upaya kami untuk merangkum segenap informasi yang digali oleh para peneliti, politisi dan aktifis yang bekerja keras memajukan kesejajaran gender di lembaga-lembaga pengambil keputusan. Banyak sekali perspektif dan isu, serta strategi yang termuat di dalam buku ini. Bab Kesimpulan menyajikan sintesa dari segenap materi yang termuat di dalam buku ini, dan menyajikan garis besar kebutuhan-kebutuhan para perempuan anggota parlemen, berikut strategi-strategi yang berhasil mereka terapkan, dan ditutup dengan berbagai tantangan dan tugas berat yang membentang di masa mendatang. Catatan 1 UNDP. 1995. Gender and Development. New York: Human Development Report. 2 UNDP. 2000. Women s Political Participation and Good Governance: 21st Century Challenges. Dapat diakses pada http://magnet.undp.org 3 Inter-Parliamentary Union. Februari 2002. Women in National Parliaments. http://www.ipu.org 17

BAB 2 BAB 2 18 Bab 2 - Kendala-kendala terhadap Partisipasi Perempuan dalam Parlemen

Kendala-kendala terhadap Partisipasi Perempuan dalam Parlemen N A D E Z H D A S H V E D O V A PEREMPUAN DI SELURUH DUNIA PADA SETIAP TINGKAT SOSIO-POLITIK merasa dirinya kurang terwakili dalam parlemen dan jauh dari keterlibatan dalam pengambilan keputusan. Sementara arena permainan politik di setiap negara mempunyai karakter tersendiri, ada sebuah gambaran umum yang tetap bagi semua: yakni bahwa hal itu tidak seimbang dan tidak kondusif bagi partisipasi perempuan. Perempuan yang ingin masuk dalam dunia politik, menemukan kenyataan bahwa lingkungan politik, publik, budaya dan sosial sering tidak bersahabat atau bahkan bermusuhan dengan mereka. Bahkan secara sepintas, komposisi pengambil keputusan politik sekarang di berbagai wilayah memberikan bukti bahwa perempuan tetap menghadapi sejumlah kendala dalam mengartikulasikan serta menentukan kepentingannya. Apa kendala-kendala yang dihadapi perempuan dalam memasuki parlemen? Bagaimana perempuan dapat mengatasi lebih baik kendala-kendala ini? Dalam bab ini, kami akan menginjak ke tahap pertama menuju pada peningkatan representasi anggota parlemen perempuan serta efektivitasnya dengan mengidentifikasi masalah-masalah umum yang dihadapi perempuan. Kami mengkategorikan masalah-masalah ini ke dalam tiga wilayah: politik, sosio-ekonomi, dan ideologi serta psikologi (atau sosio-kultural). Dalam bab berikutnya, kami mengidentifikasi beberapa strategi untuk mengungkap berbagai kendala ini dan menganalisa apa yang dapat dilakukan perempuan begitu mereka masuk dalam parlemen. 19

Kendala-kendala Politik Laki-laki mendominasi arena politik, laki-laki memformulasikan aturan permainan politik; dan laki-laki mendefinisikan standar untuk evaluasi. Keberadaan model yang didominasi laki-laki menyebabkan apakah perempuan menolak politik secara keseluruhan atau menolak politik bergaya laki-laki. Di awal abad ke-21, lebih dari 95 persen negara di dunia menjamin dua hak demokratik perempuan yang paling mendasar: hak memilih (right to vote) dan hak untuk mecalonkan diri dalam pemilihan (right to stand for elections). Selandia Baru adalah negara pertama yang memberikan kepada perempuan hak suara pada tahun 1893; dan Finlandia adalah negara pertama yang mengadopsi kedua hak demokratik mendasar tersebut pada tahun 1906. Sementara itu, masih ada beberapa negara yang menolak dua hak perempuan tersebut, hak memilih dan hak untuk mencalonkan diri dalam pemilihan. 1 Menurut teori, hak untuk mencalonkan diri dalam pemilihan, untuk menjadi kandidat, dan melakukan pemilihan, didasarkan pada hak pilih. Namun dalam kenyataanya, hak pilih perempuan tetap dibatasi: karena pada dasarnya hanya calon laki-lakilah yang umumnya mempunyai hak pilih. Hal ini benar, tidak hanya terjadi pada demokrasi parsial dan demokrasi yang sedang berkembang, tetapi juga pada demokrasi yang sudah mapan. Tingkat representasi perempuan yang rendah di beberapa parlemen Eropa 2 menjadi alasan adanya pelanggaran terhadap hak-hak asasi fundamental mereka. Tingkat representasi yang tidak setara dalam badan legislatif mengartikan bahwa representasi perempuan, yang sepatutnya menjadi suatu fungsi bagi demokratisasi, ternyata lebih berfungsi untuk mempertahankan status quo. Di banyak negara, secara de jure terdapat banyak kesulitan, baik oleh karena hukum (peraturan) yang ada tidak ditaati maupun bahkan yang tidak ada hukumnya sama sekali. Sebagai contoh, hukum Argentina Penelitian menunjukkan mengenai kuota mengharuskan semua partai untuk bahwa dibandingkan menominasikan 30 persen perempuan dalam posisi yang dapat faktor-faktor sosial, dipilih dalam daftar kandidat mereka. Tanpa hukum yang struktur politiklah yang demikian, jumlah anggota parlemen perempuan tidak memainkan peran yang mungkin akan meningkat sebagai akibat dari kekalahan lebih menentukan dalam partainya: sebagai contoh kasus yang terjadi pada pemilihan rekrutmen anggota di Irlandia pada tahun 1997. parlemen perempuan. Penelitian menunjukkan bahwa dibandingkan faktor- 20 Bab 2 - Kendala-kendala terhadap Partisipasi Perempuan dalam Parlemen

faktor sosial, struktur politiklah yang memainkan peran yang lebih menentukan dalam rekrutmen anggota parlemen perempuan. Sebagai contoh, sistem pemilihan didasarkan pada representasi proporsional, telah menghasilkan tiga hingga empat kali lebih banyak perempuan yang terpilih di negara-negara dengan kultur politik yang sama, seperti Jerman dan Australia. Tabel 1: Perempuan dalam Parlemen Nasional Situasi sampai pada tanggal 4 Februari 2002. Statistik dibuat oleh Perserikatan Antar-Parlemen (Inter-Parliamentary Union; IPU) didasarkan pada data yang disiapkan oleh parlemen-parlemen nasional. RATA-RATA DUNIA Kombinasi Dua Majelis 14,3% Majelis Rendah atau Tunggal 14,5% Majelis Tinggi atau Senat 13,6% Total Anggota Parlemen 41,138 Total Anggota Parlemen 35,105 Total Anggota Parlemen 6,037 Perincian Gender 38,933 Perincian Gender 33,457 Perincian Gender 5,476 Laki-laki 33,351 Laki-laki 28,619 Laki-laki 4,732 Perempuan 5,582 Perempuan 4,838 Perempuan 744 RATA-RATA REGIONAL Majelis Rendah Majelis Tinggi Gabungan Wilayah* atau Tunggal atau Senat Kedua Majelis Negara-negara Nordik 38,8 % 38,8 % OSCE Eropa termasuk negara-negara Nordik 16,8 % 14,8 % 16,4 % Amerika 15,8 % 16,6 % 15,9 % Asia 15,6 % 12,1 % 15,4 % OSCE Eropa tidak termasuk negara-negara Nordik 14,7 % 14,8 % 14,7 % Afrika Sub-Sahara 12,8 % 12,8 % 12,8 % Pasifik 11,3 % 25,9 % 12,8 % Negara-negara Arab 4,6 % 2,5 % 4,3 % * Wilayah disusun berdasarkan urutan terbalik persentase perempuan di Majelis Rendah atau Tunggal Sumber: IPU, Women in National Parliaments, 4 Februari 2002. Lihat www.ipu.org/wmn-e/world 21