Defisiensi besi merupakan penyebab anemia. Terapi dan Suplementasi Besi pada Anak

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. darah merah atau kadar hemoglobin (Hb) yang lebih rendah dibandingkan

Besi adalah bahan esensial yang merupakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian Anemia Defisiensi Besi (ADB)

Penyebab utama anemia pada bayi adalah. Profil Parameter Hematologik dan Anemia Defisiensi Zat Besi Bayi Berumur 0-6 Bulan di RSUD Banjarbaru

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki Angka Kematian Ibu (AKI) yang. tertinggi bila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN

BAB I PENDAHULUAN. besinya lebih besar daripada orang dewasa normal di dunia, terutama di

BAB I PENDAHULUAN. sehingga masuk dalam daftar Global Burden of Disease 2004 oleh World

Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kesehatan masyarakat baik di Indonesia maupun di dunia. Masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. berbagai negara, dan masih menjadi masalah kesehatan utama di. dibandingkan dengan laki-laki muda karena wanita sering mengalami

BAB 1 : PENDAHULUAN. kurang vitamin A, Gangguan Akibat kurang Iodium (GAKI) dan kurang besi

Fania Dwi Ariesy Putri 1, Bambang Edi Susyanto 2 ABSTRACT

GAMBARAN ANEMIA DAN INTELLIGENCE QUOTIENT (IQ) PADA SANTRI PUTRI PONDOK PESANTREN IMAM SYUHODO KECAMATAN POLOKARTO KABUPATEN SUKOHARJO SKRIPSI

22,02%, 23,48% dan 22,45% (Sarminto, 2011). Kejadian anemia di Provinsi DIY pada tahun 2011 menurun menjadi 18,90%. Berbeda dengan provinsi, kejadian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan Afrika belum mampu mendekatinya. Indonesia masih terus berupaya

BAB 1 PENDAHULUAN. Defisiensi besi merupakan gangguan nutrisi yang secara umum. terjadi di seluruh dunia dan mengenai lebih kurang 25% dari seluruh

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS

membutuhkan zat-zat gizi lebih besar jumlahnya (Tolentino & Friedman 2007). Remaja putri pada usia tahun, secara normal akan mengalami

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesehatan baik di negara maju maupun negara berkembang. Anemia juga masih

BAB I PENDAHULUAN. Anemia merupakan masalah yang sering terjadi di Indonesia. Anemia

BAB 1 : PENDAHULUAN. masalah kesehatan masyarakat ( Public Health Problem) adalah anemia gizi.

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. negara berkembang yang tidak hanya mempengaruhi segi kesehatan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. pendek atau stunting. Stunting merupakan gangguan pertumbuhan fisik berupa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia. Pertama, kurang energi dan protein yang. kondisinya biasa disebut gizi kurang atau gizi buruk.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kejang demam merupakan salah satu kejadian bangkitan kejang yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. persentase populasi ADB di Indonesia sekitar %. Prevalensi ADB di

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian. Anemia defisiensi besi (ADB) masih menjadi. permasalahan kesehatan saat ini dan merupakan jenis

BAB I PENDAHULUAN. faltering yaitu membandingkan kurva pertumbuhan berat badan (kurva weight for

BAB I PENDAHULUAN. seperti Indonesia. Berdasarkan data World Health Organization (WHO) tahun

Anemia defisiensi besi merupakan salah satu

9-12 Tahun yang Menderita Anemia Defisiensi Besi

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

Anemia defisiensi besi terdapat pada hampir

SUPLEMENTASI MIKRONUTRIEN DAN PENANGGULANGAN MALNUTRISI PADA ANAK USIA DI BAWAH LIMA TAHUN (BALITA)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anemia pada ibu hamil merupakan salah satu masalah yang

PENDAHULUAN Latar Belakang

B A B I PENDAHULUAN. pembangunan dalam segala bidang. Pertumbuhan ekonomi yang baik,

Penyakit perdarahan pada bayi baru lahir dapat

REKOMENDASI IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. kriteria inklusi penelitian. Subyek penelitian ini adalah kasus dan kontrol, 13

BAB 1 : PENDAHULUAN. SDKI tahun 2007 yaitu 228 kematian per kelahiran hidup. (1)

BAB 1 PENDAHULUAN. cadangan besi kosong yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kehamilan merupakan suatu keadaan fisiologis yang diharapkan setiap pasangan

Pola Lekemia Limfoblastika akut di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK-USU/RS. Dr. Pirngadi Medan

BAB I PENDAHULUAN. Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya. manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan

BAB 1 PENDAHULUAN. relatif tinggi yaitu 63,5% sedangkan di Amerika 6%. Kekurangan gizi dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. spermatozoa dan ovum kemudian dilanjutkan dengan nidasi atau implantasi.

Gambaran Hematologi Anemia Defisiensi Besi pada Anak

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka mencapai Indonesia Sehat dilakukan. pembangunan di bidang kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan

PENDAHULUAN. dunia karena prevalensinya masih tinggi terutama di negara berkembang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran,

Anemia defisiensi besi (ADB) masih merupakan

Curriculum vitae Riwayat Pendidikan: Riwayat Pekerjaan

BAB I PENDAHULUAN. sedang berkembang. Masalah kesehatan yang dihadapi negara-negara berkembang

BAB I PENDAHULUAN. Anemia adalah suatu kondisi medis dimana kadar hemoglobin kurang dari

PENDAHULUAN. Latar Belakang

Anemia Megaloblastik. Haryson Tondy Winoto, dr.,msi.med.,sp.a Bag. Anak FK-UWK Surabaya

HUBUNGAN ANTARA ASUPAN

Anak memiliki ciri khas yaitu selalu tumbuh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. Di

BAB I PENDAHULUAN. dengan prevalensi tertinggi dialami negara berkembang termasuk Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. 2001). Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO) wanita dengan usia tahun

BAB I PENDAHULUAN. terutama di negara berkembang. Data Riset Kesehatan Dasar (R iskesdas)

BAB I PENDAHULUAN. merupakan masalah gizi yang paling tinggi kejadiannya di dunia sekitar 500 juta

PERBANDINGAN RESPONS TERAPI BESI SATU KALI DAN TIGA KALI SEHARI PADA ANAK SEKOLAH DASAR USIA 9-12 TAHUN YANG MENDERITA ANEMIA DEFISIENSI BESI.

ABSTRAK. Kata Kunci: prevalensi, anemia, kelahiran prematur, bayi berat lahir rendah. vii Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sejak konsepsi dan berakhir sampai permulaan persalinan (Manuabaet al., 2012).

BAB I PENDAHULUAN. negara maju maupun negara berkembang adalah anemia defisiensi besi.

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat. Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes RI) tahun 2010 menyebutkan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. inklusi penelitian. Subyek penelitian ini terdiri dari kelompok kasus dan

BAB I PENDAHULUAN. mengalami peningkatan dikarenakan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi janin yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. terutama di negara berkembang (Parashar et al., 2003). Defisiensi zinc berperan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan di Indonesia diarahkan untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. berlangsung dengan baik, bayi tumbuh sehat sesuai yang diharapkan dan

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, angka prevalensi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ibu hamil merupakan penentu generasi mendatang, selama periode kehamilan ibu hamil membutuhkan asupan gizi yang

HUBUNGAN ASUPAN ZAT BESI DENGAN KADAR HEMOGLOBIN DAN KADAR FERRITIN PADA ANAK USIA 6 SAMPAI 24 BULAN DI PUSKESMAS KRATONAN SURAKARTA

1998, WHO telah merekomendasikan penambahan suplemen asam folat sebesar 400 µg (0,4 mg) per hari bagi ibu hamil untuk mencegah kelainanan tabung

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut W.J.S Poerwodarminto, pemahaman berasal dari kata "Paham

Perbedaan Kecepatan Kesembuhan Anak Gizi Buruk yang Diberi Modisco Susu Formula dan Modisco Susu Formula Elemental Di RSU dr.

Peluang Aplikasi Mikroenkapsulat Vitamin A dan Zat Besi sebagai. Chance of Microencapsulat Application of Vitamin A and Iron as

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Anemia merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan terjadi pada 2-3% anak di seluruh dunia. 4 Angka kejadian ASS di. mengenai topik ini belum begitu banyak dilakukan.

Hubungan antara Anemia dengan Perkembangan Neurologi Anak Usia bulan

MODUL GLOMERULONEFRITIS AKUT

ANGKA KEJADIAN DAN KARAKTERISTIK ANEMIA PADA PASIEN YANG BEROBAT DI KLINIK PRATAMA UIN SUNAN AMPEL SURABAYA

RESUME JOURNAL READING

PERBEDAAN SELISIH TINGGI BADAN SEBELUM DAN SETELAH SUPLEMENTASI Zn PADA BALITA STUNTING

Hubungan Asupan Fe dan Vitamin A dengan Kejadian Anemia pada Ibu Hamil Trimester III di Puskesmas Air Dingin Kota Padang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutritute dalam bentuk. variabel tertentu ( Istiany, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. Masa balita merupakan masa yang kritis dalam upaya menciptakan

Transkripsi:

Artikel Asli Terapi dan Suplementasi Besi pada Anak Dedy Gunadi, Bidasari Lubis, Nelly Rosdiana Departemen Ilmu Kesehatan Anak, FK-USU/RS H.Adam Malik Medan Anemia defisiensi besi (ADB) merupakan jenis anemia yang paling sering ditemukan di dunia, terutama di negara yang sedang berkembang. Hal ini sehubungan dengan kemampuan ekonomi yang terbatas, masukan protein hewani yang rendah, dan infestasi parasit. Dari hasil survei rumah tangga di Indonesia pada tahun 1995 didapati ADB 40,5% pada anak balita dan 47,2% pada anak usia sekolah. Defisiensi besi dapat menyebabkan gangguan terhadap respon imun sehingga rentan terhadap infeksi, gangguan gastrointestinal, gangguan fungsi kognitif, tumbuh kembang, dan perubahan tingkah laku. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala pucat menahun tanpa disertai perdarahan maupun pembesaran organ dan dipastikan dengan pemeriksaan kadar besi dalam serum. Terapi besi dengan dosis 3-6 mg besi elemental/ kgbb/hari diberikan kepada semua pasien ADB dengan monitor kenaikan kadar hemoglobin setelah 2-4 minggu. Terapi dilanjutkan 4-6 bulan setelah kadar hemoglobin mencapai normal untuk menambah isi cadangan besi, dan terapi terhadap penyakit dasarnya harus diberikan. Suplementasi besi harus diberikan pada bayi yang mempunyai risiko tinggi terhadap kejadian ADB seperti bayi berat badan lahir rendah (BBLR), prematur, bayi yang mendapat susu formula rendah besi, dan bayi lahir dari ibu yang menderita anemia selama kehamilan. (Sari Pediatri 2009;11(3):207-11). Kata kunci: anemia, terapi, suplementasi, besi. Defisiensi besi merupakan penyebab anemia di seluruh dunia. Diperkirakan 30% penduduk dunia menderita anemia dan lebih kurang 500-600 juta menderita anemia defisiensi besi. Prevalensi yang tinggi terjadi di negara yang sedang berkembang, 1 disebabkan kemampuan ekonomi yang terbatas, masukan protein hewani yang rendah, dan infestasi parasit. 2 Alamat korespondensi Prof. Dr. Bidasari Lubis, SpA(K). Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK USU/RS HAM Jalan Bunga Lau No. 17 Tel.:(061) 8361721, Fax.: (061) 8361721. E-mail: bikafkusu@telkom.net, kotak Pos 697 Medan 20136 Insiden anemia defisiensi besi di Indonesia 40,5% pada balita, 47,2% pada anak usia sekolah, 57,1% pada remaja putri, dan 50,9% pada ibu hamil. 3 Dee Pee dkk 4 pada tahun 2002 melakukan penelitian tentang prevalensi anemia pada bayi usia 4-5 bulan di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur menunjukkan 37% bayi memiliki kadar hemoglobin di bawah 10 g/dl dan 71% memiliki kadar Hb di bawah 11 g/dl. Di negara maju seperti Amerika Serikat prevalensi defisiensi besi pada anak umur 1-2 tahun 9% dan 3% diantaranya menderita anemia. 5 Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh kekurangan zat besi yang dibutuhkan 207

untuk sintesis hemoglobin. 2 Menurut Dallman, anemia defisiensi besi ialah anemia akibat kekurangan zat besi sehingga konsentrasi hemoglobin menurun di bawah 95% dari nilai hemoglobin rata-rata pada umur dan jenis kelamin yang sama. 6 Defisiensi besi dapat menyebabkan gangguan respon imun sehingga rentan terhadap infeksi, gangguan gastrointestinal, gangguan kemampuan kerja fisik, gangguan kognitif dan tingkah laku, bahkan dapat terjadi sebelum timbul ge jala anemia. 7-10 Selain gangguan perkembangan, defisiensi besi juga dapat menyebabkan kelainan neurologis. 11 Diagnosis Diagnosis anemia defisiensi besi ditegakkan berdasarkan hasil temuan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium yang dapat mendukung sehubungan dengan gejala klinis yang sering tidak khas. 2 Pada pemeriksaan fisik hanya ditemukan pucat tanpa tandatanda perdarahan (petekie, ekimosis, atau hematoma) maupun hepatomegali. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan kadar hemoglobin yang rendah. Jumlah leukosit, hitung jenis, dan trombosit normal, kecuali apabila disertai infeksi. 2,5 Diagnosis pasti ditegakkan melalui pemeriksaan kadar besi atau feritin serum yang rendah dan pewarnaan besi jaringan sumsum tulang.1,5 Kriteria diagnosis anemia defisiensi besi menurut WHO adalah 2 (1) Kadar hemoglobin kurang dari normal sesuai usia, (2) Konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata <31% (nilai normal:32%-35%), (3) Kadar Fe serum <50 µg/dl (nilai normal:80-180µg/dl), dan (4) Saturasi transferin <15% (nilai normal:20%-25% ). Cara lain untuk menentukan anemia defisiensi besi dapat juga dilakukan uji percobaan pemberian preparat besi. Bila dengan pemberian preparat besi dosis 3-6 mg/kgbb/hari selama 3-4 minggu terjadi peningkatan kadar hemoglobin 1-2 g/dl maka dapat dipastikan bahwa yang bersangkutan menderita anemia defisiensi besi. 2,5,12 Terapi preparat besi Prinsip tata laksana anemia defisiensi besi adalah mengetahui faktor penyebab dan mengatasinya serta memberikan terapi penggantian dengan preparat besi. Preparat besi dapat diberikan melalui oral atau parenteral. Pemberian per oral lebih aman, murah, dan sama khasiatnya dengan pemberian secara parenteral. 2 Garam ferro di dalam tubuh diabsorbsi oleh usus sekitar tiga kali lebih baik dibandingkan garam ferri, maka preparat yang tersedia berupa ferro sulfat, ferro glukonat, ferro fumarat. Untuk mendapatkan respon pengobatan dosis besi yang dianjurkan 3-6 mg besi elemental/kgbb/hari diberikan dalam 2-3 dosis sehari. Dosis obat dihitung berdasarkan kandungan besi elemental yang ada dalam garam ferro. Garam ferro sulfat mengandung besi elemental 20%, sementara ferro fumarat mengandung 33%, dan ferro glukonat 12% besi elemental. 5,12,13 Absorbsi besi yang terbaik adalah pada saat lambung kosong, diantara dua waktu makan, namun preparat besi dapat menimbulkan efek samping pada saluran cerna. Untuk mengatasi hal tersebut pemberian besi dapat dilakukan pada saat makan atau segera setelah makan meskipun akan mengurangi absorbsi obat sekitar 40%-50%. 5,6 Preparat besi dapat mengendap sehingga menyebabkan gigi hitam, tetapi perubahan warna ini tidak permanen. Pengendapan zat besi dapat dicegah atau dikurangi apabila setelah makan preparat besi, pasien dianjurkan berkumur atau minum air putih ataupun dengan meneteskan larutan preparat besi di bagian belakang lidah. Pasien juga harus diberitakan bahwa warna tinja juga berubah menjadi hitam, hal ini tidak perlu dikhawatirkan. 1,6,14 Respon terapi terhadap pemberian preparat besi dapat diamati secara klinis atau dari pemeriksaan laboratorium. Evaluasi respon terhadap terapi besi dengan melihat peningkatan retikulosit dan peningkatan hemoglobin atau hematokrit. Terjadi kenaikan retikulosit maksimal 8%-10% pada hari kelima sampai kesepuluh terapi sesuai dengan derajat anemia, diikuti dengan peningkatan hemoglobin (rata-rata 0,25-0,4 mg/dl/hari) dan kenaikan hematokrit (rata-rata 1% per hari) selama 7-10 hari pertama. Kadar hemoglobin kemudian akan meningkat 0,1 mg/dl/hari sampai mencapai 11 mg/dl dalam 3-4 minggu. 2,5,6 Bila setelah 3-4 minggu tidak ada hasil seperti yang diharapkan, tidak dianjurkan melanjutkan pengobatan. Namun apabila didapatkan hasil seperti yang diharapkan, pengobatan dilanjutkan sampai 2-3 bulan setelah kadar hemoglobin kembali normal. 2,12,15,16 Geltman dkk, 17 melakukan uji klinik acak terkontrol pada bayi umur 3-6 bulan dan melaporkan 208

bahwa pemberian profilaksis multivitamin bersama dengan besi pada bayi berumur sekitar 6 bulan tidak dapat menurunkan risiko anemia pada saat bayi berumur 9 bulan. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang selama hamil menderita anemia memiliki risiko dua kali lebih besar untuk menderita anemia atau defisiensi besi pada saat berumur 9 bulan. Sedangkan Lozoff dkk 18 dalam penelitiannya memberikan suplemen besi 3 mg/kgbb per oral dua kali sehari selama enam bulan pada anak umur 12-23 bulan yang menderita anemia defisiensi besi. Dijumpai peningkatan hemoglobin pada tiga dan enam bulan setelah pemberian besi, namun bayi yang menderita anemia yang telah diintervensi tetap menunjukkan perkembangan mental yang lebih lambat dibandingkan bayi seumur namun tidak mengalami anemia defisiensi besi. Pada studi lainnya, Harahap dkk 19 meneliti dampak pemberian suplemen besi 12 mg besi per hari selama enam bulan pada bayi umur 12 bulan yang menderita anemia dibandingkan dengan bayi tidak anemia yang diberi susu skim. Enam bulan setelah intervensi semua indikator besi pada kelompok anemia meningkat secara bermakna. Perkembangan motorik dan mental serta aktivitas motorik juga meningkat secara bermakna, namun tidak lebih baik dibanding bayi yang tidak anemia. Geltman dkk, 20 melakukan uji klinik acak terkontrol tahun 1996-1998 dengan memberikan multivitamin dan besi sebagai profilaksis anemia defisiensi besi pada bayi umur 6-9 bulan. Prevalensi anemia pada bayi saat usia 9 bulan jauh lebih kecil pada kelompok yang mendapat intervensi dibandingkan kelompok yang hanya mendapat multivitamin tanpa besi. Studi ini menyimpulkan bahwa pemberian multivitamin bersama besi dapat mencegah risiko anemia hingga separuhnya. Zlotkin dkk, 21 dalam uji klinik acak terkontrol membandingkan pemberian ferro sulfat sebagai dosis tunggal dan tiga kali sehari dengan dosis total yang sama pada bayi berusia 6-24 bulan. Kelompok pertama mendapat ferro sulfat drops 40 mg dosis tunggal, sedangkan kelompok kedua menerima ferro sulfat drops dengan dosis total 40 mg. Pengobatan diberikan selama 2 bulan. Keberhasilan terapi 61% pada kelompok pertama dan 56% kelompok kedua. Nilai rata-rata kenaikan kadar feritin dan efek samping minimal terjadi sama pada kedua kelompok. Suplementasi preparat besi Pemberian suplemen preparat besi merupakan pencegahan primer di samping pemberian ASI dan tidak memberikan susu sapi pada tahun pertama kehidupan, 16 serta edukasi atau penyuluhan secara rutin tentang pentingnya diet mengandung besi yang adekuat sejak bayi sampai remaja. 15 Bayi prematur dan bayi berat badan lahir rendah yang mendapat ASI membutuhkan suplemen besi elemental sekitar 2 mg/kgbb/hari yang diberikan sejak umur 1 bulan. 7,12,22 Pada bayi dengan berat badan 1000-1500 g membutuhkan 3 mg/kgbb/hari, sementara pada bayi dengan berat badan kurang dari 1000 g membutuhkan 4 mg/kgbb/hari. 6,22 Pemberian ASI eksklusif pada bayi sesudah 4-6 bulan masih dapat menyebabkan terjadinya anemia defisiensi besi, sehingga suplementasi besi perlu diberikan. Pada bayi cukup bulan diberikan 1 mg besi elemental/kgbb/hari dimulai pada umur 4-6 bulan, dalam kemasan tetesan dalam vitamin. 22 Suplemen besi bisa juga diberikan serta aman pada bayi berat lahir sangat rendah (<1.300 g), hal ini akan mengurangi kejadian anemia defisiensi besi dan kebutuhan akan transfusi. Anemia defisiensi besi dapat terjadi pada bayi berat lahir sangat rendah dan apabila tanpa pemberian suplemen besi maka dapat terjadi anemia yang progresif. 23 Pemberian suplemen besi juga dapat ditambahkan pada bahan makanan, garam ataupun susu formula. Pemberian garam yang difortifikasi dengan iodine dan ferri fosfat memberikan kenaikan yang bermakna terhadap hemoglobin, status besi, dan cadangan besi tubuh. 24,25 American Academy of Pediatrics (AAP) merekomendasikan pemberian susu formula yang difortifikasi besi (berisi 4-12 mg/l besi) sejak lahir sampai usia 12 bulan pada bayi-bayi yang tidak mendapat ASI, sedangkan bayi yang mendapat ASI dianjurkan diberikan formula yang difortifikasi besi sejak usia 4 bulan. 26 Kejadian anemia juga dapat menurun dengan pemberian produk yang difortifikasi besi dan konsumsi makanan yang mempunyai bioavailabilitas besi yang baik. 22 Pemberian susu formula yang difortifikasi besi pada bayi yang pemberian ASI telah dihentikan pada usia 4 bulan memberikan keuntungan yang sama dengan pemberian sereal yang difortifikasi besi pada bayi yang masih terus mendapat ASI dalam mencegah terjadinya anemia. 27 209

Sungthong dkk, 28 mendapatkan pemberian suplemen besi seminggu sekali memberikan efek samping yang lebih sedikit, namun tidak berbeda terhadap kemampuan bahasa dan matematika dibandingkan pemberian setiap hari. Menurut Stolzfus, 29 suplementasi besi dapat meningkatkan perkembangan motorik dan bahasa pada anak usia sekolah di Zanzibar, namun secara klinis tidak bermakna. Suplementasi besi akan memperbaiki pertumbuhan dan perkembangan psikomotor secara signifikan. Penelitian yang dilakukan oleh Lind dkk, 30 pada bayi berusia 6 bulan mendapatkan bahwa pemberian suplemen zink yang diberikan selama enam bulan juga memperbaiki pertumbuhan secara signifikan, akan tetapi kombinasi besi dan zink dengan dosis 10 mg besi dan 10 mg zink ternyata tidak memberikan efek yang signifikan terhadap pertumbuhan dan perkembangan. Black dkk, 31 di Banglades mendapatkan hasil yang berbeda, yaitu pemberian suplemen besi dan preparat zink yang diberikan secara mingguan selama 6 bulan baik sendiri ataupun bersama-sama dalam dosis 20 mg besi dan 20 mg zink pada bayi yang berusia 6 bulan akan memberikan keuntungan pada perkembangan motorik dan kognitif. Sebagai kesimpulan bahwa angka kejadian anemia defisiensi besi pada anak di Indonesia cukup tinggi dapat menimbulkan masalah terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Defisiensi besi yang terjadi akibat proses inflamasi ataupun infeksi dapat diobati dengan pemberian terapi besi 3-6 mg/ kgbb per hari selama 3-6 minggu. Upaya menurunkan kejadian anemia defisiensi besi merupakan hal yang sangat penting. Beberapa usaha yang dapat dilakukan antara lain pengobatan ibu anemia selama kehamilan, skrining awal terhadap anak-anak yang berisiko, serta pemberian suplementasi besi baik berupa sediaan besi drop, susu formula yang difortifikasi besi, multivitamin yang difortifikasi besi, atau sereal yang difortifikasi besi. Daftar Pustaka 1. Lukens JN. Iron metabolism and iron deficiency. Dalam: Miller DR, Baehner RI, Miller LP, penyunting. Blood diseases of infancy and childhood. Edisi ke-7. St. Louis: Mosby;1995.h.1193-219. 2. Raspati H, Reniarti L, Susanah S. Anemia defisiensi besi. Dalam: Permono HB, Sutaryo, Ugrasena IDG, Windiastuti E, Abdulsalam M, penyunting. Buku ajar Hematologi Onkologi Anak. Jakarta:BP- IDAI; 2005.h.30-43. 3. Dirjen Kesmas RI. Situasi gizi terkini dan penanggulangan masalah gizi di Indonesia. Departemen Kesehatan RI, 2000 Juli. 4. Dee Pee S, Bloem MW, Sari M, Kiess L, Yip R, Kosen S. The high prevalence of low hemoglobin concentration among Indonesian infants aged 3-5 months is related to maternal anemia. J Nutr 2002;132:2215-21. 5. Schwartz E. Iron deficiency anemia. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: Saunders; 2004.h.1614-6. 6. Dallman PR. Nutritional anemia. Dalam: Rudolph AM, Hoffman JIE, Rudolph CD, penyunting. Rudolphs pediatrics. Edisi ke-20. Connecticut: Appleton & Lange;1996.h.1176-80. 7. Weatheral DJ, Kwiatkowski D. Hematologic disorders of children in developing countries. Pediatr Clin N Am 2002;49:1149-64. 8. Vyas D, Chandra RK. Functional implications of iron deficiency. Dalam: Vyas D, Chandra RK, penyunting. Iron nutrition in infancy and childhood. Switzerland: Nestle Nutrition; 1984.h.21-5. 9. Lozoff B, Jimenez E, Hagen J, Mollen E, Wolf AW. Poor behavioral and developmental outcome more than 10 years after treatment for iron deficiency in infancy. Pediatrics 2000;105:1-11. 10. Schmidt MK. The role of maternal nutrition in growth and health of Indonesian infants: a focus on vitamin A and iron. Thesis Wageningen University, The Netherlands-With references-with summaries in Ducth and Indonesian; 2001.h.9-24. 11. Yager JY, Hartfield DS. Neurologic manifestations of iron deficiency in childhood. Pediatr Neurol 2002;27:85-92. 12. Sandoval C, Jayabose S, Eden AN. Trends in diagnosis and management of iron deficiency during infancy and early childhood. Hematol Oncol Clin N Am 2004;18:1423-38. 13. Will AM. Iron metabolism, sideroblastic anemia, and iron overload. Dalam: Lilleyman JS, Hann IM, Blanchette VS, penyunting. Pediatric hematology. Edisi ke-2. London; Churchill Livingstone, 2000.h.105-26. 14. Andrews NC. Disorders of iron metabolism. N Engl J Med 1999;341:1986-95. 15. Wu AC, Lesperance L, Bernstein H. Screening for iron 210

deficiency. Pediatrics in Rev 2000; 23:171-7. 16. British Columbia Medical Association. Guidelines & protocols, investigation and management of iron deficiency, 2004.h.1-9. 17. Geltman PL, Meyers AF, Mehta SD, Brugnara C, Villon I, Wu Yen A, Bauchner H. Daily multivitamin with iron to prevent anemia in high risk infants: a randomized clinical trial. Pediatrics 2004;114:86-93. 18. Lozoff B, Wolf AW, Jimenez E. Iron deficiency anemia and infant development: effects of extended oral iron therapy. J Pediatr 1996;29:382-9. 19. Harahap H, Jahari AB, Husaini MA, Saco-Pollit C, Pollit E. Effects of an energy and micronutrient supplement on iron ceficiency anemia in undernourished children in Indonesia. Eur J Clin Nutr 2000;54:114-9. 20. Geltman PL, Meyers AF, Bauchner H. Daily multivitamins with iron to prevent anemia in infancy: a randomized clinical trial. Clin Pediatr 2001;40:549-54. 21. Zlotkin S, Arthur P, Antwi KY, Yeung G. Randomized controlled trial of single versus 3- times daily ferrous sulfate drops for treatment of anemia. Pediatrics 2001;108:613-6. 22. Oski F. Iron deficiency in infancy and childhood. NEJM 1993; 329:190-3. 23. Franz AR, Mihatsch WA, Sander S, Kron M, Pohlandt F. Prospective randomized trial of early versus late enteral iron supplementation in infants with a birth weight of less than 1300 grams. Pediatrics 2000;106:700-6. 24. Halterman JS, Kaczorowsky Jm, Andrew AC, Auinger P, Szilagyi PG. Iron deficiency and cognitive achievement among school-aged children and adolescent in the United States. Pediatrics 2001;107:1381-6. 25. Zimmermann MB, Wegmueller R, Zeder C, Chaouki N. Dual fortification of salt with iodine and micronized ferric pyrophosphate: a randomized, double blind, controlled trial. Am J Clin Nutr 2004;80:952-9. 26. AAP committee on nutrition. Iron fortification on infant formulas. Pediatrics 1999; 119-23. 27. Sherry B, Mei Z, Yip R. Continuation of decline in prevalence of anemia in low income infants and children in five states. Pediatrics 2001;107:677-82. 28. Sungthong R, Mo suwan, Chongsuvivatwong V, Geater AF. Once weekly and 5-days week iron supplementation differentially affect cognitive function but not school performance in Thai children. J Nutr 2004;134:2349-54. 29. Stolzfus RJ, Kvalsvig JD, Chwaya HM, Montresor A, Albonico M, Tielsch JM et al. Effects of iron supplementation and anthelminthic treatment on motor and language development of preschool children in Zanzibar: double blind, placebo controlled study. BMJ 2001;323:1-8. 30. Lind T, Lonnerdal B, Stenlund H, Gamayanti IL, Ismail D, Seswandhana R, Persson LA. A communitybased randomized controlled trial of iron and zinc supplementation in Indonesian infants: effects on growth and development. Am J Clin Nutr 2004;80:729-36. 31. Black MM, Baqui AH, Zaman K, Persson L, Arefen S, Le K Mc Navy SW, dkk. Iron and zinc supplementation promote motor development and exploratory behavior among Bangladesh infants. Am J Clin Nutr 2004;80:903-10. 211