HUKUM ACARA PIDANA HENDAK HIJRAH Oleh Adnan Paslyadja

dokumen-dokumen yang mirip
INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK


FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

Mengenal Sistem Peradilan di Indonesia

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

V. PENUTUP. 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris. dalam RUU KUHAP Tahun 2009 atau hal utama digantinya lembaga pra

I. PENDAHULUAN. kekuasaan manapun (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002). Sebagai lembaga

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

I. PENDAHULUAN. manapun (Pasal 3 Undang -Undang Nomor 30 Tahun 2002). Sebagai lembaga independen,

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LARANGAN PENINJAUAN KEMBALI PUTUSAN PRAPERADILAN

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

II. TINJAUAN PUSTAKA

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

ALUR PERADILAN PIDANA

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN.

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords:

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN Oleh DANIEL ARNOP HUTAPEA, S.Pd Materi Ke-2 Mencermati Peradilan di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta

Mendamaikan Pengaturan Hukum Penyadapan di Indonesia

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA)

I. PENDAHULUAN. Korupsi di Indonesia kini sudah kronis dan mengakar dalam setiap sendi kehidupan.

Pemeriksaan Sebelum Persidangan

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

PERMOHONAN PRAPERADILAN ATAS PENUNDAAN PELAKSANAAN PENETAPAN HAKIM DALAM PERKARA KESAKSIAN PALSU Desita Sari S.H dan Hesti Setyowaty

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan

STANDAR PELAYANAN KEPANITERAAN PIDANA

BAB II PROSES PENYIDIKAN BNN DAN POLRI TERHADAP TERSANGKA NARKOTIKA MENGACU PADA UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI

RANCANGAN PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM ACARA PIDANA

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 29/PUU-XV/2017 Perintah Penahanan yang Termuat dalam Amar Putusan

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

Bagian Kedua Penyidikan

BAB 4 PENGAWASAN TERHADAP PELAKSANAAN UPAYA PAKSA MENURUT KONSEP PRAPERADILAN DI DALAM KUHAP DAN KONSEP HAKIM KOMISARIS MENURUT RUU KUHAP

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Surat surat yang dapat diperiksa Surat yang dicurigai mempunyai hubungan dengan perkara pidana yang sedang diperiksa

FUNGSI MAHKAMAH AGUNG DALAM MENERIMA PENINJAUAN KEMBALI SUATU PERKARA PIDANA 1 Oleh: Eunike Lumi 2

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TATA CARA PERLINDUNGAN TERHADAP SAKSI, PENYIDIK, PENUNTUT UMUM, DAN HAKIM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA TERORI

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

HUKUM ACARA PIDANA Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tanggal 31 Desember 1981 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

HUKUM ACARA PERSAINGAN USAHA

HAK JAKSA MENGAJUKAN PK DAN BATASANNYA. OLEH: Paustinus Siburian, SH., MH. ABSTRAK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 003/PUU-IV/2006 Perbaikan 3 April 2006

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA BADAN LEGISLASI DPR RI DENGAN PEMERINTAHAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI

Dengan mencabut Koninklijk Besluit van 8 Mei 1883 No. 26 (Staatsblad ) tentang "Uitlevering van Vreemdelingen".

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

NOMOR : M.HH-11.HM th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI

MENJAWAB GUGATAN TERHADAP KEWENANGAN KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH: Rudy Satriyo Mukantardjo (staf pengajar hukum pidana FHUI) 1

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK

STANDARD OPERATING PROCEDURES (S.O.P) PENANGANAN PERKARA PIDANA ACARA BIASA PADA PENGADILAN NEGERI TENGGARONG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

Transkripsi:

HUKUM ACARA PIDANA HENDAK HIJRAH Oleh Adnan Paslyadja PENDAHULUAN Kekosongan waktu pembahasan RUU KUHAP oleh DPR periode 2014-2019, dimanfaatkan oleh ICW untuk kembali mengundang pakar dan pemerhati hukum acara pidana untuk mendiskusikan materi dan substansi RUU KUHAP. Dibawah ini kami mencoba untuk membandingkan antara UU No.8 tahun 1981 tentang KUHAP yang berlaku sekarang dengan RUU KUHAP yang oleh Tim RUU dianggap hal baru yang melatar belakangi disusunnya hukum acara pidana yang baru menggantikan dan bukan sekadar mengubah hukum acara pidana yang berlaku sekarang. I. Dasar Pemikiran Perlunya Penyusunan UU Hukum Acara Pidana Baru Tim RUU KUHAP dalam Naskah Akademik tanggal 28 April 2008 menyebutkan: 1. Dasar Filosofis Pancasila merupakan sumber dari segala Perundang-undangan di Indonesia terutama sila kedua yang langsung berkaitan dengan KUHAP. Seluruh perangkat UUD 1945 menjadi landasan filsofi KUHAP. Dalam Penjelasan Umum UU No.8 tahun 1981 angka 3 menyebutkan: Oleh karena itu UU ini yang mengatur tentang hukum acara pidana nasional, wajib didasarkan pada falsafah/pandangan hidup bangsa Indonesia dan dasar negara,... 2. Dasar Sosiologis dan Politis KUHAP disusun untuk tujuan keadilan dan kesejahteraan masyarakat serta adanya tertib dan kepastian hukum semua pihak sama didepan hukum dalam keadaan yang sama. Meningkatkan kesadaran hukum masyarakat yang akan menunjang terlaksananya peradilan pidana yang baik. Strategi nasional untuk pencegahan dan pemberantasan kejahatan Azas ini juga dianut oleh KUHAP baik dalam penjelasan maupun pada batang tubuhnya. 3. Dasar Yuridis UUD 1945 terutama Pasal 20 (tentang legislasi), Pasal 21 (hak DPR mengajukan rancangan UU), Pasal 22 (hak presiden mengajukan PERPU), Pasal 22 A (tata cara pembentukan UU), Pasal 24 (kekuasaan kehakiman), Pasal 24 A (wewenang mahkamah agung), Pasal 24 C (wewenang mahkamah konstitusi), Pasal 28 A sampai dengan Pasal 28 J (hak azasi manusia). Dasar yuridis pembentukan UU No.8 tahun 1981 juga UUD 1945, kecuali pasal amandemen 1

4. Dasar Ekonomis Seluruh pasal dalam KUHAP mengacu pada sistem peradilan cepat dan biaya ringan. Perkenalan sistem peradilan cepat dituangkan antara lain dalam pengajuan perkara melalui jalur khusus. Azas cepat sederhana dan biaya ringan juga dianut UU No.8 tahun 1981 pada semua tingkat pemeriksaan II. Ruang Lingkup Perubahan A. Azas Legalitas Dijabarkan pada Pasal 2 dan Pasal 3 RUU. Acara Pidana dijalankan hanya berdasarkan tata cara yang diatur dalam UU, ruang lingkup berlakunya meliputi peradilan dalam lingkup peradilan umum dan berlaku juga terhadap tindak pidana yang diatur dalam UU diluar KUHAP, kecuali UU tersebut menentukan lain Azas ini juga sudah diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 KUHAP. Dalam Pasal 3 KUHAP benar disebutkan... dalam undang-undang ini, karena KUHAP dimaksudkan sebagai satu undangundang hukum acara pidana nasional sesuai dengan tujuan kodifikasi dan unifikasi. Pasal 3 ayat (2) RUU, yang mengakui berlakunya hukum acara pidana khusus di luar KUHAP perlu diberi apresiasi dan dipertahankan, hanya saja perlu dipertimbangkan penempatannya pada Bab Ketentuan Peralihan. Ketentun lain yang tidak diatur dalam KUHAP adalah Pasal 5 RUU yang mengharuskan korban atau keluarganya diberikan penjelasan mengenai hak diberikan berdasarkan peraturan perundang-undangan pada semua tingkat pemeriksaan.(perlindungan pelapor, pengadu, saksi dan korban, Pasal 40 RUU). B. Hubungan Penyidik Dan Penunltut Umum Lebih Diakrabkan. Untuk menghindari perkara bolak balik kepada penyidik dan sebaliknya seperti yang terjadi sekarang, maka dalam RUU pada saat pemberitahuan dimulainya penyidikan penuntut umum sudah memberi petunjuk dan bukan setelah menerima berkas perkara hasil penyidikan. Jadi sejak dimulainya penyidikan penuntut umum langsung memberi petunjuk. Untuk itu akan ditunjuk jaksa zone untuk memberi petunjuk perkara yang terjadi di zone nya (POLSEK). Bahwa benar dalam praktek terjadi perkara bolak balik dari penuntuk umum kepada penyidik dan sebaliknya, bukan undang-undang yang salah sebab menurut Pasal 110 dan Pasal 138 KUHAP, tidak dimungkinkan perkara bolak balik. Bahkan menurut UU Kejaksaksaan dalam hal penyidik tidak dapat memenuhi petunjuk penuntut umum maka, penuntut umum dapat melakukan pemeriksaan tambahan. Bahwa rencana menempatkan jaksa pada setiap zone (POLSEK) perlu dipertimbangkan, karena mungkin lebih banyak mudaratnya dari pada manfaatnya. Pada Bab II RUU tentang penyidik dan penyidikan ada tambahan jenis penyidik selain penyidik POLRI dan penyidik PPNS, yaitu pejabat suatu lembaga yang ditunjuk secara khusus menurut undang-undang tertentu. Dalam Bab ini tidak dikenal penyelidik dan penyelidikan, hal ini dapat dipahami karena penyelidikan memang merupakan sub fungsi penyidikan sehingga dalam hal penyidik 2

menganggap perlu melengkapi bukti permulaan untuk dapat dilakukan penyidikan, maka penyidik melakukan penyelidikan. Lain halnya ketentuan yang berlaku di KPK karena menurut Pasal 40 UU no.30 tahun 2002, KPK tidak berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan dan hanya berwenang menghentikan penyelidikan menurut Pasal 44 ayat (3) UU No.30 tahun 2002 apabila tidak diperoleh bukti permulaan yang cukup. C. Penangkaan/Penahanan Ketentuan mengenai penangkapan yang diatur pada Pasal 54 s/d Pasal 57 RUU, sama dengan ketentuan penangkapan yag diatur pada Pasal 16 s/d Pasal 19 KUHAP. Perbedaan mengenai penahanan terletak pada batas waktu lamanya penahanan, tata cara penahanan dan perpanjangan penahanan. Penyidik dapat menahan tersangka untuk paling lama lima hari dan dapatdiperpanjang penuntut umum untuk paling lama lima hari, dan kemudian dapat diperpanjang lagi oleh HPP paling lama 20 hari dan dapat diperpanjang lagi oleh Hakim PN selama 30 hari. Sedangkan untuk kepentingan penuntutan, atas permintaan penuntut umum hakim PN dapat menahan Tersangka untuk paling lama 30 hari dan dapat diperpanjang 30 hari lagi. Mengenai syarat sah penahanan pada Pasal 59 RUU pada dasarya sama dengan syarat sah penahanan pada Pasal 21 KUHAP Mengenai jangka waktu penahanan bisa dipahami akan tetapi mengenai ketentuan Pasal 59 ayat (11) (menghadapkan tersangka kepada (hpp) perlu dipertimbangkan karenaakan mempersuit penyidik dan penuntut umum Perihal syarat penahanan diatur pada Pasal 59 ayat (1)b terdapat kekeliruan karena masih menggunakan pasal KUHP sekarang. Perlu ditambahkan Pasal 13 UU No.30 tahun 2002 (tindak pidana korupsi ringan) sebagai syarat untuk dapat dilakukan penahan. Dalam hal penahan dilakukan penyidik KPK apakah persetujuan penahanan 5 x 24 jam juga harus diberikan oleh Kajari dan bukan oleh direktur penyidikan pada KPK. Oleh arena ketentuan sepanjang mengenai penahanan tidak diatur oleh UU no.30 tahun 2002, maka penahanan penyidik dan pesnuntut umum KPK berlaku ketentuan pada Pasal 58 s/d Pasal 60 RUU. RUU tidak mengenal jenis penahanan rumah dan penahanan kota. Adapun penangguhan penahanan hanya dapat diberikan leh HPP dan HPN. D. Penyadapan Penyadapan dilakukan terhadap 20 jenis tindak pidana dan dilakukan dengn izin HPP. Ketentuan ini berlaku juga bagi penyidik KPK kecuali dalam keadaan mendesak. Yang dimaksud dengan keadaan mendesak hanya terhadap bahaya maut atau ancaman luka fisik yang serius yang mendesak. Permufakatan Jahat melakukan tindak pidana terhadap keamanan negara dan atau permufakatan jahat yang merupakan karakteristik tindak pidana terorganisasi. 3

Ketentuan mengenai penyadapan yang diatur pada Pasal 83 RUU yaitu penyidik dalam melakukan penyadapan harus minta izin lebih dahulu kepada HPP denga didampingi penuntut umum, dapat mlenghambat tugas penyidikan lagi pula bisa bocor lebih dahulu sebelum penyadapan dilakukan. Juga masih terdapat multi tafsir pengertian keadaan mendesak pada Pasal 84 huruf c RUU, apakah yang dimaksud keadaan mendesak harus ada permufakatan terlebih dahulu dan apakah dapat meliputi semua jenis tindak pidana korupsi. Kalau penyadapan yang sudah dilakukan penyidik oleh HPP dianggap tidak sahmaka penyidikan tidak bisa dilanjutkan (dihentikan) meskipun bukti lain sudah cukup. E. Sistem Penuntutan Dan Penyelesaian Perkara Di Luar Pengadilan Ketentuan baru dalam RUU adalah wewenang penuntut umum untuk menentukan apakah menuntut atau tidak menuntut terdakwa ke pengadilan dengan syarat atau tanpa syarat sebagaimana diatur pada Pasal 42 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) RUU. Ketentuan menyangkut wewenang penuntut umum lainnya serta ketentuan mengenai penuntututan, surat dakwaan, pelimpahan perkara pengadilan, dan lain-lain pada dasarnya sama dengan ketentuan yang diatur dalam KUHAP. Seharusnya ada penjelasan bahwa ketentuan Pasal 42 ayat (3) huruf d dan e harus dinyatakan tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi. Penerapan azas oportunitas penuntut umum harus hati-hati karena bisa saja disalahgunakan. F. Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP) Menurut Tim RUU ketentuan ini ada kesamaan dengan HPP yang berlaku di Italia yang mempunyai wewenang seperti diatur pada Pasal 111 RUU. Dari sekian banyak wewenang HPP yang benar-benar baru yang tidak dimiliki hakim praperadilan hanya yang tersebut pada ayat (1) huruf i yaitu layak atau tidaknya suatu perkara untuk dilakukan penuntutan ke pengadilan. Bahwa yang membedakan HPP dengan hakim praperadilan adalah bahwa hakim praperadilan menilai sah tidaknya wewenang penyidik atau penuntut umum. Sedangkan yang melaksanakan wewenang penyidik atau penuntut umum sebelum perkaranya dilimpahkan ke pengadilan adalah HPP. Menjadi pertanyaan siapa yang menilai HPP dalam melaksanakan wewenangnya karena bukan tidak mungkin terjadi penyalah gunaan wewenang. Menurut Pasal 116 RUU yang mengangkat dan memberhentikan HPP adalah presiden, ketentuan ini bertentangan dengan UU no.48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang merupakan wewenang Mahkamah Agung. Terdapat kekeliruan dalam melaksanakan werwenang HPP karena berhak menilai alat bukti dan keharusan terdakwa didampingi penasehat hukum yang merupakan wewenang hakim pengadilan negeri yang mengadili perkaranya. HPP hanya berwenang menilai bukti dan menentukan hak tersangka. 4

G. Prosedur Persidangan Yang Mengarah Ke Adversari Prosedur persidangan mengarah adversarial yaitu antara penuntut umum dan terdakwa/penasehat hukum lebih berimbang, dengan demikian peran aktif hakim berkurang. Yang diperiksa di sidang pengadilan adalah surat dakwaan bukan berkas perkara hasil penyidikan KUHAP juga sudah mengarah ke adversarial dalam pemerikasaan di sidang pengadilan. Bukankah yang menjadi dasar pemeriksaan di sidang dan dasar hakim mengambil putusan adalah surat dakwaan bukan berkas perkara. Berkas perkara hanya merupakan dasar membuat surat dakwaan. Terdakwa di sidang pengadilan berhak didampingi penasehat hukumdan dapat mengajukan alat bukti yang menguntungkan baginya. Semua alat bukti baru sah apabila diberikan dan diajukan di sidang pengadilan. Terdakwa diberi hak terakhir memberikan jawaban sebelum hakim bermusyawarah mengambil putusan. Jadi prosedur persidangan yang diatur dalam RUU sama saja dengan yang diatur dalam KUHAP. H. Alat Bukti RUU menambahkan dua jenis alat bukti yaitu alat bukti elektronik dan barang bukti, sedangkan petunjuk diubah menjadi pengamatan hakim Dua alat bukti yang oleh RUU dianggap baru sebenarnya tidak baru karena alat bukti elektronik sudah dikenal pada UU No.31 tahun 1999 dan UU No.30 tahun 2002 juga dalam Pasal 188 KUHAP sebagai alat bukti petunjuk. Baha barang bukti baru bisa merupakan alat bukti apabila dibenarkan baik oleh saksi maupun terdakwa, jadi bukan alat bukti yang berdiri sendiri seperti alat-alat bukti yang lain, jadi sebagai alat bukti petunjuk. Terhadap alat bukti pengamatan hakim RUU hanya menempatkan hakim sebagai pengamat bukan yang harus mengetahui sesuatu yang terjadi selama pemeriksanaan di sidang berlangsung. Jadi kalaupun istilah petunjuk mau diganti aka lebih tepat menggunakan istilah pengetahuan hakim. I. Upaya Hukum RUU KUHAP membenarkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum dapat diajukan banding, yang tidak boleh diajukan banding maupun kasasi adalah putusan bebas. MA tidak menyangkut fakta atau pembuktian melainkan menyangkut penerapan hukumnya, oleh karena itu putusan MA tidak boleh lebih tinggi dari putusan pengadilan tinggi. Hanya putusan pemidanaan yang dapat diajukan PK. Hal baru dalam RUU adalah putusan lepas dari segala tuntutan hukum dapat diajukan banding, yang menurut Pasal 67 KUHAP tidak boleh. Yang menjadi masalah adalah bahwa putusan MA dalam kasasi tidak boleh lebih berat dari putusan PT. Dalam hampir semua putusan MA lenih tinggi dari putusan pengdilan tipikor dan PT. Bahwa MA sebagai yudex yuris adalah benar akan tetapi bukankah MA juga dapat 5

mengadili sendiri, lagipula siapa yang menjamin bahwa putusan yudex paktie tidak bermaslah dan sudah adil. Terhadap pemohon PK RUU memungkinkan jaksa mengajukan PK. Seharusnya sebagai pihak yang berkepentingan adalah korban atau ahli warisnya dapat juga menajukan PK. Sementara JA dapat mengajukan PK untuk kepentingan terpidana. Ketentuan mengenai upaya hukum selebihnya termasuk Kasasi Demi Kepentingan Hukum sama persis dengan ketentuan yang ada dalam KUHAP. J. Jalur Khusus dan Saksi Mahkota Terdakwa yang mengakui semua perbuatan yang didakwakan yang dibacakan di depan penuntut umum, perkaranya diajukan dengan acara Pemeriksaan Singkat, akan tetapi pidana yang dijatuhkan maksimal 2/3 dari maksimal pidana tindak pidana yang didakwakan. Adapun saksi mahkota ialah seorang pelaku peserta yang perananya dalam terjadinya tindak pidana paling ringan dijadikan saksi untuk mengungkapkan perbuatan pelaku lainnya dan tidak akan dijadikan tersangka dalam perkara yang sama. Baik jalur khusus maupun saksi mahkota tidak dikenal dalam KUHAPakan tetapi dalam praktek peradilan istilah justice collaborator yaitu tersangka dan terdakwa di pengadilan dapat diberikan kemudahan di penyidikan dan sebagai terdakwa dapat diperingan penjatuhan pidananya. Lain halnya terhadap saksi mahkota karena pelaku peserta tidak dituntut apabila dijadikan saksi. Yang dikenal dalam praktek para peserta menjadi saksi dan terdakwa dalam perkara yang sama. Hal ini sebenarnya dilarang oleh Pasal 189 dan Pasal 142 KUHAP. Yang perlu dikoreksi pada pasal 199 dan juga Pasal 42 ayat (1)h, kata terdakwa harus dibaca tersangka karena perkaranya belum diperiksa di pengadilan. III. Kesimpulan TIM RUU RUU KUHAP tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh globalisasi terutama dengan telah ditanda tanganinya beberap konvensi internasional yang berkaitan langsung dengan hukum acara pidana dan ditutup dengan pantun tiada gading yang tak retak. KESIMPULAN 1. Bahwa dasar pemikiran perlunya undang-undang hukum acara pidana baru dan ruang lingkup perubahan seperti dipaparkan di atas ternyata tidak seluruhnya baru Dari empat dasar pemikiran yaitu filosofis, sosiologis/politis, yuridis dan ekonomis kesemuanya juga dianut oleh kuhap. Demikian juga denga ruang lingkup perubahan tidak semuanya baru hanya prosedurnya ada yang baru. 6

2. Hal-hal yang baru antara lain a. Pada saat pemberitahuan dimulainya pennyidikan oleh penyidik kepada penuntut umum, penuntut umum sudah memberikan petunjuk kepada penyidik, untuk itu akan ditunjuk jaksa zone untuk memberi petunjuk perkara yang terjadi di zonenya (POLSEK) b. Lama masa penahanan oleh penyidik dipersingkat, dan setiap pelaksanaan wewenang yang berhubungan dengan pembuktian harus atas izin HPP. Untuk kepentingan penuntutan penahanan dilakukan oleh hakim PN. Sementara jenis tahanan rumah dan tahanan kota tidak dikenal c. Penyadapan harus dengan izin HPP untuk jangka waktu 30 hari dan dapat diperpanjang 30 hari lagi, dalam keadaan mendesak dapat dilakukan tanpa izin lebih dahulu HPP. Dalam hal penyadapan tidak sah, penyidikan dihentikan. d. Penuntut umum diberi wewenang menyelesaikan perkara di luar sidang (hak oportunitas) terhadap perkara-perkara tertentu. e. Hakim pemeriksa pendahuluan mengambil alih wewenang hakim pengadilan negeri sehingga praperadilan tidak dikenal lagi. f. Informasi dan dokumen elektronik serta barang bukti sebagai alat bukti baru dan petunjuk diganti dengan pengamatan hakim (baca pengetahuan hakim) g. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum dapat dimintakan banding. Putusan MA tidak boleh lebih berat daripada putusan PT. h. Tersangka yang mengakui tindak pidana yang didakwakan penuntut umum dapat diajukan perkaranya dengan acara pemeriksaan singkat dan saksi yang paling ringan kadar perbuatannya dapat dijadikan saksi mahkota i. Perlindungan saksi/korban/pelapor 3. Dengan demikian yang selebihnya seperti halnya ketentuan umum, upaya paksa, hak tersangka/terdawa, bantuan hukum, berita acara, sumpah, wewenang mengadili, pemeriksaan di sidang pengadilan, putusan pengadilan, tata tertib persidangan, pelaksanaan putusan pengadilan dan pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan ketentuan hukumnya sama dengan yang diatur dalam KUHAP 4. Yang tidak diatur dalam KUHAP yaitu jenis penahanan, praperadilan dan koneksitas 5. Oleh karena hal baru yang tidak diatur dalam KUHAP jumlahnya sangat sedikit dibandingkan dengan yang telah diatur bahkan ada yang sama persis dengan yang sudah ada dalam KUHAP, maka seyogyanya UU No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP tidak perlu diganti, cukup diamandemen dengan tetap memperhatikan Pasal 3 ayat (2) RUU KUHAP 6. Amandemen atau perubahan KUHAP dilakukan setelah RUU KUHP selesai dibahas Jakarta, 24 November 2014 7