EFEK DOKSISIKLIN SELAMA MASA ORGANOGENESIS TERHADAP STRUKTUR HISTOLOGI KARTILAGO EPIFISIALIS FEMUR FETUS MENCIT *

dokumen-dokumen yang mirip
EFEK DOKSISIKLIN SELAMA MASA ORGANOGENESIS PADA STRUKTUR HISTOLOGI ORGAN HATI DAN GINJAL FETUS MENCIT

KELAINAN STRUKTUR ANATOMI SKELETON FETUS MENCIT AKIBAT KAFEIN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. sudah semakin meluas, tetapi pemakaian obat tersebut tanpa mempertimbangkan

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

GAMBARAN HISTOLOGI GINJAL TIKUS BETINA (Rattus rattus) YANG DIINJEKSI VITAMIN C DOSIS TINGGI DALAM JANGKA WAKTU LAMA

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Waktu dan lokasi penelitian ini adalah sebagai berikut : dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi RSUP Dr.

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

Ayunda Prameswari, 2016, Pembimbing I : Heddy Herdiman, dr., M.Kes. Pembimbing II : Hj. Sri Utami, Dra., M.Kes., PA(K)

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. dibagi menjadi kelompok kontrol dan perlakuan lalu dibandingkan kerusakan

ABSTRACT. Andy Yulianto, 2016, Main supervisor : Heddy Herdiman, dr., M.Kes. Escort supervisor : Rosnaeni, dra., Apt.

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental in vivo pada hewan. uji dengan posttest only control group design

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Oktober sampai dengan November 2012 di

BAB III METODE PENELITIAN. > 6 ekor

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bahan pewarna saat ini memang sudah tidak bisa dipisahkan dari

Kata Kunci : Kelakai (Stenochlaena palustris), berat badan, panjang badan, kalsifikasi tulang femur, janin tikus wistar

BAB IV METODE PENELITIAN. Forensik, Ilmu Patologi Anatomi dan Farmakologi.

JURNAL BIOLOGI PAPUA ISSN: Volume 4, Nomor 1 April 2012 Halaman: 25 31

BAB 4 METODE PENELITIAN

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK BUAH NANAS

BAB III METODE PENELITIAN. design. Posttest untuk menganalisis perubahan jumlah sel piramid pada

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh ekstrak etanol biji labu kuning terhadap jumlah spermatozoa mencit yang diberi 2-ME

ABSTRAK PENGARUH SUPLEMENTASI VITAMIN D 3 DOSIS TINGGI TERHADAP KALSIFIKASI TULANG FEMUR JANIN MENCIT GALUR SWISS WEBSTER

Siklus kelamin poliestrus (birahi) g jantan dan betina

BAB III METODE PENELITIAN. rancangan penelitian yang digunakan adalah acak lengkap dengan lima kelompok,

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini meliputi ilmu kesehatan Telinga Hidung Tenggorok (THT)

DAFTAR ISI ABSTRAK... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN...

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Penggunan Microwave oven semakin meningkat dari tahun ke tahun. Negara maju maupun di Negara berkembang.

PS-S1 Jurusan Biologi, FMIPA, UNEJ (2017) JARINGAN TULANG SYUBBANUL WATHON, S.SI., M.SI.

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diambil berdasarkan gambar histologik folikel ovarium tikus putih (Rattus

SW PENGARUH EKSTRAK RIMPANG TEMU PUTIH

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini mencakup bidang Obstetri Ginekologi, Patologi Anatomi,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. tikus putih (Rattus norvegicus, L.) adalah sebagai berikut:

BAB III METODE PENILITIAN. Penelitian ini telah dilakukan selama 3 bulan (Januari - Maret 2012).

Pengaruh ekstrak gambir Uncaria gambier Roxb. terhadap fetus dari mencit hamil yang diinduksi alkohol

BAB IV METODE PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN. eksperimental dengan Rancangan Acak Terkontrol. Desain ini melibatkan 5

I. PENDAHULUAN. banyak sekali radiasi. Radiasi dalam istilah fisika, pada dasarnya adalah suatu

BAB III METODE PENELITIAN. perlakuan pada hewan uji (Taufiqurrahman, 2004). Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling, yaitu subyek

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penelitian Fakultas Kedokteran

BAB I PENDAHULUAN. penelitian, pengujian dan pengembangan serta penemuan obat-obatan

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian menggunakan rancangan eksperimental dengan Post Test Only

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Tanaman kedondong hutan (Spondias pinnata), suku Anacardiaceae,

= 0,04 ml/ekor. = 0,001 mg/g BB

BAB IV METODE PENELITIAN

UJI TERATOGENIK EKSTRAK AIR DAUN KECUBUNG GUNUNG (Brugmansia suaveolens Bercht & Presl.) PADA TIKUS WISTAR

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. terkontrol. Menggunakan 25 ekor tikus putih ( Rattus norvegicus) jantan

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan dari penelitian ini adalah Histologi, Patologi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Penelitian Pengaruh ekstrak jahe terhadap jumlah spermatozoa mencit yang terpapar 2-ME

BAB IV ANALISIS DATA DAN INTERPRETASI PENEMUAN Hasil Pengamatan Makroskopis Daun Saga (Abrus precatorius L.)

BAHAN DAN METODE PENELITIAN


BAB IV METODE PENELITIAN. Tempat : Penelitian dilakukan di Laboratorium Biologi Universitas. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah.

BAB I PENDAHULUAN. hewan betina. Menurut Shabib (1989: 51-53), bentuk aktif estrogen terpenting

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. tikus putih (Rattus norvegicus, L.) adalah sebagai berikut:

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. coba setelah pemberian polisakarida krestin (PSK) dari jamur Coriolus versicolor

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dikatakan sebagai mukosa mastikasi yang meliputi gingiva dan palatum keras.

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Rancangan penelitian dalam penelitian ini menggunakan rancangan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni - Juli 2015 di Laboratorium Zoologi

BAB III METODE PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Besar Veteriner Wates sebagai tempat pembuatan preparat awetan testis.

ANALISIS PERTUMBUHAN SKELETON FETUS MENCIT (Mus musculus L.) SETELAH INDUKSI OKHRATOKSIN A PADA USIA KEBUNTINGAN 7-24 HARI

BAB III METODE PENELITIAN. Ruang lingkup penelitian ini adalah Histologi, Patologi Anatomi dan

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Bagi seorang wanita, menopause itu sendiri adalah datangnya masa tua.

BAB III METODE PENELITIAN. digunakan dalam penelitian ini yaitu tikus putih (Rattus norvegicus) Penelitian ini

PENGARUH PEMBERIAN ASAM VALPROAT TERHADAP SEL ENDOKRIN TIKUS (Rattus norvegicus L.)

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. motilitas spermatozoa terhadap hewan coba dilaksanakan di rumah hewan,

RINGKASAN. melalui proses yang kompleks, melibatkan faktor genetik, faktor lingkungan dan

BAB III METODE PENELITIAN. dengan menguji antioksidan dari rimpang jahe merah (Zingiber officinale Rosc.)

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB III METODE PENELITIAN. Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan enam perlakuan dan empat ulangan.hewan

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian dengan rancangan eksperimental dengan (Post Test Only

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. elektromagnet. Berdasarkan energi yang dimiliki, gelombang elektromagnetik dapat

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Penelitian Metode Penelitian Superovulasi Koleksi Sel Telur

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. tradisional maupun pasar modern. Kacang kedelai hitam juga memiliki kandungan

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. rutin, dengan waktu dan cara yang tepat. 2 Kebiasaan menyikat gigi, terutama

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN

Transkripsi:

BIOSCIENTIAE Volume 1, Nomor 1, Januari 2004 Halaman 11-22 EFEK DOKSISIKLIN SELAMA MASA ORGANOGENESIS TERHADAP STRUKTUR HISTOLOGI KARTILAGO EPIFISIALIS FEMUR FETUS MENCIT * Heri Budi Santoso Evi Mintowati Kuntorini Program Studi Biologi FMIPA Universitas Lambung Mangkurat Jl A. Yani Km 36 Banjarbaru, Kalimantan Selatan ABSTRAK Penelitian bertujuan mengetahui pengaruh pemberian doksisiklin secara oral pada induk mencit bunting pada masa organogenesis terhadap gambaran histologi kartilago epifisialis femur fetus. Digunakan 40 mencit betina galur DDY yang belum pernah bunting, memiliki siklus estrus teratur, berat badan 25 g yang dikelompokkan menjadi 4 kelompok secara acak. Kelompok I (kontrol) diberi 0,5 ml akuades, berturut-turut kelompok II, III, dan IV diberi doksisiklin dosis 26, 52, dan 104 mg/kg bb/hari. Pemberian dilakukan secara oral mulai kebuntingan hari ke 6 sampai hari ke 15 (masa organogenesis). Pengamatan dilakukan pada kebuntingan hari ke 18 dengan bedah sesar untuk mengambil fetus dari uterus. Preparat kartilago epifisialis femur fetus dibuat dengan metode paraffin dan pewarnaan Hematoksilin-Eosin. Tebal lapisan kondrosit dalam setiap zona kartilago epifisialis femur fetus dianalisis dengan Anova dan dilanjutkan uji DMRT. Data kerusakan kondrosit pada jaringan kartilago epifisialis femur fetus mencit dianalisis secara deskriptif. Ditemukan bahwa doksisiklin 104 mg/kg bb/hari menyebabkan perubahan lapisan kondrosit pada zona proliferasi, yaitu letak kondrosit saling berjauhan, tersusun tdak beraturan dalam masing-masing lajur, dan tidak membentuk deretan kumpulan sel yang sejajar dengan sumbu panjang tulang. Doksisiklin juga menyebabkan menipisnya zona proliferasi, zona maturasi dan zona kartilago yang mengalami mineralisasi seiring dengan meningkatnya dosis. Kata kunci: doksisiklin; kartilago epifisialis femur * Telah dipresentasikan dalam Seminar PPD Forum HEDS 03-04 September 2003 di Universitas Sumatera Utara, Medan. 2004 Program Studi Biologi FMIPA Unlam 11

BIOSCIENTIAE: Vol. 1, No. 1, 2004: 11-22 PENDAHULUAN Wanita hamil terkadang harus mengonsumsi antibiotik, yang salah satunya adalah doksisiklin. Doksisiklin adalah antibiotik golongan tetrasiklin. Antibiotik ini berpotensi sebagai agensia teratogen karena dapat dengan mudah melewati sawar plasenta, sehingga banyak terakumulasi dalam organ fetus seperti limpa, ginjal, hati, sumsum tulang, tulang, dentin, dan email gigi yang sedang mengalami kalsifikasi, pada tempat osifikasi, tempat pertumbuhan dalam epifisis dan diafisis (Goodman & Gillman, 1975; Levy dkk., 1980). Akumulasi doksisiklin dalam beberapa organ tersebut, khususnya organ yang sedang mengalami kalsifikasi akan mengakibatkan kelainan perkembangan pada fetus. Hal ini disebabkan antara lain oleh karena fetus belum mempunyai enzim yang dapat memetabolisir doksisiklin secara sempurna. Penelitian teratologis membuktikan bahwa antibiotik golongan tetrasiklin dapat menyebabkan warna gigi menjadi kuning tetap bila diberikan selama kehamilan dan pada anak usia di bawah 8 tahun, karena membentuk kompleks yang tidak terpulihkan dengan ion Ca pada struktur gigi (Siswandono & Sukarjo, 1995). Penelitian dengan tikus, tetrasiklin mengakibatkan terjadinya celah palatum, hipoplasia mandibula, pertumbuhan tungkai yang lebih pendek, dan sindaktili (Woolam, 1967). Penelitian pada tingkat kultur sel dan kultur organ, tetrasiklin menghambat biosintesis kolagen (Halme dkk., 1969), menghambat proses mineralisasi secara in vitro pada tulang embrio (Kaitila dkk., 1971), dan menghambat proses osteogenesis serta menyebabkan kecacatan pada jaringan tulang (Shapiro dkk., 1977; Levy dkk., 1980). Namun, mekanisme dan gambaran histologis penghambatan osteogenesis dan proses kalsifikasi pada tulang embrio akibat doksisiklin belum dikaji secara tuntas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji efek pemberian doksisiklin secara oral pada induk mencit bunting selama masa organogenesis terhadap gambaran atau struktur histologis kartilago epifisialis femur fetus. 12

Santoso & Kuntorini - Doksisiklin dan histologi kartilago epifisialis BAHAN DAN METODE Penelitian ini menggunakan 40 ekor mencit betina galur DDY, belum pernah bunting, memiliki siklus estrus teratur, dan berat 25 g. Sebelum penelitian mencit diadaptasikan selama 2 minggu. Perkawinan mencit betina yang sedang estrus dengan mencit jantan dilakukan sore hari dan ditempatkan pada kandang yang sama, dengan perbandingan 1 jantan : 4 betina. Apabila pada keesokan harinya ditemukan sumbat vagina maka pada hari itu ditentukan sebagai kebuntingan hari ke 1 (Kaufmann, 1992). Doksisiklin diberikan dalam dosis tunggal. Penentuan dosis berdasarkan dosis untuk manusia berat badan 70 kg dikonversikan kepada mencit berat badan 20 g mengunakan tabel konversi Laurence-Bacharach dengan faktor konversi 0,0026. Dosis terapi doksisiklin secara oral adalah 100-200 mg/hari, maka teratogenisitas diperkirakan terjadi bila diberikan pada dosis 400 mg/hari. Konversi dosis pada mencit = 0,0026 x 400 mg/hari = 1,04 mg/20g bb/hari = 52 mg/kg bb/hari. Berdasarkan dosis tersebut, ditentukan dosis perlakuan, yaitu 26, 52, dan 104 mg/kg bb/hari. Berdasarkan angka konversi tersebut diperoleh dosis (200-800) mg/hari pada manusia menjadi (26-104) mg/hari untuk mencit. Dosis doksisiklin/hari per kelompok perlakuan adalah sebagai berikut. Kelompok I (kontrol) : 0,5 ml akuades Kelompok II : 26 mg doksisiklin/kg bb/hari Kelompok III : 52 mg doksisiklin/kg bb/hari Kelompok IV : 104 mg doksisiklin/kg bb/hari Perlakuan diberikan selama masa organogenesis, yaitu mulai kebuntingan hari ke 6 sampai dengan kebuntingan hari ke 15. Pemberian dilakukan secara oral dengan menggunakan spuit injeksi 1 cc. Pada kebuntingan hari ke-18, fetus dikeluarkan dari uterus dengan pembedahan sesar. Dari fetus yang terkumpul diambil femur tungkai belakang sebelah kanan secara amputasi dengan pisau tajam. Sediaan histologi kartilago 13

BIOSCIENTIAE: Vol. 1, No. 1, 2004: 11-22 epifisialis femur mencit dibuat secara membujur dengan metode paraffin dan pewarnaan Hematoksilin-Eosin (Suntoro, 1983). Pengamatan terhadap sediaan penampang membujur kartilago epifisialis femur mencakup zona cadangan kondrosit, zona proliferasi, zona maturasi, dan zona kartilago yang mengalami mineralisasi. Dari tiap sediaan diambil acak 5 lajur yang paling jelas gambaran sel-sel kondrositnya pada masing-masing zona, kemudian diukur tebal lapisan sel pada masing-masing zona dengan mikrometer. Secara deskriptif kualitatif, juga diamati struktur sel kondrosit terhadap ada tidaknya kerusakan sel pada masing-masing zona. Data rerata tebal lapisan setiap zona dalam kartilago epifisialis femur fetus dianalisis dengan Anova dan dilanjutkan dengan Duncan Multiple Range Test (Gaspersz, 1991). Data kerusakan sel kondrosit dan jaringan kartilago epifisialis femur fetus mencit dianalisis secara deskriptif kualitatif. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini menggunakan kartilago epifisialis femur fetus sebagai model terhadap pengamatan osteogenesis endokondralis tulang panjang. Pengamatan meliputi tebal lapisan sel pada zona cadangan kondrosit, zona proliferasi, zona maturasi, dan zona kartilago yang mengalami mineralisasi. Zona cadangan kondrosit Hasil pengamatan deskriptif mikroskopis terhadap lapisan kondrosit kelompok kontrol dan kelompok perlakuan menunjukkan adanya kartilago hialin yang terdiri dari kondrosit berbentuk bundar atau ovoid. Kondrosit dalam zona ini dalam keadaan istirahat, tidak mengalami perubahan morfologi. Tebal lapisan kondrosit dalam zona cadangan kondrosit kartilago epifisialis femur menunjukkan kelompok kontrol memiliki ketebalan rata-rata 14

Santoso & Kuntorini - Doksisiklin dan histologi kartilago epifisialis 459,00µm, sedangkan pada kelompok perlakuan II, III, dan IV berturut-turut memiliki ketebalan rata-rata 458,01µm, 457,80µm, dan 456,90µm (Tabel 1). Anava menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna (p>0,05) antara ketebalan zona cadangan kondrosit kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan. Ketebalan lapisan kondrosit yang sama pada zona ini diduga dikarenakan doksisiklin tidak mengintervensi sel yang tidak sedang membelah. Tabel 1. Rerata ketebalan zona cadangan kondrosit kartilago epifisialis femur fetus mencit dari induk setelah diberi doksisiklin secara oral Kelompok Dosis (mg/kg bb/hari) Ketebalan zona cadangan kondrosit (µm) Panjang femur (µm) I 0 459,00 a 7400 a II 26 458,01 a 7390 a III 52 457,80 a 7160 b IV 104 456,90 a 7000 c Huruf berbeda dalam satu kolom menunjukkan perbedaan bermakna Zona proliferasi Ketebalan rata-rata lapisan kondrosit dalam zona proliferasi pada kelompok kontrol adalah 725,01µm, sedangkan pada kelompok II, III, dan IV berturut-turut 722,50µm, 680µm, dan 600µm (Tabel 2). Anava menunjukkan perbedaan yang bermakna antar perlakuan. Uji lanjutan dengan DMRT menunjukkan perbedaan bermakna (p<0,05) antara kelompok perlakuan IV dengan kelompok II dan I; kelompok III dengan kelompok II dan I, sedangkan antar kelompok IV dan kelompok III serta kelompok II dan I berbeda tidak nyata. 15

BIOSCIENTIAE: Vol. 1, No. 1, 2004: 11-22 Tabel 2. Rerata ketebalan zona proliferasi kartilago epifisialis femur fetus mencit dari induk setelah diberi doksisiklin secara oral Kelompok Dosis Ketebalan zona Panjang femur (mg/kg bb/hari) proliferasi (µm) (µm) I 0 725,01 a 7400 a II 26 722,50 a 7390 a III 52 680,00 b 7160 b IV 104 600,00 b 7000 c Huruf berbeda dalam satu kolom menunjukkan perbedaan bermakna Pengamatan mikroskopis terhadap ketebalan zona proliferasi menunjukkan adanya penurunan ketebalan lapisan sel sejalan dengan meningkatnya dosis doksisiklin. Dibandingkan dengan kontrol, pada kelompok perlakuan IV nampak perubahan gambaran lapisan sel, yaitu kondrosit nampak tersusun tidak beraturan dalam masing-masing lajur. Kondrosit saling berjauhan dan tidak membentuk deretan kumpulan kondrosit yang sejajar dengan sumbu panjang tulang. Selain itu, ditemukan sebagian kondrosit mengalami degenerasi. Degenerasi kondrosit diduga disebabkan oleh intervensi doksisiklin pada proses mitosis yang terjadi pada zona proliferasi, yaitu menyebabkan perubahan integritas DNA dan menghambat sintesis protein (Bennet dkk., 1967). Akibatnya menurut Wilson (1973) akan terwujud dalam bentuk kematian/degenerasi sel, kegagalan interaksi sel, dan hambatan proliferasi. Hasil penelitian ini didukung oleh Levy dkk. (1980) yang menyatakan bahwa tetrasiklin menyebabkan beberapa kondrosit pada zona proliferasi dan zona maturasi kartilago epifisialis tikus mengalami degenerasi serta terjadi pembengkakan pada mitokondria dan retikulum endoplasma. Kondrosit pada zona proliferasi menurut Ham & Cormack (1979) mengalami mitosis secara aktif dan berfungsi sebagai tempat pembentukan selsel baru untuk menggantikan sel-sel yang hipertrofi dan degenerasi pada bagian yang berbatasan dengan diafisis. Jika doksisiklin mempunyai kemampuan merusak integritas DNA dan menghambat sintesis protein maka selanjutnya 16

Santoso & Kuntorini - Doksisiklin dan histologi kartilago epifisialis dapat menghambat proliferasi sel pada zona ini sehingga akan mempengaruhi kondrosit pada zona-zona selanjutnya dalam kartilago epifisialis. Zona maturasi Hasil pengamatan pada zona maturasi, baik pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan menunjukkan adanya kondrosit yang hipertrofi, yaitu kondrosit tidak lagi membelah diri, tetapi bertambah besar dan bervakuola. Hasil pengamatan terhadap tebal lapisan kondrosit pada zona maturasi menunjukkan pada kelompok kontrol memiliki ketebalan rata-rata 299,01µm, sedangkan pada kelompok perlakuan II, III, IV berturut-turut memiliki ketebalan rata-rata 295,50µm, 220,00µm, dan 165,00µm (Tabel 3). Tabel 3. Rerata ketebalan zona maturasi kartilago epifisialis femur fetus mencit dari induk setelah diberi doksisiklin secara oral Kelompok Dosis Ketebalan zona Panjang femur (mg/kg bb/hari) maturasi (µm) (µm) I 0 299,01 a 7400 a II 26 295,50 a 7390 a III 52 220,00 b 7160 b IV 104 165,00 c 7000 c Huruf berbeda dalam satu kolom menunjukkan perbedaan bermakna Anava menunjukkan ada perbedaan bermakna (p<0,05) antara ketebalan zona maturasi kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Perbedaan ini karena doksisiklin menghambat mitosis kondrosit pada zona proliferasi sehingga zona-zona di bawahnya akan semakin tipis ketebalannya. Ham & Cormack (1979) menyatakan bahwa kondrosit hipertrofi akan selalu diganti oleh kondrosit yang baru sebagai hasil proliferasi kondrosit pada zona proliferasi. Jika proliferasi kondrosit dalan zona proliferasi dihambat oleh 17

BIOSCIENTIAE: Vol. 1, No. 1, 2004: 11-22 doksisiklin maka kondrosit yang hipertrofi dalam zona maturasi juga akan menipis jika dibandingkan dengan kelompok kontrol. Peranan kondrosit pada zona maturasi penting dalam proses kalsifikasi. Ornoy & Langer (1978) menyatakan bahwa kondrosit pada zona ini akan mengakumulasi ion Ca ++ dalam mitokondrianya, yang selanjutnya akan membentuk vesikula matrik. Vesikula matrik akan saling beragregasi membentuk globula yang selanjutnya terbentuk kristal hidroksiapatit pada septa longitudinal zona maturasi. Kristal ini sebagai bahan untuk proses mineralisasi dan kalsifikasi tulang. Ham & Cormack (1978) menambahkan bahwa kondrosit pada zona ini juga akan menghasilkan enzim fosfatase yang penting untuk mempercepat proses kalsifikasi bahan ekstraseluler seperti hidroksiapatit. Levy dkk. (1980) menemukan bahwa tetrasiklin dosis tinggi menyebabkan degenerasi kondrosit pada zona proliferasi dan zona maturasi, dan menyebabkan terhambatnya akumulasi ion Ca ++ secara intraseluler dan ekstraseluler. Zona kartilago yang mengalami mineralisasi Pengamatan pada zona kartilago yang mengalami mineralisasi pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan menunjukkan adanya satu atau beberapa lapisan kondrosit yang hipertrofi dan mati. Zona ini tipis dan berbatasan langsung dengan diafisis. Matrik kartilago dalam zona ini mulai mengalami kalsifikasi dengan adanya pengendapan hidroksiapatit sehingga tampak septa tipis atau sekat pembatas di sekeliling kondrosit yang hipertrofi dan mati. Hasil pengamatan terhadap tebal lapisan kartilago yang mengalami mineralisasi disajikan pada Tabel 4. Analisis statistik dengan anova menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna (p<0,05) antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan. 18

Santoso & Kuntorini - Doksisiklin dan histologi kartilago epifisialis Tabel 4. Rerata ketebalan zona kartilago yang mengalami mineralisasi kartilago epifisialis femur fetus mencit dari induk setelah diberi doksisiklin secara oral Kelompok Dosis (mg/kg bb/hari) Ketebalan zona kartilago yang mengalami mineralisasi (µm) Panjang femur (µm) I 0 292,20 a 7400 a II 26 292,50 a 7390 a III 52 240,00 b 7160 b IV 104 233,90 c 7000 c Huruf berbeda dalam satu kolom menunjukkan perbedaan bermakna Zona cadangan kondrosit, zona proliferasi, zona maturasi, dan zona kartilago yang mengalami mineralisasi dari kartilago epifisialis femur kelompok kontrol dan kelompok perlakuan disajikan pada gambar 1,2,3, dan 4 lampiran 1. KESIMPULAN Doksisiklin dosis 104 mg/kg bb/hari yang diberikan secara oral kepada induk mencit bunting selama masa organogenesis dapat menyebabkan perubahan gambaran lapisan kondrosit pada zona proliferasi, yaitu letak kondrosit saling berjauhan, tersusun tidak beraturan dalam masing-masing lajur, dan tidak membentuk deretan kumpulan-kumpulan sel yang sejajar dengan sumbu panjang tulang. Selain itu, doksisiklin menyebabkan menipisnya zona proliferasi, zona maturasi, dan zona kartilago yang mengalami mineralisasi sejalan dengan meningkatnya dosis. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih diucapkan kepada Forum HEDS yang telah mendanai penelitian ini dalam tahun anggaran 2002. 19

BIOSCIENTIAE: Vol. 1, No. 1, 2004: 11-22 DAFTAR PUSTAKA Bennet JC, Proffit WR, & Norton LA. 1967. Determination of growth inhibitory concentration of tetracycline for bone in organ culture. Nature. London 216: 176-177. Gaspersz V. 1991. Teknik analisis dalam penelitian percobaan. Tarsito. Bandung. Goodman LS & Gillman A. 1975. The pharmacological basic of therapeutics. Third ed. The Mc Millan Co, New York. Halme J, Kivirikko KI, Kaitila I, & Saxen L. 1969. Effect of tetracycline on collagen biosynthesis in cultured embryonic bones. Biochem.Pharmac.18:827-836. Ham AW & Cormack DH. 1979. Histology. 8 th ed. J.B. Lippincot Co, Philadelphia. Kaitila I. 1971. The mechanism by which tetracycline hydrochlroride inhibits mineralization in vitro. Biochem. Biophys. Acta 244: 584-594. Kaufmann MH. 1992. The atlas of mouse development. Academic Press Limited, London. Levy J, Ornoy A, Atkin I. 1980. Influence of tetracycline on the calcification of epiphyseal rat cartilage:transmission & scanning electron microscopic studies. Acta Anat.106: 360-369. Ornoy A & Langer Y. 1978. SEM observation on the origin & structure of matrix vesicles in epiphyseal cartilage of rats. Israel J.Med.Scis 14: 745-752. Shapiro IM, Burke AC, & Lee MH.1977. Effect of tetracycline on chondrocyte mitochondria. An explanation of tetracycline induced defects of mineralized tissues. Biochem.Pharmac.26:595-600. Siswandono & Soekarjo B. 1995. Kimia Medisinal. Airlangga University Press, Surabaya. Suntoro SH. 1983. Metode pewarnaan (Histologi & Histokimia). Penerbit Bhratara Karya Aksara, Jakarta. Wilson JG. 1973. Enviroment & birth defects. Academic Press Inc, London. Woolam DHM. 1967. Advances in teratology. Vol 2. Logos Press, New York. 20

Santoso & Kuntorini - Doksisiklin dan histologi kartilago epifisialis A. Perlakuan I (kontrol) : 0,5 ml akuades B. Perlakuan II: 26 mg doksisiklin/kg bb/hari 21

BIOSCIENTIAE: Vol. 1, No. 1, 2004: 11-22 C. Perlakuan III : 52 mg doksisiklin/kg bb/hari D. Perlakuan IV: 104 mg doksisiklin/kg bb/hari. Kondrosit pada zona proliferasi mengalami nekrosis & tersusun tidak beraturan. 22